Sementara itu, Sylvester menghilang ke arah kamarnya, lalu kembali ke dapur beberapa menit kemudian. Di tangannya, ada sebuah kaus sederhana berwarna putih yang ia ulurkan pada Emily."Ini," katanya sambil menyodorkan kaus itu. "Ganti dulu pakaianmu dengan ini. Kau pasti kesulitan bergerak kalau tetap memakai gaun itu."Emily memandangi kaus itu dengan bingung. "Tapi aku…""Kau bebas menggunakan ruangan mana saja untuk berganti pakaian," potong Sylvester lagi, seperti biasa tak ingin mendengar bantahan. "Aku juga akan ke kamar untuk berganti pakaian. Cepatlah."Emily akhirnya menerima kaus itu dengan sedikit ragu. "Baiklah," gumamnya.Saat Sylvester berjalan pergi ke arah kamarnya, Emily menghela napas panjang, lalu melihat ke sekeliling untuk mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk berganti. Ia memilih salah satu kamar mandi yang terdekat, lalu masuk ke dalam. Dengan hati-hati, ia melepaskan gaunnya dan mengenakan kaus yang diberikan Syl
"Ceritakan bagaimana kehidupanmu di Indonesia," ucap Sylvester tiba-tiba, memecah keheningan yang menyelimuti mereka."Huh?" Emily menatapnya dengan bingung, tidak menyangka pertanyaan itu muncul."Bagaimana kehidupanmu di Indonesia?" Sylvester mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih sabar, sambil menatap Emily seolah-olah ia tidak akan membiarkan pertanyaan itu berlalu tanpa jawaban.Emily menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat. "Mmm... tidak ada yang istimewa, semua biasa saja," balasnya akhirnya, bahunya sedikit terangkat.Sylvester mengerutkan alisnya. "Selain desain dan memasak, apa yang kau sukai?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih dalam.Emily menghela napas pendek, merasa sedikit canggung dengan tatapan yang begitu intens dari pria di depannya. "Tidak ada... hanya itu," jawabnya singkat.Sylvester mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya di kursi dengan ekspresi sedikit kesal. "Ceritakan apa
Emily tertegun. "Huh?" Wajahnya langsung memerah, dan ia menatap Sylvester dengan kaget.Tanpa menunggu jawaban, Sylvester mendekat, meraih tengkuk Emily dengan lembut, dan mencium bibirnya. Emily membeku sejenak sebelum mendorongnya dengan cepat, matanya melebar dan napasnya memburu."Kenapa kau begitu syok?" tanya Sylvester dengan nada santai, tetapi matanya masih menatap Emily. "Apa kau belum pernah berciuman sebelumnya?"Emily mengangguk pelan, wajahnya merah padam. "Jangan bilang kau juga belum pernah berkencan atau berpacaran," lanjut Sylvester, setengah bercanda."Y-yaa..." jawab Emily terbata-bata, masih memproses apa yang baru saja terjadi.Mendengar itu, Sylvester tertawa kecil, tetapi segera terdiam ketika Emily bersuara dengan nada kesal, "Dan kau mengambil first kiss-ku... Dasar laki-laki brengsek."Sylvester menatapnya sejenak, kemudian menundukkan kepala sedikit, merasa bersalah. "Maafkan aku," katanya tulus.Emily mend
"Ah, hai... ada apa, Alice?" tanya Emily, sedikit terkejut melihat wanita itu."Tak apa, aku hanya ingin melihat tempat kerjamu," balas Alice sambil melangkah masuk, matanya mengamati sekeliling ruangan."Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Emily, masih bingung dengan kehadiran Alice."Aku ikut Sylvester tadi," jawab Alice dengan santai.Emily hanya mengangguk sambil menggumamkan, "Ohh," tanpa banyak komentar."Hai, Alice. Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Dimas tiba-tiba, membuat Alice menoleh.Alice tersenyum, "Oh, hai. Tentu saja aku masih ingat.""Senang bertemu kembali," ucap Dimas sambil mengulurkan tangannya dengan senyum ramah."Senang juga bertemu denganmu," balas Alice, menyambut uluran tangan itu dengan anggukan dan senyum hangat.Alice melangkah lebih dekat, matanya terus mengamati ruangan tempat Emily bekerja. "Jadi, ini ruangan kalian? Tidak buruk. Sangat nyaman," komentarnya sambil melirik meja kerja Emily."Memang nyaman," balas Jesselyn, mencoba bersikap ramah. "K
Emily menunduk, air matanya terus mengalir. "Aku tahu aku tidak nyaman untuk kalian. Aku tahu aku bukan orang yang menyenangkan. Tapi aku... aku tidak tahu harus bagaimana."Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus air mata, tapi sia-sia. "Dan kau tahu, Len? Aku tidak pernah berharap ada lelaki yang benar-benar menyukaiku. Aku tahu aku tidak pantas. Aku tahu aku seperti ini. Aku sadar diri."Kata-kata itu membuat semua orang di ruangan terdiam. Dimas hanya bisa menatap Emily dengan ekspresi penuh simpati, sementara Jesselyn tampak menunduk, tidak berani melihat ke arah Emily.Emily mengangkat kepalanya, menatap Leni lagi. "Aku minta maaf, Len. Kalau kehadiranku membuatmu tidak nyaman, aku benar-benar minta maaf."Dengan suara yang hampir tak terdengar, Emily menambahkan, "Aku juga benci diriku sendiri... lebih dari siapa pun."Ia berbalik, berjalan menuju pintu. Langkahnya pelan, tapi penuh beban. Tangannya gemetar ketika meraih gagang pintu.
"Apakah bisa kita mulai sekarang?" tanya salah satu staf Whiteller Corp dengan nada tegas. Mereka sudah berada di ruang rapat, namun suasana terasa sedikit canggung karena ada beberapa kursi yang kosong.Mr. Whiteller, yang duduk di ujung meja dengan sikap tenang namun penuh wibawa, tiba-tiba bertanya, "Kemana Emily?"Belum sempat ada yang menjawab, pintu ruangan terbuka dan Emily masuk dengan tergesa-gesa. "Saya di sini. Mohon maaf atas keterlambatan saya," ucapnya sambil membungkukkan badan sedikit.Namun, ucapan Emily tidak menghapus ekspresi tak nyaman beberapa peserta rapat. Salah satu staf Whiteller Corp yang duduk di dekat Mr. Whiteller menghela napas panjang dan berkomentar sinis, "Tidak profesional sekali kerja tim kalian."Ruangan mendadak sunyi. Dimas menoleh ke Emily, seolah ingin membela, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Beni—pemimpin rapat—langsung mengambil kendali. "Baik, kita mulai saja," katanya cepat, mencoba mencairkan suasana.Rapat pun dimulai. Mereka membahas
Pernyataan itu membuat wajah Sylvester mengeras seketika. Rahangnya mengatup kuat, dan matanya menatap Amore dengan kilatan emosi yang sulit diartikan—sebuah campuran antara rasa bersalah dan amarah.Melihat reaksi itu, Amore mendesah lagi. Ia tahu bahwa ia telah menyentuh luka lama. Namun, itu adalah sesuatu yang perlu dikatakan.Amore melangkah menuju pintu, tetapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh. Tatapannya tajam, nyaris seperti peringatan. "Kau tahu, Sylvester," katanya dengan nada serius, "kadang tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang lebih buruk. Jangan ulangi kesalahan yang sama."Setelah itu, ia pergi, meninggalkan Sylvester sendirian di ruangannya.Sylvester tetap berdiri di tempatnya, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup. Pikirannya penuh dengan emosi yang saling bertabrakan. Nama Emily terus terngiang di kepalanya, bersanding dengan bayangan Bella yang tak pernah benar-benar hilang. Ia mendesah berat, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.
Dimas, Emily, dan Jesselyn saling bertukar pandang, bingung dengan reaksi Leni."Yasudah," ucap Dimas akhirnya, mencoba mengangkat suasana. "Kita makan bertiga saja. Nanti aku akan siapkan seporsi untuk Leni."Emily dan Jesselyn mengangguk pelan, meskipun suasana hati mereka masih terasa sedikit canggung. Mereka pun mulai menikmati soto buatan Dimas, mencoba mengembalikan suasana hangat di antara mereka.Setelah makan malam selesai, suasana mulai mencair. Mereka mulai saling melemparkan lelucon ringan, dan Emily ikut tersenyum kecil, meski sedikit lelah. Namun, meskipun Dimas tampak ikut tertawa, pikirannya terusik oleh sesuatu—lebih tepatnya, oleh Leni.“Kurasa aku akan coba bicara dengan Leni,” gumam Dimas tiba-tiba sambil berdiri dari kursinya.“Sekarang?” tanya Emily, ragu-ragu.“Ya, aku nggak mau—” Dimas terpotong saat ia melihat Leni keluar dari kamarnya tanpa sepatah kata. Leni melewati
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E
Sore pun tiba. Emily merapikan mejanya dan mengambil tasnya. Ia berjalan keluar kantor dengan hati yang sedikit gelisah.Saat tiba di kafe yang dijanjikan, Ben sudah menunggunya di sudut ruangan. Tangannya menggenggam cangkir kopi, dan ia menatap Emily dengan senyum yang sulit diartikan."Aku kira kau tidak akan datang," ucap Ben begitu Emily duduk di depannya."Aku ingin tahu apa maksudmu tadi pagi," balas Emily langsung.Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengaduk kopinya perlahan. "Kau benar-benar ingin tahu?"Emily mengangguk. "Katakan saja."Ben menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada serius, "Kau tidak seistimewa yang kau kira, Emily."Emily membeku di tempatnya. "Apa maksudmu?"Ben menyeringai tipis. "Sylvester mendekatimu bukan karena kau spesial. Kau hanya bayangan dari seseorang yang sudah tiada."Jantung Emily berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya."Kau
Mereka melaju dalam diam, hanya suara lalu lintas di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Emily melirik ke arah Amore yang tetap fokus pada jalan, raut wajahnya sulit dibaca.Setelah beberapa menit, Amore akhirnya membelokkan mobil ke sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Ia memarkir kendaraan, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Emily."Baiklah, sekarang kita bisa bicara," ucapnya.Emily menyandarkan punggungnya, melipat tangan di depan dada. "Katakan yang sebenarnya, siapa Bella?"Amore menatapnya sejenak sebelum menghela napas panjang. "Bella adalah masa lalu Sylvester."Emily mengernyit. "Masa lalu?""Ya… dia adalah kekasih Sylvester dulu," ucap Amore, suaranya terdengar sedikit berat. "Namun, dia sudah tiada."Emily merasakan dadanya sedikit sesak. "Karena?"Amore menatapnya dengan raut sedih sebelum akhirnya berkata, "Bunuh diri."Emily membelalakkan mata, terkejut dengan jawaban itu. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Amore, tetapi yang membuatnya semakin terkejut
Emily menghela napas panjang sambil menyentuh pipinya yang masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Sylvester. Lelaki itu benar-benar seenaknya. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum akhirnya duduk di kursinya.Belum sempat ia menenangkan pikirannya, pintu ruangan terbuka. Leni masuk dengan ekspresi penasaran."Emily, kau kenapa?" tanya Leni sambil meletakkan tasnya di meja.Emily menggeleng. "Tidak apa-apa. Kenapa?"Leni menyipitkan mata, seakan sedang mengamati wajah Emily dengan cermat. "Wajahmu merah. Kau demam?""Ah, mungkin karena aku buru-buru naik ke sini," alasan Emily cepat-cepat.Leni mengangkat bahu. " Baiklah kalau begitu."Emily hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Perkataan Amore tadi pagi, sikap aneh Ben, dan sekarang kelakuan Sylvester yang semakin berani.Waktu berlalu, dan sebelum ia sadar, jam makan siang tiba. Em
Beberapa menit kemudian, Emily keluar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia membawa tasnya dan menatap Amore yang masih berdiri santai sambil memeriksa ponselnya."Ayo pergi," ucap Emily, berusaha mengabaikan rasa kesalnya.Amore menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau yakin tidak ingin ke dokter dulu?"Emily menegakkan bahu. "Aku tidak ada janji dengan dokter. Lagipula, aku masih baik-baik saja."Amore menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi kau tahu kan, kalau Sylvester bisa sangat keras kepala?"Emily mendesah. "Ya, aku tahu. Aku akan bicara dengannya nanti."Mereka akhirnya berjalan bersama keluar dari apartemen dan memutuskan untuk berjalan kaki ke kantor. Di tengah perjalanan, Emily memecah keheningan."Amore," panggilnya."Ya?" jawab Amore tanpa mengurangi langkahnya."Bisakah kau jujur padaku?" tanya Emily.Amore meliriknya sekilas. "Maksudmu?""Aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku ingin kau menjawab de
Emily masih diam, tidak tahu harus merespons seperti apa."Kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang Sylvester, tanyakan saja pada temanmu Amore. Aku dengar kau cukup dekat dengannya"Emily menoleh ke arah Carol, tapi perempuan itu tetap fokus menyetir."Tapi tak usah terlalu dipikirkan," tambahnya dengan nada lebih ringan. "Aku tidak mau pembicaraan ini mengganggu pekerjaanmu."Mobil melambat sebelum akhirnya berhenti di depan gedung apartemen Emily."Sepertinya kita sudah sampai. Kau tinggal di sini, kan?"Emily mengangguk cepat. "Ah, ya. Terima kasih, Bu."Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka pintu dan keluar. Langkahnya cepat menuju pintu apartemen, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Carol hanya menatap punggungnya sebentar sebelum tersenyum tipis, lalu kembali melajukan mobilnya.…"Kau sudah sampai?" suara Sylvester terdengar dari telepon begitu Emily mengangkatnya."Ya, baru saja ak
Nada suaranya terdengar seperti sindiran, namun sebelum Emily sempat merespons, ayah Sylvester menyela, "Oh iya, Carol, perkenalkan ini kekasih Sylvester."Carol melirik Emily, bibirnya membentuk senyum tipis. "Ya, Emily," ucapnya dengan nada seolah ia sudah mengetahui lebih dulu.Ayah Sylvester menatap Carol dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu namanya?"Carol terkekeh kecil. "Aku tahu, Paman. Emily bekerja di perusahaanku. Dia hanya salah satu anggota tim dan kebetulan menangani proyek di Whiteller Corp."Emily hanya tersenyum kecil, sementara Sylvester tetap diam, matanya memperhatikan ekspresi Carol dengan penuh selidik."Oh, kalau begitu, Emily, kita harus banyak berbincang lain kali," ucap sang ayah dengan ramah.Emily mengangguk sopan. "Dengan senang hati, Tuan Whiteller."Seolah ingin mengalihkan perhatian, Carol tiba-tiba berkata, "Aku punya oleh-oleh untuk kalian!"Ia mengambil beberapa kantong dari dalam tas besar
Sylvester menatapnya dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu akhirnya menjawab, "Carol adalah seseorang yang dekat dengan keluargaku sejak lama. Orang-orang mungkin berpikir kami memiliki hubungan, tapi itu tidak benar. Kami memang pernah dekat, tapi tidak seperti yang kau pikirkan."Emily menatapnya, mencoba membaca ekspresi Sylvester. "Jadi, kau tak pernah memiliki hubungan dengannya?"Sylvester diam sejenak sebelum berkata, "Hubungan kami tidak lebih dari seorang teman.""hanya teman?" tanya Emily.Sylvester menghela napas. "Carol adalah temanku semasa sekolah dulu, dan hingga saat ini itu tidak berubah."Emily terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, kau tidak menyukainya?"Sylvester menatapnya lebih lama sebelum menjawab, "Tidak seperti itu."Emily mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?"Sylvester tersenyum kecil, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Aku pikir kau sudah tahu jawabannya."