Waktunya jam makan siang, Marsha sudah menyelesaikan pekerjaannya. Hingga detik ini, Marsha tidak mengaktifkan ponselnya. Lagi pula untuk apa, William tidak berhak mengatur hidupnya. William juga harus memiliki batasan. Itulah yang Masha pikirkan. Sesuai janji Marsha dengan Melvin, mereka akan makan siang bersama. Marsha sudah menunggu di salah satu restoran terdekat dengan Stefano Company. Untunglah Karin bisa mengerti, jika Marsha akan makan siang bersama Melvin. Marsha tengah duduk, dia sudah memesan sirloin steak untuknya. Dia juga memesan tenderloin steak untuk Melvin. Tidak lama kemudian Melvin yang baru saja tiba di restorna, dia sudah melihat Marsha duduk di ujung, dia langsung berjalan mendekat ke arah Marsha. "Marsha? Apa kau sudah menunggu lama?" Melvin menarik kursi, lalu dia duduk di hadapan Marsha. Marsha melihat ke arah Melvin yang duduk di hadapannya. "Tidak apa-apa Melvin. Aku juga baru datang.""Melvin, aku sudah memesankan makanan untukmu. Jika kau tidak menyuka
William duduk di kursi kebesarannya, pikirannya kini tengah memikirkan Marsha. Tadi malam Marsha mengunci diri di kamar tamu. Bahkan paginya, Marsha sudah lebih dulu berangkat. William merasa bersalah karena berkata kasar pada Marsha. Ya, memang sebenarnya William sangat marah pada Marsha, karena Marsha mencampuri urusan pribadinya. Tapi tidak bisa di tutupi jika William juga merasa bersalah karena terlalu kasar pada Marsha. William melirik arlojinya, sekarang sudah pukul enam sore. Itu artinya Marsha sedang di jalan pulang. William memutuskan akan berbicara dengan Marsha saat dia sudah tiba di rumah. Tidak lama kemudian, terdengar dering ponsel, William mengambil ponselnya di atas meja. Dia menatap ke layar ternyata pesan masuk dari Marsha. DIa mengusap layar ponsel untuk membuka pesan, dan langsung membaca pesan.Marsha : William, aku akan menginap di rumah Karin. Kau tidak perlu mencari ku. Aku baik-baik saja.William : Tidak boleh, aku tidak mengizinkanmu menginap.Marsha : Aku h
"Aku tetap ingin menginap di rumah Karin! Cepat kau putar arah ke rumah Karin! Kenapa kau selalu mengatur hidupku!" sentak Marsha. Dia tetap ingin menginap di rumah Karin. Dia ingin menenangkan diri. "Aku sudah mengatakan padamu bukan? Jika aku tidak mengizinkanmu menginap di rumah karin!" geram Wiliam. Dia berusaha menahan emosinya, dia tidak ingin membentak Marsha. "Apa kau tidak bisa membaca pesanku? Disitu tertulis aku bukan meminta izin padamu. Tapi aku memberitahumu jika aku akan menginap di rumah Karin. Tidak perduli kau mengizinkan atau tidak! Ini hidupku! Aku memiliki kebebasan untuk mengatur hidup ku!" sentak Marsha. Dia sudah kehilangan kesabarannya bersama William. "Kita bicara ketika kita di rumah Marsha!" Seru William meninggikan suaranya. Dia menambah kecepatan mobilnya. Hingga membuat Marsha ketakutan karena William mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Tidak lama kemudian, mobil William sudah tiba di mansion. Marsha turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam
Kesokan hari, setelah pertengkaran dengan William, Marsha berusaha untuk melupakan hatinya yang terluka. Tidak tahu kenapa Marsha sungguh tidak nyaman. Dia sangat tidak suka ketika William mengakui padanya jika sudah memiliki kekasih. Dengan cepat dia segera menepis perasannya. Marsha harus mengingat jika pernikahannya dengan William hanya sebatas kontrak perjanjian.Kali ini Marsha kembali berusaha hanya memirkan Raymond. Namun, tidak bisa dipungkiri, dia tidak bisa lagi memikirkan Raymond. Padahal dulunya Marsha selalu memikirkan Raymond. Marsha berusaha untuk melupakan dan menepis perasaan yang tidak masuk akal ini. Tidak mungkin Marsha membiarkan dirinya jatuh cinta pada William. Dia harus tahu, jika yang William cintai adalah Alice. William sudah memiliki kekasih. Marsha yakin, Alice adalah wanita dewasa yang cantik. Berbeda dengan dirinya yang masih muda. Marsha berjalan menuju ruang makan. Dia melihat William yang tengah menikmati sarapan. Tanpa menyapa sedikit pun, dian angsu
William duduk di kursi kebesarannya, dia baru saja selesai meeting. Pikirannya tidak berhenti memikirkan perkataan Marsha tadi malam. Teringat jelas perkataan Marsha jika Marsha menunggu Raymond kembali padanya. Jika William mengingat itu, dia langsung mengepalkan tangannya. Dia benci jika Marsha masih memikirkan pria yang pergi tanpa memberi kabar sedikit pun. Hari ini William harus menjemput Alice. Tapi dia sendiri tidak ingin menjemput Alice. Dulu biasanya William selalu senang ketika menjemput kekasihnya. Tapi entah kenapa kali ini dia merasa enggan untuk menjemput kekasihnya itu. Alice memang gadis yang sangat cantik. Dia wanita dewasa yang umurnya sama dengan William. Pekerjaan Alice sebagai seorang artis, membuat Lukas ayah William tidak pernah merestui Alice menjadi menantunya. Lukas jauh lebih memilih Marsha, karena Marsha adalah gadis polos yang sangat cantik, lahir dari keluarga baik-baik. Itulah yang membuat Lukas memilih Marsha. Terdengar suara ketukan pintu, membuat Wi
"Alice, jangan samakan Milan dengan Toronto. Di sini tempat tinggal keluargaku. Aku tidak ingin ada pemberitaan macam-macam tentang diriku," seru William yang mulai malas menanggami ucapan Alice."Kalau begitu, kenapa kau tidak mengenalkan aku dengan keluargamu? Kita sudah menjalin hubungan lama William!" balas Alice.William membuang napas kasar. "Aku belum bisa mengenalkanmu pada keluargaku. Banyak hal yang harus aku katakan padamu Alice.""Ada apa? Kau ingin mengatakan apa?" tanya Alice menatap serius Wlliam."Banyak hal yang harus kau ketahui, mungkin kau belum melihat berita di media tentang diriku." tukas William dingin.Alice mengerutkan dahinya. "Apa yang kau maksud William? Aku tidak mengerti." "Aku dijodohkan dengan anak sahabat ayahku, Dia anak dari Mario Nicholas, Aku rasa kau pernah mendengar nama Mario Nicholas. Beberapa bulan terakhir Mario Nicholas mampu membawa perusahaannya berada di puncak," jawab William menatap lekat manik mata Alice. "Dan aku sudah menikah denga
Marsha baru saja tiba di mansion. Dia masuk ke dalam kamar, kini sudah pukul tujuh malam. William memang tadi berpesan, jika William akan pulang terlambat. Ingin rasanya Marsha menghubungi William. Bertanya di mana William sekarang, namun dengan cepat Marsha mengurungkan niatnya. Marsha sudah berjanji untuk menjaga jarak dengan William. Dia tidak boleh terlalu dekat William. Diaharus mengingat perkataan William, mereka harus memiliki batasan. Pernikahan ini hanya terikat dengan sebuah kontrak perjanjian. Marsha tidak ingin terjatuh karena bermain pada perasaannya. Terkadang Marsha melihat di internet kabar tentang Raymond. Tapi entah kenapa dia sudah tidak ada perasaan di mana dia mengharapkan Raymond kembali ke Kanada. Marsha memang ingin tahu bagaimana kabar Raymond, tapi ia hanya sebatas hanya ingin tahu. Berkali-kali Marsha meyakinkan diri, jika dirinya hanya mencintai Raymond. Namun semakin dia meyakinkan diri, semakin Marsha menyadari perasaannya pada Raymond mulai menghilang.
Marsha duduk di ranjang, dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Marsha tengah membaca novel kesukaanya. Marsha menyukai novel romance. Hari ini Marsha menikmati weekendnya di rumah. William juga berada di rumah, tapi William berada di ruang kerjanya. Semenjak pertengkaran antara William dan Marsha memang sudah menjaga jarak. Terkadang mereka hanya menyapa, setelah itu mereka melakukan aktivitas mereka. Jika weekend seperti ini, William menghabiskan waktunya di ruang kerja. Sedangkan Marsha, terkadang dia pergi dengan Karin. Tapi terkadang Marsha memilih menghabiskan waktunya di rumah. Dia menyukai membaca novel dan menonton film drama. Suara dering ponsel terdengar, membuat Marsha yang tengah membaca harus mengalihkan pandanganya ke ponselnya yang berada di atas nakas. Dia mengambil ponselnya, lalu menatap ke layar tertera nama Karin. Tanpa menunggu lama, dia langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian, meletakan ke telinganya. "Ya, rin?" j
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d