Share

Let Me Go

Penulis: Ae-ri Puspita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-30 11:51:39

Dia melenggang pergi setelah mengatakan kalimat sialan itu. Ingin rasanya ku cabik-cabik tubuh perawatannya, tapi aku masih belum mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut. Sayang nyawa. 

Kuayunkan kaki masuk ke sebuah ruangan dalam kamar ini. Tercengang. Mulut dan mataku sama-sama terbuka lebar. Ini pertama kalinya aku melihat kamar mandi semewah dan se-Wah ini. Dasar kampungan, terserah, karena aku memang berasal dari kampung. Kamar ini lebih tepatnya cocok digunakan sebagai kamar tidur daripada kamar untuk buang hajat. 

Desain kamar mandi yang mewah dengan sentuhan tema old-school glamor. 

Mengadopsi warna putih yang terang dengan sentuhan tirai tulle memberikan kesan klasik elegan.

Penempatan sentuhan emas pada beberapa ornamen di dalam kamar mandi membuat ruangan ini terlihat semakin mewah. Untuk mempertegas kesan mewahnya si perancang kamar mandi ini juga menambahkan lampu gantung yang glamorous.

Mataku mengamati sekitar, memeriksa dan memastikan tidak ada kamera tersembunyi. 

Setelah memastikan kamar ini aman dari pemantauan, aku pun melangkah masuk ke dalam shower box. Mendengus, apa shower box ini tidak ada tirai penutupnya? 

Sekitar 30 menit kemudian, mungkin lebih. Aku tidak tahu, akhirnya, selesai. 

Kulangkahkan kakiku keluar wc. Gerakan langkahku seketika terhenti. Mataku berbinar bahagia saat melihat benda yang sangat aku kenali tergeletak di atas tempat, bergegas ku hampiri seraya membukanya. Memeriksa. Baju-baju yang kumasukkan sebelumnya ke dalam koper masih utuh pun oleh-oleh untuk ibu masih tertata rapi dalam paper bag. 

Tanganku dengan gesit mengobrak-abrik, mengeluarkan semua isi dalam koper hingga baju-baju tersebut berserakan di atas tempat tidur tapi benda yang paling aku butuhkan tidak ada. 

Mendengus kasar. Sudah kupastikan pria gila itu pasti mengambil Hp beserta dokumen pentingku. 

Terserah, bodo amat. Dengan kasar kuraih  satu gamis beserta jilbab dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi. 

Kenapa tidak berganti pakaian di kamar saja? Toh, cuma sendiri. Aku belum bisa memastikan kalau di kamar tersebut tidak ada kamera pengintai. Pria licik seperti pria bedebah gila itu pasti menyimpan sesuatu sebagai pertahanan dirinya di kamar yang tengah aku tempati sekarang. Ini hanya asumsiku saja. Aku harus berhati-hati, bukan? Apalagi dengan pria pembunuh sepertinya. 

"Astagfirullahaladzim." Jantungku rasanya hendak copot, begitu keluar tiba-tiba seseorang sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum lebar menatapku. 

Untung jantung ini ciptaan Allah, kalau ciptaan manusia pasti sudah retak berserakan di lantai. 

"Tuan Sergio menyuruhku memanggil Anda untuk turun makan malam, Nona."

Oh, namanya Sergio. Tapi, anyway. Apa ini benar-benar sudah malam?

"Nona!" Panggilan itu kembali menyentakku ke alam nyata. Menatapnya yang tengah tersenyum hangat ke arahku. 

Kuhela napas lelah.  "Syifani" 

"Iya." Dia tampak kebingungan. 

"Namaku Syifani. Jadi, berhentilah memanggilku dengan sebutan Nona, Nyonya."

"Mari Miss. Syifani." Tak acuhnya seraya menyuruhku agar berjalan lebih dahulu. 

"Aku belum tahu siapa nama Anda."

"Caroline, Nona. "

Sepertinya dia orang tua yang keras kepala. Kuanggukan kepala."Baiklah, Nyonya Caroline. Tolong sampaikan pada Tuan Anda, kalau aku sedang tidak ada nafsu makan."

"Tapi Nona…."

"Please!"

Tak menunggu tanggapannya, aku berjalan tertatih menuju tempat tidur. Bohong kalau aku tidak kelaparan. Sejak tadi aku sudah berusaha menahan rasa lapar. Sekarang dampaknya sedang kurasakan pada ulu hatiku rasanya sakit seperti diremas-remas kuat. 

Meringkuk, menutup sekujur tubuh dengan selimut. Berusaha menahan rasa sakit bahkan bulir bening pun mulai berjatuhan. 

Allah… bantu hamba. Kuatkan hamba. 

***

"Apa kau berusaha membunuhnya, huh?"

Aku dapat mendengar suara berat itu walau mataku sedang tertutup rapat. 

"Bukan salahku…Dia sendiri yang tidak mau makan!"

"Tapi setidaknya kau paksa dia biar perutnya terisi makanan."

"Sudah katakan saja perempuan ini sakit apa, hingga bisa sekarat ini?"

Sekarat? Kepala botak bapak kau. Apa dia menyumpahiku benar-benar sekarat. 

"Dia menderita penyakit maag. Untunglah, belum tingkat akut. Penderita ini tidak boleh melewatkan jam makan kerana dapat meningkatkan beban asam duodenum yang bisa memperburuk radang lambung. Karena

lambung yang terluka bisa menyebabkan iritasi akibat cairan lambung pada mukosa lambung. Gejala yang ditimbulkannya adalah  nyeri di bagian ulu hati."

Benar, aku memang memiliki riwayat penyakit maag. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau efeknya bisa sampai membuatku tak sadarkan diri. 

"Ngomong-ngomong, siapa perempuan ini? Aku belum pernah melihatnya. Is she your new whore?"

Whore? Nenek kau copot giginya. Apa pria kampret ini berfikir aku wanita bayaran pria gila satu ini? 

"Have you ever seen me bring a whore into this Mansion? Dia orang yang pernah aku katakan padamu."

Katakan apa? Katakan bahwa aku wanita tercantik sejagat raya mengalahkan Miss World. 

"Jangan bilang kalau wanita kurcaci ini yang pernah menolongmu?"

Kurcaci? Ingatkan aku untuk menampar wajahnya. 

"Hm. Dia saksi yang melihatku membunuh keparat itu."

"Apa kau akan membunuhnya juga?"

Kuteguk salivaku, takut. Aku tahu kemana arah pembicaraan mereka. 1 2 3 4 hingga menit ke lima pria itu tak kunjung membalas. 

"Kalau kau sudah selesai keluarlah!"

Kubuka mataku saat sudah yakin bahwa orang-orang tersebut sudah keluar. 

Lekas, kubuka infus yang terpasang pada punggung tanganku. Berjalan tertatih-tatih menuju kaca bening, mencari sesuatu yang bisa memecahkan kaca ini, hingga mataku jatuh pada nakas minimalis di samping ranjang. 

Sekuat tenaga aku berusaha memecahkan kaca tersebut, tapi nihil hasilnya sia-sia. Napasku tersengal-sengal, capek. Lapar dan haus menjadi satu. Keringat dingin pun mulai keluar melalui pori-pori kulit. 

"Apa kamu pikir kaca itu bisa kamu pecahkan hanya dengan menggunakan benda-benda itu?" Tanganku yang memegang nakas minimalis itu terayun di udara. Berbalik. 

Pria itu menyadarkan punggungnya pada tembok sambil bersedekap dada. "Usahamu hanya sia-sia."

"Kalau begitu biarkan aku keluar dari tempat ini dengan cara baik-baik." Kuteguk kasar salivaku. "Aku janji, aku tidak akan pernah memberitahu siapa pun atas kejahatan yang sudah kau lakukan."

Dia menatapku datar. "Kejahatan? Kejahatan apa yang sudah kulakukan, Nona?"

Tanganku terkepal erat. Ingin rasanya aku meninju wajah yang sialnya tampan itu.

"Aku tidak peduli kejahatan apa yang sudah kau lakukan, Tuan. Aku mohon, biarkan aku pergi dari sini."

Mataku berkaca-kaca. Aku benci diriku yang lemah seperti ini. Menunggu jawaban darinya. Berharap mendengarnya mengucapkan kata "Iya" dari bibirnya.

Sudah bermenit-menit rasanya, aku menunggu, tapi pria itu tak kunjung membuka mulut.

Kuangkat wajahku, menatapnya. "Aku akan melak—"

"Permisi Tuan!" Suara seseorang dari balik pintu memotong kalimatku. 

"Masuklah!"

Tubuh wanita tua itu menyembul dari balik pintu. Ia kembali membawa nampan berisikan satu piring makanan dan segelas air putih. Dan menyimpannya di atas tempat tidur. 

"Habiskan makanan itu jika kau ingin keluar dari tempat ini."

Sudut bibirku melengkungkan senyum tipis. Mataku sontak berbinar bahagia. 

"Benarkah?"

Bab terkait

  • Tamally Ma'ak   Frauded

    Ini sudah 1x24 jam, mungkin lebih dari janji yang pria gila itu ucapkan, tapi hingga saat ini belum kunjung batang hidungnya tampak. Bloon-nya aku malah termakan dengan janji manisnya. Ternyata semua pria di zaman sekarang sama saja. Catat! zaman sekarang, bukan zaman dahulu. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Baiklah, Syifani tahan, tahan sebentar lagi. Detik berganti menit, kesel, aku beranjak menuju pintu. Menendangnya sekuat tenaga sambil mengeluarkan suara keras seperti suara mahasiswa yang turun ke jalan meminta keadilan kepada pemerintah.“Buka! Aku tahu kau ada di luar.” Bomat kalau pintu ini bakal rusak ataupun roboh.“Tepati janjimu kurang ajar…..” Tanganku dengan keras menggedor-gedor pintu bercat putih itu. “Sergio si…”Ucapanku menguap di udara tatkala pintu itu terbuka lebar, menampilkan wajah merah padam seorang pria. “Apa kau tidak bisa sehari saja tidak berisik?”Kuangkat wajahku, pongah, menentangnya. “Tepati janjimu!”Ia menatapku lamat-lamat sedangkan a

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-18
  • Tamally Ma'ak   Forbearance

    Cahaya mentari bersinar terpantul menebus masuk melalui kaca bening penjara kamar ini. Berapa kali pun, aku mencoba untuk kabur, hasilnya tetap sia-sia. Kesabaranku selama berada di tempat ini benar-benar diuji. Lelah, putus asa, tapi aku tidak ingin menyerah. Tak ada kata menyerah dalam hidupku. Tempat ini seperti labirin. Sangat sulit dan tak ada celah untuk bisa kabur. Di setiap sudut ruangan terdapat ranjau pemantau, hingga aku tidak bisa lari melewati ranjau itu. Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku membawaku berkelana mencari cara sedangkan mataku menatap lurus burung-burung yang berterbangan bebas di luaran sana. Berkicau seperti senandung melodi pagi yang menenangkan. Kuulas senyuman miris, kapan aku bisa bebas dari jeratan pria bedebah itu? Aku ingin kembali merasakan kebebasanku. Bebas kemana pun ku inginkan, bebas melakukan apa pun yang ku inginkan. Bukan terkungkung layaknya burung dalam sangkar dan terpenjara layaknya seorang penjahat buronan polisi. Kuhela napas pa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Tamally Ma'ak   Ain't A Whore

    “Sergio lepaskan aku sialan!” Aku berusaha keras agar lepas dari jeratan pria bedebah gila ini, tapi tubuh dan tenaganya lebih besar dariku. Mata elang itu kembali menatapku seperti binatang buas yang sedang kelaparan. “Sekali lagi kau mengumpat, aku bersumpah akan membungkam mulutmu.”Napasku memburu. "Baiklah, lepaskan aku… please." Muak, rasanya memohon pada pria brengsek sepertinya. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. “Bukankah kau sendiri yang hendak menyerahkan dirimu dengan datang ke kamar ini, Mi amor?”Pria bedebah sialan ini benar-benar menguji kesabaranku. Lama-lama ku tonjok juga muka menyebalkannya. Kuhela napas lelah. “Kau pikir aku sama dengan wanita yang tadi kau bawa itu, huh?"Bibirnya terkatup, matanya menatapku lekat. “Apa kau tidak pernah merasa bersalah telah merusak kehormatan seorang wanita?”“Mereka sendirilah yang datang melemparkan tubuhnya padaku.” Ia melepaskan kungkungan tangannya. Berdiri selangkah dariku. Kubalas tatapannya dengan tatapan tajam. Ja

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-20
  • Tamally Ma'ak   What Happened?

    Smart timepiece backlight alarm clock berdering nyaring masuk ke dalam gendang telingaku. Kelopak mataku perlahan terbuka, mengerjap berulang-ulang kali guna menyesuaikan spotlight yang menerobos masuk ke dalam retina. Menoleh, ternyata sudah pukul setengah tiga dini hari. Menguap sembari bangun secara perlahan, menyadarkan kepala pada sandaran kasur, mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul sempurna lalu menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhku dan melangkah malas masuk ke dalam kamar mandi. Berwudhu dan melaksanakan salat malam. "Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra' Ayat 79) Rasa haus menyerang tenggorokanku. Kulangkahkan kaki menuju nakas, duduk di pinggir kasur, menghela napas pelan saat melihat gelas di atas nakas itu sudah kosong. Dengan berat kaki, kuayunkan langkah menuju pintu, mengetuknya, berulang-ulang kali berharap para pengawal yang ber

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-21
  • Tamally Ma'ak   Husband?

    Embun jatuh perlahan seiring fajar menyapa keramaian, terdengar derap langkah kaki orang-orang yang berlalu-lalang ke sana kemari, membuat tidurku terganggu. Perih, saat mata ini terbuka, berapa jam tidurku? "Awww…." Meringis pusing, memujit pelipis saat membangungkan diri sendiri. Kuangkat wajah bantalku melihat ventilasi udara yang telah memantulkan cahaya sang surya. Ternyata aku tidak sadar ketiduran bahkan mukena yang semalam aku pakai masih terpasang di tubuhku. Sebentar! Mukena? Mataku sontak membulat. Teringat. Bagaimana keadaan pria itu? Apa dia baik-baik saja? Kusingkirkan kain panjang yang membalut tubuhku dan menyimpannya kembali di atas bedside cabinet. Berjalan keluar. Tunggu. Sontak langkah kakiku terhenti. Tersenyum licik. Bukankah ini kesempatan untukmu kabur Syifani? Apa yang kau tunggu lagi? Kesempatan emas ini tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.Bener, untuk apa juga aku peduli padanya? Kuangkat bahu tak acuh seraya bergegas berlari keluar rumah sakit

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Tamally Ma'ak   Who's He?

    Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Tamally Ma'ak   Commemoration

    Tepat seminggu setelah menjalani pemulihan, akhirnya Sergio diperbolehkan untuk pulang. Kini kami sedang dalam perjalanan, entah kemana. Aku pun tidak berniat untuk mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Memandangi gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya seakan tersenyum mengejekku. Mobil yang kutumpangi, akhirnya tiba di halaman mansion berwujud kastil itu. Lagi. Kuhela napas gusar. Sungguh keputusan yang sangat buruk. Kuikuti langkah lebarnya memasuki tempat tersebut. Tempat yang sepatutnya sudah kutinggalkan. Tapi karena keduguan yang kulakukan, akhirnya aku kembali terjebak di penjara ini. "Naiklah!" titahnya. Menyuruh menaiki anak tangga mansion ini dengan dagunya. Lekas kucekal pergelangan tangannya saat ia hendak mengayunkan langkah kembali. Dia menoleh. "Bisakah kau kembalikan buku-bukuku yang kau sita? Aku butuh benda-benda itu untuk menghilangkan kejenuhanku." Kutatap ia menggibah. Berharap hatinya tersentuh. "

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Tamally Ma'ak   Who?

    Denting jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Kututup buku diaryku, menyimpannya di atas nakas seraya menarik selimut dan mencoba tuk memejamkan mata. Berkali-kali tapi sulit, hingga aku tersentak kaget saat jam weker berdering nyaring masuk ke dalam membran timpani-ku tepat pada pukul 4.30 subuh. Jam berapa aku tidur semalam? Kugerakkan tubuhku masuk ke dalam kamar mandi. Mandi subuh dan berwudhu. Kemudian melangkah menuju lantai dasar. Setidaknya beberapa hari ini aku bisa merasakan sedikit kebebasan, berkeliaran dalam mansion mewah ini, walau harus diawasi dengan ketat. Anak buah pria itu menatapku tajam saat aku berjalan di depannya menuju dapur. "Masak apa?" Beatrica tersentak kaget reflek menoleh. "Aku lagi buat American Pancakes untuk Tuan Sergio dan ayam goreng untuk Anda." Dia tersenyum manis sekali. Ayam goreng? Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan makanan kesukaan Upin Ipin itu. "Apa pria itu sangat suka dengan makanan itu?"Beatrica mengangguk. "Tuan tidak suka mak

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-25

Bab terbaru

  • Tamally Ma'ak   Contend

    Kusibak selimut yang membungkus tubuhku seraya bergegas mencari keberadaannya, di kamarnya, kosong. Melangkah lebar menuju lantai dasar, ternyata di ruang tamu juga kosong, hanya ada beberapa bodyguard berkepala plontos yang sedang berjaga, kuayunkan kaki menuju dapur–ternyata dia ada di sana tengah menikmati sarapan paginya seakan tak ada beban apa pun yang ia rasakan. “Sergio!” Dia tak menoleh sedikitpun. “Apa kamu masih bisa sarapan di saat situasi seperti sekarang, hah?” Aku berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan menggebu emosi. “Kau ingin aku mati karena tidak sarapan?” Tak acuhnya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Kugebrak meja membuat atensinya teralihkan padaku.”Kau tahu, gara-gara kau nama baikku jadi tercemar?""Apa kau hanya memikirkan nama baikmu?" Apa dia bilang hanya? Aku berdecih jengkel. Ingin rasanya aku meninju wajah iblisnya ini. Dengan entengnya dia mengeluarkan kalimat sialan itu. "Kalau bukan karena kau, aku tidak akan pernah mengalami pe

  • Tamally Ma'ak   Bad News

    Kuhela napas pelan. Percuma. Pria itu hanya diam seperti patung pancora. Hingga mobil itu berbelok menuju pekarangan mansion, kami masih saja diam dalam kebisuan. Gegas, ku ayunkan kaki sesaat mobil tersebut berhenti, melangkah lebar menuju kamar. Menutup dan menguncinya seraya melangkah membaringkan diri di atas tempat tidur. Menatap plafon dengan ribuan pertanyaan. Sebenarnya siapa mereka? Mengapa aku merasa pernah bertemu dengan pria berwajah psikopat itu?Gelap, itulah yang aku lihat, tapi kegelapan itu hanya bersifat semantara. Lampu-lampu yang bergelantungan di atasku perlahan mengeluarkan cahayanya. Mataku mengikuti arah cahaya lampu itu, menyipitkan mata, tatkala pandanganku seperti melihat bayangan seseorang. “Sergio!” Dia berbalik, senyum yang semula terbit kini redup saat pria itu menodongkan senjata ke arahku. Mataku kembali menatapnya dengan pandangan yang berkabut air mata sedangkan Sergio menatapku dengan seringaian yang menjijikkan. “A—Ap…”Dor!“Astaghfirullahaladzim

  • Tamally Ma'ak   Dunno Who

    Janganlah kalian berharap bertemu musuh. Namun jika kalian bertemu musuh, bertabahlah menghadapinya (HR Bukhari).***Di suatu tempat? Aku mengernyit tak paham. Rumah sakit? Mataku reflek membeliak lantas menoleh ke belakang. Pria dengan wajah sangar seperti psychopath itu tengah menatap datar ke arahku. Kutelan kasar ludahku, lekas memalingkan pandangan ke depan. Entah mengapa, menatap pria itu membuat gemuruh jantungku bertalu-talu. Apa sebenarnya aku pernah bertemu dengannya? Mengapa tatapan pria sangar itu seakan tak asing bagiku. Tanpa sadar tanganku saling menggenggam satu sama lain, menyalurkan gugup yang kian mendera hatiku. Ada apa sebenarnya, mengapa juga aku harus merasakan takut pada orang yang baru pertama kali aku temui? Tanpa sebab?Ya Allah lindungi hamba,” Allahumma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzubika min syururihim.Artinya: "Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka." (HR. Abu Dawud)"Apa Sergio tidak men

  • Tamally Ma'ak   Who?

    Denting jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Kututup buku diaryku, menyimpannya di atas nakas seraya menarik selimut dan mencoba tuk memejamkan mata. Berkali-kali tapi sulit, hingga aku tersentak kaget saat jam weker berdering nyaring masuk ke dalam membran timpani-ku tepat pada pukul 4.30 subuh. Jam berapa aku tidur semalam? Kugerakkan tubuhku masuk ke dalam kamar mandi. Mandi subuh dan berwudhu. Kemudian melangkah menuju lantai dasar. Setidaknya beberapa hari ini aku bisa merasakan sedikit kebebasan, berkeliaran dalam mansion mewah ini, walau harus diawasi dengan ketat. Anak buah pria itu menatapku tajam saat aku berjalan di depannya menuju dapur. "Masak apa?" Beatrica tersentak kaget reflek menoleh. "Aku lagi buat American Pancakes untuk Tuan Sergio dan ayam goreng untuk Anda." Dia tersenyum manis sekali. Ayam goreng? Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan makanan kesukaan Upin Ipin itu. "Apa pria itu sangat suka dengan makanan itu?"Beatrica mengangguk. "Tuan tidak suka mak

  • Tamally Ma'ak   Commemoration

    Tepat seminggu setelah menjalani pemulihan, akhirnya Sergio diperbolehkan untuk pulang. Kini kami sedang dalam perjalanan, entah kemana. Aku pun tidak berniat untuk mencari tahu kemana arah mobil ini melaju. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya. Memandangi gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya seakan tersenyum mengejekku. Mobil yang kutumpangi, akhirnya tiba di halaman mansion berwujud kastil itu. Lagi. Kuhela napas gusar. Sungguh keputusan yang sangat buruk. Kuikuti langkah lebarnya memasuki tempat tersebut. Tempat yang sepatutnya sudah kutinggalkan. Tapi karena keduguan yang kulakukan, akhirnya aku kembali terjebak di penjara ini. "Naiklah!" titahnya. Menyuruh menaiki anak tangga mansion ini dengan dagunya. Lekas kucekal pergelangan tangannya saat ia hendak mengayunkan langkah kembali. Dia menoleh. "Bisakah kau kembalikan buku-bukuku yang kau sita? Aku butuh benda-benda itu untuk menghilangkan kejenuhanku." Kutatap ia menggibah. Berharap hatinya tersentuh. "

  • Tamally Ma'ak   Who's He?

    Aku berdehem membuat dua anak manusia yang dimabuk cinta tersebut menoleh ke arahku. "Ah, Bell. Dia adalah Syifani." Aku tersenyum, mengangguk kecil. "Oh, really?" Entah apa yang membuat mata wanita ini berbinar seperti itu menatapku. Dia bergerak menujuku, sontak membuat mataku terbelalak saat dia tiba-tiba saja memelukku. Dia merenggangkan jarak pelukannya, tersenyum duchenne, memandangiku cukup lama. "Dia sama sekali tidak berubah, " ucapnya menoleh ke arah Sergio. "She still looks the same as before."Aku mengernyitkan kening? Apa maksudnya. "Apa kamu tidak ingat apapun?" tanyanya padaku. "Iya." Sungguh, aku tidak tahu kemana arah pembicaraannya. "Really? Kau tidak ingat apapun soal… ""Bella!" Aku dan wanita yang bernama Bella itu refleks menoleh ke arah Sergio. Wajah pria itu terlihat memerah dengan napas yang naik turun, tak teratur. Dia memejamkan matanya sejenak, jakunnya ikut naik turun." Aku ingin berbicara dengan Bella berdua. Keluarla!""Ah, iya. " Entah mengapa a

  • Tamally Ma'ak   Husband?

    Embun jatuh perlahan seiring fajar menyapa keramaian, terdengar derap langkah kaki orang-orang yang berlalu-lalang ke sana kemari, membuat tidurku terganggu. Perih, saat mata ini terbuka, berapa jam tidurku? "Awww…." Meringis pusing, memujit pelipis saat membangungkan diri sendiri. Kuangkat wajah bantalku melihat ventilasi udara yang telah memantulkan cahaya sang surya. Ternyata aku tidak sadar ketiduran bahkan mukena yang semalam aku pakai masih terpasang di tubuhku. Sebentar! Mukena? Mataku sontak membulat. Teringat. Bagaimana keadaan pria itu? Apa dia baik-baik saja? Kusingkirkan kain panjang yang membalut tubuhku dan menyimpannya kembali di atas bedside cabinet. Berjalan keluar. Tunggu. Sontak langkah kakiku terhenti. Tersenyum licik. Bukankah ini kesempatan untukmu kabur Syifani? Apa yang kau tunggu lagi? Kesempatan emas ini tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.Bener, untuk apa juga aku peduli padanya? Kuangkat bahu tak acuh seraya bergegas berlari keluar rumah sakit

  • Tamally Ma'ak   What Happened?

    Smart timepiece backlight alarm clock berdering nyaring masuk ke dalam gendang telingaku. Kelopak mataku perlahan terbuka, mengerjap berulang-ulang kali guna menyesuaikan spotlight yang menerobos masuk ke dalam retina. Menoleh, ternyata sudah pukul setengah tiga dini hari. Menguap sembari bangun secara perlahan, menyadarkan kepala pada sandaran kasur, mengumpulkan nyawa yang belum terkumpul sempurna lalu menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhku dan melangkah malas masuk ke dalam kamar mandi. Berwudhu dan melaksanakan salat malam. "Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra' Ayat 79) Rasa haus menyerang tenggorokanku. Kulangkahkan kaki menuju nakas, duduk di pinggir kasur, menghela napas pelan saat melihat gelas di atas nakas itu sudah kosong. Dengan berat kaki, kuayunkan langkah menuju pintu, mengetuknya, berulang-ulang kali berharap para pengawal yang ber

  • Tamally Ma'ak   Ain't A Whore

    “Sergio lepaskan aku sialan!” Aku berusaha keras agar lepas dari jeratan pria bedebah gila ini, tapi tubuh dan tenaganya lebih besar dariku. Mata elang itu kembali menatapku seperti binatang buas yang sedang kelaparan. “Sekali lagi kau mengumpat, aku bersumpah akan membungkam mulutmu.”Napasku memburu. "Baiklah, lepaskan aku… please." Muak, rasanya memohon pada pria brengsek sepertinya. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. “Bukankah kau sendiri yang hendak menyerahkan dirimu dengan datang ke kamar ini, Mi amor?”Pria bedebah sialan ini benar-benar menguji kesabaranku. Lama-lama ku tonjok juga muka menyebalkannya. Kuhela napas lelah. “Kau pikir aku sama dengan wanita yang tadi kau bawa itu, huh?"Bibirnya terkatup, matanya menatapku lekat. “Apa kau tidak pernah merasa bersalah telah merusak kehormatan seorang wanita?”“Mereka sendirilah yang datang melemparkan tubuhnya padaku.” Ia melepaskan kungkungan tangannya. Berdiri selangkah dariku. Kubalas tatapannya dengan tatapan tajam. Ja

DMCA.com Protection Status