Share

Run Away

Author: Ae-ri Puspita
last update Last Updated: 2022-12-30 11:49:51

“K-kau.” 

Ia mengulas senyum, langkahnya terus maju tatkala langkahku mundur. Hingga punggung belakangku menabrak dinding yang membuatku tak bisa mundur lagi.

Dia berdiri berjarak tiga langkah di depanku sembari memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana kain hitamnya. Menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kutebak. 

"A-apa maumu." Bohong, kalau aku tidak merasakan takut. 

Dia kembali mengayunkan langkahnya. 

Ancang-ancang kuambil posisi mempertahankan diri, kedua telapak tanganku terkepal di depan mukanya. 

“Jangan coba-coba mendekat!”

Dia tersenyum lebar, membuatku semakin ketakutan. Itu bukan senyum bahagia, tapi senyum meremehkan. 

Kuteguk kasar salivaku. “Tidak ada yang lucu, Tuan?”

Pembunuh. Tentu saja kalimat itu hanya ku utarakan dalam hati, aku masih waras untuk tidak mengumpatinya. 

“Posisimu seperti anak kecil yang sedang mengajak berduel.”

Anak kecil? Dengusan kasar keluar dari hidungku. 

Ia menunduk, mensejajarkan posisi wajahnya ke wajahku membuatku semakin waspada. 

“Kau tahu? Aku benci saat ada seseorang yang selalu mengusikku.” Aku mengernyit heran. Sejak kapan aku mengusiknya? 

Dia kembali menegakkan badannya. ”Kau hanya punya satu kesempatan untuk kabur 

dariku." Kuamati wajah tegasnya. Memastikan ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. 

“B–Benarkah?”

Ia mengulas senyuman tipis setipis tisu toilet, kembali memposisikan wajahnya ke wajahku. 

“Berlarilah sejauh mungkin, karena jika aku menangkapmu kau tidak punya kesempatan lagi untuk kabur.”

Kuteguk salivaku, takut. 

“Pergilah!”

Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung menerobos keluar dari penginapan. Berlari di atas trotoar, umpatan kasar beberapa kali masuk ke dalam gendang telingaku saat tak sengaja menabrak tubuh pejalan kaki lainnya. Berlari dan terus berlari hingga keringat dingin berlomba-lomba keluar membasahi tubuh. Sejenak berhenti untuk menghirup pasokan oksigen yang hampir habis. Menoleh ke kiri ke kanan mencari taxi, hingga di menit selanjutnya sebuah taxi berlalu di depanku. Tak pikir  panjang aku langsung memberhentikannya. 

“Take me to the Airport!”

Mobil bergerak pelan. Kuputar tubuh, melihat melalui kaca belakang mobil. Perasaan lega itulah yang kurasakan, saat melihat tak seorang pun yang mengejarku. Kusandarkan punggung pada sandaran jok mobil, napasku naik-turun, lelah. Pakaian beserta oleh-oleh dalam koper, semuanya  tertinggal, bukan lebih tepatnya kutinggalkan, nyawaku lebih penting. 

Kurogoh tas selempangku, mengambil earphone beserta Hp, membuka aplikasi musik memutar lagu K-pop, menuju aplikasi pesan. Membalas semua pesan yang masuk. 

Lalu mematikan data seluler. 

Membuka kaca jendela, tersenyum tatkala sepoi angin menerpa lapisan kulit wajah. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan bergerak beriringan dengan laju mobil yang kutumpangi. 

Setelah berjam-jam berjibaku melawan lautan kendaraan, taxi yang kutumpangi pun sampai di lokasi tujuan, tempat pertama kali kakiku menginjakkan kaki. Turun setelah membayar jasa taxi. 

Kuhirup udara sedalam-dalamnya, menghembuskannya, mengulas senyuman, goodbye New York and see you later. Sampai ketemu di saat pembunuh itu sudah tidak menatap di dunia ini lagi. Indonesia, I am coming babe. 

“Miss Syifani.” Kakiku urung untuk melangkah. 

Berbalik, mataku sontak terbelalak, beberapa pria dengan setelan jas serba hitam dan tubuh kekar, perlahan berjalan mendekat ke arahku. Mereka adalah anak buah pria pembunuh itu. Hendak berlari, tapi di depan sana muncul tiga orang lagi, di samping kiri dan kananku juga muncul dua orang. Kini, tubuhku dikelilingi oleh mereka. Pernah lihat ayam kampung yang hendak disembelih, sebelum disembelih mereka dikejar, dikepung untuk ditangkap. Seperti itulah aku saat ini. 

Degup jantungku bertalu-talu, mataku sudah berkaca-kaca karena takut. Keringat dingin berjatuhan tak terkontrol keluar dari pori-pori kulit. 

“Aku mohon biarkan aku pergi! Apa salahku pada kalian?” Aku benci diriku yang menjadi lemah seperti ini. 

Mereka memutariku. 

“Kami hanya menjalankan perintah,” balas salah satu dari mereka.

“Katakan pada Tuan kalian apa salahku? Aku bahkan tidak mengenalnya.”

“Anda bisa menanyakan itu padanya nanti, Nona,” balas salah satunya lagi. 

Aku menggeleng. “Tidak ada nanti, besok atau seterusnya, karena aku tidak akan pernah ikut dengan kalian.” 

Orang-orang yang berlalu-lalang hanya menatapku dengan berbagai ekspresi. 

“Tidak ada gunanya terus berteriak, Nona. Kami masih sabar menunggu keputusan Anda, mau ikut dengan cara baik-baik atau dengan cara dipaksa? Percayalah, kami tidak akan segan-segan melukai tubuh mulus Anda, jika cara dipaksa yang Anda inginkan.”

Air mataku mengalir deras, jatuh dari pelupuk mata merembes hingga ke pipi. Sungguh, baru kali ini aku merasakan ketakutan yang amat sangat dibandingkan saat menonton film horor. 

“Dalam hitungan ketiga, Anda sudah harus memutuskan.” Salah satu dari mereka mulai menghitung, hingga….

“Iya baiklah, aku ikut kalian.” Putusku, mengangkat kedua tangan. Membuat langkah kaki mereka terhenti. Ini adalah keputusan yang akan aku sesali seumur hidupku. 

Aku seperti seorang presiden yang dikawal oleh banyak pengawal. 

Salah satu dari mereka membukakan pintu penumpang.”Silakan!”

Dalam mobil tanganku saling meremas satu sama lain, gugup, samping kanan dan kiri, aku dihimpit oleh tubuh kekar. Sepanjang jalan, aku terus memikirkan bagaimana cara kabur dari jeratan mereka.

“Bisakah kau berhenti sebentar, aku hendak buang air besar.” 

Pria yang duduk di kursi depan penumpang itu menoleh. “Bertahanlah sebentar lagi kita akan sampai.”

“Tapi aku sudah tidak tahan lagi.” Aku menggoyang-goyangkan kedua kaki, layaknya orang yang benar-benar kebelet buang air. “Jangan salahkan aku jika kalian kena sanksi karena aku buang air disini.”

Mereka saling beradu pandang. 

“Ayolah, aku tidak akan cari mati dengan cara kabur, jumlah kalian saja banyak. Mana mungkin, aku bisa kabur.”

Tak  berselang lama, mobil tersebut berhenti di salah satu toilet umum. Aku pun buru-buru masuk ke salah satu biliknya. 

Mataku mencari-cari celah untuk kabur, tersenyum saat melihat ventilasi engsel. Menginjak penutup closet, menjinjit dan terus berusaha memutar gagang pegangannya. Cukup lama, hingga kaca engsel tersebut terbuka, berkali-kali melompat, hingga tubuhku berhasil setengah keluar sebelum semuanya ikut keluar dan jatuh terjungkal di atas rerumputan. Meringis sakit pada bagian wajah, siku, dan lutut. 

Inilah untungnya mempunyai tubuh kecil. Lubang sekecil itu pun bisa muat. 

Kabur lewat belakang, berlari hingga mencapai jalan raya. Sedikit jauh dari keramaian, terus berlari hingga titik lelah menggerogoti persendian tubuhku. Napas berat, haus dan lapar menjadi satu. Kembali menoleh ke belakang, ternyata belum ada yang menyadari kalau aku sudah berhasil kabur dan sudah sangat jauh dari jangkauan mereka. Kulambaikan tangan pada mobil hitam yang kebetulan lewat.

Mobil berhenti, aku pun ikut masuk seraya berujar terima kasih pada sang supir. 

“Where will I take you, Miss?”

Suara itu, perlahan kuputar kepalaku ke arah samping, terbelalak.

Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, hingga tubuhku terhimpit di antara pintu mobil dan tubuhnya. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa kulit wajahku. 

“Mau mencoba kabur, hm?”

 

Related chapters

  • Tamally Ma'ak   Trap

    Pancaran sinar cahaya mengusik indera penglihatanku, perlahan kubuka kedua kelopak mata. Hal pertama yang kulihat adalah gorden putih yang bergoyang akibat hembusan angin. Kukerjapkan mata berulang kali lantas bangun secara perlahan, meringis sakit, memegangi kepala sebelah kanan. Mataku seketika membulat saat kesadaran membawaku kembali ke dunia fana. Serangkaian kejadian sebelumnya berputar dalam memoriku. Seringaian pria itu, tersenyum samar sebelum kegelapan menyeretku ke alam bawah sadar. Gegas, kusibak selimut yang membungkus tubuhku, menghela napas lega begitu melihat pakaian yang kukenakan masih utuh begitupun jilbab yang kemarin masih melekat indah di atas kepala. Kuamati seluruh ruangan, kamar mewah dengan nuansa serba hitam, satu patung wanita menari berada di ujung bagian sebelah kanan kasur. Menoleh ke kiri, mendapati pakaian sliding door kaca minimalis. Sangat mengagumkan, lampu keemasan yang bergelantungan tepat di atas tempat tidur beserta ceiling fan gold-nya. Hei,

    Last Updated : 2022-12-30
  • Tamally Ma'ak   Let Me Go

    Dia melenggang pergi setelah mengatakan kalimat sialan itu. Ingin rasanya ku cabik-cabik tubuh perawatannya, tapi aku masih belum mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut. Sayang nyawa. Kuayunkan kaki masuk ke sebuah ruangan dalam kamar ini. Tercengang. Mulut dan mataku sama-sama terbuka lebar. Ini pertama kalinya aku melihat kamar mandi semewah dan se-Wah ini. Dasar kampungan, terserah, karena aku memang berasal dari kampung. Kamar ini lebih tepatnya cocok digunakan sebagai kamar tidur daripada kamar untuk buang hajat. Desain kamar mandi yang mewah dengan sentuhan tema old-school glamor. Mengadopsi warna putih yang terang dengan sentuhan tirai tulle memberikan kesan klasik elegan.Penempatan sentuhan emas pada beberapa ornamen di dalam kamar mandi membuat ruangan ini terlihat semakin mewah. Untuk mempertegas kesan mewahnya si perancang kamar mandi ini juga menambahkan lampu gantung yang glamorous.Mataku mengamati sekitar, memeriksa dan memastikan tidak ada kamera tersembu

    Last Updated : 2022-12-30
  • Tamally Ma'ak   Frauded

    Ini sudah 1x24 jam, mungkin lebih dari janji yang pria gila itu ucapkan, tapi hingga saat ini belum kunjung batang hidungnya tampak. Bloon-nya aku malah termakan dengan janji manisnya. Ternyata semua pria di zaman sekarang sama saja. Catat! zaman sekarang, bukan zaman dahulu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Baiklah, Syifani tahan, tahan sebentar lagi. Detik berganti menit, kesel, aku beranjak menuju pintu. Menendangnya sekuat tenaga sambil mengeluarkan suara keras seperti suara mahasiswa yang turun ke jalan meminta keadilan kepada pemerintah.“Buka! Aku tahu kau ada di luar.” Bomat kalau pintu ini bakal rusak ataupun roboh.“Tepati janjimu kurang ajar…..” Tanganku dengan keras menggedor-gedor pintu bercat putih itu. “Sergio si…”Ucapanku menguap di udara tatkala pintu itu terbuka lebar, menampilkan wajah merah padam seorang pria. “Apa kau tidak bisa sehari saja tidak berisik?”Kuangkat wajahku, pongah, menentangnya. “Tepati janjimu!”Ia menatapku lamat-lamat sedangkan a

    Last Updated : 2023-01-18
  • Tamally Ma'ak   Forbearance

    Cahaya mentari bersinar terpantul menebus masuk melalui kaca bening penjara kamar ini. Berapa kali pun, aku mencoba untuk kabur, hasilnya tetap sia-sia. Kesabaranku selama berada di tempat ini benar-benar diuji. Lelah, putus asa, tapi aku tidak ingin menyerah. Tak ada kata menyerah dalam hidupku. Tempat ini seperti labirin. Sangat sulit dan tak ada celah untuk bisa kabur. Di setiap sudut ruangan terdapat ranjau pemantau, hingga aku tidak bisa lari melewati ranjau itu. Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku membawaku berkelana mencari cara sedangkan mataku menatap lurus burung-burung yang berterbangan bebas di luaran sana. Berkicau seperti senandung melodi pagi yang menenangkan. Kuulas senyuman miris, kapan aku bisa bebas dari jeratan pria bedebah itu? Aku ingin kembali merasakan kebebasanku. Bebas kemana pun ku inginkan, bebas melakukan apa pun yang ku inginkan. Bukan terkungkung layaknya burung dalam sangkar dan terpenjara layaknya seorang penjahat buronan polisi. Kuhela napas pa

    Last Updated : 2023-01-19
  • Tamally Ma'ak   Ain't A Whore

    “Sergio lepaskan aku sialan!” Aku berusaha keras agar lepas dari jeratan pria bedebah gila ini, tapi tubuh dan tenaganya lebih besar dariku. Mata elang itu kembali menatapku seperti binatang buas yang sedang kelaparan. “Sekali lagi kau mengumpat, aku bersumpah akan membungkam mulutmu.”Napasku memburu. "Baiklah, lepaskan aku… please." Muak, rasanya memohon pada pria brengsek sepertinya. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. “Bukankah kau sendiri yang hendak menyerahkan dirimu dengan datang ke kamar ini, Mi amor?”Pria bedebah sialan ini benar-benar menguji kesabaranku. Lama-lama ku tonjok juga muka menyebalkannya. Kuhela napas lelah. “Kau pikir aku sama dengan wanita yang tadi kau bawa itu, huh?"Bibirnya terkatup, matanya menatapku lekat. “Apa kau tidak pernah merasa bersalah telah merusak kehormatan seorang wanita?”“Mereka sendirilah yang datang melemparkan tubuhnya padaku.” Ia melepaskan kungkungan tangannya. Berdiri selangkah dariku. Kubalas tatapannya dengan tatapan tajam. Ja

    Last Updated : 2023-01-20
  • Tamally Ma'ak   What Happened?

    Smart timepiece backlight alarm clock berdering nyaring masuk ke dalam gendang telingaku. Kelopak mataku perlahan terbuka, mengerjap berulang-ulang kali guna menyesuaikan spotlight yang menerobos masuk ke dalam retina. Menoleh, ternyata sudah pukul setengah tiga dini hari. Menguap sembari bangun secara perlahan, menyadarkan kepala pada sandaran kasur, mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul sempurna lalu menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhku dan melangkah malas masuk ke dalam kamar mandi. Berwudhu dan melaksanakan salat malam. "Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra' Ayat 79) Rasa haus menyerang tenggorokanku. Kulangkahkan kaki menuju nakas, duduk di pinggir kasur, menghela napas pelan saat melihat gelas di atas nakas itu sudah kosong. Dengan berat kaki, kuayunkan langkah menuju pintu, mengetuknya, berulang-ulang kali berharap para pengawal yang ber

    Last Updated : 2023-01-21
  • Tamally Ma'ak   Husband?

    Embun jatuh perlahan seiring fajar menyapa keramaian, terdengar derap langkah kaki orang-orang yang berlalu-lalang ke sana kemari, membuat tidurku terganggu. Perih, saat mata ini terbuka, berapa jam tidurku? "Awww…." Meringis pusing, memujit pelipis saat membangungkan diri sendiri. Kuangkat wajah bantalku melihat ventilasi udara yang telah memantulkan cahaya sang surya. Ternyata aku tidak sadar ketiduran bahkan mukena yang semalam aku pakai masih terpasang di tubuhku. Sebentar! Mukena? Mataku sontak membulat. Teringat. Bagaimana keadaan pria itu? Apa dia baik-baik saja? Kusingkirkan kain panjang yang membalut tubuhku dan menyimpannya kembali di atas bedside cabinet. Berjalan keluar. Tunggu. Sontak langkah kakiku terhenti. Tersenyum licik. Bukankah ini kesempatan untukmu kabur Syifani? Apa yang kau tunggu lagi? Kesempatan emas ini tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.Bener, untuk apa juga aku peduli padanya? Kuangkat bahu tak acuh seraya bergegas berlari keluar rumah sakit

    Last Updated : 2023-01-22
  • Tamally Ma'ak   Who's He?

    Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a

    Last Updated : 2023-01-23

Latest chapter

  • Tamally Ma'ak   Contend

    Kusibak selimut yang membungkus tubuhku seraya bergegas mencari keberadaannya, di kamarnya, kosong. Melangkah lebar menuju lantai dasar, ternyata di ruang tamu juga kosong, hanya ada beberapa bodyguard berkepala plontos yang sedang berjaga, kuayunkan kaki menuju dapur–ternyata dia ada di sana tengah menikmati sarapan paginya seakan tak ada beban apa pun yang ia rasakan. “Sergio!” Dia tak menoleh sedikitpun. “Apa kamu masih bisa sarapan di saat situasi seperti sekarang, hah?” Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan menggebu emosi. “Kau ingin aku mati karena tidak sarapan?” Tak acuhnya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Kugebrak meja membuat atensinya teralihkan padaku.”Kau tahu, gara-gara kau nama baikku jadi tercemar?""Apa kau hanya memikirkan nama baikmu?" Apa dia bilang hanya? Aku berdecih jengkel. Ingin rasanya aku meninju wajah iblisnya ini. Dengan entengnya dia mengeluarkan kalimat sialan itu. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan pernah mengalami pe

  • Tamally Ma'ak   Bad News

    Kuhela napas pelan. Percuma. Pria itu hanya diam seperti patung pancora. Hingga mobil itu berbelok menuju pekarangan mansion, kami masih saja diam dalam kebisuan. Gegas, ku ayunkan kaki sesaat mobil tersebut berhenti, melangkah lebar menuju kamar. Menutup dan menguncinya seraya melangkah membaringkan diri di atas tempat tidur. Menatap plafon dengan ribuan pertanyaan. Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan pria berwajah psikopat itu?Gelap, itulah yang aku lihat, tapi kegelapan itu hanya bersifat semantara. Lampu-lampu yang bergelantungan di atasku perlahan mengeluarkan cahayanya. Mataku mengikuti arah cahaya lampu itu, menyipitkan mata, tatkala pandanganku seperti melihat bayangan seseorang. “Sergio!” Dia berbalik, senyum yang semula terbit kini redup saat pria itu menodongkan senjata ke arahku. Mataku kembali menatapnya dengan pandangan yang berkabut air mata sedangkan Sergio menatapku dengan seringaian yang menjijikkan. “A—Ap…”Dor!“Astaghfirullahaladzim

  • Tamally Ma'ak   Dunno Who

    Janganlah kalian berharap bertemu musuh. Namun jika kalian bertemu musuh, bertabahlah menghadapinya (HR Bukhari).***Di suatu tempat? Aku mengernyit tak paham. Rumah sakit? Mataku reflek membeliak lantas menoleh ke belakang. Pria dengan wajah sangar seperti psychopath itu tengah menatap datar ke arahku. Kutelan kasar ludahku, lekas memalingkan pandangan ke depan. Entah mengapa, menatap pria itu membuat gemuruh jantungku bertalu-talu. Apa sebenarnya aku pernah bertemu dengannya? Mengapa tatapan pria sangar itu seakan tak asing bagiku. Tanpa sadar tanganku saling menggenggam satu sama lain, menyalurkan gugup yang kian mendera hatiku. Ada apa sebenarnya, mengapa juga aku harus merasakan takut pada orang yang baru pertama kali aku temui? Tanpa sebab?Ya Allah lindungi hamba,” Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.Artinya: "Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Abu Dawud)"Apa Sergio tidak men

  • Tamally Ma'ak   Who?

    Denting jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Kututup buku diaryku, menyimpannya di atas nakas seraya menarik selimut dan mencoba tuk memejamkan mata. Berkali-kali tapi sulit, hingga aku tersentak kaget saat jam weker berdering nyaring masuk ke dalam membran timpani-ku tepat pada pukul 4.30 subuh. Jam berapa aku tidur semalam? Kugerakkan tubuhku masuk ke dalam kamar mandi. Mandi subuh dan berwudhu. Kemudian melangkah menuju lantai dasar. Setidaknya beberapa hari ini aku bisa merasakan sedikit kebebasan, berkeliaran dalam mansion mewah ini, walau harus diawasi dengan ketat. Anak buah pria itu menatapku tajam saat aku berjalan di depannya menuju dapur. "Masak apa?" Beatrica tersentak kaget reflek menoleh. "Aku lagi buat American Pancakes untuk Tuan Sergio dan ayam goreng untuk Anda." Dia tersenyum manis sekali. Ayam goreng? Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan makanan kesukaan Upin Ipin itu. "Apa pria itu sangat suka dengan makanan itu?"Beatrica mengangguk. "Tuan tidak suka mak

  • Tamally Ma'ak   Commemoration

    Tepat seminggu setelah menjalani pemulihan, akhirnya Sergio diperbolehkan untuk pulang. Kini kami sedang dalam perjalanan, entah kemana. Aku pun tidak berniat untuk mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Memandangi gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya seakan tersenyum mengejekku. Mobil yang kutumpangi, akhirnya tiba di halaman mansion berwujud kastil itu. Lagi. Kuhela napas gusar. Sungguh keputusan yang sangat buruk. Kuikuti langkah lebarnya memasuki tempat tersebut. Tempat yang sepatutnya sudah kutinggalkan. Tapi karena keduguan yang kulakukan, akhirnya aku kembali terjebak di penjara ini. "Naiklah!" titahnya. Menyuruh menaiki anak tangga mansion ini dengan dagunya. Lekas kucekal pergelangan tangannya saat ia hendak mengayunkan langkah kembali. Dia menoleh. "Bisakah kau kembalikan buku-bukuku yang kau sita? Aku butuh benda-benda itu untuk menghilangkan kejenuhanku." Kutatap ia menggibah. Berharap hatinya tersentuh. "

  • Tamally Ma'ak   Who's He?

    Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a

  • Tamally Ma'ak   Husband?

    Embun jatuh perlahan seiring fajar menyapa keramaian, terdengar derap langkah kaki orang-orang yang berlalu-lalang ke sana kemari, membuat tidurku terganggu. Perih, saat mata ini terbuka, berapa jam tidurku? "Awww…." Meringis pusing, memujit pelipis saat membangungkan diri sendiri. Kuangkat wajah bantalku melihat ventilasi udara yang telah memantulkan cahaya sang surya. Ternyata aku tidak sadar ketiduran bahkan mukena yang semalam aku pakai masih terpasang di tubuhku. Sebentar! Mukena? Mataku sontak membulat. Teringat. Bagaimana keadaan pria itu? Apa dia baik-baik saja? Kusingkirkan kain panjang yang membalut tubuhku dan menyimpannya kembali di atas bedside cabinet. Berjalan keluar. Tunggu. Sontak langkah kakiku terhenti. Tersenyum licik. Bukankah ini kesempatan untukmu kabur Syifani? Apa yang kau tunggu lagi? Kesempatan emas ini tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.Bener, untuk apa juga aku peduli padanya? Kuangkat bahu tak acuh seraya bergegas berlari keluar rumah sakit

  • Tamally Ma'ak   What Happened?

    Smart timepiece backlight alarm clock berdering nyaring masuk ke dalam gendang telingaku. Kelopak mataku perlahan terbuka, mengerjap berulang-ulang kali guna menyesuaikan spotlight yang menerobos masuk ke dalam retina. Menoleh, ternyata sudah pukul setengah tiga dini hari. Menguap sembari bangun secara perlahan, menyadarkan kepala pada sandaran kasur, mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul sempurna lalu menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhku dan melangkah malas masuk ke dalam kamar mandi. Berwudhu dan melaksanakan salat malam. "Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra' Ayat 79) Rasa haus menyerang tenggorokanku. Kulangkahkan kaki menuju nakas, duduk di pinggir kasur, menghela napas pelan saat melihat gelas di atas nakas itu sudah kosong. Dengan berat kaki, kuayunkan langkah menuju pintu, mengetuknya, berulang-ulang kali berharap para pengawal yang ber

  • Tamally Ma'ak   Ain't A Whore

    “Sergio lepaskan aku sialan!” Aku berusaha keras agar lepas dari jeratan pria bedebah gila ini, tapi tubuh dan tenaganya lebih besar dariku. Mata elang itu kembali menatapku seperti binatang buas yang sedang kelaparan. “Sekali lagi kau mengumpat, aku bersumpah akan membungkam mulutmu.”Napasku memburu. "Baiklah, lepaskan aku… please." Muak, rasanya memohon pada pria brengsek sepertinya. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. “Bukankah kau sendiri yang hendak menyerahkan dirimu dengan datang ke kamar ini, Mi amor?”Pria bedebah sialan ini benar-benar menguji kesabaranku. Lama-lama ku tonjok juga muka menyebalkannya. Kuhela napas lelah. “Kau pikir aku sama dengan wanita yang tadi kau bawa itu, huh?"Bibirnya terkatup, matanya menatapku lekat. “Apa kau tidak pernah merasa bersalah telah merusak kehormatan seorang wanita?”“Mereka sendirilah yang datang melemparkan tubuhnya padaku.” Ia melepaskan kungkungan tangannya. Berdiri selangkah dariku. Kubalas tatapannya dengan tatapan tajam. Ja

DMCA.com Protection Status