Diremasnya jari-jemarinya sendiri. Ada ketakutan yang luar biasa terpancar jelas di matanya. Pandangan yang sedari tadi tertuju di luar kaca beralih menatap seseorang yang terlihat sangat tampan, dengan segala kesibukannya.
Ketika matanya berbenturan dengan mata elang itu hatinya tiba-tiba berdesir hebat. Perasaan yang selama ini selalu diusirnya hanya untuk memenangkan hati seorang Ray Dinata. Namun semua usahanya sia-sia. Kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan berakhir tragis.
Laki-laki itu memamerkan senyum mautnya tatkala mendekati sofa di mana dia duduk. Dan anehnya debar jantungnya makin menjadi tak beraturan.
Dengan santai, laki-laki itu, dokter Careld menjatuhkan tubuhnya di sebelah Perempuan yang sudah menjadi pasiennya beberapa tahun belakangan ini.
"Nggak usah terlalu risau, hanya tekanan jantungnya terlalu lemah. Harus sering-sering kontrol, ya. Dan jangan terlalu banyak pikiran." ucapnya dengan sabar, sambil menatap wanita yang usian
Pembaca yang budiman, mohon bintang, like dan koment nya ya Dan baca novel saya Terima kasih 😊
Sekitar 30 menit aku menunggu, pemeriksaan pasien bernama Isya itupun selesai. Aku beranjak berdiri ketika wanita itu mendekati aku. Dan kulempar senyum seramah mungkin padanya untuk menetralisir keadaan. "Aku sudah selesai, Aku pamit ya," ucap Isya lemah. Padahal beberapa menit sebelum kedatanganku dia baik-baik saja. Ku anggukan kepala tanpa melepas senyum di bibirku. Dokter Careld mengantar kepergiannya sampai depan lift. Setelah beberapa menit kemudian, kulihat dokter muda itu sudah kembali ke ruangannya. Seperti biasa dengan senyum khasnya, dia menghampiri aku dan duduk persis di samping aku. "Bagaimana kabar kamu?" tanyanya lalu berhenti sejenak, "wanita misteriusku," batinnya. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya lalu mengikutinya, menjatuhkan tubuhku di sofa persis di sampingnya. "Seperti yang Dokter lihat, Saya baik-baik saja. Hanya saja-" Aku menggantung kalimatku. Ku lihat dokter Careld tergerak
Pagi itu, aku sudah disibukkan dengan laporan kesehatan para pasien dokter Careld. Tidak menyangka, setiap harinya dokter muda itu menerima lebih dari ratusan pasien. Rata-rata perempuan semua. Padahal dia dokter spesial jantung tapi sudah seperti dokter praktek umum. Aku menggeleng-gelengkan kepala, saat melihat daftar pasien dokter pemikat hati perempuan itu. Semua yang daftar perempuan. Padahal setahu ku, kalau penyakit jantung itu kebanyakan para pria yang menderita. Tapi ini ... "Ckckck ..." suara decakku mengusik kesibukan si tampan yang ada di seberang meja kerjaku. Dengan sedikit terkejut dia menolehkan pesona wajahnya ke arahku. Buru-buru ku tundukkan muka untuk menghindari tatapannya. Aku kembali kekesibukan ku yang semula. Hari tak terasa sudah berganti siang. Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Kupejamkan mata sebentar barang kali karena kelelahan saja. Tapi keringat dingin sudah menetes dari dahiku. Aku yakin wajahku sudah pucat seketika.
Sesampainya aku di meja kerjaku, ku hentakkan semua barang-barang yang ku bawa tadi. Dokter Careld terkejut sesaat lalu mata elangnya menatapku bingung dan heran. Dokter muda itu mendekati aku, dan bersandar di tepi meja kerja ku. "Ada apa, kok mukanya kesal begitu?" tanyanya sambil melihat kekesalan mutlak di wajahku. Aku menggelengkan kepala dengan lemah, lalu duduk di kursi kerja ku. Dokter Careld hanya mengelus pundakku dan kembali ke meja kerja nya. "Move," kembali dokter Careld memanggil ku. Aku menjawab sambil meletakkan ponsel genggam dan kunci apartemen yang di berikan oleh Ray tadi siang. Dokter Careld menggelengkan kepala ketika aku menjawab panggilannya. Laki-laki itu mengurungkan niatnya memberikan hadiah pada Move ketika dilihatnya wanita itu sudah menaruh ponsel genggamnya. Di masukkannya benda yang terbungkus persegi itu kembali ke brankasnya. Pria itu menyodorkan ponsel genggamya ke⁰ meja ku setelah beberapa lama
"Pak! Laporan meeting hari ini," Clarisa menyodorkan catatan laporan dari meeting dengan oara dean direksi hari ini kepada Ray, selaku direktor perusahaan. Meeting pagi ini terbilang sukses dengan penampilannya yang begitu mempesona, menghipnotis seluruh anggota dewan direksi dengan presentasinya yang begitu brilian. "Clarisa!" Panggilnya ketika melihat sekertarus sudah membuka pintu. Spontan gadis muda itu membalikkan badan. "Iya, Pak. Apa masih ada yang Bapak, perlukan lagi?" jawabnya. "Tolong suruh manager keuangan ke ruangan, Saya." Perintahnya. Gadis muda yang baru bekerja 2 tahun di perusahaannya mengangguk patuh, selanjutnya pamit untuk kembali ke ruangannya. Tak lebih dari 5 menit, Fito Prayoga, selaku manager keuangan sudah berada di ruanga direktur. "Bapak, memanggil Saya?" "Oh! Fito duduk! ucapnya bernada memerintah. Laki-laki yang umurnya dibawahnya beberapa tahun itu patuh dengan perintahnya. Agak sed
Jam kantor sudah hampir selesai beberapa menit lagi. Ray Dinata, sudah membereskan barang-barangnya. Hari ini dia akan langsung ke rumah sakit, untuk menjemput sang kekasih. Sesudah menutup layar laptopnya, dia menjinjing tas kerjanya, langsung menuju pintu keluar. Di koridor kantornya, Dattan Sergio Sesha sudah menunggunya di depan lift. "Numpang boleh, ya? Mobil di bengkel ni," ucapnya sambil memasang muka memelas. "Nggak! Aku ada janji sama Move, mau jemput dia," tukasnya bohong, lalu menuju ke lift setelah pintu lit terbuka. "Ikut lah, lama juga nggak bertemu dengan gadis impianku itu. "ujarnya kembali mengikuti langkah Ray di belakang. Ray memasang tatapan tajam ke arah Dattan mendengar apa yang diucapkan laki-laki sejuta pesona itu. "Tenang bro, gitu aja marah. Santai napa?" kilah Dattan sambil menarik senyumnya. "Jaga mulut kamu itu!" Dengan wajah kesal Ray meninju lengan sahabatnya itu. Dattan hanya
Ray, berusaha menenangkan perasaannya, yang tiba-tiba tidak nyaman. Dia tidak bisa pungkiri, bahwa nama Nafisya Auriestella sangatlah berpengaruh terhadap kenyamanan hatinya sekarang. Niatnya menjemput sang kekasih, tetapi sekarang hatinya tergerak mengikuti langkah kaki ke dua wanita itu. Ray urung melangkahkan kakinya ke ruangan dokter Careld. Kini kakinya berjalan mengikuti langkah kaki Isya dan Feronika. Ketika didapatinya sebuah ruang VIP, Ray menarik napas pendek. Mencoba menerka siapa yang dirawat di ruang tersebut. Dan hatinya seolah terpukul ketika melihat sosok yang digilainya hampir 5 tahun dahulu kala itu membaringkan tubuh ringkihnya yang terlihat lebih kurus dari yang dia lihat dulu. Ada yang mengalir di hatinya, rasa yang sudah hampir puluhan tahun silam dia kubur, kini seolah-olah hadir kembali. Ada sepercik kerinduan yang menggebu dihatinya ingin berjumpa dan memeluk gadis masa silamnya itu. Ray benar-benar lupa bahwa dia
Ray masih terpaku di depan pintu. Careld berhenti sejenak, menatap sepupunya itu. "Kamu belum siap?" Ray hanya menghembuskan napas panjang. "Ikut aku sini!" Careld menarik tangan Ray menuju lorong koridor yang ada di sebelah kamar VIP Isya. "Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan selanjutnya? Kamu mau memutuskan, Move hanya karena Nafisya kembali ke sini? Alangkah jahatnya kamu Ray!" Nafas Careld tersengal dengan muka merah. "Dengar Ray! Nafisya ke sini itu bukan sekali dua kali, dia itu sakit! Jantung sebelah kirinya bocor. Dan Aku dokter yang ia pilih untuk menangani penyakitnya. Dia datang kesini untuk berobat bukan untuk kembali padamu!" Suara Careld menggebu antara marah dan kesal. "Tapi ingat, Ray! Kalau kali ini kamu melepaskan Move, aku jamin kamu tidak akan bisa kembali lagi sama dia!" Ray tersentak sesaat. "Karena Aku tak akan pernah mengizinkanmu menyakiti dia lagi!" lanjut Careld masih dengan muka yang sama. Marah. Ra
Aku memberikan parcel itu, setelah terlebih dahulu memperbaikinya. Sebenarnya, nggak diperbaiki juga nggak apa-apa. Parcelnya kan hanya untuk adiknya. Nggak harus formal-formal banget. Tapi karena itu kesalahanku, mau nggak mau aku harus menebusnya. Laki-laki itu menatapku dengan sorot tajam sampai membuatku jengah. Apa semarah itu sama aku? Kan sudah aku perbaiki parcelnya. Aku tak mau ambil pusing. Bodo amatlah! Yang jelas aku ingin segera pergi dari tempat itu. "Sekali lagi, Aku minta maaf. Ini kesalahanku yang tak memperhatikan jalan. Maafkan Aku." Berulang kali aku minta maaf dan mengangguk hormat sebagai perminta maafan yang resmi kepadanya. Setelah itu aku memutar badanku melanjutkan langkahku yang tertunda, tanpa menunggu jawaban darinya. Entah memaafkan aku atau tidak. Aku tak peduli. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku hingga aku terjerembab kedalam pelukannya. Sesegera mungkin aku melepaskan pelukan yang tak sengaja itu. Ada rasa gugup di a
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo