Sang surya masih garang menebarkan sinarnya pada suatu sore. Menciptakan suasana panas yang bahkan mampu menembus tembok kubus kamar Iza. Kipas angin yang menempel di dinding kamar pun tak mampu menghadirkan udara sejuk. Malah meniupkan udarah panas yang terus diputar oleh baling-balingnya.
Suasana gerah itu membuat gadis perawan pemilik kamar terbangun dari tidurnya dengan bermandikan keringat. Iza melirik jam dinding yang berbentuk micky mouse. Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore."Wah nyenyak juga tidurku," Iza menguap dan menggeliatkan badan.Iza merasa kelelahan setelah berjaga maraton dari shift malam yang berlanjut ke Sift pagi di rumah sakit. Bayangkan saja, dia harus berjaga dan berkonsentrasi penuh mulai jam sembilan malam kemarin sampai dengan tadi siang jam dua."Jangan tanya lagi gimana capek, jenuh dan ngantuknya ... Capek banget!" Iza menggumamkan gerutuan di bibirnya yang mungil.Sepulang dari rumah sakit tadi Iza langsung mandi dan membersihkan diri dari aroma rumah sakit yang melekat di tubuhnya. Iza kemudian memakai daster favorit dan langsung tenggelam dalam lautan pulau kapuk yang empuk dan nyaman. Tidur dan beristirahat sampai merasakan badannya lebih fit dan kembali segar lagi."Akhirnya bangun juga kamu, Za?" sebuah sapaan menyambut Iza putri keluar dari kamarnya. Sapaan yang berasal dari Sri, ibu Iza."Enggih, Bu." Iza menjawab, sambil menghampiri sang ibu yang sedang berkutat di dapur."Ada acara apa hari ini, Bu? Kok banyak banget masaknya?" lanjut Iza bertanya. Heran arena melihat menu makanan yang sedang dimasak oleh ibunya lebih banyak daripada bisanya."Nanti akan ada Lek Soni dan anak istrinya mau main ke sini, Nduk." Sri menjawab sambil terus berkutat menumis bumbu di atas wajan."Lek Soni yang mana sih?" tanya Iza menyelidik. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang terasa mencurigakan."Lek Soni itu saudara jauhnya bapakmu dari desa sebelah, Nduk. Yang anaknya Mbah Mina, sepupunya alharhumah nenekmu dulu." Sri menjelaskan dengan detail."Owalah." Iza pun menjawab dengan anggukan, meskipun tidak dapat mengetahui yang mana Soni ataupun silsilah keluarga ayahnya. Gadis itu pun beralih ke meja untuk menuang air putih ke gelas."Lek Soni itu punya anak laki-laki, namanya Rio. Katanya si Rio itu kepengen kenalan sama kamu, Za." Sri menambahkan dengan nada hati-hati."Oooh ya?" Iza bertanya sambil lalu. Dia tidak terlalu kaget mendengan penjelasan sang ibu. Karena ecurigaanya ternyata benar-benar tepat terjadi. Apalagi kalau bukan perjodohan lagi?"Katanya kamu minta dicarikan calon? Yowes ibu dan bapakmu akhirnya nyariin buat kamu ini."Iza tidak memberikan respons kali ini, hanya mampu membatin dalam hati, 'Mati aku! Kenapa bisa secepat ini sih?'. Dia tidak menyangka hanya dalam dua Minggu saja kedua orang tuanya bisa mendapatkan kandidat calon suami untuknya."Kok diem aja? Kenapa lagi? Kamu belum punya pacar kan?" Sang ibu bertanya menyelidik. Merasa heran dengan sikap diam Iza."Belum lah, Buk." Iza buru-buru menjawab kecurigaan ibunya."Berarti gak masalah toh, untuk kenalan dengan anaknya Lek Soni? Sapa tahu kali ini jodoh?" Desak Sri yang sekali pagi dibalas dengan aksi bungkam oleh putrinya."Dicoba dulu saja, jangan pilih-pilih lagi. Ingat usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, sudah tua."Iza semakin bungkam mendengar ucapan ibunya yang setajam belati. Tak ingin semakin sakit hati dengan melakukan pembelasn diri yang pasti akan berakhir percuma. Dan Iza harus menyesali keputusannya untuk berdiam diri, karena Sri malah melanjutkan untuk berbicara. untuk mempromosikan pria yang akan dikenalkan kepadanya."Kamu itu sudah terlambat sekali jika dibandingkan dengan teman-teman sebayamu. Makanya kemarin ibu mau mengenalkan dengan pak Burhan yang sudah punya anak. Untuk mengejar ketertinggalan kamu, karena kamu bisa langsung punya anak kalau nikah sama dia."
"Ternyata kamu malah gak suka dengan gagasan itu ..." Sri menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi tenang aja, anaknya Lek Soni berbeda dengan Pak Burhan yang berstatus duda. Rio ini masih perjaka tong-tong."
"Soal umur juga masih muda kok. Bahkan dia lebih muda dari kamu. Dia masih umur dua puluh enam tahun. Kata bapakmu tampagnya juga ganteng dan punya kerjaan mapan lho."
"Kurang apa lagi coba? Kamu mau kan untuk ketemu Rio?" Sri mengakhiri dengan nada lebih mendesak.
"Iya deh." Iza menghela napas penjang sebelum akhirnya menjawab pasrah. Jawaban yang langsung bisa membuat ibunya tersenyum sumringah."Kalau gitu kamu cepat mandi yang wangi dan berdandan yang cantik. Siapa tahu si Rio nanti akan terpesona dan mau sama kamu." Sri melambaikan tangannya untuk mengusir Iza.
"Ngapain harus berdandan segala, Bu?" Iza tidak setuju dengan uulan ibunya untuk berdandan hanya demi menarik hati pria yang akan dikenalkan kepadanya.
"Mending gaya natural saja, agar dia tahu wajah asli Iza bagaimana."
"Nggak. Kalau gaya natural bangun tidur begitu mana ada yang mau?"
"Ya bukan gaya bangun tidur juga, Bu." Iza tertawa ringan menyadari ketakutan ibunya bahwa dirinya akan menemui sang priadengan gaya polos bangun tidur seperti saat ini.
"Wes talah, pokoke kamu harus tampil cantik. Pakai juga baju dan jilbabmu yang paling bagus!"
Iza sudah hapal betul dengan sifat ibunya sendiri yang keras kepala. Jika sampai sang ibu berkata 'Wes talah' maka tandanya beliau tidak mau lagi untuk didebat. Sehingga sekali lagi Iza memilih untuk mengalah dan mengakhiri pembicaraan.
"Yaudah kalau gitu aku mandi dulu." pamit gadis itu sebelum meninggalkan dapur.
Iza berjalan gontai ke bagian belakang rumah untuk mengambil handuk, dengan pikiran yang terbang kemana-mana. Dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Segala pikiran kusut dan rasa frustasi berkelebat di kepalanya, membuat Iza menyandarkan punggungnya di dinding kamar mandi sambil menjerit tanpa suara.
'Apa seorang perawan tua begitu rendah posisinya sehingga tidak berhak untuk memilih?''Bukan inginku menjadi perawan tua. Semua sudah takdir yang harus kuterima.''Tolong aku ya Allah, kuatkan hatiku dan kirimkan jodoh terbaik sebagai balasan dari kesabaranku ini.'
Selama beberapa waktu Iza hanya merenung tanpa bergegas mandi. Dia membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa dia lakukan, apa harus menerima perjodohan atau kabur dan menghindarinya. Akan tetapi Iza bukanlah anak kecil yang suka kabur dari masalah, dia adalah gadis dewasa yang bisa mengatasi segala masalahnya sendiri. Dan untuk masalah perjodohan ini pun dia harus bisa menghadapinya, apapun yang akan terjadi nanti.
'Mungkin kali ini apa yang dikatakan ibu benar, aku harus mencobanya.' Iza pun membulatkan tekadnya. Kemudian mulai melepaskan baju dan membasuh tubuhnya dengan air dingin yang segar.
Sekitar jam tujuh malam, tamu yang ditunggu akhirnya tiba di kediaman keluarga Iza. Para tamu itu sudah dipersilahkan untuk singgah di ruang tamu. Lek Soni bersama dengan istri dan seorang pria muda, yang pasti adalah Rio, anak laki-laki mereka.Yono, ayah Iza yang pertama menyambut mereka di ruang tamu. Untuk beramah tamah sebentar sebelum memanggil istri dan anaknya untuk bergabung bersama mereka."Bagaimana kabar semuanya? Sudah lama ya tidak pernah ketemu seperti ini? Wes pirang tahun Bu-ne? Sampai lupa kalau punya saudara jauh." Yono memulai ramah tamah."Iya ya, sudah lama sekali." Sri ikut menambahi ucapan sang suami. "Ini Mas Rio yang masih kecil dulu itu yah? Wah sudah gede dan ganteng sekarang.""Nggeh, Bu De." Rio menjawab canggung pujian dari Sri."Waktu ketemu dulu kan kalian masih kecil-kecil. Kalau begitu, sebaiknya kenalan lagi. Mas Rio, perkenalkan ini Iza anaknya Pak De." Yono memfokuskan perkenalan kepada kedua anak muda yang akan dijodohkan, Rio dan Iza. Karena ked
"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan.""Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan."Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri.""Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio."Benar sekali Mas Yono. Saya j
"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza. Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka. Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang
Mobil brio merah yang dikemudikan dokter Yudi melaju kencang membelah aspal jalanan. Dari rumah makan Padang tempat Iza dan sang dokter makan malam tadi, menuju ke rumah Iza. Tidak ada alunan musik yang diputar dari MP3 player mobil. Hanya ada siaran radio tentang keadaan lalu lintas jalanan, dan berita aktual seputar Jawa Timur lainnya. "Dokter Yudi banget ya, gak suka musik tapi malah dengerin berita." Iza membatin dalam hati. Sambil duduk canggung di kursi penumpang sebelah Yudi yang sedang menyetir mobillnya. Sejak duduk dan memasuki mobil brio merah itu, baik Iza maupun Yudi hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan permainan pikiran masing-masing, terlalu sungkan untuk memulai pembicaraan. Bingung memilih topik apa yang sekiranya bisa dibahas atau dibicarakan. "Dokter Ceicillia mulai Senin depan sudah kembali bekerja." Dokter Yudi yang pertama memecahkan keheningan di antara mereka. "Ehm, beliau sudah pulang ya dari umroh?" Iza balik bertanya memastikan. Baru sadar jika sudah ham
The power of emak-emak memang sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Iza pun merasakan dampak power dari ibunya sendiri terhadap hubungannya dengan RIo. Entah apa yang dikatakan sang ibu kepada ibunya Rio, kini pria itu lebih gencar untuk mencoba berhubungan agar lebih dekat lagi dengan Iza. Hampir mirip seperti serangan Agresi Militer. Setiap pagi Rio selalu mengirimkan pesan selamat lagi yang manis. Sepanjang hari pun Rio juga kerap mengirimkan pesan kepada Iza, mulai dari sekedar mengingatkan makan atau ngobrol ringan. Obrolan ringan yang sesekali dibumbui dengan modus-modus romantisme. 'Rio ini kerjanya bagian apa sih di bank? Kok kayaknya santai banget?' Iza membatin sewaktu mendapatkan sebuah pesan berupa kata-kata romatis dari RIo di siang bolong. Iza yang sudah terlalu lama hidup single tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Iza sedikit risih dengan sifat Rio, apalagi jika harus seharian menjawab chatting dari pria itu. Alhasil Iza hanya menjawab seperlunya atau malah
