Mas Bian sedang membereskan barang-barang kami. Sejak tadi ia sangat sibuk. Aku hanya tersenyum sambil menggendong Affan. Ingin kubantu agar cepat selesai tapi dia menolak.
"Budhe, kami pamit ya," ujar Mas Bian menyalami tangan budhe, begitu pula denganku.
"Sering-seringlah datang kesini," ujar budhe dengan netra berkaca-kaca.
"Iya budhe, pasti kami sering datang kesini. Lha wong cuma pindah ke rumah doang, gak keluar kota."
"Iya, tapi disini bakal sepi. Budhe pasti kangen sama dedek Affan." Budhe Narti nampak menyeka bulir bening disudut matanya.
Kami saling berpelukan, budhe pun kembali menciumi dedek Affan. Aku merasa terenyuh dan juga terharu.
***
Rumah Mas Bian cukup besar, ini satu-satunya rumah peninggalan orang tuanya. Mas Bian adalah anak tunggal, tidak punya adik maupun kakak.
"Ini kamar kita, belum diberesin jadi masih berantakan," ucap Mas Bian.
Aku hanya tersenyum lalu membaringkan Affan diatas k
"Lani? Ada apa kamu kesini?" tanya Mas Bian dengan tatapan tidak suka.Mbak Lani terdiam, tiba-tiba saja dia menangis dan menghiba.Ada apa sih?"Ayo silahkan masuk dulu mbak," ajakku sambil mempersilahkannya duduk."Ada apa, Mbak?" tanyaku lagi."Amira, Bian, maaf aku mau minta tolong sama kalian," ujarnya pelan-pelan."Minta tolong apa?""Boleh tidak kalau aku pinjam uang? Aku tidak punya uang sama sekali buat bayar kontrakan dan untuk makan," jawabnya dengan nada bergetar.Aku dan Mas Bian saling berpandangan."Lani, kamu kan masih muda, kenapa tidak cari kerja? Yang halal kan banyak," ketus Mas Bian.Aku menggenggam tangan Mas Bian agar dia tidak berbicara ketus lagi."Tidak ada yang mau menerimaku bekerja, kulitku pada ngelupas seperti ini, mereka jijik melihatku," sahut Mbak Lani. Dia menunjukkan tangannya. Sedangkan diwajahnya juga masih memerah seperti tempo hari."Itu gatal-gatal atau
Hari-hari berlalu dengan baik. Affan pun tumbuh jadi anak yang aktif dan lucu. Dia sudah bisa tengkurap dan mengoceh lebih lantang. Usianya sekarang sudah menginjak lima bulan lebih. Pipinya yang gembul, membuatku tak berhenti menciuminya. Begitu pula dengan Mas Bian, dia semakin gemas dengan tingkah lucu Affan.Sikap Mas Bian terhadapku pun semakin hari bertambah manis, dia suka memberikan kejutan-kejutan yang tidak terduga. Seperti hari ini dia memberikan buket mawar warna merah kepadaku. Aku menghisap aroma wanginya. Setelah puas memandanginya, kutaruh di pojok kamar dekat meja rias. Disana pun sudah bertengger beberapa buket bunga pemberiannya di hari-hari sebelumnya."Mas, kenapa kamu sering membelikanku buket bunga seperti ini? Gak sayang uangnya?" tanyaku sembari terus memegang bunga itu dengan senyuman yang lebar.Tiba-tiba saja, Mas Bian mendekatiku dan memelukku dari belakang."Sebagai suami, aku harus membahagiakanmu, bukan? Aku bahagia l
"Oh iya, selain mau bertemu Affan, aku juga ingin memberi kabar yang lain," ucap Mas Andri. "Apa itu, Ndri?" tanya Mas Bian. "Bulan depan, insyaallah aku akan menikah," tuturnya. "Waaah, selamat ya, sama siapa?" tanya Mas Bian kembali "Sama putrinya Pak Ustadz yang menyembuhkanku." "Alhamdulillah..." "Kalian harus datang ya," ujarnya lagi. "Iya, kami pasti akan datang." Alhamdulillah, syukurlah kalau Mas Andri sudah menemukan tambatan hatinya lagi. Semoga kau bahagia dengannya mas. Meskipun aku belum pernah melihat calon istrimu, tapi aku yakin pasti dia orang yang sangat baik. "Ya sudah, kalau begitu aku izin pamit pulang," sahut Mas Andri lagi. "Maaf ya sayang, ayah gak bisa lama-lama disini, ayah harus pulang. Kamu baik-baik ya disini sama ibu dan juga ayah Bian," tuturnya lagi sembari kembali menciumi dedek Affan. Dia bangkit dan menyerahkan Affan kembali padaku. "Jaga ba
POV LaniAku tak tahu penyebab sebenarnya penyakit ini, kulit tubuh dan wajahku kemerah-merahan, bukannya sembuh tapi justru lebih parah. Ada yang melepuh di bagian kaki.Saat itu, setelah mendapatkan bantuan uang dari Bian, aku segera memeriksakan diri ke dokter kulit dan sudah rutin mengonsumsi obat, namun tak ada perubahan yang berarti, justru rasanya semakin bertambah parah. Dan tiba-tiba gatal-gatal di sekujur tubuh membuatku tak berhenti menggaruk, hingga kulit kemerahanku terlihat lecet dan berdarah.Entahlah penyakit apa yang aku derita ini. Aku selalu menutupi tubuhku dengan baju-baju yang panjang agar mereka yang melihatnya tidak merasa jijik. Terkadang aku juga memakai masker untuk menutupi sebagian wajahku.Biaya hidup aku dapat dari berjualan pakaian, sebagai reseller, aku berjualan baju-baju keliling. Sekali lagi modal itu didapatkan dari Bian, sisa dari membayar kontrakan dan berobat k
