Sylvester membalas tatapannya dengan lembut. "Aku senang jika kau menyukainya."
Tiba-tiba, Emily mengeluarkan ponselnya dari kantong. "Boleh kau fotokan aku?" tanyanya sambil menyerahkan ponselnya pada Sylvester.
Sylvester mengambil ponsel itu, lalu mengawasi Emily yang mulai melangkah ke arah pinggir tebing untuk mencari angle yang bagus.
"No, Emily. Jangan terlalu ke pinggir," ucap Sylvester tegas.
Emily menoleh, melihat ekspresi khawatir di wajah pria itu.
"Kembalilah ke sini. Aku akan memotretmu dengan bagus dari sini," lanjutnya.
Emily terkekeh. "Baiklah, baiklah."
Ia pun kembali ke tempat yang lebih aman dan mulai berpose. Sylvester mengambil beberapa foto, sesekali memberikan arahan agar hasilnya lebih bagus.
Setelah puas dengan hasil foto, Emily tiba-tiba tersenyum jahil. "Sylvester, kita belum ada foto bersama. Kemarilah."
Tanpa menunggu jawaban, Emily menarik tangan Sylvester agar lebih dekat, lalu membuka kame
Sylvester terdiam sesaat, menatap Emily dengan mata yang berkabut oleh perasaan yang sulit dikendalikan. Napasnya berat, seolah tengah menahan diri."Aku menginginkannya, Emily…" ucapnya lirih.Emily menatapnya dalam, melihat sorot mata pria itu. Ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya menggeleng pelan."Maaf… Aku tak bisa," ucapnya dengan suara penuh ketulusan.Sylvester menutup matanya sejenak, menarik napas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan. Lalu, alih-alih memaksakan keinginannya, ia malah menarik Emily ke dalam pelukannya, merengkuhnya erat."Baiklah… Maafkan aku," bisiknya di dekat telinga Emily.Emily tersenyum kecil, mengusap punggung Sylvester sebagai isyarat bahwa semuanya baik-baik saja."Bolehkah… kita tetap seperti ini sebentar saja?" pinta Sylvester dengan suara rendah, seolah masih menenangkan debaran jantungnya yang tak karuan.Emily mengangguk pelan, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat pria itu.Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa
Malam semakin larut, angin pantai berhembus lembut membawa aroma laut yang khas. Di area pantai hotel, lampu-lampu kecil tergantung menghiasi sepanjang area pesta, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Para staf mulai berkumpul diaula, tawa dan obrolan ringan terdengar di antara iringan musik akustik yang mengalun pelan.Di ruang aula Meja-meja ditata dengan apik, hidangan berjejer menggoda, sementara di pantai ada staff yang sedang menyiapkan beberapa permainan kecil. Api unggun mulai dinyalakan di tengah-tengah, menjadi pusat perhatian.Emily berdiri bersama Amore dan Beni di dekat salah satu meja. Sesekali tatapannya mencari-cari sosok tertentu di tengah keramaian.Tak butuh waktu lama, Sylvester muncul, mengenakan kemeja putih santai yang lengannya digulung, wajahnya tenang seperti biasa namun ada senyum tipis di sudut bibirnya saat matanya bertemu dengan Emily.Seseorang dari tim hotel memanggil Sylvester ke depan."Tuan Whiteller, waktunya menyampaikan sepatah dua kata."Sy
Tak lama, Amore menghampiri Emily dengan senyum penuh arti. Ia mencondongkan tubuh, berbisik pelan,"Kita obrolin nanti ya. Tapi malam ini… nikmati saja." Ia menepuk lembut bahu Emily sebelum pergi.Saat api unggun mulai menyala, menari di antara semilir angin pantai, Sylvester menggenggam tangan Emily dan menatapnya dalam."Mau berdansa?"Emily menggeleng cepat, tertawa kecil."Aku malu, Sylvester. Aku bahkan tak bisa berdansa."Sylvester tersenyum tenang, menggenggam tangannya lebih erat."Aku akan mengajarkanmu. Tenang saja, ikuti langkahku."Dengan ragu, Emily akhirnya mengangguk. Mereka berdiri di depan api unggun, diiringi melodi yang mengalun pelan. Langkah demi langkah, Emily mulai mengikuti gerakan Sylvester, tubuhnya perlahan rileks di bawah bimbingan pria itu.Sorak-sorai kecil terdengar dari arah teman-teman mereka, meski ada satu sosok yang tampak menatap tanpa ekspresi—Carol. Namun Emily tak lagi pedul
Pria itu menatapnya lekat, seolah bisa membaca keraguan di matanya. "Aku tak akan macam-macam, Em. Aku hanya ingin malam ini… kau ada di sini. Anggap saja kita menikmati waktu berdua, sebelum kita tak bertemu lagi untuk beberapa waktu ke depan."Suara bariton itu meredup di akhir kalimatnya, membuat dada Emily terasa berat.Ia terdiam sejenak, menimbang, sebelum akhirnya mendekat pelan dan duduk di pinggir kasur."Baiklah… tidurlah, Sylvester."Tanpa banyak bicara, Sylvester menarik Emily perlahan hingga ia berbaring di sampingnya. Lengannya melingkari tubuh Emily dengan tenang, kepalanya menyender ringan di bahu gadis itu, napasnya menghangat di telinga.Tak ada kata-kata lagi di antara mereka. Hanya suara detak jantung yang perlahan selaras, ditemani sayup-sayup suara ombak dari luar jendela.…Keesokan paginya, setelah malam penuh kenangan, suasana penginapan terasa lebih riuh dari biasanya. Orang orang sibuk menyiapkan koper, bercakap sambil sesekali tertawa kecil, meski suasana p
Dimas hanya terkekeh, berusaha tetap tenang. "Ada perlu apa, Em?"Emily cepat-cepat mengalihkan topik. "Aku cari goodie bag tambahan, kamu ada nggak?"Belum sempat Dimas menjawab, Leni muncul dari balik punggungnya. Wajahnya juga sedikit merah, tapi ia tetap tersenyum."Aku ada, Em. Di kamarku, ikut aku aja."Emily mengangguk, mengikuti Leni berjalan ke kamarnya. Leni mengambil tas kain dari laci, lalu menyerahkannya."Ini, cukup?""Ah, iya, cukup. Terima kasih, Len." Emily menerima tas itu sambil menahan rasa kikuk. Ia masih memproses apa yang barusan dilihatnya—Leni dan Dimas? Benarkah?Banyak pertanyaan berputar di kepalanya, sejak kapan, bagaimana, apa mereka diam-diam dekat selama ini? Tapi Emily memilih menahan diri. Saat ini, yang paling penting adalah beres-beres, waktu mereka tak banyak.Ia kembali ke kamarnya dengan kepala penuh pikiran, namun tetap melanjutkan packing-nya dengan hati-hati.Matahari teah tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang perlahan memud
Ben.Jantung Emily berdegup sedikit lebih cepat. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa kebetulan, atau dia memang sengaja?Tak ingin ambil pusing, Emily mengalihkan pandangan, mempercepat langkah menuju kursi tunggu, tepat saat Jesselyn datang menghampiri dengan beberapa kantong belanja di tangan."Ayo, boarding udah mulai," ajak Jesselyn.Emily menatap sekilas ke arah coffee shop sekali lagi, memastikan Ben masih di sana. Tapi kemudian ia memilih mengabaikan, fokus pada langkahnya bergabung dengan teman-temannya, bersiap untuk memasuki pesawat dan pulang ke Indonesia.…Karena jadwal penerbangan mereka tengah malam, keempatnya memutuskan untuk lebih banyak beristirahat selama di pesawat. Perjalanan pulang terasa cukup melelahkan, apalagi dengan adanya transit yang membuat waktu tempuh semakin panjang. Namun akhirnya, setelah sekian jam melayang di udara, roda pesawat menyentuh kembali landasan tanah air.Mereka berjalan bersama keluar dari pesawat, langkah-langkah lelah namun lega. Saa
Pagi harinya, Emily terbangun dengan tubuh yang lebih segar. Setelah berbenah dan memastikan barang-barangnya siap, ia memutuskan memesan ojek online untuk berangkat ke stasiun. Baginya, itu pilihan paling praktis dan cepat di tengah hiruk-pikuk kota.Sesampainya di stasiun, Emily melirik ponselnya dan mengetik pesan singkat pada Sylvester."Kau sedang apa?"Belum sempat menunggu balasan, perutnya memberi tanda lapar. Ia pun memutuskan mencari tempat makan sederhana di dalam area stasiun, sekadar mengisi perut sebelum memasuki kereta.Namun, di sisi lain benua, tak hanya waktu yang berbeda namun suasana pun berbeda.Di ruang tamu rumah, Sylvester menatap malas ke arah tamunya yang duduk dengan santai di sofa. Carol menatapnya dengan tatapan penuh Tanya,"Ada keperluan apa lagi? Tim dari perusahaanmu sudah pulang, mengapa kau masih di sini saja?" tanya Sylvester, berusaha menjaga jarak.Carol tersenyum. "Apa tak boleh aku main di rumah temanku sendiri? Kau kenapa jadi menjaga jarak sep
Perasaannya makin tak enak. Ia membuka daftar panggilan masuk, lalu matanya terpaku saat melihat log panggilan sebelumnya—Emily sempat meneleponnya saat ia berada di toilet restoran. Dan… yang mengangkat, jelas bukan dirinya.“Sialan.”Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan kontak Carol. Begitu tersambung, suaranya terdengar dingin dan tajam.“Apa yang kau bicarakan pada Emily?” tanya Sylvester tanpa basa-basi.Carol terdengar sedikit terkejut di seberang sana. “Tak ada. Dia hanya menanyakan kau di mana, dan aku bilang kau di toilet.”“Lalu?” desak Sylvester, nadanya mengeras.Carol menghela napas pelan, lalu menjawab, “Dia cuma menitipkan pesan, bilang dia meneleponmu.”“Kenapa kau tidak memberitahuku?” suara Sylvester terdengar menahan amarah.“Kau langsung makan dengan lahap. Aku tak mau mengganggumu saat itu,” jawab Carol enteng.Sylvester mengumpat pelan, memutus panggilan tanpa kata lagi. Ia mengacak rambutnya frustasi, lalu melangkah cepat ke kamar lain.“Alice!” panggilnya s
Penjaga mendorongnya lebih dekat. Ben terhuyung dan jatuh berlutut di samping Emily."Maaf, Em... aku tak cukup cepat," bisiknya lemah. Emily langsung memeluknya sejenak sebelum melepaskannya dan menatapnya dengan khawatir.Sylvester menatap Ben, lalu beralih ke Carol dengan sorot mata dingin membeku."Apa maksudmu dengan semua ini, Carol?"Carol melangkah perlahan ke arah mereka."Kau tak lihat? Aku menangkap mereka saat mereka bersama. Kau tahu, Mereka beberapa kali bertemu diam-diam di belakangmu.""Cukup!" bentak Sylvester.Ia merangkul Emily dan membantunya berdiri."Kita pulang."Carol tersenyum tipis. Lalu tawanya keluar, pelan, datar, getir."Kalian pikir bisa pergi begitu saja?"Beberapa penjaga di sekitar pintu mengangkat senjata dan menarik pelatuknya.Bodoh. Aku terlalu meremehkannya… datang tanpa persiapan, pikir Sylvester.Carol menatap Emily."Emily... kau ingin tahu
Seorang penjaga berlari tergesa melewati lorong yang gelap, napasnya memburu. Saat ia mencapai area dalam yang lebih terang, ia mendobrak pintu dan berteriak,“Nona Carol! Tahanan—Ben, dia kabur!”Carol yang sedang berdiri menatap monitor pengawas CCTV langsung memutar tubuhnya, ekspresinya berubah dari tenang menjadi tajam dan berbahaya.“Apa maksudmu kabur?” suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.“Dia memukul penjaga dan melarikan diri ke arah tangga atap. Kami sedang mengejarnya.”Carol mengepalkan rahangnya, menahan amarah yang mulai mendidih.Tiba-tiba, seorang penjaga lain masuk terburu-buru, memotong momen tegang itu.“Nona Carol… ada tamu. Seorang pria... katanya ia ingin berbicara dengan Anda. Mendesak.”Carol menoleh cepat, matanya menyipit curiga. “Siapa?”“Dia tidak mau menyebutkan nama. Tapi… Dia tahu nona, dan… dia terlihat tenang. Terlalu tenang.”Carol terdiam beberapa detik. Matanya memandang kosong ke arah layar CCTV yang kini menampilkan Ben berlari menaiki
