Singkat cerita aku telah resmi berpacaran dengan Dimas. Aku mengizinkannya untuk berada di dekatku sebagai seorang kekasih meskipun jelas tetap ada jarak diantara kita.Aku dengan tegas memberi Dimas sebuah batasan yakni sebelum kami melangkah ke jenjang pernikahan, dia tidak boleh menyentuhku. "Tak masalah. Aku memang bukan orang suci yang langsung bisa menahan segalanya tetapi demi kamu, aku akan berusaha keras untuk menjadi orang yang lebih baik termasuk menjaga hasrat aku," ujarnya membuatku begitu lega mendengarnya."Tapi Dim. Boleh nggak sih aku tanya kamu kenapa kamu bisa suka sama aku?""Kenapa memangnya?" tanyanya masih sambil menatapku dengan mata cerahnya."Aku kadang masih heran saja sama kamu. Aku bukan wanita yang memiliki segalanya dan bahkan memiliki banyak sekali kekurangan. Selain itu, status aku juga... Aku pernah menikah, Dim. Dan aku juga bahkan sudah memiliki seorang anak. Kamu...""Aku hanya cinta kamu. Dan rasa cinta itu nggak memandang itu semua, Zara.""Tapi
Tak pernah aku sangka, ternyata reaksi Mama malah terlihat biasa-biasa saja. Mama tidak terlalu kaget seolah seperti sudah menebak jika memang akan terjadi sesuatu antara aku dan Dimas. Namun, sesungguhnya aku pun juga berharap jika Mama memang bereaksi demikian sehingga aku tidak perlu merasa canggung atau resah. Sebelumnya aku memang sudah mengatakan jika aku belum tertarik untuk memiliki hubungan dengan pria manapun tetapi ternyata semuanya tak bisa aku juga. Aku memang belum jatuh cinta terhadap Dimas tetapi rasanya memang aku tidak bisa mengabaikan perasaannya begitu saja. Kemudian, di suatu siang di saat aku sedang menunggu kedatangan Dimas di sebuah taman seperti biasanya, aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang. "Kau pasti sedang menunggu Dokter Dimas ya sekarang?" ucap Dokter Ellen tiba-tiba. Aku tentu saja terkejut karena melihatnya yang tiba-tiba saja muncul di sana. Kenapa dia bisa muncul di sana? Apa mungkin suatu kebetulan? Namun, kenapa aku harus sering sekali b
Di malam harinya, aku masih berharap ada sebuah pemberitahuan dari Dimas yang muncul di ponselku tetapi nyatanya dia benar-benar tidak menghubungiku.Perasaanku mulai gelisah luar biasa. Aku mulai kembali berpikir jika mungkin aku memang belum siap untuk menjalin hubungan baru dengan pria lain walaupun itu Dimas yang sudah aku kenal cukup lama.Pasalnya, sebelumnya aku mengenalnya sebagai seorang teman tetapi saat ini setelah resmi menjalin sebuah hubungan asmara dengannya, aku malah merasa tak nyaman. Pandanganku berubah. Aku hanya takut nanti jika hubunganku malah semakin berjalan tak lancar dengannya.Dan benar saja perasaanku terasa seperti digantung bahkan hingga di keesokan harinya karena Dimas belum juga menghubungiku. Perasaanku jadi tak menentu dibuatnya tetapi aku enggan untuk menghubunginya terlebih dulu."Kamu ngapain dari tadi melirik ponsel terus?" Mama bertanya padaku dengan intonasi yang terdengar heran."Nggak, Ma. Oh iya, hari ini Zara ada jadwal dobel jadi sampai ja
"Cuti?" tanyaku bingung pada petugas itu."Ya.""Berapa lama cutinya, Mbak?" tanyaku lagi."Wah, mohon maaf. Saya kurang tahu. Di sini tidak tercantum jelas sampai kapan," jawabnya.Aku mengerutkan dahiku bingung. Mana mungkin begitu? Bukankah semua jadwal dokter itu ada jelas di sana dan sudah pasti waktu cuti pun akan terdaftar di sana kan? Apa memang jangan-jangan Dimas sendiri yang sudah berpesan pada orang-orang agar tidak memberitahu tentang cutinya tersebut? Sungguh, aku semakin bingung dan tak mengerti sekarang ini."Ya sudah, Mbak. Terima kasih atas infonya," ucapku kemudian."Baik, Mbak," sahut petugas itu.Setelah itu, aku semakin tidak bisa berpikir jernih mengenai pria itu. Rasanya aku menjadi orang yang cukup bodoh karena tidak mengetahui apapun mengenai dirinya. Padahal dia mengetahui beberapa hal tentang aku dan dia pun juga selalu bertanya mengenai apapun termasuk hal-hal remeh seperti makanan dan minuman yang aku suka dan tidak aku suka.Apakah selama ini aku ter
"Ra, kamu mau kan?" tanya Dimas lagi.Aku kebingungan untuk sesaat. Sejujurnya aku belum siap. Terlebih lagi, aku baru saja menjalin hubungan dengannya."Dim, apa ini nggak terlalu cepat?" tanyaku."Terlalu cepat bagaimana?" tanyanya.Aku dengan ragu-ragu menjawab, "Bertemu sama orang tuamu. Kita kan baru saja menjalani hubungan ini."Dimas membalas, "Hanya makan siang saja, Ra. Jika kamu masih belum ingin aku kenalkan sebagai calon istri aku, aku akan mengenal kamu sebagai temanku. Bagaimana?"Aku masih saja tetap meragu. "Apa nggak bisa lain kali aja ya?" tanyaku kemudian.Dimas terlihat menghela napas kecewa. Aku jadi semakin tidak enak melihatnya."Mereka jarang banget ke sini, Ra. Tapi kalau kamu memang belum siap ya tidak apa-apa," ujarnya pelan.Hatiku melemah seketika. Ekspresi kecewanya yang tercetak begitu jelas di wajah pria tampan itu membuatku tidak nyaman.Aku memilih mengalah lalu berkata, "Ya sudah kalau begitu. Kapan?"Dimas tersenyum lebar kemudian, dia lalu menjawa
Aku terdiam untuk beberapa saat sebelum mulai menjawab dengan hati-hati, "Dimas baik, Pak."Papa Dimas manggut-manggut, "Baik gimana, Ra?"Baik gimana ya? Aku jadi bingung jelasinnya gimana. Tetapi saat aku sedang tersesat, tak bisa menjawab pertanyaan papanya, Dimas kemudian berkata dengan suara yang jenaka, "Papa kaya manajer HRD yang sedang interview calon pegawainya saja?"Papa Dimas sontak tertawa mendengar celotehan Dimas."Ah, maaf Zara. Saya nggak bermaksud untuk begitu. Saya kan hanya ingin tahu kenapa kamu mau menerima anak saya yang modelnya begini ini," canda Papa Dimas.Aku jadi tersenyum kikuk. Dimas memberengut, "Pa, ya jangan jelekin anak sendiri di depan calon dong. Papa ini gimana sih? Nanti kalau Zara jadi ilfeel sama aku gimana, Pa?"Mama Dimas menyahut, "Ya berarti kamunya aja yang rada-rada, Dim.""Lah, Mama malah belain Papa."Dimas terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang merajuk tetapi melihat keakraban mereka aku jadi merasa ikut senang melihatnya. T
Aku menunggu mereka pergi dari kamar mandi itu sebelum aku kembali ke teacher's room yang terletak di lantai atas.Saat aku masuk ke dalam ruangan itu, ruangan itu mendadak senyap hingga kemudian semakin membuatku curiga jika kemungkinan mereka tadi sedang membicarakan aku.Bolehkah aku berprasangka demikian?Namun, aku kembali teringat jika tujuanku bekerja di bimbingan belajar itu untuk mencari uang bagi kehidupan anakku. Sehingga, perlahan aku mencoba untuk mengabaikan apapun perkataan mereka meskipun rasanya telingaku selalu gatal setiap aku tahu begitu mendengar gosip yang mereka bicarakan tentang aku."Miss Zara, kok nggak ikut ke kantin?" tanya Freya, salah satu rekan kerjaku yang saling mengajakku mengobrol.Gadis itu masih sangat muda, jelas sekali mungkin usianya agak jauh dibawahku."Nggak, Miss. Masih kenyang," jawabku.Freya terlihat mengangguk, "Aku juga. By the way, Miss. Katanya Miss punya anak perempuan ya?""Iya, Miss. Kok tahu?" tanyaku."Tahu lah, Miss. Berapa umur
Hatiku semakin tidak karuan saat mendengar putriku kembali teringat pada sosok papanya yang sudah tak pernah muncul di depannya selama hampir enam bulan lamanya itu. Tubuhku bahkan sedikit bergetar karena takut jika Fuchsia sedang merindukan papanya. Bagaimana jika dia meminta bertemu dengan Gandhy? Apa yang harus aku katakan padanya? Mana mungkin aku mengatakan jika papanya tidak mau menemuinya lagi. Aku tidak segila itu. Aku tidak mungkin menyalahkan Fuchsia. Semua ini bukan salah putri kecilku yang malang itu. Bagaimana pun juga, pertemuannya terakhir dengan papanya itu berlangsung dengan tidak enak. Dia juga bahkan tak sempat berlama-lama bermain dengan papanya saat itu. Akan tetapi, menyalahkan mantan mertuaku yang kala itu memaksa Gandhy untuk cepat-cepat pulang juga tak ada gunanya. Fuchsia De Belle masih terlalu kecil untuk mengerti arti dari perpisahan kedua orang tuanya. Aku tak mungkin mengatakan hal-hal yang berat kepada bocah yang baru saja berumur dua tahun lebih ena
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin