Saat ia duduk di sofa untuk menunggu, pintu apartemennya tiba-tiba terbuka. Dimas masuk dengan ekspresi kaget, diikuti Leni dan Jesselyn yang tampak penasaran.“Whoa, Emily!” seru Dimas sambil memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kau serius? Ini Emily? Kok rasanya beda banget.”Emily tersenyum canggung. “Kenapa sih? Aku cuma pakai gaun biasa.”Dimas bersiul kecil. “Biasa? Ini gaun mahal, kan? Serius, Emily, kamu kelihatan kayak mau ke pesta kerajaan.”Leni, yang berdiri dengan tangan terlipat, melirik tajam gaun Emily. “Dandananmu terlalu heboh, Emily. Apa kau mau ikut pesta kenegaraan?” katanya dengan nada yang setengah bercanda, setengah sinis.Jesselyn menambahkan sambil tersenyum miring, “Gaun itu cukup mahal, ya. Jadi… bekerja sebagai pembuat bekal makan siang Mr. Whiteller membuatmu dibayar sangat mahal, ya?”Emily tertawa kecil, berusaha mengabaikan sindiran itu. “Bukan, ini pemberian Amore,” jelasnya sambil memasang senyum.Namun, komentar itu justru memancin
Amore yang sedang memperhatikan Emily tiba-tiba berhenti tersenyum. Ia menyadari sesuatu. "Emily," ucapnya pelan, matanya mengarah ke sudut ruangan, "aku rasa ada seseorang yang….""Amore, kau ke mana saja? Ayah mencarimu dari tadi," suara berat Robert tiba-tiba terdengar, menghampiri mereka di tengah percakapan. Pria itu mengenakan setelan jas rapi dengan sikap penuh wibawa, memandang putrinya dengan sorot mata yang tegas namun penuh perhatian.Amore menoleh dengan senyum kecil di wajahnya, memperlihatkan giginya seolah mencoba mencairkan suasana. "Aku tadi di kamar, Ayah. Baru saja turun."Robert mendengus pelan sambil menggeleng. "Ya, kau dan kebiasaanmu menghindar dari acara seperti ini. Emily," ucapnya sambil menoleh ke arah Emily dengan senyum ramah, "aku pinjam temanmu ini sebentar, ya. Ada beberapa kolega yang ingin bertemu dengannya."Emily menegakkan tubuhnya sedikit, merasa sedikit gugup di bawah tatapan pria yang karismatik itu. "Tentu
Akhirnya, suasana pesta mulai berubah ketika musik klasik pelan yang mengiringi suasana dansa digantikan oleh irama musik dance yang lebih energik. Alunan ritme yang hidup memenuhi ruangan, membawa atmosfer yang lebih santai dan penuh semangat. Beberapa orang mulai bergerak ke tengah lantai dansa, melepaskan kepenatan setelah sesi-sesi percakapan bisnis yang panjang.Emily, yang masih berdiri di dekat meja makanan bersama Amore, mengangkat alisnya, tersenyum kecil. "Akhirnya, suasana berubah juga," ucapnya, meskipun pikirannya masih terusik oleh kejadian dengan Ben tadi.Amore tertawa kecil sambil menyesap minumannya. "Aku sudah menunggu momen ini. Bagaimana? Mau ke lantai dansa?"Emily memiringkan kepalanya sedikit, menatap Amore dengan ragu. "Aku? Menari? Aku rasa aku lebih baik jadi penonton saja."Amore meletakkan gelasnya di meja dan menatap Emily dengan tatapan penuh tantangan. "Ayolah, Emily. Ini hanya untuk bersenang-senang. Kau tidak perlu jadi penari profesional."Emily meng
Sementara itu, Sylvester menghilang ke arah kamarnya, lalu kembali ke dapur beberapa menit kemudian. Di tangannya, ada sebuah kaus sederhana berwarna putih yang ia ulurkan pada Emily."Ini," katanya sambil menyodorkan kaus itu. "Ganti dulu pakaianmu dengan ini. Kau pasti kesulitan bergerak kalau tetap memakai gaun itu."Emily memandangi kaus itu dengan bingung. "Tapi aku…""Kau bebas menggunakan ruangan mana saja untuk berganti pakaian," potong Sylvester lagi, seperti biasa tak ingin mendengar bantahan. "Aku juga akan ke kamar untuk berganti pakaian. Cepatlah."Emily akhirnya menerima kaus itu dengan sedikit ragu. "Baiklah," gumamnya.Saat Sylvester berjalan pergi ke arah kamarnya, Emily menghela napas panjang, lalu melihat ke sekeliling untuk mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk berganti. Ia memilih salah satu kamar mandi yang terdekat, lalu masuk ke dalam. Dengan hati-hati, ia melepaskan gaunnya dan mengenakan kaus yang diberikan Syl
"Ceritakan bagaimana kehidupanmu di Indonesia," ucap Sylvester tiba-tiba, memecah keheningan yang menyelimuti mereka."Huh?" Emily menatapnya dengan bingung, tidak menyangka pertanyaan itu muncul."Bagaimana kehidupanmu di Indonesia?" Sylvester mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih sabar, sambil menatap Emily seolah-olah ia tidak akan membiarkan pertanyaan itu berlalu tanpa jawaban.Emily menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat. "Mmm... tidak ada yang istimewa, semua biasa saja," balasnya akhirnya, bahunya sedikit terangkat.Sylvester mengerutkan alisnya. "Selain desain dan memasak, apa yang kau sukai?" tanyanya lagi, mencoba menggali lebih dalam.Emily menghela napas pendek, merasa sedikit canggung dengan tatapan yang begitu intens dari pria di depannya. "Tidak ada... hanya itu," jawabnya singkat.Sylvester mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya di kursi dengan ekspresi sedikit kesal. "Ceritakan apa
Emily tertegun. "Huh?" Wajahnya langsung memerah, dan ia menatap Sylvester dengan kaget.Tanpa menunggu jawaban, Sylvester mendekat, meraih tengkuk Emily dengan lembut, dan mencium bibirnya. Emily membeku sejenak sebelum mendorongnya dengan cepat, matanya melebar dan napasnya memburu."Kenapa kau begitu syok?" tanya Sylvester dengan nada santai, tetapi matanya masih menatap Emily. "Apa kau belum pernah berciuman sebelumnya?"Emily mengangguk pelan, wajahnya merah padam. "Jangan bilang kau juga belum pernah berkencan atau berpacaran," lanjut Sylvester, setengah bercanda."Y-yaa..." jawab Emily terbata-bata, masih memproses apa yang baru saja terjadi.Mendengar itu, Sylvester tertawa kecil, tetapi segera terdiam ketika Emily bersuara dengan nada kesal, "Dan kau mengambil first kiss-ku... Dasar laki-laki brengsek."Sylvester menatapnya sejenak, kemudian menundukkan kepala sedikit, merasa bersalah. "Maafkan aku," katanya tulus.Emily mend
"Ah, hai... ada apa, Alice?" tanya Emily, sedikit terkejut melihat wanita itu."Tak apa, aku hanya ingin melihat tempat kerjamu," balas Alice sambil melangkah masuk, matanya mengamati sekeliling ruangan."Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Emily, masih bingung dengan kehadiran Alice."Aku ikut Sylvester tadi," jawab Alice dengan santai.Emily hanya mengangguk sambil menggumamkan, "Ohh," tanpa banyak komentar."Hai, Alice. Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Dimas tiba-tiba, membuat Alice menoleh.Alice tersenyum, "Oh, hai. Tentu saja aku masih ingat.""Senang bertemu kembali," ucap Dimas sambil mengulurkan tangannya dengan senyum ramah."Senang juga bertemu denganmu," balas Alice, menyambut uluran tangan itu dengan anggukan dan senyum hangat.Alice melangkah lebih dekat, matanya terus mengamati ruangan tempat Emily bekerja. "Jadi, ini ruangan kalian? Tidak buruk. Sangat nyaman," komentarnya sambil melirik meja kerja Emily."Memang nyaman," balas Jesselyn, mencoba bersikap ramah. "K
Emily menunduk, air matanya terus mengalir. "Aku tahu aku tidak nyaman untuk kalian. Aku tahu aku bukan orang yang menyenangkan. Tapi aku... aku tidak tahu harus bagaimana."Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus air mata, tapi sia-sia. "Dan kau tahu, Len? Aku tidak pernah berharap ada lelaki yang benar-benar menyukaiku. Aku tahu aku tidak pantas. Aku tahu aku seperti ini. Aku sadar diri."Kata-kata itu membuat semua orang di ruangan terdiam. Dimas hanya bisa menatap Emily dengan ekspresi penuh simpati, sementara Jesselyn tampak menunduk, tidak berani melihat ke arah Emily.Emily mengangkat kepalanya, menatap Leni lagi. "Aku minta maaf, Len. Kalau kehadiranku membuatmu tidak nyaman, aku benar-benar minta maaf."Dengan suara yang hampir tak terdengar, Emily menambahkan, "Aku juga benci diriku sendiri... lebih dari siapa pun."Ia berbalik, berjalan menuju pintu. Langkahnya pelan, tapi penuh beban. Tangannya gemetar ketika meraih gagang pintu.
Emily pulang ke kosan dengan langkah pelan, memeluk sebuah kardus berisi barang-barang dari mejanya di kantor—sisa-sisa kecil dari hari-hari yang penuh ambisi dan rutinitas yang kini mendadak berhenti. Sesampainya di kamar, ia meletakkan kardus itu di sudut ruangan, lalu menjatuhkan dirinya ke atas kasur dengan lelah.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri dari semua emosi yang masih bergemuruh di dadanya.“Hhh… sepertinya aku harus mulai melamar kerja lagi,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri.Beberapa menit kemudian, Emily bangkit. Ia membuka laptop yang ada di meja kecil dekat jendela, lalu duduk dengan punggung melengkung malas, namun tetap memaksa dirinya untuk fokus. File CV lamanya terbuka di layar, dan ia menatapnya sejenak, terdiam.“Mungkin ini saatnya aku upgrade… tambah pengalaman, ubah desain sedikit…” ucapnya pelan sambil mulai mengetik, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa kecewa.Namun di tengah-te
Pagi menyusup pelan melalui celah tirai, membias lembut ke seluruh kamar. Hangat matahari menyentuh kulit Emily, membangunkannya secara perlahan dari tidur yang dalam. Matanya membuka perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Sylvester—masih terlelap, napasnya teratur, lengan kuatnya melingkar di pinggangnya, seperti ingin melindunginya bahkan dalam tidur.Mereka masih terbungkus selimut yang sama, tubuh mereka saling menyatu dalam kehangatan dan ketenangan. Tanpa sehelai benang pun yang memisahkan, namun Emily tak merasa malu, ia merasakan sebuah rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Ia menatap wajah Sylvester dalam diam, memperhatikan alisnya, garis rahangnya, dan cara ia tidur terlihat begitu damai. Tak lama, Sylvester mengerjapkan mata perlahan, lalu tersenyum kecil begitu menyadari Emily tengah menatapnya.“Selamat pagi …” gumamnya, suaranya serak dan dalam.“Pagi…” bisik Emily, pipinya memerah, tapi senyumnya tak bisa ditahan..“Apa kau menyesal?” tanya Sylves
Mereka melaju menyusuri jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya lampu. Tidak banyak kata yang diucapkan selama perjalanan—hanya musik lembut yang mengisi keheningan dengan hangat. Emily sesekali mencuri pandang ke arah Sylvester. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tapi Emily tahu... hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya kolonial yang telah disulap menjadi restoran mewah bernuansa hangat dan elegan. Di dalam, cahaya temaram dari lampu gantung menari lembut di langit-langit. Meja-meja kecil dihiasi lilin dan bunga segar, menciptakan suasana yang nyaris seperti mimpi. Seorang pelayan menyambut mereka dan langsung mengarahkan ke meja yang telah dipesan—satu meja di sudut balkon, menghadap ke taman kecil yang dihiasi lampu-lampu gantung seperti bintang.“Wow… Sylvester, ini cantik sekali.”Emily menatap sekeliling, lalu beralih menatap Sylvester dengan kagum yang tak disembunyikan.“Aku ingin malam ini terasa spesial,” katan
Dengan Amore yang kini tinggal bersamanya, Emily mulai merasakan perubahan suasana di kamar kecilnya yang biasanya tenang. Malam itu, setelah mereka selesai membereskan koper dan menata barang-barang Amore di sudut ruangan, mereka duduk berdampingan di atas tempat tidur yang kini terasa lebih sempit dari biasanya.“Kau tahu,” gumam Emily sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya, “aku masih belum bisa percaya kau benar-benar ada di sini.”Ia menoleh pada Amore.“Sebenarnya… tujuanmu ke Indonesia itu apa?”“Kau tidak senang aku di sini?” Amore balik bertanya, menaikkan alisnya.“Bukan begitu,” Emily cepat menanggapi, “maksudku, ini dalam rangka apa? Pekerjaan? Liburan? Atau… ada hal lain?”Amore hanya mengedikkan bahu.“Aku hanya ingin ke sini, itu saja.”Emily menghela napas, mencoba memahami.“Tapi kau datang di waktu yang kurang tepat. Ini bukan musim liburan, dan aku harus bekerja setiap hari. Kau akan sendirian, apakah itu tidak masalah?”Sambil menyentuh dagunya dengan gaya dram
Emily turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menarik tirai lebih lebar. Sinar matahari pagi menyapu masuk, menyoroti interior kayu hangat kabin itu.“Tempat ini terlalu indah untuk ditinggalkan cepat-cepat,” gumamnya, lebih pada diri sendiri.“Kalau begitu… bagaimana kalau kau terlambat masuk kerja hari ini?”Sylvester muncul di sampingnya, menggoda.Emily mengerutkan dahi, setengah geli, setengah tergoda.“ Tetap akan terlambat meskipun kita berangkat Pagi pagi buta. Kau benar-benar suka bermain dengan waktu ya.”“Hanya ingin bermain lebih lama denganmu.”Emily menatapnya, lalu menghela napas sambil tersenyum.“Kau membuatku ingin mengatakan ya.”“Maka katakan saja.”“Aku akan pikirkan,” jawab Emily, lalu mencubit pipi Sylvester sebelum berjalan ke dapur kecil.Sylvester mengikuti dari belakang sambil tertawa.“Ayo, kita buat sarapan paling enak yang pernah kita masak bersama. Dan setelah itu…”“Jangan bilang kau mau bikin rencana spontan lainnya,” potong Emily sambil menga
Kata-katanya menggantung di udara, perlahan masuk ke dalam dada Emily, seperti panas api yang meresap pelan ke kulit.Emily menunduk, memeluk lututnya sebentar.“Aku takut, Sylvester…”“Takut apa?” tanyanya lembut.“Takut jatuh terlalu dalam. Takut kecewa. Takut semua ini cuma sementara.”Sylvester diam sejenak, lalu menyentuh tangan Emily, menggenggamnya erat.“Kalau kau jatuh, aku akan jadi alas yang menampungmu. Kalau kau kecewa, aku akan jadi alasan untukmu percaya lagi. Dan kalau semua ini hanya sementara, maka biarlah aku menjadikannya kenangan yang abadi.”Emily terdiam. Matanya mulai berkaca, tapi bukan karena sedih—melainkan karena hatinya akhirnya sudah benar benar terbuka untuk sylvester.“Kau tahu, Sylvester?” ucap Emily, suaranya nyaris berbisik.“Hm?”“Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin kembali ke kota malam ini.”Sylvester menoleh cepat.“Kau serius?”Emily mengangguk pelan.“Tapi hanya malam ini. Karena besok pagi aku tetap harus kembali jadi karyawan biasa.”Sylve