"Emily, lihat itu," ucap Ben, menunjuk ke arah atas ruangan. "Di sana… corong udara."Emily mendongak. Di langit-langit yang tinggi dan berdebu, tampak sebuah corong ventilasi besi. Tidak terlalu besar, tapi mungkin cukup untuk tubuhnya yang kecil."Kau pikir aku bisa muat?" tanyanya, napasnya mulai memburu karena harapan kecil mulai tumbuh di hatinya."Sepertinya iya. Kau lebih kecil dariku, dan… sepertinya itu satu-satunya jalan keluar." Ben memeriksa sekeliling. "Kita harus naik. Kursi itu, dan... lemari tua, kita bisa susun."Tanpa banyak bicara, mereka mulai bergerak. Emily menarik kursi tua ke bawah ventilasi sementara Ben mendorong lemari besar, berdecit pelan di lantai beton yang dingin.Mereka bekerja cepat meski tubuh masih terasa lemah. Ben menopang kursi di atas lemari, lalu membantu Emily naik."Pelan-pelan. Aku tahan dari bawah," ucap Ben sambil menahan kursi agar tidak goyah.Emily melangkah ke atas lemari, lalu naik ke kursi dengan hati-hati. Tangannya meraih jeruji ve
"Kau..." bisik Emily, hampir tak percaya."Ya, sayang. Aku." Suara Carol begitu tenang, seperti sedang menyapa tamu yang datang untuk minum teh."Kupikir kalian akan sedikit lebih kuat… tapi ternyata baru dua hari saja sudah seperti ini."Emily menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar karena amarah dan ketakutan."Apa yang kau mau dariku?"Carol mendekat. Suara sepatunya terdengar hanya beberapa langkah dari kepala Emily."aku butuh dia, butuh spermanya." Suaranya penuh sindiran."dan kau sebagai... penampungnya."Ben menelan ludah, wajahnya memucat."Carol, hentikan ini..." ucapnya pelan.Carol tertawa kecil, renyah, tapi tajam seperti pisau."Ben, Ben… kau sangat luar biasa. Aku akan memberimu apapun yang kau mau jika kau mau menurutiku, dan aku akan melepaskanmu sehingga kau dengan bebas menjamahnya."Emily mengepalkan tangan. Meski tubuhnya terikat dan tak berdaya, ada nyala kecil dalam dirinya yang mulai membara."Kau sakit, Carol. Kau membutuhkan bantuan.""Oh, sayangku… yang sa
Di layar, keduanya berbicara selama beberapa saat. Lalu…Sosok lain mendekat dari belakang.Gerakannya cepat. Seketika suasana menjadi kacau—Emily jatuh. Ben tampak terserang.Layar mendadak gelap.“Rekaman selanjutnya hilang. Sinyal kamera terputus setelah itu.” jelas Amore, suaranya serius.Sylvester mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Kita harus temukan mereka sekarang.”“Aku mencoba melacak keberadaan Ben lewat sinyal ponsel dan kartu identitasnya,” lanjut Amore, “Tapi jejaknya hanya sampai bandara. Setelah itu… hilang. Tak terdeteksi.”Sylvester mengumpat pelan. “Mereka pasti menggunakan pesawat. Ini kerjaan orang-orang yang tahu cara menyembunyikan jejak. Mereka bukan penjahat jalanan biasa.”Amore menatapnya lekat. “Apa kau punya musuh, Sylvester?”Pertanyaan itu menggantung.Sylvester terdiam. Matanya menatap kosong sejenak, lalu berubah tajam.“Cari tahu semua penerbangan hari itu. Semua. Tak peduli kemana arahnya.”Amore mengerutkan dahi. “Kau gila? Ini bandara internas
TOK TOK TOK...Pintu kos terbuka perlahan, menampilkan wajah Amore yang terlihat agak kaget melihat siapa yang berdiri di depannya.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.“Aku mau menemui Emily,” jawab Sylvester tanpa basa-basi.Amore mengangkat alis. “Bukankah dia bersamamu? Semalam dia mengirim pesan padaku katanya menginap di tempatmu.”“Iya, memang. Tapi pagi tadi dia pulang sendiri... Aku nggak sempat mengantarnya,” ucap Sylvester sambil merogoh ponsel dari sakunya, berusaha menghubungi Emily.Namun layar ponsel hanya menunjukkan satu hal: tidak tersambung.Wajah Sylvester semakin tegang. Ia buru-buru menekan kontak lain.“Dim, apa kau bersama Emily?”Suara Dimas terdengar dari seberang, terdengar bising di latar.“Tidak, Tuan Whiteller. Saya sedang bekerja sekarang.”“Baiklah.” Sylvester mengakhiri panggilan, napasnya mulai berat.“Mungkin dia cuma sedang cari makan, atau jalan-jalan sebentar. Atau bisa juga pergi ke suatu tempat. Nggak usah khawatir, nanti juga pulang,” ujar Am
“Aku menyakitinya, Em…” lanjut Sylvester, suaranya bergetar. “Seharusnya aku mengajaknya bicara baik-baik… seharusnya aku tenang. Tapi aku terlalu emosi. Aku melukai dia… secara fisik dan batin. Aku jahat, Em. Aku jahat…”Ia menggenggam bantal di pangkuannya, mencoba menahan isak yang meledak.“Dia pergi… karena aku. Bersama anak dalam kandungannya. Aku bahkan tak tahu anak siapa itu… tapi aku... aku telah membunuh dua makhluk hidup, Em. Dua nyawa.”Emily menundukkan kepalanya, air matanya jatuh satu demi satu. Tapi ia tetap memeluk Sylvester, lebih erat ia bisa merasakannya.“Aku tak tahu bagaimana harus menebusnya. Tak ada yang bisa mengembalikan mereka. Aku hidup dengan bayang-bayang itu setiap hari…”Emily mengangkat wajahnya, menatap Sylvester dalam-dalam, matanya sembab namun penuh kelembutan.“Sylvester… kau memang melakukan kesalahan. Kau menyakiti seseorang, dan kau menyesalinya. Kau bukan jahat. Jika kau jahat, kau tak akan menangis malam ini… kau tak akan terbuka seperti in
Emily masih menatap Sylvester, menunggu dengan sabar jawaban yang tak kunjung keluar. Hening menyelimuti mereka, seolah waktu pun ikut menahan napas.Tepat saat Sylvester hendak membuka mulut untuk bicara, suara langkah kaki pelayan memecah ketegangan.“Permisi, pesanannya, Kak,” ucap pelayan dengan senyum ramah, namun matanya sempat melirik Sylvester sejenak sebelum meletakkan makanan di atas meja mereka.Emily yang melihat itu hanya mengerjap pelan, menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul.“Terima kasih, Kak,” ucap Emily dengan senyum tipis namun suaranya terdengar dingin.“Sama-sama, Kak. Selamat menikmati,” balas si pelayan sebelum akhirnya berlalu, tak lupa melirik sekali lagi ke arah Sylvester.“She is my girlfriend,” ucap Sylvester tiba-tiba, lantang dan jelas, membuat Emily menoleh cepat, cukup terkejut dengan pernyataan itu.Pelayan yang masih berada tak jauh langsung menghentikan langkahnya.“Ah… maaf, Kak,” ucapnya terbata, lalu buru-buru menambahkan,“Ini pesanan yan
“Maafkan aku, Sylvester. Rencanamu jadi sia-sia,” ucap Emily pelan.Mereka sedang berjalan beriringan di taman kota, masing-masing memegang es krim yang mulai mencair perlahanSylvester menoleh dengan senyum tipis.“Tidak akan sia-sia kalau kamu bekerja di perusahaanku.”Ia menggigit es krimnya sebentar, lalu melanjutkan,“Aku tahu kamu keberatan… tapi kalau kamu kerja di tempatku, kamu akan lebih dekat kalau mau bertemu teman-temanmu yang masih di perusahaan Carol.”Emily terdiam. Ia melangkah pelan ke arah salah satu bangku taman dan duduk, menatap es krim di tangannya sebelum akhirnya menyuap sedikit.“Aku cuma takut,” ucapnya lirih, tatapannya lurus ke depan.“Kalau aku kerja di tempatmu, aku akan diperlakukan berbeda. Entah olehmu… atau oleh orang-orang di sekelilingmu. Aku nggak mau jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang… tanpa masalah.”Sylvester ikut duduk di sampingnya, mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya.“Kalau ada yang ganggu kamu,