Delapan bulan berlalu dengan cepat. Hari-hari kujalani bersama Mas Bian terasa begitu indah. Apalagi sekarang aku sedang mengandung benihnya. Dia begitu sayang padaku. Kasih sayangnya pada Affan, putra tirinya pun tidak pernah luntur.
Namun karena bulan ini kehamilanku sudah menginjak usia sembilan bulan, sudah mendekati HPL Affan dibawa kembali oleh ayah kandungnya untuk tinggal sementara dengannya sampai aku melahirkan dan sampai aku tidak kerepotan. Karena disana mereka belum dikaruniai momongan. Beruntung, ibu tiri Affan pun sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri.
Kurasakan perutku begitu melilit mulas, seperti hendak melahirkan. Kontraksinya terasa begitu intens.
"Mas, mas, bangun," kugoyangkan tubuh Mas Bian, hingga akhirnya matanya mulai terbuka. Ia terlihat menggeliat malas.
"Ada apa, sayang?" tanyanya kemudian bangun mengecup pipiku.
"Mas, perutku sakit banget," jawabku seraya meringis kesakitan
Mas Bian nampak kaget, "K
PoV BianDidalam kekalutanku, yang kupikirkan hanya Amira dan bayi kami yang baru lahir, Alia. Bagaimana nantinya mereka jika aku harus mendekam di penjara? Siapa yang akan menjaga mereka? Amira pasti sangat sedih dan terpukul.Rasa sesak ini benar-benar menghimpit di dada. Tak pernah terbayangkan hal ini akan terjadi pada kami. Kecelakaan itu terjadi secara tiba-tiba dan tak dapat terhindarkan, walaupun aku sudah berhati-hati. Secara tidak langsung, aku sudah menghilangkan nyawa seseorang.Astaghfirullah hal'adzim, Ya Allah, apakah aku punya kesalahan di masa lalu? Hingga harus kurasakan semua ini? Ah tidak, harusnya aku tak boleh mengeluh, ini sudah jalan takdir kami. Aku harus bisa pasrah dan ikhlas menjalaninya.Aku segera menghubungi Restu dan juga Budhe Narti, untung saja mereka cepat datang, walaupun cuaca masih diguyur hujan. Budhe Narti terlihat sangat shock dan sangat khawatir. Setelah mendengar apa yang terjadi. Budhe Narti lebih banyak d
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV RestuPagi menjelang siang, aku kedatangan tamu yang tidak terduga. Andri dan istrinya datang berkunjung. Mereka membawa Affan juga. Sudah lama kami tak bertemu."Mas, maaf ya mas, aku gak bisa datang waktu acara pernikahanmu. Waktu itu istriku lagi ngidam parah, mual dan muntah-muntah terus tiap hari sampai dia harus bedrest total," ucap Andri mengungkapkan alasannya kenapa dia tak bisa datang saat acara pernikahanku digelar."Istrimu sedang hamil, Ndri?" tanyaku."Iya mas, sudah memasuki usia 4 bulanan," jawab Andri sembari memandang istrinya dengan penuh cinta. Aini hanya mengulum senyum sambil mengangguk."Alhamdulillah, mas ikut senang mendengarnya.""Iya mas, ini baru bisa diajak pergi-pergi. Dulu mau ditinggal juga kasihan.""Tidak apa-apa, mas senang kalau kalian sehat, itu saja sudah cukup.""Aku gak bisa ngasih apa-apa, Mas.
POV MutiaMenikah dengan seseorang yang tak kukenal sebelumnya, kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Takut, ragu, canggung, semuanya campur aduk jadi satu.Tapi mungkin ini jalan takdirku. Dan mungkin saja Mas Restu adalah jodoh yang dipilihkan Allah untukku dengan jalan yang tidak terduga.Setelah sempat beberapa hari kemarin hidupku benar-benar terguncang, menghadapi kenyataan yang ada di depanku. Kehilangan seseorang yang besok akan meminangku. Calon suamiku meninggal tepat dua hari sebelum hari H.Lalu, setelah menghadapi kenyataan bahwa ternyata Mas Roni-lah yang bersalah, tidak hati-hati dalam mengendarai motornya hingga ia terjatuh. Hatiku terkoyak begitu dalam.Apalagi keinginan ibu yang seakan memaksa kalau aku harus menikah dengan yang menabrak Mas Roni, itu tidak masuk akal bukan? Tapi aku bisa apa? Aku tak berani menolak. Keluarga Mas Roni telah banyak membantuku. Mereka sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah membawa
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?