Sylvester melirik sekilas ke arah Emily yang masih diam. Suasana di dalam mobil menjadi sunyi, hanya suara mesin dan desiran angin dari luar yang menemani.Setelah beberapa menit, ia memperlambat laju mobil dan menepi di rest area kecil di pinggir jalan tol. Ia mematikan mesin, lalu menoleh penuh ke arah Emily."Aku tahu aku keterlaluan," katanya pelan. "Aku hanya… aku ingin memberimu jeda dari kesibukanmu. Tapi seharusnya aku tetap menghargai keputusanmu."Emily masih menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras."Kau tahu aku sangat mencintaimu, Emily. Tapi kadang aku lupa, mencintai juga berarti mendengarkan, bukan memaksakan."Perlahan, Emily menoleh padanya, matanya kini lebih tenang."Aku tahu niatmu baik," katanya. "Tapi jangan pernah lagi membuatku merasa seolah keputusanku tidak penting, Sylvester. Aku butuh merasa dihargai juga."Sylvester mengangguk, ekspresinya tulus. "Kau benar. Maafkan aku."Suasana kembali hening sejenak."Kalau kau masih ingin kembali ke kantor, aku akan
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat makan bergaya semi-outdoor, dikelilingi tanaman hijau dan suara gemericik air dari kolam kecil di sudut halaman. Tempat itu sepi dan tenang, seakan waktu berjalan lebih lambat di sana."Wow… ini indah sekali," gumam Emily saat mereka duduk di meja dekat jendela terbuka."Kataku juga. Dan sekarang, tempat ini jadi lebih indah karena ada kamu," ucap Sylvester ringan.Emily tertawa pelan, menunduk sedikit sambil menyembunyikan rona merah di pipinya. "Kau benar-benar harus mulai menyaring kata-katamu.""Kenapa? Kalau itu membuatmu tersenyum, berarti berhasil."Mereka memesan makanan, dan saat makanan datang, mereka berbagi cerita ringan—tentang masa kecil, tentang mimpi, dan tentang hal-hal konyol yang membuat mereka tertawa.Di sela obrolan, Emily sempat menatap wajah Sylvester yang tersinari cahaya siang dari jendela. Hatinya terasa hangat.Sylvester mengulurkan garpunya ke arah piring Emily dan berkata, "Aku boleh coba sedikit?", Emily ha
Sylvester menatapnya dari samping. "Kau mengantuk?"Emily mengangguk kecil. "Sedikit. Ini hari yang panjang."Sylvester tersenyum lalu, dengan lembut, ia meraih tangan Emily dan menggenggamnya."Terima kasih sudah menghabiskan waktumu denganku hari ini," katanya pelan.Emily membuka matanya, menatap Sylvester dengan lembut. "Aku juga berterima kasih"Mereka saling tersenyum, membiarkan kehangatan kecil itu tumbuh di antara mereka, tanpa kata-kata berlebihan.Taksi terus melaju menembus jalanan kota yang mulai lengang, ditemani cahaya lampu jalan yang menari di kaca jendela. Di dalam kabin yang hening, hanya suara pelan dari radio yang mengalun sebagai latar.Emily bersandar pada jendela, matanya setengah terpejam. Kelelahan tampak di wajahnya, namun ada ketenangan yang begitu indah terpancar dari ekspresinya. Tangan mereka masih bertaut, jemarinya bersarang nyaman di genggaman Sylvester.Sesekali, Sylvester mencuri pandang ke arahnya. Tatapannya lembut, penuh kekaguman dan kasih. Ia m