Bab 1: Taruhan
Denting notifikasi pesan dari ponsel pria yang tengah fokus menatap layar laptop itu berbunyi. Yudistira Prasetya meraih benda pipih yang tergeletak di sampingnya.
Jarinya menggulir pesan masuk dari grup chat yang dibuat oleh teman-temannya. Grup beranggotakan empat orang pria itu mulai ramai.
Seperti biasa di akhir pekan teman-teman Yudis akan mengajaknya berkumpul. Namun, kali ini agak berbeda, bukan nongkrong di tempat biasa, melainkan di Cafe yang belum pernah mereka datangi.
Tepat pukul delapan malam Yudis tiba di Cafe yang di maksud teman-temannya tadi. Netranya memindai bangunan ruko yang di sulap menjadi sebuah Cafe, dengan gaya desain minimalis berwarna putih abu. Lumayan, batinnya.
Tak butuh waktu lama untuk menemukan ketiga temannya itu yang sudah lebih dulu tiba. Karena memang posisi meja yang mereka tempati tak jauh dari pintu masuk.
"Hai, Bro!” seru Rio. “Akhirnya datang juga loe, gue kira masih asyik kerja,” lanjut pria berambut cat pirang itu.
"Yudis juga manusia kali, bukan robot." Daniel menimpali, sembari menyesap rokoknya.
"Kalau dia bukan robot dan maniak kerja. Enggak mungkin diselingkuhi Mona." Tawa Rio membahana, dan saat itu juga mendapat ancaman bogem dari Yudis.
"Eh, santai Bro!” Rio mengangkat kedua telapak tangannya di depan dada, seraya meminta ampun.
"Sudah, sudah! jangan menggoda Yudis terus!" Adrian melerai, lantas memanggil pelayan wanita berkerudung pasmina hijau. "Pesan apa, Bro?" tanyanya pada Yudis yang baru datang.
Yudis pun menyebutkan salah satu menu kopi yang tertera pada kertas menu di hadapannya.
Tak lama pesanan tiba. Empat cangkir Espresso beserta kudapan yang terbuat dari roti tawar dengan isi daging dan selada itu tersedia di atas meja berbentuk kotak.
"Kenapa enggak ke tempat biasa saja!" komentar Yudis.
"Sorry, Bro, gue udah insaf," jawab Adrian.
"Insaf apa takut ama istri," timpal Daniel.
Adrian menggeleng sambil tersenyum lebar. "Alen gak suka lihat gue pulang mabuk. Yang kemarin itu terakhir."
Semenjak menikah, Adrian memang sudah banyak berubah, tak lagi bebas nongkrong di klub seperti biasa. Istrinya memberi pengaruh kuat atas dirinya.
"Dasar ISTI, loe!" ejek Yudis.
"Ikatan Suami Takut Istri!" sambar Rio dan Daniel diikuti gelak tawa keduanya. Sementara Yudis hanya menarik sebelah sudut bibirnya.
"Iya, gue emang takut. Takut kehilangan istri paket komplit, udah cakep berakhlak pula. Beruntung banget gue yang nilai agama aja gak nyampe enam, bisa dapetin istri kek Alena." Senyum Adrian terukir, wajahnya menyiratkan sebuah kebahagiaan sekaligus kebanggaan.
Mendengar penuturan Adrian mengenai sang istri, Yudis menganggap itu semua hanya omong kosong. Baginya semua wanita di dunia ini sama saja, munafik. Kecuali Mbok Darmi, pembantu yang mengurus dirinya dari kecil hingga dewasa.
Ah, ia benci jika mengingat kembali masa lalu di mana kedua perempuan yang sangat ia cintai, pergi meninggalkan dirinya hanya untuk kepentingan pribadi, tanpa melihat ada seseorang yang menderita karenanya.
"Gue enggak mengerti jalan pikiran loe, semua wanita itu sama saja. Munafik!" tandas Yudis.
"Cieee, curahan hati!" ejek Rio.
"Penilaian tergantung pengalaman.” Daniel pun ikut menimpali.
"Ah, diam Loe berdua!" sewot Yudis menanggapi kelakar kedua temannya itu.
Adrian tersenyum menggeleng. “Enggak semua wanita seperti apa yang loe pikir."
“Bulshit!” Yudis berdecih.
"Begini saja kalau Loe enggak percaya tentang ucapan gue, Loe coba deh, ajak kenalan penjaga kasir itu." Adrian menunjuk seorang gadis berseragam khas Cafe Radya lengkap dengan kerudungnya. Gadis itu terlihat tengah sibuk melayani pengunjung yang akan membayar.
Ketiganya mengikuti arah pandang Adrian.
"Gue yakin, loe pasti bakal ditolak," tebaknya percaya diri.
Adrian yakin gadis kalem berhijab itu tidak mudah didekati, seperti Alena.
Yudis memerhatikan gadis yang di maksud teman paling kalem di antara ketiganya itu. Tampilan gadis itu terlihat biasa saja, tak ada yang menarik sama sekali.
Perempuan dengan berpenampilan seperti itu, bisa di pastikan hannyalah seorang gadis miskin yang hidup seadanya. Dan ia yakin, dapat merayunya dengan mudah, secara tak ada yang bisa menolak pesona CEO Prasetya Grup.
"Bagaimana kalau kita taruhan saja!" sambar Rio.
Membuat ketiganya menoleh ke arah pria yang rambutnya di cat pirang itu.
"Kita buat taruhan, jika Yudis berhasil mengajak kenalan gadis itu, gue kasih mobil kesayangan gue buat loe." Rio meletakkan kunci mobilnya ke atas meja. Lantas diikuti oleh Adrian dan Daniel
Yudis tersenyum mengejek. Hanya itu yang berani mereka pertaruhkan. Sungguh, tidak ada apa-apanya di bandingkan taruhan yang akan ia pertaruhkan.
"Dua puluh lima persen keuntungan dari perusahaan gue," ucapnya pongah.
Tentu saja hal itu membuat ketiga temannya saling tatap dengan mulut menganga.
Di antara mereka berempat Yudis yang paling sukses sebagai pengusaha muda dengan segudang prestasi yang tak main-main.
Perusahaannya yang bergerak di bidang otomotif itu banyak mendapat penghargaan baik nasional maupun internasional.
Bukan hanya milyaran keuntungan dari perusahaan miliknya melainkan triliunan. ketiganya tak bisa membayangkan berapa banyak keuntungan dari dua puluh lima persen tersebut.
Setelah meneguk habis sisa kopinya Yudis berdiri. Merapikan setelan Jas yang melekat ditubuhnya yang sedikit kusut. Kemudian bergerak menuju target.
Yudis berdehem untuk mengalihkan tatapan perempuan di depannya itu dari mesin komputer, dan benar saja gadis itu beralih menatapnya.
"Hai, gue Yudistira." Yudis mengulurkan tangannya ke hadapan perempuan itu.
Satu detik, dua detik, tiga detik hingga sepuluh detik, tangan yang masih menggantung di udara itu tak juga disambut oleh gadis bermata indah yang menatap datar ke arahnya.
Dalam hati, Yudis mengumpat ketika telinganya menangkap suara tawa teman-temannya.
Sombong sekali perempuan ini? Batinnya.
"Jika tidak ada yang dipesan, silakan duduk kembali!" ujar perempuan itu. Suaranya terdengar lembut. Namun, tegas. Baru kali ini Yudis ditolak bahkan diusir oleh seorang wanita.
Sebelum pergi Yudis tersenyum menyeringai pada gadis yang masih menatapnya datar. Untuk pertama kalinya ia diacuhkan seorang wanita.
Biasanya Yudis yang di kejar oleh para wanita dari yang muda sampai yang tua, karena memiliki wajah yang memesona tak ayal dirinya menjadi dambaan semua kaum hawa.
"Loe kalah, bro!” Tawa Rio membahana.
Tak terima dengan ejekan temannya, sontak Yudis mencengkeram kerah kemeja pria itu.
"Berengsek!” umpat Yudis.”
“Dengar! gue belum kalah dan tidak akan pernah kalah!” Lanjutnya sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghabisi temannya itu.
Refleks Daniel dan Adrian berdiri untuk melerai, khawatir terjadi baku hantam di antara keduanya.
Beruntung Cafe ini tidak terlalu ramai jadi mereka tidak harus jadi tontonan gratis.
Yudis melepaskan cengkeraman tangannya kasar dari kerah kemeja Rio sehingga tubuh temannya itu sedikit terhuyung.
"Gue enggak takut apa pun. Dan mengenai kegagalan barusan itu baru permulaan ...." ucapnya terjeda. "Gue pertaruhkan dua puluh lima persen lagi buat kalian, tapi beri gue waktu satu bulan untuk mendapatkan perempuan itu.”
Rio dan Adrian terbelalak mendengar pernyataan Yudis barusan. Sedangkan Daniel hampir tersedak kopi yang ia minum.
Yudis kembali menatap gadis berparas cantik itu yang kini menatap ke arahnya juga. Namun, sedetik kemudian dengan cuek perempuan itu memutus tatapannya dari Yudis dan kembali fokus bekerja.
Dalam hati Yudis berdecih, gadis itu benar-benar sudah melukai egonya.
Yudis menutup pintu kamarnya kasar, hingga menimbulkan bunyi debum yang cukup keras. Ia masih sangat kesal pada Rio yang membuat taruhan dan sialnya Yudis menyetujui.Bukan itu saja, ia juga marah dengan perempuan yang bekerja di Cafe tadi. Sombong sekali, batinnya."Sialan!" umpatnya, melempar vas bunga di atas meja kamarnya ke sembarang tempat dengan dada bergemuruh penuh amarah.Tangannya bergerak meraih botol wisky, menuangkannya ke dalam gelas, lantas menenggaknya hingga tandas.Ketukan pintu terdengar dari luar, diiringi suara Mbok Darmi yang memanggil namanya."Masuk!""Tuan, maaf mengganggu, Nyonya besar sudah datang dan sekarang beliau menunggu Anda di ruang keluarga." Mbok Darmi memberitahu sembari memindai keadaan kamar majikannya itu yang kacau. Pecahan beling berserakan di lantai.“Bilang padanya saya sibuk!”"Tapi, tu_”“Keluarlah!”“Baikl
Yudis menatap datar wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Wajah yang biasa terlihat cerah itu kini tampak pucat.“Tuan muda, sudah datang?" ucap Mbok Darmi.Wanita itu baru saja keluar dari toilet. Lantas menghampiri majikannya sembari tersenyum lembut. “Tuan muda sudah makan?” tanyanya.Yudis tersenyum samar, lantas mengangguk pelan.“Syukurlah,” ucap wanita tua di depannya.Sudah menjadi kebiasaan pembantunya itu selalu mengingatkan makan dan istirahat.Hal itu terkadang membuat Yudis berpikir konyol, kenapa ia tak dilahirkan dari rahim mbok Darmi saja.“Syukurlah, kata dokter nyonya sudah baik-baik saja. Beliau hanya kurang istirahat.” Mbok Darmi memberitahu, tanpa ditanya oleh Yudis. Pembantunya itu sudah paham jika sang majikan tak akan pernah menanyakan keadaan sang . Jadi, ia berinisiatif sendiri untuk menceritakan kondisi Miranda.
Deringan ponsel di atas nakas mengusik tidur Laila. Dengan malas tangannya menyambar benda pipih itu. Di tengah malam seperti ini siapa yang menelepon, batinnya.Tanpa melihat nama si penelepon di layar yang berkedip-kedip, Laila langsung menyentuh tombol hijau dan menempelkan Handphonenya ke telinga."Ila, Om kamu, Ila!" suara isak kesedihan terdengar dari seberang sana.Refleks Laila terduduk. Matanya yang tadi masih terpejam, karena rasa kantuk yang berat, kini terbuka lebar dengan wajah bingung setelah mendengar suara si penelepon, Ismi istri dari pamannya."Tante, ada apa? apa yang terjadi dengan Om?" cecar Laila."Laila, Om kamu masuk rumah sakit!" kemudian sambungan terputus begitu saja.“Halo! Tan_”Tak pikir panjang, Laila beranjak dari tempat tidur menyambar kerudung dan sweternya yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar.Tangannya meraih kunci di atas na
Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan. Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya. "Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya. "Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya. Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi. "Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l
Keluar dari rumah sakit, Laila tak langsung ke Cafe. Untuk menghilangkan penat ia pergi ke taman yang sering gadis itu kunjungi bersama kedua orang tuannya, saat dirinya berusia lima tahun. Laila mendaratkan bokongnya di kursi taman, menatap sekitar di mana banyak pasangan yang tengah bersenda gurau bersama buah hatinya. Ada juga yang tengah joging dengan berlari kecil memutari luasnya taman. Padahal bukan hari libur, tapi taman ini tak pernah sepi. Selain pemandangannya yang indah dan asri, juga ada beberapa permainan untuk anak-anak, seperti ayunan dan perosotan yang membuat betah si kecil. Laila tersenyum kala melihat seorang anak berlari kemudian ditangkap oleh sang ayah. Melihat hal itu ia jadi teringat pada almarhum kedua orang tuannya. Rasa rindu menyeruak begitu saja dalam batinnya. Laila mengangkat kepalanya ke atas kemudian menghembuskan napas, berusaha menghalau rasa sedih, karena rindunya kepada kedua orang tuannya. Setelah
Laila terkesiap saat melihat bukti lunas pembayaran Operasi sang paman dari wanita kemarin yang bertanggung jawab di bagian administrasi.“Si-siapa yang melunasinya?” tanya Laila masih tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tangannya yang memegang amplop cokelat berisi uang itu bergetar, lantaran tak percaya ada seseorang yang sudah baik membayarkan biaya operasi yang sangat besar itu.Kemudian wanita paru baya itu menjelaskan tentang seseorang yang telah melunasi semua biaya operasi sekaligus perawatan sang paman sampai sembuh.“Kenapa Anda tidak menanyakan hal ini kepada saya lebih dulu.” Laila masih tak mengerti.“Tapi orang ini bilang dia teman Anda, dan dia mengenal Anda,” jelas sang wanita dengan name tag Winda.“Teman?” gumam Laila bingung. Teman yang mana yang dimaksud wanita di depannya itu. Seingatnya tidak ada teman atau kerabat lainnya yang diberitahu perihal keadaan sang paman.Laila tipe orang yang tak ingin di kasihi.
Yudis tersenyum. “Saya hanya ingin membantu Anda Nona?”“Tapi saya tidak perlu bantuan Anda, saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri. Lagi pula apa urusan Anda?” Laila mulai tersulut emosi. Ia menduga jika Yudis melakukan semua ini karena menginginkan sesuatu darinya.“Maaf, jika saya sudah lancang. Tadi pagi saya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Anda dengan pihak rumah sakit mengenai biaya operasi. Dan saat itu juga saya ingin membantu Anda,” jelas Yudis panjang lebar.Ia berharap Laila dapat menerima alasannya.“Kenapa tidak bertanya pada saya lebih dulu?”“Jika saya bertanya pada Anda, sudah pasti Anda akan menolak, jadi saya putuskan untuk melunasinya tanpa sepengetahuan Anda.”Laila menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya. “Baiklah Tuan, karena semua sudah terlanjur, jadi saya akan mengembalikan uang itu secepatnya.”“Tidak perlu, Anda tidak perlu melunasinya, saya ikhlas,” cegah Yudis.“Tidak Tuan, s
“Kenapa baru pulang?” tanya Yudis tiba-tiba.Laila terlonjak kaget mendengar suara berat Yudis. Hampir saja gody bag berisi baju kotor miliknya terlepas dari genggamannya. Suasana kamar yang temaran, membuat Laila tak bisa melihat pria itu yang ternyata tengah duduk di sofa santai miliknya. Laila menyalakan lampu utama agar bisa lebih leluasa menatap Yudis. Mulai hari ini Café-nya tutup di jam sepuluh malam, dan itu sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Laila dan dua rekannya. Café Radya memang di siang hari akan sepi pengunjung. Namun, di malam hari begitu ramai. Jadi, Laila memutuskan untuk buka dari pukul sepuluh pagi dan tutup pukul sepuluh malam, kembali pada rute seperti dulu.“Mas Yudis sudah pulang?” tanya Laila, sembari meletakkan gody bag ke atas nakas dengan perasaan setenang mungkin.Laila sudah dapat menebak jika suaminya itu pasti akan marah, karena tak menghubungi Yudis lebih dulu kalau ia akan pulang malam.Laila juga tidak ingat untuk memberitahu Yudis. Sejak tadi
Laila terperangah saat memindai penampilan wanita yang selalu terlihat cantik dan wangi di depannya. Wajah yang selalu terpoles make up mahal itu terlihat pucat. Matanya sembab seperti habis menangis berhari-hari.“Bu, apa ka_” Suara Laila tercekat saat wanita yang berpenampilan menyedihkan itu memeluknya dan terisak.Laila terdiam, membiarkan Belinda menangis dalam pelukannya. Perlahan tangannya terangkat dan mengelus punggung wanita tua itu.Setelah terlihat tenang, Laila membawa Belinda ke lantai dua. Tempat yang ia dan kedua rekannya gunakan sebagai tempat istirahat dan ibadah. Laila mempersilakan sahabat mertuanya itu untuk duduk di atas permadani yang sering digunakan untuk rebahan.Laila mengangsurkan tisu wajah ke hadapan Belinda guna mengelap air matanya yang tak kunjung surut. Entah apa yang terjadi dengan wanita di depannya itu.“Maaf,” lirih Belinda, “maaf sudah mengganggu waktumu.”Laila menggeleng, lantas tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, kebetulan hari ini Cafe tak ter
Bab 49Sepekan setelah kejadian sepulang dari rumah sakit tempo lalu, Laila terus berusaha menghindari Yudis. Ia merasa malu jika harus berpapasan dengan suaminya itu. Hingga pada suatu malam, saat Laila terbangun dari tidurnya karena merasa haus, ia pun turun ke dapur untuk mengambil air dan membasahi tenggorokannya yang kering.Di dapur saat tengah menikmati air putih yang Laila ambil dari dalam lemari es. Suara deheman Yudis hampir membuatnya tersedak. Seketika Laila menoleh ke arah di mana Yudis kini berdiri, masih dengan setelan kerjanya. Rambutnya yang biasa rapi itu kini terlihat berantakan dan wajah tampannya nampak terlihat begitu lelah.Yudis berjalan melangkah mendekat pada Laila yang terlihat mulai gugup menahan debaran jatungnya yang berpacu tidak seperti biasanya.Yudis menarik kursi di samping Laila. “Aku lapar, bisakah kau buatkan makanan.”Laila tak menjawab, ia hanya mengangguk, lantas berdiri dan bergerak menuju lemari Es. Di sana Laila mencari bahan yang sekiranya
Mobil yang membawa Yudis dan Laila berhenti di depan pekarangan rumah. Tak menunggu lama, Laila cepat keluar dari kendaraan beroda empat itu dan masuk kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Sementara Yudis kembali ke kantor untuk bekerja.Saat sudah berada di dalam kamar, Laila sulit terlelap padahal matanya sudah mengantuk dan mulutnya tak berhenti menguap. Perlakuan Yudis tadi di mobil membuatnya hampir melayang.Laila pikir suaminya itu akan melakukan hal yang sama seperti malam kemarin kepadanya. Nyatanya pria itu hanya menyentuh pipi Laila lembut dan hal itu mampu membuat sekujur tubuhnya merinding serta jantungnya berdetak lebih cepat.Beruntung Handphone milik Yudis berbunyi dan pria itu melepaskan tangannya dari wajah Laila untuk menerima panggilan yang terlihat begitu penting. Saat itu juga Laila mulai bisa bernapas lega setelah beberapa menit menahan napas, karena perlakuan Yudis yang tak terduga.Karena belum bisa memejamkan mata, Laila pun beranjak dari te
Pukul sembilan pagi usai melaksanakan salat duha, Laila bersiap mengemasi barangnya yang tak seberapa. Kemarin sore Mbok Darmi datang menjenguk dan membawakan beberapa keperluan untuknya, seperti baju dan yang lainnya. Pelayan suaminya itu juga membawakan makanan kesukaannya. Tentu saja Laila sangat senang, karena makanan dari rumah sakit cukup membosankan.Mbok Darmi menemaninya di rumah sakit setelah Chef Mia pulang, karena sudah sore dan rekannya itu harus menjemput anaknya dari rumah penitipan, dan besok pagi harus buka Café.Tepat pukul sembilan malam, Yudis tiba di rumah sakit dengan wajah lelah. Pria itu kemudian meminta mbok Darmi untuk pulang, karena dirinya sudah datang dan akan menginap di rumah sakit menemani sang istri. Pembantunya itu sempat menolak, karena tak tega melihat sang majikan yang terlihat lelah dan butuh istirahat. Namun, keputusan Yudis tak bisa diganggu gugat. Pada akhirnya mbok Darmi pun menyerah, lantas pulang bersama sopir pribadi majikannya itu.“Apa su
Di kantor Yudis benar-benar kaget saat mendapati kabar dari Jimmy tentang istrinya yang masuk rumah sakit. Sekretarisnya itu mendapat laporan langsung dari suruhannya yang memang ditugaskan untuk mengawasi Laila selama di luar rumah.Tak menunggu lama pria dengan setelan kerja warna hitam itu berdiri dari duduknya. Meninggalkan para klien di ruang meeting. Yudis meminta Jimmy untuk menggantikannya memimpin rapat siang hari ini.Wajah Yudis terlihat begitu tegang, ada raut kekhawatiran di paras tampannya yang selalu terlihat tegas dan berwibawa itu. Diam-diam ia menyesali perbuatannya semalam. Sangat mungkin Laila masuk rumah sakit karena ulahnya.Tadi pagi Yudis terbangun sudah tidak mendapati Laila di sampignya. Bahkan istrinya itu tidak menyiapkan sarapan pagi seperti biasanya. Yudis menanyakan kepada para pembantunya juga tak ada yang tahu. Bahkan Mbok Darmi pun tak mengetahuinya. Biasanya setelah subuh perempuan tua itu akan mendapati sang istri majikannya itu tengah berkutat di d
“Untunglah sakitmu tidak parah, asam lambungmu naik dan kau juga terkena dehidrasi. Katakan, apa yang membuat seorang Laila yang sangat anti meninggalkan sarapan di pagi hari kecuali puasa tiba-tiba jatuh pingsan, karena tak sarapan sehingga asam lambungmu naik?” todong Chef Mia, sembari mengaduk bubur untuk menyuapi Laila.“Tidak apa-apa, aku hanya lupa saja, wajarkan aku manusia biasa jika sesekali lupa.” Laila membuka mulutnya saat sesendok bubur di sodorkan ke depan mulutnya.“Bohong, itu sama sekali bukan dirimu, Laila.” Chef Mia mendengus kasar. Sembari tangannya kembali menyendok bubur di dalam mangkuk. Lantas menyuapi Laila kembali. “Dokter tadi mengatakan sesuatu padaku. Kau tahu Dokter berkata apa?”Laila menggeleng tidak tahu sembari mengunyah pelan bubur yang kembali masuk ke dalam mulutnya.“Dokter mengatakan, kau itu seperti korban pemerkosaan,” jelas Chef Mia.Mendengar penjelasan dari rekannya itu, seketika Laila tersedak bubur. Chef Mia langsung menyambar air di atas
Setelah selesai urusannya dengan Rio, kini Yudis masuk ke dalam rumah. Langkanya begitu cepat dan lebar, sembari matanya menatap ke lantai dua di mana kamarnya berada. Kedua tangannya mengepal, rahangnya mengetat saat kembali membayangkan bagaimana Laila dengan senang hati dalam satu mobil bersama Rio bahkan masuk ke dalam rumah temanya itu.Dulu, sebelum menikah Laila tidak pernah mau satu mobil bersama dirinya dengan alasan bukan mahram. Tapi, lihat apa yang istrinya itu lakukan bersama Rio bukan hanya satu mobil, keduanya bahkan masuk ke dalam rumah hanya berdua. Entah apa saja yang sudah lakukan di dalam sana.Membayangkan Laila disentuh oleh Rio membuat Yudis semakin emosi, ia akan memberi pelajaran pada Laila. Perempuan itu sudah berani mengabaikan peringatannya.Brak!Yudis mendorong pintu kamar yang tak di kunci begitu kasar, sehingga membuat Laila yang baru saja keluar dari kamar mandi berjingkat kaget. Jantungnya berdetak kencang saat Yudis menghampiri dirinya yang masih ber
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Belinda, Laila lantas berpamitan. Karena hari sudah mulai sore dan sebentar lagi memasuki waktu magrib. Ia juga tak ingin terlambat pulang sampai rumah.“Aku antar?” cegah Rio. Saat keduanya sudah berada di teras rumah Belinda. Ternyata pria itu mengekor di belakang, tanpa sepengetahuan Laila.“Tidak usah aku bisa naik taksi Online,” tolak Laila, berbohong padahal ia sendiri pun bingung bagaimana memesan taksi Online, sementara ponselnya mati habis baterai. Biarlah, setelah sampai di gerbang kompleks nanti Laila akan mencari ojek saja, barang kali ada tukang ojek yang mangkal di sana.“Langit terlihat mendung dan sepertinya akan turun hujan. Akan lebih baik dan lebih aman kau kuantar.” Rio bergerak menghalangi Laila yang hendak kembali melanjutkan langkahnya dengan gerakan tiba-tiba.Laila cukup kaget dengan apa yang dilakukan oleh pria yang kini berdiri di depannya itu. Beruntung kakinya dapat mengerem dengan cepat, kalau tidak tubuhnya bisa men