keesokan hari, Marsha sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saat Marsha sudah selesai berias, dia menatap William yang juga sudah selesai mengganti pakaiannya. Namun mata Marsha tertuju pada dasi yang dipakai William kurang rapih. Sangat mengganggu ketika Marsha melihatnya. Tanpa menunggu Marsha melangkah mendekat ke arah William. Dia angsung merapihkan dasi William, sedangkan William hanya terpaku dengan tindakan Marsha yang merapihkan dasinya. Jarak mereka begitu dekat, meskipun tinggi Marsha hanya sebahu William, namun tetap saja William bisa melihat Marsha begitu cekatan saat merapihkan dasinya. "Selesai," Marsha menepuk pelan dada William. "Jika kau ingin meninggalkan kamar, kau harus perhatikan dirimu di cermin. Apa semuanya sudah rapih atau belum. Bagaimana jika kau sudah berangkat bekerja, tapi dasimu masih miring seperti tadi," gerutu Marsha yang membuat William tersenyum. "Aku tadi terburu-buru, jadi tidak memperhatikan ke cermin lagi." jawab William.Marsha mendengus
Marsha, Karin dan Jacob sudah tiba disalah satu restoran terdekat dengan Stefano Company. Jacob memesan sirloin steak untuk Marsha dan Karin. Sedangkan dirinya lebih memilih seafood. Tidak lama kemudian, pelayan mengatarkan makanan yang sudah di pesan oleh Jacob. Mereka pun langsung menikmati makanan yang sudah terhidang di atas meja. "Jacob, sekarang kau harus menjawab ku. Kenapa kau ada di Kanada? Dan kenapa kau berada di Stefano Company?" tanya Marsha yang sejak tadi sudah penasaran. "Aku-" "Tunggu Jacob," potong Marsha dengan cepat. Jacob mengerutkan dahinya, dia menatap bingung kenapa Marsha menghentikan ucapan yang bahkan dia belum menyelesaikannya. "Aku minta maaf, aku lupa mengenalkanmu pada sahabatku," kata Marsha dengan senyum lebarnya. Jacob tersenyum, gadis di hadapannya begitu menggemaskan. "Jacob, ini Karin sahabatku. Dia asli orang Indonesia. Dia satu kuliah dengan ku," ucap Marsha yang memperkenalkan Karin."Karin, ini Jacob dia orang yang menemaniku saat dompet
William menggeram, tanpa memperdulikan ucapan Marsha. Dia langsung menarik paksa tengkuk leher Marsha. Dia mencium kasar bibir Marsha, Dia menghisap kuat bibir Marsha. Marsha mendorong kuat dada William. Namun, William tidak memperdulikannya. William terus mencium kasar bibir Marsha. Bahkan tangan William meremas dengan kuat gundukan kembar di dada Marsha. Hingga membuat Marsha memekik terkejut.Masrha memukul dada William, memberontak saat William menyentuh dadanya. Tapi tetap saja tenaganya hanya bagaikan kapas. Semakin Marsha berusaha untuk melepaskan diri, William semakin menciumnya dengan kasar. Hingga akhirnya Marsha diam dan membiarkan William mencium bibirnya. "Jangan lagi memancing amarahku Marsha! Menurutlah atau kau akan tahu akbibatnya," geram Wiliam. Tatapannya menatap Marsha, penuh dengan peringatan."Kenapa William? Kenapa kau tidak bertindak adil? Kenapa hanya aku yang harus menurutimu? Jika hanya karena kau menghidupiku dan membiayai seluruh hidupku. Maka mulai detik
William berdiri di depan kamar tamu. Marsha memilih untk mengunci diri di kamar tamu. Ketika William ingin mengetuk pintu, dia memilih untuk mengurungkan niatnya. Percuma saja, dia pasti akan kembali bertengkar dengan Marsha. Lebih baik baginya saat ini, untuk membiarkan Marsha menenangkan dirinya. William memilih melangkah menuju kamarnya, namun tidak lama kemudian terdengar dering ponsel miliknya. Dia mengambil ponselnya dan melihat ke layar tertera nama Alice. William membuang napas kasar, dia baru mengingat jika dirinya memiliki janji untuk bertemu dengan Alice. Jika dia tidak datang, sama saja akan menambah masalah baru. Tidak ada pilihan lain, William langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya Alice." jawab William saat panggilannya terhubung. "William, kau di mana? Kenapa belum datang?" tanya Alice dari seberang line. "Alice, sepertinya aku tidak bisa datang malam ini." "Tidak! Kau harus datang malam ini! Jika ka
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Marsha, perlahan Marsha membuka kedua matanya. Dia mengerjap, lalu mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Marsha baru mengingat, dia tertidur di kamar tamu. Marsha mengikat rambutnya asal. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh wajahnya. Marsha melangkah menuju kamarnya dan William. Saat dia masuk, dia sudah tidak melihat William. Marsha memilih untuk segera mandi."Sykurlah dia sudah ke kantor," gumam Marsha ketika William tidak ada di kamar. Setelah Marsha selesai mandi, dan mengganti pakaiannya. Marsha langsung menuju ruang makan. Suasana hatinya masih sangat buruk. Tapi sebisa mungkin, Marsha berusaha untuk melupakan semuanya. Saat tiba di ruang makan, seperti biasa pelayan mengantarkan sandwich tuna dan susu kacang untuknya. "Apa William sudah berangkat ke kantor?" tanya Marsha pada pelayan yang berdiri di hadapannya. "Tuan tidak pulang dari kemarin malam nyonya," jawab pel
Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam mansionnya. Hari ini adalah ulang tahun Karin, dia harus segera bersiap-siap. Jika dirinya sampai terlambat, sahabatnya itu pasti akan mencari marah padanya. Marsha mempercepat langkahnya masuk ke dalam kamar. Saat Marsha masuk ke dalam kamar, dia menatap jam dinding di kamar, kini sudah pukul enam sore, dia langsung berisap-siap. Karena pesta ulang tahun Karin pukul sembilan malam. Untunglah William sejak kemarin tidak pulang. Marsha pun tidak menanyakan keberadaan William, untuk apa bertanya dia tidak ingin ikut campur dalam kehidupan pribadi William. Dia terlalu lelah untuk menangisi suatu hal yang tidak seharusnya dia tangisi. Marsha melangkah menuju kamar mandi, dia memilih untuk berendam. Dia melepas pakaiannya dan mulai berendam di jacuzzi. Aroma jasmine dicampur dengan milk membuat tubuhnya lebih rileks dan tenang. Berendam membuatnya setidaknya sedikit melupakan masalahnya. Marsha mulai memejamkan mata sebentar, Saat dia
Karin menyenggol lengan Marsha, "Marsha itu bukannya-"Marsha kini menatap yang telah di tunjuk oleh Karin, Karin menunjuk pasangan pria dan wanita itu dengan tatapan mata Karin. Seketika, tubuh Marsha menegang melihat pasangan itu. Terlihat sang wanita memeluk erat pria tampan tampan itu. Dan mereka begitu mesra."Marsha," bisik Karin."Ya, William dengan kekasihnya yang cantik datang," jawab Marsha dingin."B-Bagaimana bisa?" Karin mulai gugup, dia memikirkan bagaimana perasaan sahabatnya. Marsha mengalihkan padangannya, dia mengulas senyuman tipis. "Biarkan saja Karin. Ketika dia telah menemukan kebahagiaanya. Maka aku juga pantas menemukan kebahagianku."Disisi lain, tepat bersebrangan dengan Marsha. William masih belum menyadari Marsha berada di dalam klub malam itu. Wiliam hanya melihat Frans bersama dengan seorang wanita yang dia tidak kenal. William memilih untuk duduk bergabung dengan Frans. "Kau datang bersama Alice?" tukas Frans, dingin. "Ya." jawab William singkat,"Hi
Marsha turun dari mobil, dia berlari masuk ke dalam mansion. Kali ini sudah cukup kesabarannya, William terlalu ikut campur masalahnya. Sudah jelas bahkan William berciuman dengan wanita lain. Marsha tidak ikut campur dalam masalah pribadi William. Tapi ini hanya Marsha berdansa dengan Jacob, Wiliam sudah menghajar Jacob. Bukan hanya sekedar menghajar tapi hampir membunuh Jacob. Marsha berlari masuk ke dalam kamar, dia tidak memperdulikan teriakan William yang memanggilnya. Tidak hanya diam, William langsung mengejar Marsha ke dalam kamar. Rahangnya mengeras mengingat Marsha berdansa dengan pria lain. Bahkan mereka berpelukan."Marsha berhenti!" bentak William. Dia berhasil menarik kasar tangan Marsha. "Lepaskan aku William!" seru Marsha. Dia berusaha melepaskan cengkraman tangan William. Namun sia-sia, karena Wiliam semakin mencengkram kuat lengannya. "Apa maksudmu ke klub malam dengan pakaian seperti ini Marsha! Dan kenapa kau berani-beraninya berdansa dengan pria itu!" geram Wil
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k