Baru saja Ray membuka pintu mobilnya, sang ayah sudah menyambutnya di depan pintu. Tak dilihatnya mamanya. Dengan gontai Ray berjalan menghampiri ayahnya.
"Pa," sapanya lalu mencium punggung lelaki berwibawa itu.
"Kamu terlambat, Ray, dia sudah pergi," ucapnya sambil menjajari putra semata wayangnya itu. Ray seketika menghentikan langkahnya, menatap manik mata lelaki yang sudah berumur itu.
"Apa, Papa tahu, apa yang dia bicarakan dengan mama?" tanyanya tak bersemangat. Orang tua yang sudah berumur 50 tahun lebih itu hanya menggeleng.
"Mereka bicara 4 mata di teras samping." jawab sang ayah.
Ray hanya menarik nafas pendek. Merasakan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke dadanya. Lantas mereka masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga, tampak mamanya sedang duduk menghadap tv. Pandangannya kosong ke depan.
"Ma," tangannya terulur menggapai punggung tangan wanita paruh baya itu, lalu menciumnya. Kebiasaan yang sudah ditanamkan oleh keluarga Ray
Up lagi ya gaes
Suasana pagi itu jadi kacau, aku yang hanya memakai baju tengtop dan celana pendek sepaha, panik setengah mati, begitu juga Dattan, dia seperti orang linglung, mencari baju dan celana panjangnya. Badannya telanjang dada dan hanya memakai celana kolor. Entah apa yang terjadi semalam. Aku tidak ingat apa-apa. Seingatku, terakhir aku hanya mendengar ucapan-ucapan Dattan dan sentuhan tangannya di keningku. Dengan gugup aku menyambar semua pakaianku lalu ke kamar mandi, demikian juga Dattan. Dia segera memakai baju dan celana panjangnya. "Apa yang sudah kalian lakukan, hah!" suara orang itu yang tak lain adalah Ray, menggema di seluruh ruangan apartemen milik Dattan. Aku menunduk dalam, nyaliku terasa ciut, rasanya aku gemetaran, tapi sungguh, aku tidak melakukan apa-apa semalam dengan Dattan. Aku hanya merasa semalam sakit, demam tinggi karena kecapekan ditambah seharian tidak makan. "Ray, tenang dulu," "Apa kamu, bilang! Tenang, tenang ya
Dengan bergegas aku berjalan menuju pintu apartemen. "Move!" Suara Dattan terdengar, laki-laki itu mengejarku. "Kamu mau kemana,?" Aku menggeleng lemah menjawab pertanyaannya. "Tinggalah di sini, kamu nggak ada tempat yang mau di tuju," "Tidak! Aku nggak mau dia tinggal di sini!" seru Ray, dari belakang. Aku sebenarnya terkejut, tapi aku berusaha setenang mungkin menghadapi laki-laki yang sudah 6 tahun menempati hatiku. Sementara Dattan hanya menarik nafas panjang. "Kenapa lagi sich Ray? Move nggak punya tempat tinggal, apa kamu nggak kasihan?!" Suara Dattan menunjukkan kekesalan hatinya. "Tapi tidak tinggal dengan kamu!" Jari telunjuk Ray tepat mengarah ke muka Dattan dengan nada marah. Aku pusing melihat pertengkaran mereka berdua. "Sudahlah! Kenapa kalian jadi bertengkar sich? Aku bisa urus diriku sendiri!" Suaraku tajam penuh kekesalan. Selanjutnya aku berjalan cepat meninggalkan mereka. "Move!
"Ting ... tong!" Suara bel pintu itu mampu membuatku kalang kabut. Sesegera mungkin aku memunguti bajuku dan baju Ray yang sudah berserakan di lantai beberapa menit yang lalu. Ray dengan tergesa memakai kaos t-shirt dan celana pendek. Sedang aku segera berlari ke kamar mandi memakai pakaianku. Pintu terbuka, terlihat wanita anggun itu dengan lelaki yang masih terlihat ketampanannya masuk ke dalam rumahnya. "Mama! Papa! Tumben, kalian datang?" tanyanya gugup sambil memberikan jalan buat ke dua orang tuanya ke ruang keluarga. "Kamu kenapa Ray?" tanya Aliya berjalan ke arah kamar putranya. "Nggak apa-apa Ma, tapi Mama mau ngapain ya kok ke kamar, Aku?" tanyanya sekali lagi lebih gugup. Wanita yang masih kelihatan anggun itu mengerutkan dahi, merasa heran dengan kelakuan anaknya." "Memang, Mama nggak boleh ke kamar kamu, hanya sekedar lihat-lihat. Apa yang kamu sembunyiin, Ray?" tanya wanita it
Diremasnya jari-jemarinya sendiri. Ada ketakutan yang luar biasa terpancar jelas di matanya. Pandangan yang sedari tadi tertuju di luar kaca beralih menatap seseorang yang terlihat sangat tampan, dengan segala kesibukannya. Ketika matanya berbenturan dengan mata elang itu hatinya tiba-tiba berdesir hebat. Perasaan yang selama ini selalu diusirnya hanya untuk memenangkan hati seorang Ray Dinata. Namun semua usahanya sia-sia. Kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan berakhir tragis. Laki-laki itu memamerkan senyum mautnya tatkala mendekati sofa di mana dia duduk. Dan anehnya debar jantungnya makin menjadi tak beraturan. Dengan santai, laki-laki itu, dokter Careld menjatuhkan tubuhnya di sebelah Perempuan yang sudah menjadi pasiennya beberapa tahun belakangan ini. "Nggak usah terlalu risau, hanya tekanan jantungnya terlalu lemah. Harus sering-sering kontrol, ya. Dan jangan terlalu banyak pikiran." ucapnya dengan sabar, sambil menatap wanita yang usian
Sekitar 30 menit aku menunggu, pemeriksaan pasien bernama Isya itupun selesai. Aku beranjak berdiri ketika wanita itu mendekati aku. Dan kulempar senyum seramah mungkin padanya untuk menetralisir keadaan. "Aku sudah selesai, Aku pamit ya," ucap Isya lemah. Padahal beberapa menit sebelum kedatanganku dia baik-baik saja. Ku anggukan kepala tanpa melepas senyum di bibirku. Dokter Careld mengantar kepergiannya sampai depan lift. Setelah beberapa menit kemudian, kulihat dokter muda itu sudah kembali ke ruangannya. Seperti biasa dengan senyum khasnya, dia menghampiri aku dan duduk persis di samping aku. "Bagaimana kabar kamu?" tanyanya lalu berhenti sejenak, "wanita misteriusku," batinnya. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya lalu mengikutinya, menjatuhkan tubuhku di sofa persis di sampingnya. "Seperti yang Dokter lihat, Saya baik-baik saja. Hanya saja-" Aku menggantung kalimatku. Ku lihat dokter Careld tergerak
Pagi itu, aku sudah disibukkan dengan laporan kesehatan para pasien dokter Careld. Tidak menyangka, setiap harinya dokter muda itu menerima lebih dari ratusan pasien. Rata-rata perempuan semua. Padahal dia dokter spesial jantung tapi sudah seperti dokter praktek umum. Aku menggeleng-gelengkan kepala, saat melihat daftar pasien dokter pemikat hati perempuan itu. Semua yang daftar perempuan. Padahal setahu ku, kalau penyakit jantung itu kebanyakan para pria yang menderita. Tapi ini ... "Ckckck ..." suara decakku mengusik kesibukan si tampan yang ada di seberang meja kerjaku. Dengan sedikit terkejut dia menolehkan pesona wajahnya ke arahku. Buru-buru ku tundukkan muka untuk menghindari tatapannya. Aku kembali kekesibukan ku yang semula. Hari tak terasa sudah berganti siang. Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Kupejamkan mata sebentar barang kali karena kelelahan saja. Tapi keringat dingin sudah menetes dari dahiku. Aku yakin wajahku sudah pucat seketika.
Sesampainya aku di meja kerjaku, ku hentakkan semua barang-barang yang ku bawa tadi. Dokter Careld terkejut sesaat lalu mata elangnya menatapku bingung dan heran. Dokter muda itu mendekati aku, dan bersandar di tepi meja kerja ku. "Ada apa, kok mukanya kesal begitu?" tanyanya sambil melihat kekesalan mutlak di wajahku. Aku menggelengkan kepala dengan lemah, lalu duduk di kursi kerja ku. Dokter Careld hanya mengelus pundakku dan kembali ke meja kerja nya. "Move," kembali dokter Careld memanggil ku. Aku menjawab sambil meletakkan ponsel genggam dan kunci apartemen yang di berikan oleh Ray tadi siang. Dokter Careld menggelengkan kepala ketika aku menjawab panggilannya. Laki-laki itu mengurungkan niatnya memberikan hadiah pada Move ketika dilihatnya wanita itu sudah menaruh ponsel genggamnya. Di masukkannya benda yang terbungkus persegi itu kembali ke brankasnya. Pria itu menyodorkan ponsel genggamya ke⁰ meja ku setelah beberapa lama
"Pak! Laporan meeting hari ini," Clarisa menyodorkan catatan laporan dari meeting dengan oara dean direksi hari ini kepada Ray, selaku direktor perusahaan. Meeting pagi ini terbilang sukses dengan penampilannya yang begitu mempesona, menghipnotis seluruh anggota dewan direksi dengan presentasinya yang begitu brilian. "Clarisa!" Panggilnya ketika melihat sekertarus sudah membuka pintu. Spontan gadis muda itu membalikkan badan. "Iya, Pak. Apa masih ada yang Bapak, perlukan lagi?" jawabnya. "Tolong suruh manager keuangan ke ruangan, Saya." Perintahnya. Gadis muda yang baru bekerja 2 tahun di perusahaannya mengangguk patuh, selanjutnya pamit untuk kembali ke ruangannya. Tak lebih dari 5 menit, Fito Prayoga, selaku manager keuangan sudah berada di ruanga direktur. "Bapak, memanggil Saya?" "Oh! Fito duduk! ucapnya bernada memerintah. Laki-laki yang umurnya dibawahnya beberapa tahun itu patuh dengan perintahnya. Agak sed