Yudis menutup pintu kamarnya kasar, hingga menimbulkan bunyi debum yang cukup keras. Ia masih sangat kesal pada Rio yang membuat taruhan dan sialnya Yudis menyetujui.
Bukan itu saja, ia juga marah dengan perempuan yang bekerja di Cafe tadi. Sombong sekali, batinnya.
"Sialan!" umpatnya, melempar vas bunga di atas meja kamarnya ke sembarang tempat dengan dada bergemuruh penuh amarah.
Tangannya bergerak meraih botol wisky, menuangkannya ke dalam gelas, lantas menenggaknya hingga tandas.
Ketukan pintu terdengar dari luar, diiringi suara Mbok Darmi yang memanggil namanya.
"Masuk!"
"Tuan, maaf mengganggu, Nyonya besar sudah datang dan sekarang beliau menunggu Anda di ruang keluarga." Mbok Darmi memberitahu sembari memindai keadaan kamar majikannya itu yang kacau. Pecahan beling berserakan di lantai.
“Bilang padanya saya sibuk!”
"Tapi, tu_”
“Keluarlah!”
“Baiklah, saya permisi."
Yudis mendesah kasar. Tadi siang mamanya sudah memberitahu lewat pesan, jika wanita berusia lebih dari setengah abad itu sudah sampai bandara dan akan pulang ke rumah, setelah setahun lamanya menetap di pelosok daerah antah berantah sebagai relawan untuk membantu para korban virus.
Kedua orang tua Yudis bercerai sejak usianya menginjak sepuluh tahun. Di mana saat itu dirinya masih membutuhkan figur kedua orang tua. Namun, keegoisan Miranda dan Agung Prasetya membuat pria dominan itu menjadi korban broken home.
Hari-hari Yudis hanya ditemani para pembantu. Pria itu seolah tak memiliki kehidupan normal seperti anak-anak lainnya yang mendapat perhatian dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuannya.
"Tuan muda, masuk, yuk?” ajak Mbok Darmi kala itu.
Bocah kecil yang sedari tadi menatap gerbang besar di depannya tak menggubris ajakan sang pengasuh yang setia menemaninya.
“Ayo, kita masuk?” Lagi wanita bernama lengkap Darmiyati itu kembali membujuknya. Sejatinya ia khawatir dengan sang majikan, jika di luar terus nanti masuk angin.
Kali ini Yudis kecil menggeleng, seraya menolak ajakan mbok Darmi. Kedua lengan kecilnya terus memeluk piala juara satu putra lomba Lari yang di adakan sekolahnya.
Yudis masih ingat perkataan gurunya, jika menang kedua orang tuanya pasti akan pulang dan bangga pada dirinya.
Mendengar perkataan sang guru saat memotivasi anak didiknya, Yudis pun bertekad untuk mendapatkan juara. Dan akhirnya terbukti ia menjadi juara. Namun, sampai saat ini kedua orang tuannya belum juga datang.
Hingga menjelang malam, kedua orang tuanya tak juga pulang. Yudis pun beranjak dari teras masuk ke dalam rumah dengan wajah sendu.
Semua pelayan di rumah itu tak tega menyaksikan kesedihan di wajahnya. Mbok Darmi yang memang sudah menganggap Yudis seperti anaknya sendiri selalu jadi orang pertama yang akan memeluk dan menghibur dirinya.
***
"Pagi sayang!" sapa Miranda saat sampai di ruang makan.
Tubuh ramping itu lantas mendekat pada sang anak dan hendak mendaratkan kecupan. Namun, saat itu juga Yudis bergerak mengambil telur dadar yang cukup jauh dari jangkauannya.
Miranda mendesah pasrah. Ia tahu Yudis sengaja menghindar.
Miranda sudah terbiasa dengan sikap Yudis yang acuh terhadapnya dan menganggap wanita berkulit putih itu seperti makhluk tak kasat mata.
Miranda sadar, bahwa ini semua adalah hukuman dari kesalahannya terdahulu. Di mana dirinya sudah menelantarkan sang anak demi egonya.
Dua puluh tahun lalu, ketika Miranda mendapati sang suami berselingkuh dengan seorang wanita. Ia begitu hancur dan frustrasi. Hingga akhirnya memutuskan untuk berkeliling dunia, melanjutkan kariernya yang sempat terhenti, karena sang suami yang tak mengizinkan.
Selain demi karier, Miranda pun ingin mengubur rasa sakit hatinya, karena telah dikhianati. Namun, keputusannya itu ia juga harus membayar mahal dengan mengorbankan putra semata wayangnya.
"Sayang, hari ini Mama mau masak makanan kesukaan kamu, makan siang nanti pulang, ya?” pinta Miranda.
"Aku sibuk, banyak yang dikerjakan di kantor!” jawab Yudis ketus.
Miranda berusaha untuk tidak sakit hati mendengar jawaban putranya itu yang masih fokus menghabiskan sarapan.
"Kalau begitu, nanti Mama antarkan ke kantor saat jam makan siang." Miranda tak kehabisan ide untuk bisa meluluhkan hati anaknya.
"Tidak perlu!" tolak Yudis.
Kemudian ia memanggil mbok Darmi untuk berpamitan berangkat kerja.
"I-iya, Tuan, hati-hati!” seru mbok Darmi.
Kemudian ia menatap tak enak pada Miranda saat mendapati wajah majikannya itu berubah sendu. Di mana Yudis hanya berpamitan pada dirinya, sedangkan pada Miranda tidak.
Hati Miranda merasa tercubit melihat Yudis lebih memilih berpamitan pada pembantunya ketimbang pada dirinya. Ternyata seperti ini rasanya diabaikan oleh anak. Lebih sakit saat di khianati oleh mantan suami.
***
Sudah hampir tengah malam, tapi Yudis masih berkutat dengan tumpukan dokumen di depannya. Padahal kantor sudah sepi. Para karyawan sudah lebih dulu pulang sejak pukul lima sore tadi.
Sang asisten sudah berulang kali mengingatkan dirinya agar tidak memforsir pekerjaan hingga larut.
Namun, tak digubris. Yudistira Prasetya memang seorang workholic. Terbukti dari perusahaan yang dipimpin olehnya sekarang berkembang pesat, padahal dulu hampir bangkrut ketika masih di pegang oleh mendiang ayahnya, Agung Prasetya yang mati dibunuh oleh istri keduanya, karena ketahuan menjalin hubungan dengan wanita muda yang tak lain adalah kekasih putranya sendiri.
Hal itu juga menjadi pemicu rusaknya hubungan Yudis dengan sang kekasih yang nyaris ia nikahi.
Semenjak kejadian itu dirinya menutup hati untuk tidak jatuh cinta lagi. Sekali pun ada wanita yang ingin ia miliki, maka perempuan itulah, yang harus bertekuk lutut di hadapannya. Bukan dirinya.
Yudis sangat menyayangkan hal itu. Di mana seharusnya seorang ayah menjadi panutan untuk anak-anaknya, justru pria itu menjadi sosok yang paling menjijikkan baginya.
Jari-jarinya terhenti di atas keyboard saat mendengar notifikasi pesan dari pembantunya.
Mbok Darmi memberitahu jika Miranda pingsan dan sekarang telah dibawa di rumah sakit.
Yudis mendesah kasar, meletakkan kaca mata kerjanya di atas meja. Menyugar rambut hitamnya frustrasi. Sekuat apa pun Yudis menyangkal perasaannya untuk tidak peduli pada Miranda, tetap saja pria dengan jabang halus di dagunya itu merasa khawatir saat terjadi sesuatu pada sang Mama.
Yudis menyambar kunci mobil dan keluar gedung dengan perasaan campur aduk.
Di jalan Yudis mengendarai kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Beruntunglah jalanan tidak macet, mungkin karena sudah malam. Berbeda saat pagi dan siang hari, kemacetan seolah menjadi hal yang biasa di ibu kota.
Jarak kantor dan rumah sakit tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai ke sana.
Saat akan memasuki lobi, di pintu masuk Yudis melihat dua orang perawat pria dan security, serta seorang wanita paru baya yang tengah terisak. Ketiganya terlihat kesulitan memindahkan pasien dari dalam mobil ke brankar.
Melihat hal itu Yudis segera menghampirinya dan membantu memindahkan pasien pria bertubuh gempal yang terbaring dengan alat pernapasan yang menempel di mulutnya.
Setelah berhasil memindahkannya. Pasien itu kemudian segera di bawa ke IGD.
Saat hendak melangkah seseorang menarik lengan Yudis. Ia pun tersentak kaget dan menoleh.
Matanya beradu dengan tatapan sendu wanita berhijab di depannya. Selintas ia teringat dengan gadis penjaga cafe itu.
“Terima kasih,” ucap wanita itu tersenyum.
“Siapa pun yang menjadi orang tuamu pasti sangat bangga memiliki putra seperti dirimu.”
Yudis tersenyum mengangguk, lantas berpamitan untuk melanjutkan langkahnya mencari ruangan di mana ibunya di rawat.
Ucapan wanita tadi terus berputar di kepalanya, benarkah orang tuannya bangga dengan dirinya?
Yudis berdecih, menertawai dirinya sendiri. Memiliki orang tua, tapi seperti anak sebatang kara. Tak pernah ada pujian, sanjungan atau apa pun itu, yang ia dapatkan dari kedua orang tuannya.
Yudis menatap datar wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Wajah yang biasa terlihat cerah itu kini tampak pucat.“Tuan muda, sudah datang?" ucap Mbok Darmi.Wanita itu baru saja keluar dari toilet. Lantas menghampiri majikannya sembari tersenyum lembut. “Tuan muda sudah makan?” tanyanya.Yudis tersenyum samar, lantas mengangguk pelan.“Syukurlah,” ucap wanita tua di depannya.Sudah menjadi kebiasaan pembantunya itu selalu mengingatkan makan dan istirahat.Hal itu terkadang membuat Yudis berpikir konyol, kenapa ia tak dilahirkan dari rahim mbok Darmi saja.“Syukurlah, kata dokter nyonya sudah baik-baik saja. Beliau hanya kurang istirahat.” Mbok Darmi memberitahu, tanpa ditanya oleh Yudis. Pembantunya itu sudah paham jika sang majikan tak akan pernah menanyakan keadaan sang . Jadi, ia berinisiatif sendiri untuk menceritakan kondisi Miranda.
Deringan ponsel di atas nakas mengusik tidur Laila. Dengan malas tangannya menyambar benda pipih itu. Di tengah malam seperti ini siapa yang menelepon, batinnya.Tanpa melihat nama si penelepon di layar yang berkedip-kedip, Laila langsung menyentuh tombol hijau dan menempelkan Handphonenya ke telinga."Ila, Om kamu, Ila!" suara isak kesedihan terdengar dari seberang sana.Refleks Laila terduduk. Matanya yang tadi masih terpejam, karena rasa kantuk yang berat, kini terbuka lebar dengan wajah bingung setelah mendengar suara si penelepon, Ismi istri dari pamannya."Tante, ada apa? apa yang terjadi dengan Om?" cecar Laila."Laila, Om kamu masuk rumah sakit!" kemudian sambungan terputus begitu saja.“Halo! Tan_”Tak pikir panjang, Laila beranjak dari tempat tidur menyambar kerudung dan sweternya yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar.Tangannya meraih kunci di atas na
Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan. Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya. "Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya. "Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya. Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi. "Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l
Keluar dari rumah sakit, Laila tak langsung ke Cafe. Untuk menghilangkan penat ia pergi ke taman yang sering gadis itu kunjungi bersama kedua orang tuannya, saat dirinya berusia lima tahun. Laila mendaratkan bokongnya di kursi taman, menatap sekitar di mana banyak pasangan yang tengah bersenda gurau bersama buah hatinya. Ada juga yang tengah joging dengan berlari kecil memutari luasnya taman. Padahal bukan hari libur, tapi taman ini tak pernah sepi. Selain pemandangannya yang indah dan asri, juga ada beberapa permainan untuk anak-anak, seperti ayunan dan perosotan yang membuat betah si kecil. Laila tersenyum kala melihat seorang anak berlari kemudian ditangkap oleh sang ayah. Melihat hal itu ia jadi teringat pada almarhum kedua orang tuannya. Rasa rindu menyeruak begitu saja dalam batinnya. Laila mengangkat kepalanya ke atas kemudian menghembuskan napas, berusaha menghalau rasa sedih, karena rindunya kepada kedua orang tuannya. Setelah
Laila terkesiap saat melihat bukti lunas pembayaran Operasi sang paman dari wanita kemarin yang bertanggung jawab di bagian administrasi.“Si-siapa yang melunasinya?” tanya Laila masih tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tangannya yang memegang amplop cokelat berisi uang itu bergetar, lantaran tak percaya ada seseorang yang sudah baik membayarkan biaya operasi yang sangat besar itu.Kemudian wanita paru baya itu menjelaskan tentang seseorang yang telah melunasi semua biaya operasi sekaligus perawatan sang paman sampai sembuh.“Kenapa Anda tidak menanyakan hal ini kepada saya lebih dulu.” Laila masih tak mengerti.“Tapi orang ini bilang dia teman Anda, dan dia mengenal Anda,” jelas sang wanita dengan name tag Winda.“Teman?” gumam Laila bingung. Teman yang mana yang dimaksud wanita di depannya itu. Seingatnya tidak ada teman atau kerabat lainnya yang diberitahu perihal keadaan sang paman.Laila tipe orang yang tak ingin di kasihi.
Yudis tersenyum. “Saya hanya ingin membantu Anda Nona?”“Tapi saya tidak perlu bantuan Anda, saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri. Lagi pula apa urusan Anda?” Laila mulai tersulut emosi. Ia menduga jika Yudis melakukan semua ini karena menginginkan sesuatu darinya.“Maaf, jika saya sudah lancang. Tadi pagi saya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Anda dengan pihak rumah sakit mengenai biaya operasi. Dan saat itu juga saya ingin membantu Anda,” jelas Yudis panjang lebar.Ia berharap Laila dapat menerima alasannya.“Kenapa tidak bertanya pada saya lebih dulu?”“Jika saya bertanya pada Anda, sudah pasti Anda akan menolak, jadi saya putuskan untuk melunasinya tanpa sepengetahuan Anda.”Laila menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya. “Baiklah Tuan, karena semua sudah terlanjur, jadi saya akan mengembalikan uang itu secepatnya.”“Tidak perlu, Anda tidak perlu melunasinya, saya ikhlas,” cegah Yudis.“Tidak Tuan, s
Pukul empat sore Yudis menyudahi pekerjaannya. Jimmy memberitahukan jika sore ini tak ada jadwal meeting dengan para investor.Karena tak ada lagi yang mesti di kerjakan Yudis pun berniat mengunjungi Cafe Radya, sekalian mau mengembalikan bolpoin milik Laila yang ia temukan lima hari lalu.Sesampainya di depan Cafe usai menepikan mobil, Yudis mengamati dari luar, sepertinya Cafe sedang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sudah pasti banyak orang yang mengunjungi Cafe untuk sekedar melepas penat usai bekerja dengan secangkir kopi Yudis membuka pintu lantas berpapasan dengan seorang pelayan Cafe yang belum ia ketahui namanya.“Tuan tampan!” seru gadis itu, terlihat begitu antusias. Bola matanya membulat seolah hendak melompat dari tempatnya. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat bungkusan plastik hitam besar yang dapat Yudis tebak itu adalah sampah.Yudis tak merespons, ia justru menunjukkan muka datar. Lalu de
“Kenapa baru pulang?” tanya Yudis tiba-tiba.Laila terlonjak kaget mendengar suara berat Yudis. Hampir saja gody bag berisi baju kotor miliknya terlepas dari genggamannya. Suasana kamar yang temaran, membuat Laila tak bisa melihat pria itu yang ternyata tengah duduk di sofa santai miliknya. Laila menyalakan lampu utama agar bisa lebih leluasa menatap Yudis. Mulai hari ini Café-nya tutup di jam sepuluh malam, dan itu sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Laila dan dua rekannya. Café Radya memang di siang hari akan sepi pengunjung. Namun, di malam hari begitu ramai. Jadi, Laila memutuskan untuk buka dari pukul sepuluh pagi dan tutup pukul sepuluh malam, kembali pada rute seperti dulu.“Mas Yudis sudah pulang?” tanya Laila, sembari meletakkan gody bag ke atas nakas dengan perasaan setenang mungkin.Laila sudah dapat menebak jika suaminya itu pasti akan marah, karena tak menghubungi Yudis lebih dulu kalau ia akan pulang malam.Laila juga tidak ingat untuk memberitahu Yudis. Sejak tadi
Laila terperangah saat memindai penampilan wanita yang selalu terlihat cantik dan wangi di depannya. Wajah yang selalu terpoles make up mahal itu terlihat pucat. Matanya sembab seperti habis menangis berhari-hari.“Bu, apa ka_” Suara Laila tercekat saat wanita yang berpenampilan menyedihkan itu memeluknya dan terisak.Laila terdiam, membiarkan Belinda menangis dalam pelukannya. Perlahan tangannya terangkat dan mengelus punggung wanita tua itu.Setelah terlihat tenang, Laila membawa Belinda ke lantai dua. Tempat yang ia dan kedua rekannya gunakan sebagai tempat istirahat dan ibadah. Laila mempersilakan sahabat mertuanya itu untuk duduk di atas permadani yang sering digunakan untuk rebahan.Laila mengangsurkan tisu wajah ke hadapan Belinda guna mengelap air matanya yang tak kunjung surut. Entah apa yang terjadi dengan wanita di depannya itu.“Maaf,” lirih Belinda, “maaf sudah mengganggu waktumu.”Laila menggeleng, lantas tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, kebetulan hari ini Cafe tak ter
Bab 49Sepekan setelah kejadian sepulang dari rumah sakit tempo lalu, Laila terus berusaha menghindari Yudis. Ia merasa malu jika harus berpapasan dengan suaminya itu. Hingga pada suatu malam, saat Laila terbangun dari tidurnya karena merasa haus, ia pun turun ke dapur untuk mengambil air dan membasahi tenggorokannya yang kering.Di dapur saat tengah menikmati air putih yang Laila ambil dari dalam lemari es. Suara deheman Yudis hampir membuatnya tersedak. Seketika Laila menoleh ke arah di mana Yudis kini berdiri, masih dengan setelan kerjanya. Rambutnya yang biasa rapi itu kini terlihat berantakan dan wajah tampannya nampak terlihat begitu lelah.Yudis berjalan melangkah mendekat pada Laila yang terlihat mulai gugup menahan debaran jatungnya yang berpacu tidak seperti biasanya.Yudis menarik kursi di samping Laila. “Aku lapar, bisakah kau buatkan makanan.”Laila tak menjawab, ia hanya mengangguk, lantas berdiri dan bergerak menuju lemari Es. Di sana Laila mencari bahan yang sekiranya
Mobil yang membawa Yudis dan Laila berhenti di depan pekarangan rumah. Tak menunggu lama, Laila cepat keluar dari kendaraan beroda empat itu dan masuk kamar untuk melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Sementara Yudis kembali ke kantor untuk bekerja.Saat sudah berada di dalam kamar, Laila sulit terlelap padahal matanya sudah mengantuk dan mulutnya tak berhenti menguap. Perlakuan Yudis tadi di mobil membuatnya hampir melayang.Laila pikir suaminya itu akan melakukan hal yang sama seperti malam kemarin kepadanya. Nyatanya pria itu hanya menyentuh pipi Laila lembut dan hal itu mampu membuat sekujur tubuhnya merinding serta jantungnya berdetak lebih cepat.Beruntung Handphone milik Yudis berbunyi dan pria itu melepaskan tangannya dari wajah Laila untuk menerima panggilan yang terlihat begitu penting. Saat itu juga Laila mulai bisa bernapas lega setelah beberapa menit menahan napas, karena perlakuan Yudis yang tak terduga.Karena belum bisa memejamkan mata, Laila pun beranjak dari te
Pukul sembilan pagi usai melaksanakan salat duha, Laila bersiap mengemasi barangnya yang tak seberapa. Kemarin sore Mbok Darmi datang menjenguk dan membawakan beberapa keperluan untuknya, seperti baju dan yang lainnya. Pelayan suaminya itu juga membawakan makanan kesukaannya. Tentu saja Laila sangat senang, karena makanan dari rumah sakit cukup membosankan.Mbok Darmi menemaninya di rumah sakit setelah Chef Mia pulang, karena sudah sore dan rekannya itu harus menjemput anaknya dari rumah penitipan, dan besok pagi harus buka Café.Tepat pukul sembilan malam, Yudis tiba di rumah sakit dengan wajah lelah. Pria itu kemudian meminta mbok Darmi untuk pulang, karena dirinya sudah datang dan akan menginap di rumah sakit menemani sang istri. Pembantunya itu sempat menolak, karena tak tega melihat sang majikan yang terlihat lelah dan butuh istirahat. Namun, keputusan Yudis tak bisa diganggu gugat. Pada akhirnya mbok Darmi pun menyerah, lantas pulang bersama sopir pribadi majikannya itu.“Apa su
Di kantor Yudis benar-benar kaget saat mendapati kabar dari Jimmy tentang istrinya yang masuk rumah sakit. Sekretarisnya itu mendapat laporan langsung dari suruhannya yang memang ditugaskan untuk mengawasi Laila selama di luar rumah.Tak menunggu lama pria dengan setelan kerja warna hitam itu berdiri dari duduknya. Meninggalkan para klien di ruang meeting. Yudis meminta Jimmy untuk menggantikannya memimpin rapat siang hari ini.Wajah Yudis terlihat begitu tegang, ada raut kekhawatiran di paras tampannya yang selalu terlihat tegas dan berwibawa itu. Diam-diam ia menyesali perbuatannya semalam. Sangat mungkin Laila masuk rumah sakit karena ulahnya.Tadi pagi Yudis terbangun sudah tidak mendapati Laila di sampignya. Bahkan istrinya itu tidak menyiapkan sarapan pagi seperti biasanya. Yudis menanyakan kepada para pembantunya juga tak ada yang tahu. Bahkan Mbok Darmi pun tak mengetahuinya. Biasanya setelah subuh perempuan tua itu akan mendapati sang istri majikannya itu tengah berkutat di d
“Untunglah sakitmu tidak parah, asam lambungmu naik dan kau juga terkena dehidrasi. Katakan, apa yang membuat seorang Laila yang sangat anti meninggalkan sarapan di pagi hari kecuali puasa tiba-tiba jatuh pingsan, karena tak sarapan sehingga asam lambungmu naik?” todong Chef Mia, sembari mengaduk bubur untuk menyuapi Laila.“Tidak apa-apa, aku hanya lupa saja, wajarkan aku manusia biasa jika sesekali lupa.” Laila membuka mulutnya saat sesendok bubur di sodorkan ke depan mulutnya.“Bohong, itu sama sekali bukan dirimu, Laila.” Chef Mia mendengus kasar. Sembari tangannya kembali menyendok bubur di dalam mangkuk. Lantas menyuapi Laila kembali. “Dokter tadi mengatakan sesuatu padaku. Kau tahu Dokter berkata apa?”Laila menggeleng tidak tahu sembari mengunyah pelan bubur yang kembali masuk ke dalam mulutnya.“Dokter mengatakan, kau itu seperti korban pemerkosaan,” jelas Chef Mia.Mendengar penjelasan dari rekannya itu, seketika Laila tersedak bubur. Chef Mia langsung menyambar air di atas
Setelah selesai urusannya dengan Rio, kini Yudis masuk ke dalam rumah. Langkanya begitu cepat dan lebar, sembari matanya menatap ke lantai dua di mana kamarnya berada. Kedua tangannya mengepal, rahangnya mengetat saat kembali membayangkan bagaimana Laila dengan senang hati dalam satu mobil bersama Rio bahkan masuk ke dalam rumah temanya itu.Dulu, sebelum menikah Laila tidak pernah mau satu mobil bersama dirinya dengan alasan bukan mahram. Tapi, lihat apa yang istrinya itu lakukan bersama Rio bukan hanya satu mobil, keduanya bahkan masuk ke dalam rumah hanya berdua. Entah apa saja yang sudah lakukan di dalam sana.Membayangkan Laila disentuh oleh Rio membuat Yudis semakin emosi, ia akan memberi pelajaran pada Laila. Perempuan itu sudah berani mengabaikan peringatannya.Brak!Yudis mendorong pintu kamar yang tak di kunci begitu kasar, sehingga membuat Laila yang baru saja keluar dari kamar mandi berjingkat kaget. Jantungnya berdetak kencang saat Yudis menghampiri dirinya yang masih ber
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Belinda, Laila lantas berpamitan. Karena hari sudah mulai sore dan sebentar lagi memasuki waktu magrib. Ia juga tak ingin terlambat pulang sampai rumah.“Aku antar?” cegah Rio. Saat keduanya sudah berada di teras rumah Belinda. Ternyata pria itu mengekor di belakang, tanpa sepengetahuan Laila.“Tidak usah aku bisa naik taksi Online,” tolak Laila, berbohong padahal ia sendiri pun bingung bagaimana memesan taksi Online, sementara ponselnya mati habis baterai. Biarlah, setelah sampai di gerbang kompleks nanti Laila akan mencari ojek saja, barang kali ada tukang ojek yang mangkal di sana.“Langit terlihat mendung dan sepertinya akan turun hujan. Akan lebih baik dan lebih aman kau kuantar.” Rio bergerak menghalangi Laila yang hendak kembali melanjutkan langkahnya dengan gerakan tiba-tiba.Laila cukup kaget dengan apa yang dilakukan oleh pria yang kini berdiri di depannya itu. Beruntung kakinya dapat mengerem dengan cepat, kalau tidak tubuhnya bisa men