Tak lama, Amore menghampiri Emily dengan senyum penuh arti. Ia mencondongkan tubuh, berbisik pelan,
"Kita obrolin nanti ya. Tapi malam ini… nikmati saja." Ia menepuk lembut bahu Emily sebelum pergi.Saat api unggun mulai menyala, menari di antara semilir angin pantai, Sylvester menggenggam tangan Emily dan menatapnya dalam.
"Mau berdansa?"Emily menggeleng cepat, tertawa kecil.
"Aku malu, Sylvester. Aku bahkan tak bisa berdansa."Sylvester tersenyum tenang, menggenggam tangannya lebih erat.
"Aku akan mengajarkanmu. Tenang saja, ikuti langkahku."Dengan ragu, Emily akhirnya mengangguk. Mereka berdiri di depan api unggun, diiringi melodi yang mengalun pelan. Langkah demi langkah, Emily mulai mengikuti gerakan Sylvester, tubuhnya perlahan rileks di bawah bimbingan pria itu.
Sorak-sorai kecil terdengar dari arah teman-teman mereka, meski ada satu sosok yang tampak menatap tanpa ekspresi—Carol. Namun Emily tak lagi pedul
Pria itu menatapnya lekat, seolah bisa membaca keraguan di matanya. "Aku tak akan macam-macam, Em. Aku hanya ingin malam ini… kau ada di sini. Anggap saja kita menikmati waktu berdua, sebelum kita tak bertemu lagi untuk beberapa waktu ke depan."Suara bariton itu meredup di akhir kalimatnya, membuat dada Emily terasa berat.Ia terdiam sejenak, menimbang, sebelum akhirnya mendekat pelan dan duduk di pinggir kasur."Baiklah… tidurlah, Sylvester."Tanpa banyak bicara, Sylvester menarik Emily perlahan hingga ia berbaring di sampingnya. Lengannya melingkari tubuh Emily dengan tenang, kepalanya menyender ringan di bahu gadis itu, napasnya menghangat di telinga.Tak ada kata-kata lagi di antara mereka. Hanya suara detak jantung yang perlahan selaras, ditemani sayup-sayup suara ombak dari luar jendela.…Keesokan paginya, setelah malam penuh kenangan, suasana penginapan terasa lebih riuh dari biasanya. Orang orang sibuk menyiapkan koper, bercakap sambil sesekali tertawa kecil, meski suasana p
Dimas hanya terkekeh, berusaha tetap tenang. "Ada perlu apa, Em?"Emily cepat-cepat mengalihkan topik. "Aku cari goodie bag tambahan, kamu ada nggak?"Belum sempat Dimas menjawab, Leni muncul dari balik punggungnya. Wajahnya juga sedikit merah, tapi ia tetap tersenyum."Aku ada, Em. Di kamarku, ikut aku aja."Emily mengangguk, mengikuti Leni berjalan ke kamarnya. Leni mengambil tas kain dari laci, lalu menyerahkannya."Ini, cukup?""Ah, iya, cukup. Terima kasih, Len." Emily menerima tas itu sambil menahan rasa kikuk. Ia masih memproses apa yang barusan dilihatnya—Leni dan Dimas? Benarkah?Banyak pertanyaan berputar di kepalanya, sejak kapan, bagaimana, apa mereka diam-diam dekat selama ini? Tapi Emily memilih menahan diri. Saat ini, yang paling penting adalah beres-beres, waktu mereka tak banyak.Ia kembali ke kamarnya dengan kepala penuh pikiran, namun tetap melanjutkan packing-nya dengan hati-hati.Matahari teah tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang perlahan memud
Ben.Jantung Emily berdegup sedikit lebih cepat. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa kebetulan, atau dia memang sengaja?Tak ingin ambil pusing, Emily mengalihkan pandangan, mempercepat langkah menuju kursi tunggu, tepat saat Jesselyn datang menghampiri dengan beberapa kantong belanja di tangan."Ayo, boarding udah mulai," ajak Jesselyn.Emily menatap sekilas ke arah coffee shop sekali lagi, memastikan Ben masih di sana. Tapi kemudian ia memilih mengabaikan, fokus pada langkahnya bergabung dengan teman-temannya, bersiap untuk memasuki pesawat dan pulang ke Indonesia.…Karena jadwal penerbangan mereka tengah malam, keempatnya memutuskan untuk lebih banyak beristirahat selama di pesawat. Perjalanan pulang terasa cukup melelahkan, apalagi dengan adanya transit yang membuat waktu tempuh semakin panjang. Namun akhirnya, setelah sekian jam melayang di udara, roda pesawat menyentuh kembali landasan tanah air.Mereka berjalan bersama keluar dari pesawat, langkah-langkah lelah namun lega. Saa
Pagi harinya, Emily terbangun dengan tubuh yang lebih segar. Setelah berbenah dan memastikan barang-barangnya siap, ia memutuskan memesan ojek online untuk berangkat ke stasiun. Baginya, itu pilihan paling praktis dan cepat di tengah hiruk-pikuk kota.Sesampainya di stasiun, Emily melirik ponselnya dan mengetik pesan singkat pada Sylvester."Kau sedang apa?"Belum sempat menunggu balasan, perutnya memberi tanda lapar. Ia pun memutuskan mencari tempat makan sederhana di dalam area stasiun, sekadar mengisi perut sebelum memasuki kereta.Namun, di sisi lain benua, tak hanya waktu yang berbeda namun suasana pun berbeda.Di ruang tamu rumah, Sylvester menatap malas ke arah tamunya yang duduk dengan santai di sofa. Carol menatapnya dengan tatapan penuh Tanya,"Ada keperluan apa lagi? Tim dari perusahaanmu sudah pulang, mengapa kau masih di sini saja?" tanya Sylvester, berusaha menjaga jarak.Carol tersenyum. "Apa tak boleh aku main di rumah temanku sendiri? Kau kenapa jadi menjaga jarak sep
Perasaannya makin tak enak. Ia membuka daftar panggilan masuk, lalu matanya terpaku saat melihat log panggilan sebelumnya—Emily sempat meneleponnya saat ia berada di toilet restoran. Dan… yang mengangkat, jelas bukan dirinya.“Sialan.”Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan kontak Carol. Begitu tersambung, suaranya terdengar dingin dan tajam.“Apa yang kau bicarakan pada Emily?” tanya Sylvester tanpa basa-basi.Carol terdengar sedikit terkejut di seberang sana. “Tak ada. Dia hanya menanyakan kau di mana, dan aku bilang kau di toilet.”“Lalu?” desak Sylvester, nadanya mengeras.Carol menghela napas pelan, lalu menjawab, “Dia cuma menitipkan pesan, bilang dia meneleponmu.”“Kenapa kau tidak memberitahuku?” suara Sylvester terdengar menahan amarah.“Kau langsung makan dengan lahap. Aku tak mau mengganggumu saat itu,” jawab Carol enteng.Sylvester mengumpat pelan, memutus panggilan tanpa kata lagi. Ia mengacak rambutnya frustasi, lalu melangkah cepat ke kamar lain.“Alice!” panggilnya s
“Ya?” jawab Emily, berusaha tenang.“Kau sudah sampai di rumah ibumu?”“Sudah. Aku tiba siang tadi, sekarang di sini sudah malam,” ucap Emily lembut.Hening sesaat di antara mereka. Emily kemudian bertanya, “Aku yakin di sana masih pagi sekali. Apa kau terbiasa bangun sepagi itu?”“Aku belum tidur,” jawab Sylvester pelan.Emily terkejut. “Belum tidur?”“Iya... ah, mungkin aku akan melanjutkan tidurku di kantor nanti,” ucap Sylvester sambil tertawa kecil, meski terdengar lelah.Emily terdiam sejenak, lalu berkata, “Mengapa kau belum tidur?”“Aku menunggu balasanmu,” jawab Sylvester jujur. “Aku berkali-kali menelponmu, tapi tak kau angkat.”Emily menarik napas dalam, mencoba menahan rasa yang sempat mengganjal. “Mungkin karena kau sedang bersenang-senang di luar sana… jadi aku pikir, aku tak mau mengganggu,” ucapnya, sedikit ketus.Sylvester diam sesaat, sebelum akhirnya berkata pelan, “Emily.”“Ya?”“Apa yang Carol katakan padamu?” tanyanya hati-hati.Emily menggigit bibir bawahnya. “M
Setelah menghabiskan masa izin dua harinya, Emily kembali ke kota dan menjalani rutinitas sebagai seorang karyawan. Pagi ini, seperti biasa, ia berangkat ke kantor. Tidak ada yang berbeda sejak sebelum ia pergi ke Amerika. Rekan-rekan kerjanya tetap memperlakukannya seperti sebelumnya. Namun, satu hal yang berubah adalah Leni. Gadis itu kini lebih ramah dan terbuka, yang membuat Emily merasa sedikit lebih nyaman. Setidaknya, kini ia punya tambahan teman selain Dimas.Hari-hari berlalu tanpa banyak kejadian berarti. Semua berjalan seperti biasa—rapat, tugas kantor, makan siang, hingga kembali pulang ke kosannya. Seminggu pun berlalu dengan cepat.Siang itu, saat Emily sedang sibuk dengan pekerjaannya, ia mulai mendengar bisik-bisik dari rekan-rekan di sekitarnya."Oh my God, dia sangat tampan!""Dulu aku sempat bertemu dengannya juga.""Apakah itu benar?""Mereka sungguh berpacaran?""Aku sudah yakin saat proyek tim Leni ke Amerika.""Mereka sangat cocok!""Dia benar-benar tampan."Emi
Emily berdiri di balik pintu dengan napas yang sedikit memburu. Tangannya masih menggenggam erat kenop pintu, memastikan tidak ada celah sedikit pun untuk dibuka kembali."Emily, ayolah, buka pintunya. Aku hanya ingin bicara," suara Ben terdengar dari luar, terdengar memohon tetapi tetap menyimpan nada yang membuat Emily semakin waspada.Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak menyangka Ben akan muncul di depan kosannya seperti ini. Bagaimana dia bisa tahu tempat tinggalnya? Dan untuk apa dia datang ke sini?"Aku tidak tertarik untuk bicara, Ben. Pergilah," ucap Emily tegas, meskipun ada sedikit gemetar dalam suaranya.Ben tertawa kecil. "Kau takut padaku?"Emily diam, tidak ingin memberi celah untuk Ben berlama-lama di sini. Ia melangkah mundur perlahan, menahan napas, berharap Ben segera pergi. Namun, suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih pelan."Emily, aku hanya ingin bicara sebentar. Aku tidak akan macam-macam, mengapa kau setakut itu padaku?" suara Ben terdengar lebih le
Emily masih menatap Sylvester, menunggu dengan sabar jawaban yang tak kunjung keluar. Hening menyelimuti mereka, seolah waktu pun ikut menahan napas.Tepat saat Sylvester hendak membuka mulut untuk bicara, suara langkah kaki pelayan memecah ketegangan.“Permisi, pesanannya, Kak,” ucap pelayan dengan senyum ramah, namun matanya sempat melirik Sylvester sejenak sebelum meletakkan makanan di atas meja mereka.Emily yang melihat itu hanya mengerjap pelan, menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul.“Terima kasih, Kak,” ucap Emily dengan senyum tipis namun suaranya terdengar dingin.“Sama-sama, Kak. Selamat menikmati,” balas si pelayan sebelum akhirnya berlalu, tak lupa melirik sekali lagi ke arah Sylvester.“She is my girlfriend,” ucap Sylvester tiba-tiba, lantang dan jelas, membuat Emily menoleh cepat, cukup terkejut dengan pernyataan itu.Pelayan yang masih berada tak jauh langsung menghentikan langkahnya.“Ah… maaf, Kak,” ucapnya terbata, lalu buru-buru menambahkan,“Ini pesanan yan
“Maafkan aku, Sylvester. Rencanamu jadi sia-sia,” ucap Emily pelan.Mereka sedang berjalan beriringan di taman kota, masing-masing memegang es krim yang mulai mencair perlahanSylvester menoleh dengan senyum tipis.“Tidak akan sia-sia kalau kamu bekerja di perusahaanku.”Ia menggigit es krimnya sebentar, lalu melanjutkan,“Aku tahu kamu keberatan… tapi kalau kamu kerja di tempatku, kamu akan lebih dekat kalau mau bertemu teman-temanmu yang masih di perusahaan Carol.”Emily terdiam. Ia melangkah pelan ke arah salah satu bangku taman dan duduk, menatap es krim di tangannya sebelum akhirnya menyuap sedikit.“Aku cuma takut,” ucapnya lirih, tatapannya lurus ke depan.“Kalau aku kerja di tempatmu, aku akan diperlakukan berbeda. Entah olehmu… atau oleh orang-orang di sekelilingmu. Aku nggak mau jadi pusat perhatian atau bahan gosip. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang… tanpa masalah.”Sylvester ikut duduk di sampingnya, mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya.“Kalau ada yang ganggu kamu,
Emily pulang ke kosan dengan langkah pelan, memeluk sebuah kardus berisi barang-barang dari mejanya di kantor—sisa-sisa kecil dari hari-hari yang penuh ambisi dan rutinitas yang kini mendadak berhenti. Sesampainya di kamar, ia meletakkan kardus itu di sudut ruangan, lalu menjatuhkan dirinya ke atas kasur dengan lelah.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri dari semua emosi yang masih bergemuruh di dadanya.“Hhh… sepertinya aku harus mulai melamar kerja lagi,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri.Beberapa menit kemudian, Emily bangkit. Ia membuka laptop yang ada di meja kecil dekat jendela, lalu duduk dengan punggung melengkung malas, namun tetap memaksa dirinya untuk fokus. File CV lamanya terbuka di layar, dan ia menatapnya sejenak, terdiam.“Mungkin ini saatnya aku upgrade… tambah pengalaman, ubah desain sedikit…” ucapnya pelan sambil mulai mengetik, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa kecewa.Namun di tengah-te
Pagi menyusup pelan melalui celah tirai, membias lembut ke seluruh kamar. Hangat matahari menyentuh kulit Emily, membangunkannya secara perlahan dari tidur yang dalam. Matanya membuka perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Sylvester—masih terlelap, napasnya teratur, lengan kuatnya melingkar di pinggangnya, seperti ingin melindunginya bahkan dalam tidur.Mereka masih terbungkus selimut yang sama, tubuh mereka saling menyatu dalam kehangatan dan ketenangan. Tanpa sehelai benang pun yang memisahkan, namun Emily tak merasa malu, ia merasakan sebuah rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Ia menatap wajah Sylvester dalam diam, memperhatikan alisnya, garis rahangnya, dan cara ia tidur terlihat begitu damai. Tak lama, Sylvester mengerjapkan mata perlahan, lalu tersenyum kecil begitu menyadari Emily tengah menatapnya.“Selamat pagi …” gumamnya, suaranya serak dan dalam.“Pagi…” bisik Emily, pipinya memerah, tapi senyumnya tak bisa ditahan..“Apa kau menyesal?” tanya Sylves
Mereka melaju menyusuri jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya lampu. Tidak banyak kata yang diucapkan selama perjalanan—hanya musik lembut yang mengisi keheningan dengan hangat. Emily sesekali mencuri pandang ke arah Sylvester. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tapi Emily tahu... hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya kolonial yang telah disulap menjadi restoran mewah bernuansa hangat dan elegan. Di dalam, cahaya temaram dari lampu gantung menari lembut di langit-langit. Meja-meja kecil dihiasi lilin dan bunga segar, menciptakan suasana yang nyaris seperti mimpi. Seorang pelayan menyambut mereka dan langsung mengarahkan ke meja yang telah dipesan—satu meja di sudut balkon, menghadap ke taman kecil yang dihiasi lampu-lampu gantung seperti bintang.“Wow… Sylvester, ini cantik sekali.”Emily menatap sekeliling, lalu beralih menatap Sylvester dengan kagum yang tak disembunyikan.“Aku ingin malam ini terasa spesial,” katan
Dengan Amore yang kini tinggal bersamanya, Emily mulai merasakan perubahan suasana di kamar kecilnya yang biasanya tenang. Malam itu, setelah mereka selesai membereskan koper dan menata barang-barang Amore di sudut ruangan, mereka duduk berdampingan di atas tempat tidur yang kini terasa lebih sempit dari biasanya.“Kau tahu,” gumam Emily sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya, “aku masih belum bisa percaya kau benar-benar ada di sini.”Ia menoleh pada Amore.“Sebenarnya… tujuanmu ke Indonesia itu apa?”“Kau tidak senang aku di sini?” Amore balik bertanya, menaikkan alisnya.“Bukan begitu,” Emily cepat menanggapi, “maksudku, ini dalam rangka apa? Pekerjaan? Liburan? Atau… ada hal lain?”Amore hanya mengedikkan bahu.“Aku hanya ingin ke sini, itu saja.”Emily menghela napas, mencoba memahami.“Tapi kau datang di waktu yang kurang tepat. Ini bukan musim liburan, dan aku harus bekerja setiap hari. Kau akan sendirian, apakah itu tidak masalah?”Sambil menyentuh dagunya dengan gaya dram
Emily turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menarik tirai lebih lebar. Sinar matahari pagi menyapu masuk, menyoroti interior kayu hangat kabin itu.“Tempat ini terlalu indah untuk ditinggalkan cepat-cepat,” gumamnya, lebih pada diri sendiri.“Kalau begitu… bagaimana kalau kau terlambat masuk kerja hari ini?”Sylvester muncul di sampingnya, menggoda.Emily mengerutkan dahi, setengah geli, setengah tergoda.“ Tetap akan terlambat meskipun kita berangkat Pagi pagi buta. Kau benar-benar suka bermain dengan waktu ya.”“Hanya ingin bermain lebih lama denganmu.”Emily menatapnya, lalu menghela napas sambil tersenyum.“Kau membuatku ingin mengatakan ya.”“Maka katakan saja.”“Aku akan pikirkan,” jawab Emily, lalu mencubit pipi Sylvester sebelum berjalan ke dapur kecil.Sylvester mengikuti dari belakang sambil tertawa.“Ayo, kita buat sarapan paling enak yang pernah kita masak bersama. Dan setelah itu…”“Jangan bilang kau mau bikin rencana spontan lainnya,” potong Emily sambil menga
Kata-katanya menggantung di udara, perlahan masuk ke dalam dada Emily, seperti panas api yang meresap pelan ke kulit.Emily menunduk, memeluk lututnya sebentar.“Aku takut, Sylvester…”“Takut apa?” tanyanya lembut.“Takut jatuh terlalu dalam. Takut kecewa. Takut semua ini cuma sementara.”Sylvester diam sejenak, lalu menyentuh tangan Emily, menggenggamnya erat.“Kalau kau jatuh, aku akan jadi alas yang menampungmu. Kalau kau kecewa, aku akan jadi alasan untukmu percaya lagi. Dan kalau semua ini hanya sementara, maka biarlah aku menjadikannya kenangan yang abadi.”Emily terdiam. Matanya mulai berkaca, tapi bukan karena sedih—melainkan karena hatinya akhirnya sudah benar benar terbuka untuk sylvester.“Kau tahu, Sylvester?” ucap Emily, suaranya nyaris berbisik.“Hm?”“Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin kembali ke kota malam ini.”Sylvester menoleh cepat.“Kau serius?”Emily mengangguk pelan.“Tapi hanya malam ini. Karena besok pagi aku tetap harus kembali jadi karyawan biasa.”Sylve
Sylvester melirik sekilas ke arah Emily yang masih diam. Suasana di dalam mobil menjadi sunyi, hanya suara mesin dan desiran angin dari luar yang menemani.Setelah beberapa menit, ia memperlambat laju mobil dan menepi di rest area kecil di pinggir jalan tol. Ia mematikan mesin, lalu menoleh penuh ke arah Emily."Aku tahu aku keterlaluan," katanya pelan. "Aku hanya… aku ingin memberimu jeda dari kesibukanmu. Tapi seharusnya aku tetap menghargai keputusanmu."Emily masih menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras."Kau tahu aku sangat mencintaimu, Emily. Tapi kadang aku lupa, mencintai juga berarti mendengarkan, bukan memaksakan."Perlahan, Emily menoleh padanya, matanya kini lebih tenang."Aku tahu niatmu baik," katanya. "Tapi jangan pernah lagi membuatku merasa seolah keputusanku tidak penting, Sylvester. Aku butuh merasa dihargai juga."Sylvester mengangguk, ekspresinya tulus. "Kau benar. Maafkan aku."Suasana kembali hening sejenak."Kalau kau masih ingin kembali ke kantor, aku akan