Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Haris bergegas menuju parkiran motor. Ia sudah memberitahu kekasihnya untuk segera menuju ke parkiran motor jika kelasnya sudah bubar. Haris sudah menunggu Marsha selama sepuluh menit di parkiran motor. Namun, sedari tadi batang hidung milik perempuannya itu belum muncul juga. Haris bahkan sudah menelpon Marsha tiga kali tetapi tidak ada satu pun panggilan yang dijawab.
Haris melihat Sadam, salah satu teman sekelas Marsha, sedang menuju ke parkiran motor. Ia lantas menanyakan keberadaan Marsha kepada Sadam karena pasti ia tahu ke mana Marsha pergi.
“Dam!” panggilnya.
Sadam mencari sumber suara yang baru saja memanggilnya. Ia kemudian segera menuju ke arah Haris, “Kenapa manggil, Ris?”
“Lo lihat Marsha tadi ke mana nggak?” tanya Haris to the point kepada Sadam.
“Kayaknya tadi Marsha sama Lia disuruh kumpul ke ruang OSIS, tapi gue juga nggak tau, Ris. Coba lo cek aja sendiri ke sana,” jelas Sadam. Kemudian Haris mengangguk.
“Okay. Thanks, ya, Dam.” Sadam membalas ucapan Haris dengan acungan jempol.
“Duluan, Ris.” Sadam kemudian meninggalkan Haris dan segera menuju ke parkiran di mana motornya berada. Setelah itu Haris segera pergi ke ruang OSIS untuk mencari Marsha.
Kini Haris tepat berada di depan ruang OSIS. Terdapat beberapa sepatu yang berjejer rapi di rak. Ia menilik satu per satu sepatu yang ada di sana dan menemukan sepatu milik Marsha, lebih tepatnya sepatu yang ia belikan untuk Marsha saat menginjak usia ke tujuh belas tahun.
Haris menunggu Marsha dengan duduk di bawah pohon dekat ruang OSIS. Ia membuka ponselnya dan sekali lagi memberikan pesan kepada Marsha. Sambil menunggu Marsha, Haris bermain dengan kucing yang ada di sekolah. Nama kucing itu adalah Miko. Semua warga SMA Antariksa pasti tahu siapa Miko. Kucing ras kampung yang merangkap menjadi penjaga sekolah layaknya preman. Miko biasanya selalu tidur siang di depan masjid atau ruang OSIS. Ketika lapar, ia akan pergi ke kantin untuk meminta makanan kepada para murid. Lebih tepatnya memalak para murid.
“Haris!” Marsha memanggil Haris yang tengah fokus bermain dengan Miko. Mendengar namanya dipanggil, Haris segera mendekati Marsha.
“Kok nggak bilang kalau ada rapat?” tanyanya.
“Maaf, ya, Ris. Tiba-tiba Bu Dian suruh aku sama Lia buat jadi perwakilan kelas study tour. Aku nggak sempet buka hp karena tadi sibuk nulis informasi buat study tour dua minggu lagi,” jelas Marsha kepada Haris. Marsha tahu pasti Haris sedikit kesal karena ia tidak memberikan kabar kepadanya.
Haris tersenyum dan mengangguk, “Iya, nggak apa-apa kok. Tadi aku juga telat keluar kelasnya.”
“Ya udah, yuk.” Haris menggenggam tangan Marsha dan mengajaknya menuju ke parkiran sekolah. Para murid yang berada di sana hanya bisa melihat dengan rasa iri dan ingin merasakan seperti mereka berdua. Apalagi Lia, ia sudah menjerit di dalam hati karena melihat sahabatnya yang sangat romantis ketika bersama kekasihnya.
“Gue duluan, ya, Li,” pamit Marsha kepada Lia dan temannya itu mengangguk.
Haris dan Marsha berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke parkiran. Biasanya Marsha risih jika tangannya digenggam saat sedang berada di sekolah oleh Haris. Namun, karena hari sudah lumayan sore dan para murid sudah pulang, ia pun menerima genggaman tangan Haris.
“Oh iya, katanya kamu mau cerita tentang saudara jauhmu, gimana?” Haris membuka obrolan sembari mereka berdua berjalan menuju parkiran motor.
Marsha mengangguk, “Iya, Ris. Jadi aku punya saudara dari Swiss. Mereka saudara dari ayahku, tepatnya kakak dari ayahku. Kata ibuku mereka jarang banget ke Indonesia. Pernah tapi cuma sekali itu pun waktu aku masih bayi, jadi aku nggak inget wajahnya. Mereka juga punya anak satu yang katanya seumuran juga sama aku, jadi aku nggak sabar mau ketemu sama mereka.” Marsha menjelaskan dengan wajah yang cerah. Terlihat sekali jika ia tidak sabar untuk bertemu dengan saudaranya. Hal itu membuat Haris tersenyum.
“Dia berarti sepupumu, kan? Laki-laki atau perempuan, Sha?” tanya Haris kemudian memberikan helm kepada Marsha ketika sudah sampai di depan motornya.
“Laki-laki, Ris. Kata ayahku namanya Peter. Kelihatan banget kan bulenya,” jawab Marsha sembari menerima helm dari Haris. Ia segera menaiki motor Haris karena hari sudah mulai sore. Sedangkan Haris hanya mengangguk membalas perkataan Marsha.
“Ini kita jadinya ke mana, Ris?” tanya Marsha.
“Makan-makan aja yuk di kafe. Biar nanti kamu pulangnya nggak kesorean, kan katanya nggak sabar mau ketemu sama Peter.” Marsha terkekeh kemudian mengangguk. Haris segera menjalankan motornya menuju kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.
Sesampainya di kafe, Haris dan Marsha segera memesan makanan dan minuman serta mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan sekali kafe yang mereka pilih lumayan sepi sehingga mereka dapat mengobrol dengan kondusif.
“Lanjutin cerita yang tadi, Sha,” ucap Haris lalu meneguk minumannya yang baru saja tiba.
“Baru segitu, Ris. Kan aku belum ketemu sama mereka. Besok deh aku ceritain lagi.” Marsha sibuk bermain dengan ponselnya. Ia baru menerima pesan dari teman sebangkunya, Lia, yang mengatakan bahwa akan ada siswa baru dari Australia. Temannya itu memang sangat gercep ketika ada berita baru di sekolah.
“Ris, udah tau belum kalau ada siswa baru dari Australia?” Marsha bertanya kepada Haris yang juga sibuk bermain dengan ponselnya, tepatnya sedang bermain game.
Haris mengangguk, “Tau lah, kan yang pertama kali kasih tau Putra. Kenapa emangnya?” ucapnya. Fyi, Putra adalah salah satu teman tongkrongan Haris, lebih tepatnya sahabat Haris. Jika Lia adalah teman Marsha yang sangat update, maka Putra adalah teman Haris yang sangat update juga.
“Kok bisa si Putra cepet banget taunya. Tau dari mana dia?” tanya Marsha kepo.
“Biasalah, dia kan telinganya ada di mana-mana. Gosip baru keluar aja dia langsung tau.” Haris heran dengan sahabat satunya ini. Telinga milik Putra bisa ada di mana-mana. Bagaimana tidak, gosip tentang salah satu teman kelasnya yang pacaran saja bisa langsung tersebar berkat telinga Putra. Atau bisa dibilang berkat telinga Putra yang suka menguping dan mulutnya yang sangat tidak bisa menjaga rahasia. Untungnya Putra masih berbaik hati kepada Haris untuk menjaga rahasia yang dimiliki sahabatnya itu.
“Aduh, kok hidupku jadi dikelilingi sama bule, ya. Nanti ketemu sama sepupu bule, besok ketemu sama siswa pindahan bule juga. Lama-lama aku ikutan jadi bule juga,” oceh Marsha. Haris hanya memutar bola matanya malas. Ia sudah terbiasa dengan tingkah Marsha yang satu ini.
“Udah makanannya dihabisin dulu, habis itu kita pulang. Langitnya udah mau gelap, nih,” ujar Haris dan Marsha mengangguk. Mereka berdua segera menghabiskan makanan dan minuman yang ada di meja sembari mengobrol hal-hal yang tidak penting.
Setelah sekitar tiga puluh menit berada di kafe, Haris dan Marsha akhirnya pulang. Mereka segera meninggalkan kafe dan Haris mengantarkan Marsha ke rumahnya. Tidak butuh waktu yang lama, sekitar sepuluh menit mereka sudah sampai di depan rumah Marsha. Terdapat mobil terparkir di depan rumahnya.“Saudaramu udah dateng tuh,” ucap Haris ketika motornya sudah berhenti di depan rumah Marsha.Marsha mengangguk lalu turun dari motor Haris, “Aku pulang duluan, ya, Ris. Thanks buat hari ini.”“No problem, Babe. Buruan masuk udah ditungguin sama si Peter.” Marsha tertawa dan tersenyum kepada Haris.“Aku pulang dulu, ya.” Haris menyalakan motornya dan segera meninggalkan rumah Marsha kemudian ia melambaikan tangannya kepada Haris.Marsha kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dan sudah ada dua orang dengan kulit putih pucat serta rambut kecoklatan. Pasti mereka adalah saudaranya. Ibunya, Indah,
Laki-laki berambut pirang turun dari mobil sport hitamnya yang berhenti tepat di depan SMA Antariksa Jakarta. Laki-laki itu menarik perhatian para murid yang sedang berjalan kaki menuju sekolah terutama para murid perempuan karena parasnya yang tampak asing seperti orang luar negeri. Ia segera menuju ke dalam sekolah tepatnya ruang guru untuk mengurus kepindahannya dari Australia. Yap, ia adalah murid pindahan yang akhir-akhir ini jadi perbincangan warga sekolah.Namanya adalah Felix. Laki-laki berdarah Australia-Indonesia yang sudah tinggal di Australia sejak usia lima tahun. Ayahnya adalah seorang Australia sedangkan ibunya seorang Indonesia. Namun, hampir sebagian DNA yang diturunkan kepada Felix berasal dari ayahnya. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa Felix adalah orang asli Australia, padahal ia juga masih memiliki darah Indonesia dari ibunya. Felix pun fasih berbahasa Indonesia layaknya orang Indonesia kebanyakan karena ibunya selalu menyuruh Felix u
Felix dihujani berbagai pertanyaan oleh teman-temannya sesampainya di kelas. Mulai dari di mana tempat tinggal Felix saat di Australia, bagaimana Felix bisa pindah ke Indonesia serta ada yang bertanya apakah Felix sudah memiliki kekasih atau belum. Haris yang merasa risih mendengar ocehan teman-temannya kepada Felix pun geram dan segera mengajak Felix ke luar dari kelas.“Kita mau ke mana?” tanya Felix ketika Haris menarik tangannya keluar dari kelas.“Duduk-duduk aja di sini. Gue pusing denger mereka nanya macem-macem ke lo. Lo nggak pusing apa?” jawab Haris. Ia kemudian menduduki bangku panjang yang ada di depan kelas dan diikuti oleh Felix yang duduk di sebelahnya.“Enggak, sih. Gue pura-pura nggak bisa bahasa Indonesia aja makanya dari tadi gue diem,” ucap Felix. Ia kemudian menawarkan sepuntung rokok kepada Haris dan membuat teman barunya itu kaget.“Gila lo!?” pekik Haris kepada Felix. Haris segera mem
Sudah satu minggu berlalu sejak kepindahan Felix ke SMA Antariksa Jakarta. Kini, perlahan Felix sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Felix. Mulai dari apa yang harus ia lakukan di sekolah seperti mengikuti berbagai organisasi dan berusaha menjadi salah satu murid berprestasi di sana. Beruntungnya dua bulan lagi Felix akan menginjak kelas 12, sehingga ia tidak diwajibkan untuk mengikuti organisasi di sekolah. Selain itu, para murid juga diharuskan untuk menjaga nama baik sekolah dengan tidak bertingkah seenaknya sendiri. Selain beberapa hal yang harus dilakukan di sekolah, terdapat pula beberapa hal yang tidak boleh dilakukan olehnya ketika berada di sekolah.Pertama, para murid sangat dilarang keras untuk menyontek saat sedang ulangan harian dan ujian akhir. Guru di sana akan memberikan hukuman yang berat jika terdapat murid yang ketahuan menyontek. Kedua, para murid dilarang membawa kendaraan
Akhir-akhir ini Marsha disibukkan oleh adanya jadwal tambahan bimbel setiap pulang sekolah. Marsha berusaha untuk mengejar materi pelajaran supaya tidak ketinggalan karena satu minggu lagi ia akan mengikuti kegiatan study tour yang menghabiskan waktu hampir satu minggu. Setiap bel pulang sekolah berbunyi Marsha sudah siap dengan ransel di punggungnya serta paper bag yang berisi kumpulan soal dari bimbelnya. Biasanya ia berangkat dari sekolah menuju tempat bimbel menggunakan ojek online atau kadang bersama Haris. Namun, karena hari ini Haris ada kegiatan kerja kelompok akhirnya Marsha berangkat ke tempat bimbel dengan menggunakan ojek online.Ojek online yang dipesan oleh Marsha ternyata sudah berada di depan sekolah. Ia kemudian pamit kepada Lia untuk berangkat bimbel, “Li, gue duluan, ya.”Lia kemudian mengangguk, “Yuk keluar bareng. Kakak gue juga udah nungguin di depan.” Mereka berdua lalu bergegas
“Baik anak-anak, tugasnya dikumpulkan terakhir hari Sabtu sebelum kalian study tour, ya. Nanti tugasnya tinggal kalian letakan saja di meja Bapak,” jelas Pak Budi kepada para murid kelas 11 IPA 1. Beliau merupakan salah satu dari guru seni rupa yang ada di SMA Antariksa.“Untuk temanya bebas, Pak?” tanya Rendi selaku ketua kelas di 11 IPA 1.“Untuk tema kalian bebas memilih apa saja. Jika temanya semakin unik maka nanti nilai kalian semakin tinggi,” tambah Pak Budi. Para murid pun mengangguk menanggapi ucapan Pak Budi.“Baik kalau begitu Bapak sudahkan pelajaran hari ini karena sebentar lagi bel istirahat berbunyi. See you next time.” Setelah itu Pak Budi segera meninggalkan kelas 11 IPA 1.Para murid berhamburan dari tempat duduknya setelah Pak Budi keluar dari kelas. Hal yang sudah biasa Pak Budi lakukan ketika pelajarannya adalah mendahului istirahat sebelum bel berbunyi. Oleh karena itu
Langit sudah berubah warna menjadi jingga yang menandakan bahwa hari sudah semakin sore. Haris, Felix, dan Putra yang awalnya berniat untuk mengerjakan tugas dari Pak Budi malah berakhir dengan bermain game sampai sore. Kanvas berwarna putih yang bersandar di dinding itu masih belum ternodai oleh satu warna pun. Tiga empu yang sedang memegang stik permainan ini masih fokus menggerakkan jarinya. Mereka bertiga masih belum menyelesaikan game-nya.“Jam berapa sih sekarang?” tanya Haris kepada kedua temannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.Felix kemudian melihat jam yang ada di dinding, “Jam setengah enam.”Haris lantas berhenti menggerakkan jarinya dan menatap kedua temannya, “Parah! Kita belum ngerjain tugas Pak Budi!” Putra seketika menatap ke arah Haris, “Lah iya, bego!”Namun, berbeda dengan sang tuan rumah yang tidak peduli dan tetap fokus dalam permainan di layar televisi. Hal it
Semua murid kelas 11 IPA 1 kini telah meletakkan hasil tugas kelompok mereka yang diberikan oleh Pak Budi di atas meja masing-masing. Berbagai jenis tema yang dituangkan dalam kanvas menghiasi ruang kelas. Pak Budi kemudian menyuruh para murid untuk meletakkan hasil lukisan kelompok masing-masing ke lapangan basket untuk diberikan penilaian. Bukan hanya Pak Budi yang akan menilai, tetapi semua guru seni rupa yang ada di SMA Antariksa Jakarta juga akan ikut menilai karya murid milik kelas tersebut.Kelas 11 IPA 1 adalah kelas pertama yang telah menyelesaikan tugas melukis dengan media kanvas dari Pak Budi. Untuk kelas lainnya, Pak Budi memberikan kompensasi untuk mengumpulkan tugasnya setelah mereka pulang dari kegiatan study tour. Hal ini karena kelas milik Haris mendapatkan jadwal pelajaran yang lebih awal dibandingkan dengan kelas lainnya. Saat ini para murid sudah meletakkan hasil karya di lapangan yang akan segera dinilai oleh Pak Budi. Lima lukisan terbaik dari
Epilog: The Good EndingTidak ada yang pernah menduga tentang takdir seseorang. Haris dan Marsha yang sudah menjadi sepasang kekasih sejak SMA ternyata benar-benar menjadi sepasang kekasih yang melanjutkan sampai di pelaminan. Marsha yang awalnya berpikir akan berakhir menikah dengan Felix pun ternyata salah. Setelah semua masa lalu kelam dan pedih yang Marsha alami, ia akan tetap kembali kepada Haris. Sejauh apa pun Marsha berlari, Tuhan akan selalu berusaha untuk mempertemukan mereka berdua. Seperti yang disebut dengan takdir, Haris dan Marsha adalah sebuah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan tidak bisa diganggu gugat.Sama seperti Marsha, Felix yang awalnya mengira bahwa Marsha adalah takdirnya ternyata salah besar. Sejauh apa pun Felix berusaha untuk meraih Marsha, pria itu tetap tidak bisa menggapainya. Cinta yang Felix pendam sejak pertama kali bertemu dengan Marsha pada kenyataannya tidak akan pernah bisa terbalaskan. Walaupun pada
Waktu hanya tinggal tersisa dua hari lagi menuju hari bahagia. Segala persiapan sudah Marsha dan Haris lakukan. Mereka berdua berhasil menyiapkan pernikahan hanya dalam rentang waktu satu minggu saja. Tentu saja, mereka berdua tidak melakukannya sendiri. Haris dan Marsha dibantu oleh masing-masing kedua orangtua mereka dan juga sahabat serta teman dekat mereka. Namun, sebelum itu, Marsha harus membatalkan segala proses di Swiss yang pada awalnya akan menjadi hari penikahan Marsha dan Felix. Akan tetapi, ternyata segala urusan tersebut sudah diselesaikan oleh Felix seorang diri.Salah satu rekan kantor Felix, Juan, kemarin menelepon Marsha secara mendadak. Pria itu berkata bahwa seluruh proses yang sudah disiapkan mulai dari gedung, peralatan, gaun dan jas, serta wedding organizer sudah dibatalkan oleh Felix. Karena pembatalan tersebut Marsha dan Felix harus merelakan biaya yang cukup banyak yang mereka gunakan sebagai modal pernikahan. Namun, sayangnya yang membuat Marsha kec
Setelah sekian lama berusaha untuk menghilang dan bersembunyi dari orang-orang yang dikenal, Marsha akhirnya memberanikan diri untuk kembali terbang ke negara tempat di mana ia lahirkan, Indonesia. Marsha berangkat kembali menuju ke Indonesia bersama dengan Willy dan Haris yang siap mendampingi kapan pun dan di mana pun ia berada. Marsha awalnya menolak mentah-mentah ketika Haris mengajaknya untuk kembali ke Indonesia. Namun, perlahan demi pasti, akhirnya Haris berhasil membujuk wanita itu agar mau kembali ke Indonesia untuk bertemu sahabat dan teman-temannya terutama kedua orangtuanya.Siang ini, pesawat yang Marsha, Haris, dan Willy naiki sudah mendarat di bandara internasional Indonesia. Haris menggenggam tangan Marsha sambil menggendong Willy dan mengajak mereka untuk segera keluar dari bandara. Tujuan pertama mereka adalah apartemen milik Haris. Tentu saja, Marsha masih belum siap jika setelah ini ia langsung bertemu dengan kedua orangtuanya setela
Hingga sampai pagi ini, Marsha masih belum mendapatkan kabar apa pun dari Felix. Ia sudah berulang kali memberikan pesan dan menelepon kepada Felix tetapi hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban apa pun. Bahkan ketika Marsha berusaha untuk menanyakan Felix melalui Juan, pria itu tidak bisa memberitahunya. Padahal, Marsha sudah memilih gaun pengantin untuk dirinya dan juga jas tuksedo untuk Felix di butik fitting kemarin. Marsha sudah bersusah payah untuk memilih jas tuksedo yang cocok digunakan untuk Felix. Ia takut jika jas tuksedo yang dipilihnya tidak sesuai dengan selera pakaian Felix.Saat ini, Marsha sedang merapikan pakaian di lemarinya sembari membersihkan kamarnya yang terlihat berantakan. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Marsha sudah mengantarkan Willy ke sekolah dan ia akan menjemputnya kembali pada pukul sebelas siang nanti. Sebenarnya hari ini adalah jadwal Marsha dan Felix untuk bertemu dengan agen wedding organizer yang sudah mereka pilih untuk menentukan tem
Hari ini adalah jadwalnya bagi Marsha dan Felix untuk melakukan fitting gaun pengantin untuk Marsha dan jas tuksedo untuk Felix. Wanita itu sudah siap dengan dirinya setelah selesai mengantarkan Willy ke sekolah. Akan tetapi, sejak tadi malam Marsha tidak mendapatkan kabar dari Felix. Pria itu tidak membalas pesan dari Marsha sejak sore hari kemarin. Hal itu pun membuat jadwal perjanjian mereka dengan butik untuk melakukan fitting diundur. Marsha sendiri sudah berusaha untuk menghubungi Felix berulang kali tetapi hingga sampai saat ini ia tidak mendapatkan balasan apa pun.Apakah Felix marah dengan Marsha karena sikap anehnya kemarin? Marsha bisa menebak akan hal itu karena perubahan sikap Felix tepat setelah mereka selesai membeli cincin pernikahan. Felix bahkan tidak mengajaknya berbicara terlalu sering saat mereka berdua berada di dalam mobil. Karena hal itulah Marsha akhirnya berusaha untuk menghilangkan mood buruk dan mengalahkan rasa egonya demi mengajak Felix mengobrol
Ternyata, hari itu adalah pertemuan terakhir Haris dan Marsha. Setelah bertemu dan berbincang dengan Felix di kafetaria hotel, Haris memutuskan untuk pulang kembali ke Jerman pada esok hari. Pria itu benar-benar sudah merelakan Marsha demi kebahagiaan wanita itu sendiri. Haris tidak boleh egois, bukan hanya dia lah yang menderita selama ini. Akan tetapi, Marsha ternyata lebih menderita darinya. Oleh karena itu, Haris sudah merelakan Marsha kepada Felix dan berharap mereka berdua akan menjalankan hidup yang harmonis.Setelah pertemuan Haris dan Felix di kafetaria, mereka berdua kembali menjadi akrab seperti dahulu. Baik Haris maupun Felix, mereka berdua meminta maaf satu sama lain atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Felix meminta maaf karena tidak memberitahu tentang Marsha selama ini kepada Haris sedangkan Haris meminta maaf karena tadi ia memukul Felix sampai berdarah dengan penuh emosi. Pada saat itu pun mereka mulai bertukar tentang banyak cerita. Pertemanan mereka y
"Asal kamu tau, aku nggak pernah membenci kamu, Ris. Tapi maaf, kita udah nggak bisa kembali kayak dulu lagi karena aku dan Felix udah terikat dalam sebuah hubungan dan satu bulan lagi aku dan Felix menikah," ucap Marsha yang sontak membuat jantung Haris seakan berhenti mendadak.Setelah mendengar perkataan Marsha baru saja, Haris langsung merenggangkan pelukannya dengan Marsha. Pria itu berjalan mundur perlahan seakan terkejut dengan ucapan Marsha. Ya, Haris tentu saja terkejut bukan main. Kedua kakinya saat ini terasa seperti tidak mempunyai kekuatan untuk menahannya agar tetap berdiri. Tubuh Haris melemas. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Keringat di dahinya mulai muncul perlahan. Ia mengusap wajahnya perlahan dan berusaha menyadarkan diri apakah saat ini hanyalah khayalannya saja. Namun, semua ini adalah kenyataan.Sementara itu, saat ini Marsha hanya menundukkan kepalanya dan menatap ke bawah lantai. Wanita itu belum siap untuk melihat bagaimana reaksi yan
"Felix? Lo ngapain di sini?" Haris bertanya kepada Felix yang kini sudah berhadapan dengan teman lamanya saat SMA. Rasa kantuk yang sebelumnya masih menyelimuti diri Haris kini sudah hilang sepenuhnya. Seluruh indra yang dimilikinya tampak bekerja menjadi lebih giat setelah melihat seseorang di depannya. Haris meneguk ludahnya perlahan. Pria yang saat ini sedang berdiri di hadapannya masih belum menjawab pertanyaan dari Haris. Tampaknya Felix masih sangat terkejut dengan kehadiran Haris yang secara tiba-tiba sudah berada di rumah calon istrinya. "Oh, shit," ucap Marsha yang tiba-tiba sudah berdiri di antara Haris dan Felix. Wanita itu tampak memijat dahinya pelan karena situasi yang saat ini sedang berlangsung. Di antara Haris dan Felix, mereka berdua bahkan belum merasakan stres yang mendalam dengan situasi saat ini. Marsha lah yang merasa paling pusing di antara mereka. Sebuah memori yang dulu pernah terjadi kembali terulang di benak Marsha ketika pada saat
"Mama, kenalin Paman di sebelah aku namanya Paman Haris! Paman Haris baik banget udah beliin aku makanan di minimarket dan nganterin aku pulang sampai ke rumah!" ucap Willy dengan semangat yang tanpa tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Marsha masih diam dan tidak menghiraukan perkataan anaknya. Saat ini, ia masih terhanyut dengan kehadiran Haris di depannya. Sama seperti Marsha, Haris pun masih terdiam dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Pria itu masih memandangi wajah wanita yang sudah lima tahun tidak ia temui dengan lekat.Wanita yang saat ini berada di hadapannya sudah sangat berbeda dengan Marsha yang terakhir kali ia temui pada lima tahun yang lalu. Rambut panjang lurus berwarna hitam sepinggang yang biasa Haris lihat dahulu kini sudah berubah menjadi rambut pendek berwarna cokelat hazelnut sebahu. Akan tetapi, wajah cantik dan indah milik Marsha masih sama seperti dahulu, tidak ada yang berubah. Marsha masih terlihat sangat cantik, bahkan wanita itu menjadi lebih