Ray masih terpaku di depan pintu. Careld berhenti sejenak, menatap sepupunya itu.
"Kamu belum siap?" Ray hanya menghembuskan napas panjang.
"Ikut aku sini!" Careld menarik tangan Ray menuju lorong koridor yang ada di sebelah kamar VIP Isya.
"Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan selanjutnya? Kamu mau memutuskan, Move hanya karena Nafisya kembali ke sini? Alangkah jahatnya kamu Ray!" Nafas Careld tersengal dengan muka merah.
"Dengar Ray! Nafisya ke sini itu bukan sekali dua kali, dia itu sakit! Jantung sebelah kirinya bocor. Dan Aku dokter yang ia pilih untuk menangani penyakitnya. Dia datang kesini untuk berobat bukan untuk kembali padamu!" Suara Careld menggebu antara marah dan kesal.
"Tapi ingat, Ray! Kalau kali ini kamu melepaskan Move, aku jamin kamu tidak akan bisa kembali lagi sama dia!" Ray tersentak sesaat.
"Karena Aku tak akan pernah mengizinkanmu menyakiti dia lagi!" lanjut Careld masih dengan muka yang sama. Marah.
Ra
Teman-teman yang baik , baca ya
Aku memberikan parcel itu, setelah terlebih dahulu memperbaikinya. Sebenarnya, nggak diperbaiki juga nggak apa-apa. Parcelnya kan hanya untuk adiknya. Nggak harus formal-formal banget. Tapi karena itu kesalahanku, mau nggak mau aku harus menebusnya. Laki-laki itu menatapku dengan sorot tajam sampai membuatku jengah. Apa semarah itu sama aku? Kan sudah aku perbaiki parcelnya. Aku tak mau ambil pusing. Bodo amatlah! Yang jelas aku ingin segera pergi dari tempat itu. "Sekali lagi, Aku minta maaf. Ini kesalahanku yang tak memperhatikan jalan. Maafkan Aku." Berulang kali aku minta maaf dan mengangguk hormat sebagai perminta maafan yang resmi kepadanya. Setelah itu aku memutar badanku melanjutkan langkahku yang tertunda, tanpa menunggu jawaban darinya. Entah memaafkan aku atau tidak. Aku tak peduli. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku hingga aku terjerembab kedalam pelukannya. Sesegera mungkin aku melepaskan pelukan yang tak sengaja itu. Ada rasa gugup di a
"Move!" Suara dokter Careld terdengar begitu keras di lorong rumah sakit. Dokter tampan dengan wajah ke bule-bule-an itu masih mengejar langkahku yang semakin cepat menuju lift. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya mau kemana. Ruang kerjaku di ruang praktek dokter Careld, sedang aku sudah di depan lift. Memang sebentar lagi jam istirahat dan makan siang. Tapi rasanya aku sudah tidak selera. Sakit banget rasanya hati ini. Semua skenario yang Ray rencanakan, hanya kali ini aku merasakan paling sakit luar biasa. Karena dia lebih memilih wanita lain di bandingkan dengan aku. Bahkan, Ray sama sekali sudah tidak perduli padaku. Seolah cinta 6 tahun itu hilang begitu saja, seperti cuma sampah di matanya yang bisa di buang seenak jidat dia. Air mataku benar-benar dengan suka rela terjun bebas di pipiku. Bahkan aku juga tidak berniat untuk mencegahnya. Punggungku terguncang hebat dengan suara isak tangis yang luar biasa ku tahan. Namun pertahananku bobol. Aku sesengguka
Aku menahan napas, ketika melewati ruang VIP tersebut. Ku urungkan niatku untuk memeriksa kondisi Nafisya, karena masih kulihat sosok Ray di situ. Kulanjutkan langkshku ke ruang praktek dikter Careld. Di sana masih kosong. Dokter muda itu belum kembali sama sekali dari urusannya. Aku hanya termangu sambari membereskan barang-barangku. Karena sebelum pulang harus memeriksa kondisi Isya terlebih dahulu. Rasanya berat sekali kaki ku melangkah ke sana. Tapi memang harus aku paksakan. Berharap nanti setelah beberapa jam yang akan datang, sosok Ray, sudah pergi. Baru saja aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku, ku dengar dari arah pintu ada suara langkah kaki menuju ruang kerjaku. Aku tersenyum ketika melihat sosok itu sudah kembali. Tapi senyumku seakan lenyap tertarik dengan bibirku, ketika ku sadari ada sosok lain yang bergeleyut di lengan dokter tampan itu. Seorang gadis yang penampilannya persis banget kayak bule. Selain cantik juga badannya ramping,
Setelah Aku mengurai senyum lagi buat penghuni ruang VIP lantai 2 itu, aku segera berlalu. Kulewati dokter Careld yang ada tepat di depan pintu masuk ruangan tersebut. "Move!" serunya sambil mengejarku dari belakang. Aku tampak tak acuh. Terus saja ku langkahkan kaki ku meninggalkan dokter tampan itu. "Eh! Kok Aku dibaikan sich?!" tanyanya sambil meraih pergelangan tanganku dan menghentikan langkahku. Aku hanya menghela napas dan menatapnya tak mengerti. "Kamu kenapa, Move?" Baru kali ini aku melihat dokter Careld tampak gusar. "Saya nggak apa-apa, Dok. Malah harusnya Saya yang tanya sama Dokter, kenapa, seperti sedang marah. Marah dengan siapa Dok?" "Dengan Kamu!" jawabnya jujur membuatku mengerutkan dahi. "Dengan Saya? ucapku sambil menunjuk diriku sendiri. Lho, Saya kanapa, Dok?" Dokter Careld hanya mendengus dengan napas kesal. Aku semakin heran, ada apa dengan dokter yang satu ini. Moodnya lagi nggak bagus kali, ya
Aku terpana mendengar pertanyaan dari wanita uang masih kelihatan anggun dan cantik itu, meskipun umurnya hampir mendekati setengah abad. Sedang Ray, sampai tersedak mana kala dia sedang meneguk air mineral, mendengar permintaan mamanya Nafisya dan Nathan. Nathan sendiri tidak berekspresi seperti yang lainnya. Mukanya datar, bahkan lebih terkesan dingin dan tak acuh. Yang lebih membuatku heran, papa dari mereka berdua hanya tersenyum tipis mendengar permintaan istrinya. Sedang aku masih bingung dan kaget bahkan terpana, tidak menyadari bahwa di balik pintu sudah ada 2 orang anak manusia menguping pembicaraan kami. "Kamu dapat mempertimbangksn dulu, Move. Tante yakin, Kamu orang yang baik." "Tapi, Tante-" Ucapanku menggantung. Sumpah! Aku bingung mau ngomong apa. Kalau aku terus terang siapa aku yang sesungguhnya pasti mereka akan kecewa sama aku. Tapi kalau aku tidak jujur, akan lebih parah lagi di suatu hari nanti. "Tante, belum
Keningku beradu dengan keningnya, badanku nubruk badannya. Auto aku meringis kesakitan, karena dahiku terasa nyeri. "Kalau jalan itu matanya dipakai." Aku terhenyak mendengar suara berat itu. Kutatap wajah orang itu. Dan kulihat sosok itu hanya menatapku tak acuh. Akh! Segera saja aku menarik diriku dari badannya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera meninggalkan dia. Kudengar langkah kakinya mengikutiku. Seketika itu, aku berhenti dan menoleh ke arahnya. "Ada perlu sama Aku?" tanyaku tanpa basa-basi. Dan seseorang itu mendekati dimana aku berdiri. "Jangan nikah dengan Nathan!" titahnya seperti aku ini budaknya. Sesaat aku hanya terpaku lantas tersenyum getir. "Kenapa masih mengatur hidupKu?" tanyaku tanpa menghiraukan perintahnya. "Karena Aku masih mencintaimu." jawabnya polos persis anak kecil yang belum tahu dosa. "Brengsek!" Dalam hati aku memaki dan mengumpat. Manusia macam apa sich sebenarnya, dia? Mar
Bodoh! Benar-benar bodoh! Aku berkali-kali merutuki diriku dengan kata-kata makian. Kenapa aku begitu bodoh jadi manusia. Jadi makhluk yang namanya perempuan. Begitu mudahnya hatiku luluh, oleh sentuhan Ray. Akh- Ingat nama Ray, jadi aku ingin muntahkan semua kemarahan ini, entah sama siapa. Sudah jelas-jelas hubungan aku sama dia berakhir, bahkan akhir dari semua ini adalah orang ke tiga, kenapa aku masih mau disentuh sama dia, dicium dan ... akh- Sialan!! Berkali-kali, aku memaki diriku sendiri. Dan dengan kucuran air dari shower ku guyur ujung rambut sampai kakiku. Rasanya aku jijik dengan diriku sendiri. Mungkin bulan depan, aku sudah harus mengosongkan apartemen Ray. Setidaknya, aku bisa cari kos-kosan yang lebih dekat dengan rumah sakit. Aku sudah nggak mau berhubungan apapun lagi dengan dia. Mungkin itu caraku biar lebih cepat melupakan dia. Nggak mau menerima apapun yang berhubungan sama dia. Bukannya sombong, kal
Entah, aku kerasukan apa? Tiba-tiba menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Tempat yang membuat aku sengsara buat beberapa bulan terakhir ini. Namun, aku tak berani masuk. Aku menunggu seseorang itu di taman, persis di samping gedung perusahaan miliknya. Sudah ada 10 menit aku menunggu, tapi sosok itu belum keliatan juga. Masih terlalu pagi memang. Waktu belum juga menunjukkan pukul tujuh. Beberapa kali pandanganku kuliarkan kearah pelataran kantor itu, berharap dia datang lebih cepat. Namun harapanku sia-sia. "Harus lebih sabar." gumamku lirih. Terlihat mobil alphard hitam memasuki halaman depan kantor pengiriman barang tersebut. Dan aku masih hafal betul siapa pemilik mobil itu. Laki-laki yang selalu punya sejuta pesona itu turun dari mobil mewahnya. Tak ada niat aku untuk memanggilnya karena tujuanku ke sini bukan bertemu denganya. Aku sengaja memunggungi laki-laki itu berharap dia tidak melihatku. Karena sesungguhnya sudah tidak
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo