Manik mataku mengerjab liar, mendengar apa yang diucapkan Dattan. Tapi pria itu acuk tak acuh melihat reaksiku. Dengan lincah keluar masuk kamar yang ada di apartemen ini. Ternyata ini apartemen dia.
Dari, mengeluarkan koper sampai menata baju, dia lakukan dengan rapi. Kulihat baju-baju perempuan bermerk kelas atas, ia masukkan beserta semua perlatan dalam wanita. Ternyata, semua sudah diatur serapi mungkin. Skenario ini sudah direncanalan dengan baik, tanpa terendus oleh siapapun. Mungkin selama ini, jauh sebelum Ray benar-benar muncul di hadapanku, semua skenario ini sudah ditata serapi mungkin, sebaik mungkin, supaya semua berjalan sesuai rencana mereka.
Yang jadi pertanyaan besar di otakku, kenapa harus aku yang jadi target mereka? Aku hanya memperhatikan, apa yang Dattan lakukan.
"Tiket sudah aku beli. Pagi ini, kita akan meninggalkan kota ini," ucapnya tanpa melihat aku sama sekali. Masih sibuk dengan mengepak barang
Kali ini, bagian bajun
Dibaca lagi y, jangan lupa votenya
Aku menahan nafas sesaat, untuk mendengarkan ucapan Dattan yang belum selesai. Sedangkan Ray, masih dengan kemarahan mutlak, mencengkram kerah baju Dattan. "Katakan, Dattan!" Suara pria yang teramat aku cintai itu menggema di tempat parkiran. Dattan berusaha melepaskan diri dari cengkraman Ray, ditariknya tangan Ray yang mencengkram kuat lehernya. "Katakan dulu Dattan!" Kembali suara itu menggema. "Aku akan katakan, tapi lepaskan dulu cengkramanmu, aku nggak bisa bernafas." Dengan tersengal, Dattan berkata. Setelah menarik nafas kuat-kuat, dan menghembuskan dalam-dalam, Ray melunak. Cengkramannya pada leher Dattan terlepas. Laki-laki itu mengatur nafasnya yang tersendat karena amarah. Sedangkan, aku hanya menjadi penonton. "Sekarang, katakan, apa alasan kamu mengkhianati aku?" suaranya melemah, ada kelehan yang begitu sangat di wajah tampannya. Dattan menarik nafas panjang, sebelum memulai pembicaraan. "Ap
Sekitar jam 7 malam, aku merapikan semua pekerjaanku. 5 menit yang lalu, Dattan dan dokter Careld bergantian telpon ke rumah Ray. Mereka menanyakan keadaanku. Di sini, di rumah Muhammad Farhan Raya Dinata, Aku menunggu kepulangannya. Kulirik jam dinding sudah bergeser dari angka 7 ke angka 8. Ada kegelisahan yang menguar di dalam dadaku. Seharusnya dia sudah pulang dari jam 5 tadi, sampai terlambat hampir 3 jam, tapi nggak memberi kabar. Semenit kemudian, terdengar langkah kaki dari luar pintu. Aku buru-buru membukanya. Kulihat sosok tampan itu menampakkan muka kusutnya, muka lelah yang teramat sangat. Kuraih tas kerjanya, bak layaknya seorang istri kepada suaminya. Ray hanya diam saja, mulutnya terkunci seribu bahasa. Aku bisa mengerti, mungkin tadi dia berselisih pendapat dengan orang tuanya. Dan ini berhubungan dengan aku. Kuikuti langkah kakinya dengan ke dua ekor mataku. Ku tarik nafas panjang, melihat sikapnya yang begitu dingin.
Baru saja Ray membuka pintu mobilnya, sang ayah sudah menyambutnya di depan pintu. Tak dilihatnya mamanya. Dengan gontai Ray berjalan menghampiri ayahnya. "Pa," sapanya lalu mencium punggung lelaki berwibawa itu. "Kamu terlambat, Ray, dia sudah pergi," ucapnya sambil menjajari putra semata wayangnya itu. Ray seketika menghentikan langkahnya, menatap manik mata lelaki yang sudah berumur itu. "Apa, Papa tahu, apa yang dia bicarakan dengan mama?" tanyanya tak bersemangat. Orang tua yang sudah berumur 50 tahun lebih itu hanya menggeleng. "Mereka bicara 4 mata di teras samping." jawab sang ayah. Ray hanya menarik nafas pendek. Merasakan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke dadanya. Lantas mereka masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga, tampak mamanya sedang duduk menghadap tv. Pandangannya kosong ke depan. "Ma," tangannya terulur menggapai punggung tangan wanita paruh baya itu, lalu menciumnya. Kebiasaan yang sudah ditanamkan oleh keluarga Ray
Suasana pagi itu jadi kacau, aku yang hanya memakai baju tengtop dan celana pendek sepaha, panik setengah mati, begitu juga Dattan, dia seperti orang linglung, mencari baju dan celana panjangnya. Badannya telanjang dada dan hanya memakai celana kolor. Entah apa yang terjadi semalam. Aku tidak ingat apa-apa. Seingatku, terakhir aku hanya mendengar ucapan-ucapan Dattan dan sentuhan tangannya di keningku. Dengan gugup aku menyambar semua pakaianku lalu ke kamar mandi, demikian juga Dattan. Dia segera memakai baju dan celana panjangnya. "Apa yang sudah kalian lakukan, hah!" suara orang itu yang tak lain adalah Ray, menggema di seluruh ruangan apartemen milik Dattan. Aku menunduk dalam, nyaliku terasa ciut, rasanya aku gemetaran, tapi sungguh, aku tidak melakukan apa-apa semalam dengan Dattan. Aku hanya merasa semalam sakit, demam tinggi karena kecapekan ditambah seharian tidak makan. "Ray, tenang dulu," "Apa kamu, bilang! Tenang, tenang ya
Dengan bergegas aku berjalan menuju pintu apartemen. "Move!" Suara Dattan terdengar, laki-laki itu mengejarku. "Kamu mau kemana,?" Aku menggeleng lemah menjawab pertanyaannya. "Tinggalah di sini, kamu nggak ada tempat yang mau di tuju," "Tidak! Aku nggak mau dia tinggal di sini!" seru Ray, dari belakang. Aku sebenarnya terkejut, tapi aku berusaha setenang mungkin menghadapi laki-laki yang sudah 6 tahun menempati hatiku. Sementara Dattan hanya menarik nafas panjang. "Kenapa lagi sich Ray? Move nggak punya tempat tinggal, apa kamu nggak kasihan?!" Suara Dattan menunjukkan kekesalan hatinya. "Tapi tidak tinggal dengan kamu!" Jari telunjuk Ray tepat mengarah ke muka Dattan dengan nada marah. Aku pusing melihat pertengkaran mereka berdua. "Sudahlah! Kenapa kalian jadi bertengkar sich? Aku bisa urus diriku sendiri!" Suaraku tajam penuh kekesalan. Selanjutnya aku berjalan cepat meninggalkan mereka. "Move!
"Ting ... tong!" Suara bel pintu itu mampu membuatku kalang kabut. Sesegera mungkin aku memunguti bajuku dan baju Ray yang sudah berserakan di lantai beberapa menit yang lalu. Ray dengan tergesa memakai kaos t-shirt dan celana pendek. Sedang aku segera berlari ke kamar mandi memakai pakaianku. Pintu terbuka, terlihat wanita anggun itu dengan lelaki yang masih terlihat ketampanannya masuk ke dalam rumahnya. "Mama! Papa! Tumben, kalian datang?" tanyanya gugup sambil memberikan jalan buat ke dua orang tuanya ke ruang keluarga. "Kamu kenapa Ray?" tanya Aliya berjalan ke arah kamar putranya. "Nggak apa-apa Ma, tapi Mama mau ngapain ya kok ke kamar, Aku?" tanyanya sekali lagi lebih gugup. Wanita yang masih kelihatan anggun itu mengerutkan dahi, merasa heran dengan kelakuan anaknya." "Memang, Mama nggak boleh ke kamar kamu, hanya sekedar lihat-lihat. Apa yang kamu sembunyiin, Ray?" tanya wanita it
Diremasnya jari-jemarinya sendiri. Ada ketakutan yang luar biasa terpancar jelas di matanya. Pandangan yang sedari tadi tertuju di luar kaca beralih menatap seseorang yang terlihat sangat tampan, dengan segala kesibukannya. Ketika matanya berbenturan dengan mata elang itu hatinya tiba-tiba berdesir hebat. Perasaan yang selama ini selalu diusirnya hanya untuk memenangkan hati seorang Ray Dinata. Namun semua usahanya sia-sia. Kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan berakhir tragis. Laki-laki itu memamerkan senyum mautnya tatkala mendekati sofa di mana dia duduk. Dan anehnya debar jantungnya makin menjadi tak beraturan. Dengan santai, laki-laki itu, dokter Careld menjatuhkan tubuhnya di sebelah Perempuan yang sudah menjadi pasiennya beberapa tahun belakangan ini. "Nggak usah terlalu risau, hanya tekanan jantungnya terlalu lemah. Harus sering-sering kontrol, ya. Dan jangan terlalu banyak pikiran." ucapnya dengan sabar, sambil menatap wanita yang usian
Sekitar 30 menit aku menunggu, pemeriksaan pasien bernama Isya itupun selesai. Aku beranjak berdiri ketika wanita itu mendekati aku. Dan kulempar senyum seramah mungkin padanya untuk menetralisir keadaan. "Aku sudah selesai, Aku pamit ya," ucap Isya lemah. Padahal beberapa menit sebelum kedatanganku dia baik-baik saja. Ku anggukan kepala tanpa melepas senyum di bibirku. Dokter Careld mengantar kepergiannya sampai depan lift. Setelah beberapa menit kemudian, kulihat dokter muda itu sudah kembali ke ruangannya. Seperti biasa dengan senyum khasnya, dia menghampiri aku dan duduk persis di samping aku. "Bagaimana kabar kamu?" tanyanya lalu berhenti sejenak, "wanita misteriusku," batinnya. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya lalu mengikutinya, menjatuhkan tubuhku di sofa persis di sampingnya. "Seperti yang Dokter lihat, Saya baik-baik saja. Hanya saja-" Aku menggantung kalimatku. Ku lihat dokter Careld tergerak
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo