William berdiri di depan kamar tamu. Marsha memilih untk mengunci diri di kamar tamu. Ketika William ingin mengetuk pintu, dia memilih untuk mengurungkan niatnya. Percuma saja, dia pasti akan kembali bertengkar dengan Marsha. Lebih baik baginya saat ini, untuk membiarkan Marsha menenangkan dirinya. William memilih melangkah menuju kamarnya, namun tidak lama kemudian terdengar dering ponsel miliknya. Dia mengambil ponselnya dan melihat ke layar tertera nama Alice. William membuang napas kasar, dia baru mengingat jika dirinya memiliki janji untuk bertemu dengan Alice. Jika dia tidak datang, sama saja akan menambah masalah baru. Tidak ada pilihan lain, William langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya Alice." jawab William saat panggilannya terhubung. "William, kau di mana? Kenapa belum datang?" tanya Alice dari seberang line. "Alice, sepertinya aku tidak bisa datang malam ini." "Tidak! Kau harus datang malam ini! Jika ka
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Marsha, perlahan Marsha membuka kedua matanya. Dia mengerjap, lalu mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Marsha baru mengingat, dia tertidur di kamar tamu. Marsha mengikat rambutnya asal. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh wajahnya. Marsha melangkah menuju kamarnya dan William. Saat dia masuk, dia sudah tidak melihat William. Marsha memilih untuk segera mandi."Sykurlah dia sudah ke kantor," gumam Marsha ketika William tidak ada di kamar. Setelah Marsha selesai mandi, dan mengganti pakaiannya. Marsha langsung menuju ruang makan. Suasana hatinya masih sangat buruk. Tapi sebisa mungkin, Marsha berusaha untuk melupakan semuanya. Saat tiba di ruang makan, seperti biasa pelayan mengantarkan sandwich tuna dan susu kacang untuknya. "Apa William sudah berangkat ke kantor?" tanya Marsha pada pelayan yang berdiri di hadapannya. "Tuan tidak pulang dari kemarin malam nyonya," jawab pel
Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam mansionnya. Hari ini adalah ulang tahun Karin, dia harus segera bersiap-siap. Jika dirinya sampai terlambat, sahabatnya itu pasti akan mencari marah padanya. Marsha mempercepat langkahnya masuk ke dalam kamar. Saat Marsha masuk ke dalam kamar, dia menatap jam dinding di kamar, kini sudah pukul enam sore, dia langsung berisap-siap. Karena pesta ulang tahun Karin pukul sembilan malam. Untunglah William sejak kemarin tidak pulang. Marsha pun tidak menanyakan keberadaan William, untuk apa bertanya dia tidak ingin ikut campur dalam kehidupan pribadi William. Dia terlalu lelah untuk menangisi suatu hal yang tidak seharusnya dia tangisi. Marsha melangkah menuju kamar mandi, dia memilih untuk berendam. Dia melepas pakaiannya dan mulai berendam di jacuzzi. Aroma jasmine dicampur dengan milk membuat tubuhnya lebih rileks dan tenang. Berendam membuatnya setidaknya sedikit melupakan masalahnya. Marsha mulai memejamkan mata sebentar, Saat dia
Karin menyenggol lengan Marsha, "Marsha itu bukannya-"Marsha kini menatap yang telah di tunjuk oleh Karin, Karin menunjuk pasangan pria dan wanita itu dengan tatapan mata Karin. Seketika, tubuh Marsha menegang melihat pasangan itu. Terlihat sang wanita memeluk erat pria tampan tampan itu. Dan mereka begitu mesra."Marsha," bisik Karin."Ya, William dengan kekasihnya yang cantik datang," jawab Marsha dingin."B-Bagaimana bisa?" Karin mulai gugup, dia memikirkan bagaimana perasaan sahabatnya. Marsha mengalihkan padangannya, dia mengulas senyuman tipis. "Biarkan saja Karin. Ketika dia telah menemukan kebahagiaanya. Maka aku juga pantas menemukan kebahagianku."Disisi lain, tepat bersebrangan dengan Marsha. William masih belum menyadari Marsha berada di dalam klub malam itu. Wiliam hanya melihat Frans bersama dengan seorang wanita yang dia tidak kenal. William memilih untuk duduk bergabung dengan Frans. "Kau datang bersama Alice?" tukas Frans, dingin. "Ya." jawab William singkat,"Hi
Marsha turun dari mobil, dia berlari masuk ke dalam mansion. Kali ini sudah cukup kesabarannya, William terlalu ikut campur masalahnya. Sudah jelas bahkan William berciuman dengan wanita lain. Marsha tidak ikut campur dalam masalah pribadi William. Tapi ini hanya Marsha berdansa dengan Jacob, Wiliam sudah menghajar Jacob. Bukan hanya sekedar menghajar tapi hampir membunuh Jacob. Marsha berlari masuk ke dalam kamar, dia tidak memperdulikan teriakan William yang memanggilnya. Tidak hanya diam, William langsung mengejar Marsha ke dalam kamar. Rahangnya mengeras mengingat Marsha berdansa dengan pria lain. Bahkan mereka berpelukan."Marsha berhenti!" bentak William. Dia berhasil menarik kasar tangan Marsha. "Lepaskan aku William!" seru Marsha. Dia berusaha melepaskan cengkraman tangan William. Namun sia-sia, karena Wiliam semakin mencengkram kuat lengannya. "Apa maksudmu ke klub malam dengan pakaian seperti ini Marsha! Dan kenapa kau berani-beraninya berdansa dengan pria itu!" geram Wil
"Kau sungguh akan meninggalkannya? Tidak bermain di belakangku?" Marsha memincingkan matanya menatap penuh selidik."Tidak Marsha, aku tidak mungkin seperti itu. Aku bahkan tidak bisa melihatmu dengan pria lain. Aku tidak mungkin bermain di belakang mu," William mengelus lembut pipi Marsha."Lalu bagaimana dengan perjanjian yang telah kita buat?" tanya Marsha dengan suara parau."Lupakan perjanjian sialann itu!" William menangkup ke dua pipi Marsha, dia langsung menyambar bibir Marsha, mencium dan melumat dengan lembut bibir Marsha. William menekan bibir Marsha menuntun agar Marsha membalas ciumannya. Kemudian Marsha mulai membuka mulutnya, membalas dan mengikuti setiap pagutan William. Mereka saling mencecapi, lidah mereka saling berpagutan. Pertama kalinya Marsha berciuman sangat panjang dengan William. "Aku sangat menginginkan mu Marsha," bisik William di depan bibir Marsha. Tangannya meremas gundukan kembar di dada Marsha, hingga membuat Marsha melenguh. "T-Tapi William," ucap M
William menatap Marsha yang masih tertidur pulas dengan tubuh polos yang hanya terbalut oleh selimut. Dia merapihkan rambut Marsha yang menutupi wajah Marsha. Dia mengelus dengan lembut pipi Marsha. William masih tidak percaya ini terjadi, kecemburuannya melihat Marsha dengan pria lain membuatnya mengungkapkan perasaannya. Tapi dia tidak menyesal, karena menikahi gadis sepolos Marsha. Mungkin memang ini sudah menjadi takdirnya dengan Alice. Kini William hanya mencari cara berbicara dengan Alice.Perlahan Marsha mulai membuka matanya, menggeliat dan merasakan tubuhnya remuk. "Aaaww" jerit Marsha menahan perih, tubuhnya sangat sakit. Bahkan di bagian bawah dia merasakan perih. Bagaimana tidak? William meminta lagi tadi malam. Hingga membuat tubuh Marsha kini terasa sangat sakit. "Are you oke? Maaf aku jika tadi malam aku menyakitimu." William memeluk erat Marsha. Dia tidak tega melihat istri kecilnya kesakitan akibat ulahnya. Marsha menunduk, tidak berani menatap William. Sungguh Dem
Dengan penuh emosi, Alice turun dari mobilnya. Dia masuk ke dalam perusahaan William dan langsung menuju ruang kerja William. Alice tidak perduli dengan larangan William. Dia adalah kekasih William, sudah sangat jelas dia berhak atas William. Masalah media yang akan meliput mereka, dia tidak memperdulikannya. Sejak tadi malam, William tidak menjawab telepon darinya. Bahkan untuk pertama kalinya William tega membiarkan Alice pulang menggunakan taksi. Ratusan telepon Alice tadi malam di abaikan oleh William. "Selamat pagi Nona Alice," sapa Jessy sekretaris William saat melihat Alice datang."Di mana William? Apa dia di dalam?" tanya Alice dingin. "Maaf Nona, Tuan baru saja tiba di kantor. Dia sudah memiliki meeting dengan perusahaan dari Jepang," jawab Jessy. "Aku akan menunggunya di dalam!" ucap Alice ketus. "Nona saya tidak berani. Lebih baik Nona menunggu di ruang tunggu saja Nona," kata Jessy dengan sopan. "Sialan! Kau tidak tahu siapa aku? Hah? Kau pikir kau ini siapa! Kau ha
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d