"Daddy, Mommy di mana? Kenapa Mommy lama sekali?" tanya Sean sambil melingarkan tangannya di leher William. Dia cemberut karena sejak tadi dia menunggu Marsha tapi belum juga muncul. William melirik arloji di tangannya, benar apa yang dikatakan putranya itu. Sejak tadi istrinya masih belum kembali dari toilet. "Sean, kau bersama dengan Bibi Ruth. Daddy ingin menghampiri Mommy." "Kenapa aku tidak ikut saja, Daddy? Aku ingin menjemput Mommy juga. Mommy sangat lama di toilet." Bibir Sean berkerut, wajahnya cemberut karena sejak tadi menunggu Marsha. "Kau dengan Bibi Ruth saja, Sean. Biar Daddy yang menjemput Mommy," William mencium pipi gemuk Sean. "Tapi Daddy, aku ingin menjemput Mommy. Apa tidak boleh?" Bibi Sean semakin berkerut. Wajahnya tertekuk cemberut. William tersenyum seraya mengelus lembut pipi Sean. "Bukannya kau berjanji akan selalu menuruti perkataan Daddy? Sekarang Daddy ingin kau di sini ditemani Bibi Ruth. Biarkan Daddy yang menghampiri Mommy." Sean mengangguk patu
William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat bibir istrinya. "Sekarang, biarkan aku menghapus jejak tangan pria sialan itu yang berani memeluk tubuhmu."Menghapus jejak?" Alis Marsha terangkat, dia menatap bingung suaminya"Ya, nanti kau akan tahu." Marsha memekik terkejut, kala William membopong tubuhnya. Kemudian, William menutup pintu kamar dengan kakinya—lalu melangkang menuju ranjang. Seketika senyum di bibir Marsha terukir, jika sudah seperti ini tentu dia tahu apa yang diinginkan suaminya. Marsha mengaitkan tangannya ke leher suaminya itu.William membaringkan tubuh Marsha di ranjang, dia langsung melumat bibir istrinya. Tidak hanya diam, Marsha pun membalas pagutan suaminya itu. Perlahan William mulai melepaskan gaun yang melekat ditubuh istrinya itu. Marsha memejamkan matanya, kala suaminya menyentuhnya. Dalam sekejap, William berhasil melepaskan gaun yang melekat ditubuh Marsha. Dia melemparkan gaun itu sembarangan di lantai. Tatapan William memuja, gundukan kembar istri
Hujan turun begitu deras membasahi kota Bali. Marsha yang tengah berias, dia melihat ke arah jendela, sudah sejak tadi hujan tak kunjung reda. Marsha mendesah pelan, padahal malam ini dia ingin pergi ke Hard Rock cafe bersama sang suami. Marsha mengalihkan pandangannya, dia memutuskan untuk melanjutkan memoles wajahnya dengan make up. Ya, meskipun hujan deras, itu tetap tidak akan menghalangi keinginannya untuk ke Hard Rock cafe bersama William. Selama ini, dia dan William selalu disibukan dengan pekerjaan. Mereka sangat jarang memiliki waktu bersantai berdua. Jika weekend, biasanya William dan Marsha mengajak Sean mengunjungi taman bermain. "Selesai," ucap Marsha ketika dia sudah selesai memoles lipstik berwarna natural di bibirnya. Hari ini dia tidak menggerai rambutnya, dia memilih untuk mengikat rambut dengan model ponytail."Sayang, kau sudah siap?" William yang berdiri di ambang pintu, dia menatap istrinya kini sudah terbalut dress berwarna kuning cerah dengan tali spaghetti. S
Keesokan hari, Marsha memilih untuk bersantai di Hotel. Hari ini dia sengaja bersantai di Hotel karena nanti dia akan menikmati spa di hotel. Bersantai sebentar setidaknya aka membuat tubuhnya jauh lebih rileks. Tanpa terasa sudah lebih dari satu minggu dia berada di Bali. Liburannya kali ini, sang suami benar-benar meluangkan waktu untuknya. Kini Marsha duduk di sofa sembari membaca novel kesukannya. Dia masih begitu enggan beranjak dari kamar. Padahal satu jam lagi, Marsha sudah memiliki janji pada Sean untuk pergi ke spa. Ya, beruntung Sean selalu menyukai ketika menemani dirinya. Meskipun dia hanya pergi ke salon, tapi Sean selalu ingin berada di dekatnnya. "Marsha?" William yang baru saja keluar dari kamar mandi, dengan tubuh yang masih terlilit handuk di pinggangnya, dia menatap istrinya yang tengah duduk di sofa. Kemudian William melangkah mendekat ke arah Marsha. "Hari ini, kau benar ingin di Hotel saja?" tanyanya memastikan. Marsha mengalihkan pandangannya—menatap William
Kini Marsha tengah bersiap-siap mengemasi barang-barang pribadi milik suami dan anaknya. Hari ini dia akan menyusul Laura ke Singaraja. Jarak yang cukup jauh, membuat Marsha harus mempersiapkan dengan baik. Meski dia memiliki Ruth, pengasuh Sean sejak kecil, tapi Marsha tidak pernah sepenuhnya menyerahkan Sean pada Ruth. Marsha sudah terbiasa mengurus segala keperluan putranya itu. "Sayang? Apa kau sudah siap?" William melangkah mendekat ke arah Marsha yang tengah mengemasi barang-barang ke dalam tas. "Sudah," Marsha menutup tas itu, lalu menoleh menatap William. "Di mana Sean? Kenapa dia belum juga datang? Biasanya Sean sudah ke sini." "Mungkin-""Mommy... Daddy...." Ucapan William terpotong saat Sean berlari masuk ke dalam kamar mereka. Senyum di bibir Marsha terukir melihat putranya datang. Marsha langsung mengulurkan tangannya dan memeluk erat tubuh putranya itu. William pun menunduk dan mengecup puncak kepala putranya. "Sayang, kau tampan sekali?" Marsha mengurai pelukannya,
Kini William, Marsha serta Raymond dan Laura berada di Jaring Kitchen & Drinks. Sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dengan Pantai Lovina, Singaraja. Restoran ini adalah tempat yang di rekomendasikan Laura dan Raymond. Sebelumnya, William mencari restoran yang jauh lebih besar dari restoran yang disarankan oleh Laura dan Raymond. Namun Singaraja bukanlah kota seperti Seminyak, Nusa Dua dan tempat yang William kunjungi sebelumnya. Restoran di kota ini, terbilang sangat murah. Untuk tataanan restoran di Singaraja, benar-benar bernuansa budaya Bali. Jika Seminyak, Kuta, Nusa Dua daan tempat yang dikunjungi William dan Marsha sebelumnya kota besar di Bali, kali ini Singaraja bukanlah kota besar di Bali. Di Singaraja, merupakan tempat kota kecil namun budaya Bali sangat terlihat begitu indah meskipun di kota kecil. Restoran Jaring Kitchen & Drinks menyajikan makanan internasional dan makanan asia.Tidak lama kemudian, pelayan menyajikan makanan yang sudah dipesan Marsha dan Laura. Keti
Pagi hari, Marsha sudah lebih dulu terbangun. Ya, pagi ini dia sudah berjanji pada Sean akan pergi ke Pantai Lovina. Seperti biasa, Marsha menyiapkan barang-barang pribadi yang nanti dibutuhkan putranya itu. Setelah sekian lama, akhinya dia bisa kembali ke Pantai Lovina. Jarak dari pusat kota di Bali ke Singaraja, tidaklah dekat, itu yang membuat Marsha sudah lama tidak mengunjungi Singaraja. Suara dering ponsel terdengar, Marsha langsung mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang terletak di atas nakas. Kemudian dia mengambil ponselnya, lalu menatap ke layar. Seketika senyum di bibir Marsha terukir melihat nomor Karin. Dengan cepat, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Karin?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, kau di mana?" tanya Karin dari seberang line. "Aku di Singaraja, kemarin aku menyusul Laura dan Raymond ke Singaraja." "Kau ada di Singaraja?" "Ya, beberapa hari lalu, Laura dan Raymond
"Ada apa? Bicara yang jelas!" seru William dengan tatapan menghunus dingin padan Ruth."T-Tuan Muda Sean dan Nona Muda Lea menghilang, Tuan. Saat ini pengawal masih mencari keberadaan mereka," Ruth masih terus menunduk, dia mengatakan itu bersamaan dengan air matanya yang kini menetes membasahi pipinya.Perkataan Ruth sontak membuat semua orang yang ada di sana. Wajah Marsha dan Laura sama-sama pucat saat mendengar apa yang dikatakan Ruth. Begitupun dengan William dan Raymond yang begitu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ruth."Apa maksudmu!" seru William meninggikan suaranya. Kini tatapannnya begitu tajam pada Ruth yang berdiri di hadapannya itu. Terlihat Ruth yang ketakutan, terlebih William menatap tajam dirinya. "T-Tuan, maafkan saya, Tuan," Ruth memberanikan diri mengangkat wajahnya—menatap William. "Aku tidak butuh maafmu, sialan! Katakan di mana anakku!" William nyaris berteriak setelah mengatakan itu. Marsha menatap Ruth dengan raut wajah yang cemas, "Jelaskan pada
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d