POV AndriHari-hariku kini terasa begitu damai. Hidup di lingkungan pedesaan yang asri dan sisi keagamaan yang begitu kental membuatku banyak belajar, terutama ilmu yang diajarkan oleh pak ustadz. Akupun jadi ikut belajar menyembuhkan orang-orang yang bermasalah karena pengaruh ilmu hitam.Semua keadaan benar-benar berubah. Aku merasa lebih nyaman tinggal disini dari pada pulang ke rumah. Kutinggalkan semua masa kelamku disana dan siap menata masa depan. Biarpun disini hanya hidup cukup, jauh dari kata mewah, karena memang tidak seramai tinggal di kota.Dari sisa uang yang ada, aku memberanikan diri untuk terjun di dunia perikanan. Beruntung pak ustadz menyetujui ideku. Dengan menggunakan terpal seadanya, untuk membuat kolam dan akupun mulai memelihara ikan nila dan lele, bibitnya aku beli dari seseorang kenalan pak ustadz. Kolam-kolam ikan dari terpal itu aku buat di belakang rumah yang sekaligus menjadi balai pengobatan Pak ustadz. Kebetulan halama
POV AmiraIni sudah tahun ketiga aku menikah dengan Mas Bian. Dia suami yang sangat baik, selalu membantu meringankan pekerjaan rumah. Ia pun sangat menyayangi Affan. Mereka sangat dekat, seperti tak bisa dipisahkan.Dua tahun pertama menikah, kami memang sengaja menunda kehamilan, dikarenakan Affan masih kecil, Mas Bian juga tidak tega kalau aku harus hamil lagi, sedangkan Affan masih butuh kasih sayang dan full ASI.Namun rencananya mulai tahun ini, kami ingin memulai program kehamilan. Aku sudah siap menjalankan masa kehamilanku lagi. Selain Affan sudah tumbuh besar, ia juga sering dijemput oleh ayah kandungnya untuk tinggal sementara dengan mereka. Dan siapa sangka harapan kami terkabul dengan cepat.Pagi itu aku melakukan test pack. Karena sudah tiga minggu telat datang bulan."Aku hamil, mas," ucapku sambil tersenyum lebar ketika keluar dari kamar mandi. Kupegang test pack dengan tanda dua garis merah di alat tes kehamilan itu, yang menandaka
Delapan bulan berlalu dengan cepat. Hari-hari kujalani bersama Mas Bian terasa begitu indah. Apalagi sekarang aku sedang mengandung benihnya. Dia begitu sayang padaku. Kasih sayangnya pada Affan, putra tirinya pun tidak pernah luntur.Namun karena bulan ini kehamilanku sudah menginjak usia sembilan bulan, sudah mendekati HPL Affan dibawa kembali oleh ayah kandungnya untuk tinggal sementara dengannya sampai aku melahirkan dan sampai aku tidak kerepotan. Karena disana mereka belum dikaruniai momongan. Beruntung, ibu tiri Affan pun sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri.Kurasakan perutku begitu melilit mulas, seperti hendak melahirkan. Kontraksinya terasa begitu intens."Mas, mas, bangun," kugoyangkan tubuh Mas Bian, hingga akhirnya matanya mulai terbuka. Ia terlihat menggeliat malas."Ada apa, sayang?" tanyanya kemudian bangun mengecup pipiku."Mas, perutku sakit banget," jawabku seraya meringis kesakitanMas Bian nampak kaget, "K
PoV BianDidalam kekalutanku, yang kupikirkan hanya Amira dan bayi kami yang baru lahir, Alia. Bagaimana nantinya mereka jika aku harus mendekam di penjara? Siapa yang akan menjaga mereka? Amira pasti sangat sedih dan terpukul.Rasa sesak ini benar-benar menghimpit di dada. Tak pernah terbayangkan hal ini akan terjadi pada kami. Kecelakaan itu terjadi secara tiba-tiba dan tak dapat terhindarkan, walaupun aku sudah berhati-hati. Secara tidak langsung, aku sudah menghilangkan nyawa seseorang.Astaghfirullah hal'adzim, Ya Allah, apakah aku punya kesalahan di masa lalu? Hingga harus kurasakan semua ini? Ah tidak, harusnya aku tak boleh mengeluh, ini sudah jalan takdir kami. Aku harus bisa pasrah dan ikhlas menjalaninya.Aku segera menghubungi Restu dan juga Budhe Narti, untung saja mereka cepat datang, walaupun cuaca masih diguyur hujan. Budhe Narti terlihat sangat shock dan sangat khawatir. Setelah mendengar apa yang terjadi. Budhe Narti lebih banyak d