Detik bergulir berganti menit, menit bergulir menjadi jam, jam pun berakumulasi menjadi hari. Hubungan Iza dan Rio pun telah berjalan selama beberapa minggu. Sesuai permintaan Iza, mereka berdua mencoba menjalani proses pendekatan seperti kebanyakan pasangan lainnya. Dengan kencan singkat atau sekedar bertemu untuk makan bersama dan bertukar pikiran. Seiring berjalannya waktu, Iza pun mulai terbiasa dan tidak risih lagi dengan kehadiran Rio. Rio yang selalu rajin mengirimkan pesan singkat untuknya setiap hari. Menanyakan kabar, kegiatab bahkan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Di satu sisi Iza tahu benar bahwa Rio masih terlalu muda baginya. Sehingga kadang ada gesekan tentang cara pandang dan pola pikir mereka yang terasa berbeda. Namun di sisi lain, sifat Rio yang humble membuat Iza merasa nyaman untuk berasa bersamanya. ‘Apa gara-gara saking lamanya jomblo sampai aku jadi baperan begini?’ ‘Seharusnya aku bisa menjaga hati. Mana mungkin Rio mau sama aku kan?’ Iza kerap
"Za kamu dijemput tuh!" ujar Lia yang hari itu sedang berjaga shift pagi bersama dengan Iza. Iza mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan oleh Lia. Seorang pria sedang berada di parkiran sepeda motor. Pria yang sudah beberapa kali menjemput Iza pulang dari rumah sakit, Rio. 'Ngapain Rio datang hari ini? Bukannya gak ada janjian ketemu?' Iza membatin. "Buruan disamperin sana kakangmasmu!" "Tapi kan jadwal jaga belum selesai,Mbak." Iza tidak beranjak dari posisinya. "Halah tinggal sepuluh menit lagi, pulang aja duluan. Dokter Eka juga gak akan keberatan." Lia memberi sedikit kelonggaran kepada Iza. Iza pun kembali mengamati Rio yang sedang berbicara dengan satpam rumah sakit. Dan pria itu kontan melambaikan tangan sebagai sapaan begitu menyadari Iza memandang kepada dirinya. Rio masih mengenakan setelan resmi kantoran. Tanda bahwa pria itu juga baru pulang dari bekerja. Iza pun merasa tidak enak membuatnya menunggu, padahal sudah repot-repot menjemput dirinya. "Yau
Setelah mendapatkan kata iya dari Iza, Rio pun benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Sebagai pembuktian bahwa dia benar-benar serius akan hubungan mereka berdua., Rio membawa kedua orang tua dan keluarga dekat untuk mendatangi rumah Iza pasa sore keesokan harinya.Keluarga Rio datang dengan tiga buah mobil, membawa personil keluarga yang cukup banyak. Mereka bahkan juga membawa berbagai seserahan dan hadiah untuk Iza. Mulai dari pakaian, perhiasan bahkan sampai alat make up dan daily care. Serta tidak lupa membawa sebuah cincin pengikat hubungan Rio dan Iza.'Kok kayaknya heboh banget ya?' Iza merasa takjub dengan acara dadakan itu. Seolah Rio dan keluarganya sudah melakukan persiapan untuk lamaran itu sejak jauh-jauh hari.Di lain pihak, keluarga Iza bisa dibilang tidak siap dan kalang kabut dalam mempersiapkan segalanya untuk acara lamaran ini. Namun mereka tetap menerima kedatangan para tamu dengan lapang dada. Serta berusaha memberikan sambutan terbaik mereka."Selamat datan
Berbekal restu dari sang ibu, Iza kini tidak ragu lagi untuk memulai hubungan baru dengan dokter Yudi. Dia berniat mengutarakan perasaanya dan menanyakan jika penawaran Yudi kepadanya beberapa waktu yang lalu masih berlaku.'Tapi gimana cara bilangnya? Masa aku harua nembak duluan?' 'Eh tapi dokter Yudi kan yang sudah nembak duluan, jadi anggap saja aku cuma menjawab.' Iza pun mengajak Yudi untuk keluar sore itu, ajakan yang disambut dengan senang hati oleh yang diajak. Mungkin bagi Yudi, dengan Iza mau mengajaknya keluar terlebih dahulu saja sudah menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka. Dan sesuai dengan perjanjian, Yudi datang menjemput Iza di rumahnya, tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tua gadis itu.Keduanya berjalan beriringan dari parkiran mobil ke arah mall dengan sedikit canggung. Yudi berjalan mendahului sedangkan Iza mengikuti di belakangnya dengan jarak beberapa langkah. "Kita mau ke mana?" Yudi menanyai Iza setelah mereka berdiri di loby lantai satu mall."He
Iza dan Yudi menikmati sajian makan siang bersama di ruang keluarga. Saking kakunya sampai tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Entah mengapa mereka menjadi canggung dan bingung untuk memulai pembicaraan. Keadaan rumah yang sepi, kenyataan bahwa mereka hanya berduaan semakin memperparah suasana. Keduanya hanya bisa sesekali saling melemparkan pandangan, melirik, lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapan masing-masing. 'Aduh kenapa tadi aku menawari makan siang ya? Gimana kalau para tetangga bergunjing?' 'Baru saja gagal bertunangan malah sudah memasukkan pria lain ke dalam rumah.' Iza menyesali keputusannya yang tidak pikir panjang. Dan kalau sudah begini tidak mungkin juga untuk mengusir Yudi begitu saja. "Maaf ya Mbak Iza, saya jadi merepotkan." Yudi sepertinya dapat merasakan
Yudi mengamati layar monitor yang menampilkan laporan kasus salah satu pasien dengan penyakit paru yang sedang dia tangani. Laporan-laporan yang akan dipakainya untuk ujian penentuan gelar spesialis paru yang sedang dia perjuangkan. Yudi beralih kepada lembaran foto ronsen thorax dengan kontras hitam putih milik pasien tersebut. Mengamati dan mencocokkan apa yang dilihatnya dengan apa yang tertulis di laporan. Tentang perkembangan penyakit pasien TBC setelah dilakukan pengobatan. Cukup lama Yudi tenggelam dalam kesibukannya itu, sampai tak terasa jam kerja pun berakhir. "Aku pulang duluan ya." Yudi berpamitan kepada perawat jaga di poli paru. Kemudian dia beranjak mengambil barang pribadinya dan keluar dari gedung rumah sakit. Melajukan mobil Brio merahn membelah aspal jalanan yang terik di siang hari. Rasanya sungguh sangat melelahkan kehidupan sebagai seorang PPDS. Seharian sibuk dengan banyak pasien rawat inap yang harus dia visite hari ini. Setelah vis
Iza tertegun mendengarkan ucapan Yudi yang sama sekali tidak terduga olehnya. Seluruh logika dan akal sehat gadis itu sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar. Oleh karena itu, Iza pun memberanikan diri untuk berkata.“Dokter Yudi jangan becanda donk. Nanti saya bisa baper.” Iza menambahi dengan tawa ringan, seperti sedang menanggapi sebuah candaan dari temannya.Yudi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban dari Iza. Bukannya penerimaan atau penolakan yang diberikan, malah terkesan gadis itu meragukan keseriusan dari ucapannya.Padahal Yudi adalah orang yang tidak mungkin untuk bercanda, terutama dalam hal yang menyangkut perasaan seperti ini.“Saya serius," Yudi menegaskan.Iza tetap terdiam, masih tidak akan berani berharap bahwa dokter Yudi, sang idaman wanita ini akan berkata seperti itu kepadanya.‘Dia bilang mau sama aku itu maksudnya gimana ya? Mau apa?’“Saya menyukai kamu, Mbak Iza.”
Iza mengira bahwa masalah akan selesai setelah dia memutuskan hubungn pertunangan dan membatalakan pernikahan dengan Rio. Masalahnya dengan Rio pribadi sudah selesai, dengan keluarga inti Rio juga sudah selesai. Namun dengan keluarga besar dan para tetangga satu kompleks malah timbul berbagai rumor tidak sedap. Rumor yang mengatakan dan menyalahkan Iza, yang membatalkan pernikahan dengan sepihak.“Mau cari yang gimana lagi sih Mbak Iza itu?”“Gak inget apa udah tua umurnya? Paling sebentar lagi juga sudah keriput dan tidak cantik lagi.”“Mau cari yang bagaimana lagi sih? Dilamar duda gak mau katanya ketuaan, ini dilamar perjaka masih muda juga tetap saja ditolak.”“Seleranya yang kaya raya kali, biar bisa diantar jemput pakai mobil.”“Mungkin memang gak niat buat nikah kali ya?”“Nanti kalau sudah terlambat pasti akan menyesal sendiri.”Berbagai gunjingan miring s
Setelah kesepakatan yang dibuat Iza dan Rio untuk membatalkan pernikahan mereka, Iza pun meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkan berkunjung ke rumah Rio. Untuk membahas tentang wacana pembatalan pernikahan serta mengembalikan seserahan yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terutama untuk barang-barang berharga seperti perhiasan.Maka di sore yang cerah itu, Iza bersama kedua orang tuanya sudah duduk ruang tamu rumah Rio. Berhadapan tiga lawan tiga dengan Rio dan kedua orang tuanya. Suasana terasa begitu canggung setelah sapaan dan ramah tamah. Tidak ada yang berani untuk bersuara, meskipun mereka sudah tahu tujuan kedatangan Iza dan keluarganya."Hemmm begini, saya mohon maaf sekali sebelumnya kepada Nak Rio, Dek Soni dan Dek Nanik. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kedua anak kita.""Lho kenapa? Gak bisa begitu lah." Nanik kontan melayangkan protesnya."Saya dengan dari Iz
“Jika mau dilanjutkan, jadwal pernikahan kita sudah cukup dekat. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengurus dokumen-dokumen pernikahan di KUA. Dan aku sudah ke sana untuk meminta formulir itu.” Iza menjelaskan alasannya memberikan dokumen itu kepada Rio.“Tapi kenapa harus ada persyaratan sedetail ini?" Rio bertanya kepada Iza setelah memeriksa semua formulir yang disodorkan oleh gadis itu kepadanya.“Itu semua formulir yang aku dapatkan dari pak Mudin Desaku.” Iza menjawab dengan tenang. Dia berusaha menyembunyikan segala gejok di dalam jiwanya, bertekad untuk membuat Rio mau mengakui tentang keadaan penyakitnya."Bukankah biasanya hanya dibutuhkan beberapa dokumen untuk pembuatan buku nikah?” Rio tetap memprotes.“Jangan salah. Selain dokumen, untuk calon mempelai wanita diharuskan vaksin tetanus. Kedua calon mempelai juga disarankan untuk mengikuti kelas pra nikah yang diadakan oleh KUA atau puskesmas setem
Iza memang sudah mantap memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Kedua orang tuanya juga sudah setuju dan memberikan restu baginya untuk melakukan hal itu. Namun ternyata sampai beberapa hari setelah kedatangan dokter Yudi ke rumahnya, Iza masih belum juga berani menemui Rio.Memang terkesan klise dan kekanakan, namun Iza merasa tidak tega dan sedih untuk memutuskan hubungannya dengan Rio dengan jalan seperti ini. Bukan karena adanya masalah dalam hubungan mereka berdua, melainkan karena suatu sebab eksternal yang sangat tidak terduga.‘Apa aku sudah jatuh cinta kepadanya?’ Iza bermonolog dalam hatinya sendiri.'Tidak, ini bukanlah cinta. Karena kami juga hanya kenal sebentar saja … Ini hanyalah rasa iba dan empati semata."Iza mencoba mengenali perasaanya sendiri kepada Rio saat ini. Hubungan selama beberapa minggu setelah mengenal pria itu memang cukup manis dan berkesan baginya.Rio memperlakukan dirinya d
“Jangan mengada-ada kamu, Iza! Rio itu kelihatan sangat sehat dan bugar, mana mungkin dia sakit?” Sri memilih mode denial. Untuk menolak mempercayai apa yang dikatakan oleh putrinya.“Pasti kamu mencari-cari alasan biar bisa batalin pernikahan kan?”“Astghfirullah, Ibu … Mana mungkin Iza berbohong soal penyakit mengerikan seperti ini?”Iza dapat mengerti kekecewaan ibunya, namun juga tidak terima jika dituduh mengarang cerita untuk membatalkan pernikahannya dengan Rio.“Aku tahu kalau Ibu dan Bapak tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan Iza. Oleh karena ini, aku membawa dokter Yudi. Dokter yang merawat Rio di RSUD.”Iza pun mejelaskan alasan kehadiran Yudi di rumah mereka saat ini.Semua pandangan mata kini kontan beralih kepada dokter Yudi, yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara. Memperhatikan pembicaraan memilukan antara seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya.