Home / Fiksi Remaja / Takdir / CHAPTER 3

Share

CHAPTER 3

Langit sore ini begitu cerah tidak mendung sama sekali. Aqilla menkmatinya di jok belakang motor Maxime. Tiba-tiba Maxime membelokkan motornya ke arah angkringan pinggir jalan. Tempat biaa dia nongkrong atau beli makanan. 

Aqilla mengerutkan keningnya. "Makan dulu," ucap Maxime. 

"Saya nggal laper," 

Maxime melepas helmnya lalu menoleh kebelakang. "Yang ngajakin lo makan siapa? Gue doang yang mau makan." Aqilla sangat kesal dengan jawaban Maxime. 

Mereka lalu masuk kdalam angkringan kecil itu. Angkringan yang hanya ditutupi oleh terpal. Kecil namun bagi Maxime tempat ini penuh kenangan. Bang Mahen pemilik Angkringan ini langsung menyapa Maxime. Bang Mahen menoleh kearah Aqilla. 

"Sape nih? Baru lagi?" tanya Bang Mahen. 

"Ini?" tanya Maxime sambil menunjuk Aqilla. Bang Mahen menganggu. "Temen, doain jadi calon mantu mak gue," jelas Maxime sambil bercanda. 

Bang Mahen terkekeh kecil. "Banyak amat cewe lu," 

Maxime langsung mengisyaratkan Bang Mahen untuk diam. Aqilla sudah menebak, manusia seperti Maxime pasti tipe playboy tingkat akut. 

"Yaudah sok, kaya biasa ya?" Maxime mengangguk. 

Mereka lalu duduk di kursi kayu yang ada di sana. Maxime langsung mengambil satu bungkus nasi. Bang Mahen masih menyiapkan minuman Maxime dan yang lainnya. 

Aqilla memperhatian Maxime yang sedang makan. Dilihat lihat sepertinya enak. Aqilla ingin mengambil satu bungkus tapi gengsi harusnya tadi Aqilla tidak mengatakan bhwa ia tidak lapar.  Bang Mahen datang membawkan pesanan Maxime, tak lupa Maxime juga berterimakasih. 

Aqilla masih memperhatikan Maxime yang makan dengan lahap, nasi kucing dengan lauk teri balado. Aqilla menelan air lirurnya. Maxime mengambil satu b ungkus lagi nasi kucing lalu meltakkannya di hadapan Aqilla. 

"Eh?" Aqilla bingung. 

"Makan, makanya jadi orang jangan gengsi." Maxime tahu dari tadi Aqilla ingin makan tapi gengsi. Apalagi saat melihat dirinya makan. 

"Makasih." Maxime terkekeh lalu mengangguk. 

Aqilla makan dengan lahap bahkan mengambil sepotong tempe goreng yang berada di wadah. Maxime hanya mampu geleng-geleng kepala. Di balik sifat cuek, Aqilla punya sifat yang seperti ini. Tapi hal itu tidak membuat Maxime Ilfeel sama seklai. 

"Pelan-pelan, gak akan gue ambil nasinya." Aqilla melotot mendengar ucapan Maxime. Ia sangat lapar, tadi istirahat belum sempat makan. 

Mereka lalu menyelesaikan acara makan makan. Aqilla melihat jam sudah pukul 4 sore. Bisa saja ayahnya sudah pulang. 

"Lo kenapa?" tanya Maxime melihat kegelisahan Aqilla. Aqilla menggeleng, Maxime lalu hanya mengangguk saja. 

Maxime membayar makanannya pada Bang Mahen. "Biar makanan saya, saya aja yang bayar." Maxime menggeleng. 

"Gue yang ngajakin makan. Berarti gue yang bayar," kata Maxime dengan senyum. 

Aqilla keluar lebih dulu dan berdiri di dekat motor. Tak lama Maxime datang yang terlihat sangat brandalan sekali. 

"Ayah lo belum pulang?" Aqilla menggeleng yang berarti tidak tahu. 

Maxime ingin bertanya sesuatu. "Kenapa nggak mama lo aja yang jemput lo?" 

Titik paling sakit Aqilla datang. "kamu nggak ikhlas nganterin saya?" 

Maxime menggeleng. "Enggak bukan gitu. Cuma pingin tahu aja," ucap Maxime yang sekarang menjadi makhluk yang paling kepo.

"Saya gak punya bunda. Bunda meninggal," jawaban itu sketika membuat Maxime terdiam. Rasa bersalah lagi lagi menerpa hatinya. 

Maxime menjadi gagap. "M-maaf Qil. Gue gak tahu," 

Aqill mengangguk. "Enggak papa," 

"Yaudah gue anterin pulang," 

* * *

Motor ninja hitam berhenti di depan rumah yang bisa dibilang besae Tapi jika dibandingkan dengan rumah milik Maxime jelas besar milik Maxime. Aqilla turun dari jok belakang motor Maxime. Aqilla berterimakasih yang diangguki oleh Maxime. 

Aqilla menoleh ke belakang belum ada mobil milik papanya berarti dia aman. "Bokap lo belum pulang?" Aqilla mengangguk. 

Aqilla hendak masuk tapi ditahan oleh Maxime. "Lo gak mau mempersilahkan gue masuk dulu?" 

Aqila menatap Maxime seperti biasa cuek dan judes. "Enggak, emang buat apa kamu mampir?" 

"Mau kenalan sama orang rumah. Maxime Garuda calon suami lo," ucap Maxime sambil membenarkan kerah kemeja sekolahnya. 

"Mimpi, gak ada orang di rumah." 

"Gue temenin gimana?" Maxime menaik turunkan alisnya. 

Plakk 

Aqilla memukul kepala axime yang terlapisi helm. "Kurang ajar," 

"Bercanda, gue pulang." Aqilla mengangguki ucapan Maxime. Setelah itu dirinya masuk ke dalam rumah besar itu. Rumah yang sepi seperti tak ada orang. Hanya ada satpam depan dan Bi Ami. 

"Non udah pulang?" tanya Bi Ami yang berjalan dari dapur. Aqilla mengangguk lalu berjalan naik keatas kamar. Membuka pintu berwarna merah muda. 

Kamar yang di dominasi warna pink itu terlihat sangat bersih dan indah. Aqilla duduk di kasurnya, mengambil sebingkai foto. Foto yang memperlihatkan seorang perempuan yang tersenyum lebar. 

"Bundaaaa." tak terasa satu tetes air mataluruh dari mata Aqilla. Air mata yang sejak tadi ingin ia keluarkan. Ia rindu Bunda. 

Aqilla mengelus pinggir bingkai itu. "Bunda, Qilla kangen." Aqilla memeluk bingkai foto itu. Sudah 17 tahun ibunya meninggal, sejak ia dilahirkan. Tak pernah melihat wajah ibunya secara langsung. 

Tiba-tiba hujan turu seakan tahu bahwa Aqilla sedang bersedih. "Hihi bunda tau ya kalo Aqilla lagi sedih makanya turun hujan ya bunda," ucap Aqilla masih dengan air mata yang berlinang. 

Udara yang dingin, sama dengan hatinya yang membeku. Tanpa ia sadari ayahnya berada di belakang pintu kamarnya. Ayahnya masuk lalu memeluk Aqilla. 

"Are you oke?" Aqilla mengangguk. "Aku baik Insyaallah," 

Gakpapa itu hanya 1 kata yang menutupi banyak kata lara yang ada di benaknya. Tidak apa ada ayah yang selalu ada untuk Aqilla walaupun ayahnya overprotektiv

"Ayah akan ada untuk Qilla," 

Sedangkan Maxime hampir kehujanan untung hujan turun saat drinya sudah masuk kedalam area rumah. "Untung pembalap handal," ucapnya bangga. 

Ia melihat ke arah garasi rumah yang belum ada mobil papanya. Mobilnya berjejer tapi ia tahu mobil papaanya belum ada. Maxime langsung masuk begitu saja. 

"Widih tumben sepi." Maxime terheran, tumben biasanya sudh ada suara grudak grudak dari dapur. Baru Maxime menjulidi dalam hati, suara panci jatuh sudah terdengar di telinganya. Maxme langsung lari ke arah dapur. 

Maxime mengelus dada sabar, ia melihat makroni yang sudah berceceran dilantai dan panci yang sudah jatuh. Mamanya hanya meringis. Entah sudah seberapa kali ini terjadi. 

"Sini Ma, pergi dari situ. Ngapain sih Ma ngeberantakin dapur lagi." Maxime menarik tangan mamanya untuk pergi dari sana.

Tyas cemberut. "Mama kan cuma pingin belajar masak." jawaban Mamanya membuat Maxime ingin menghilang dari muka bumi. 

"Kalo mau belajar masak itu sama bibi mah," 

"Gak asik," 

Sabar Max sabar, nanti kamu nggak akan dapet restu dari Mama kalo gak sabar. Maxime menarik napas dalam dalam. "Yaudah sana Mah nyiramin tanaman aja. Biar bbi yang beresin," 

Tyas mengangguk. "Tapi beliin janda bolong lagi ya Max?" Maxime melongo, gila aja. Mahal bro walau untuk mamanya tidak mahal tapi untuk Maxime itu wow banget sih. 

Mamanya penyuka tanaman jadi tak salah jika seperti itu. "Iya. Tpi...."

Tyas mengerutkan keningnya. "Tapi apa?" 

"Mama harus restuin Maxime," 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status