Karin menyenggol lengan Marsha, "Marsha itu bukannya-"Marsha kini menatap yang telah di tunjuk oleh Karin, Karin menunjuk pasangan pria dan wanita itu dengan tatapan mata Karin. Seketika, tubuh Marsha menegang melihat pasangan itu. Terlihat sang wanita memeluk erat pria tampan tampan itu. Dan mereka begitu mesra."Marsha," bisik Karin."Ya, William dengan kekasihnya yang cantik datang," jawab Marsha dingin."B-Bagaimana bisa?" Karin mulai gugup, dia memikirkan bagaimana perasaan sahabatnya. Marsha mengalihkan padangannya, dia mengulas senyuman tipis. "Biarkan saja Karin. Ketika dia telah menemukan kebahagiaanya. Maka aku juga pantas menemukan kebahagianku."Disisi lain, tepat bersebrangan dengan Marsha. William masih belum menyadari Marsha berada di dalam klub malam itu. Wiliam hanya melihat Frans bersama dengan seorang wanita yang dia tidak kenal. William memilih untuk duduk bergabung dengan Frans. "Kau datang bersama Alice?" tukas Frans, dingin. "Ya." jawab William singkat,"Hi
Marsha turun dari mobil, dia berlari masuk ke dalam mansion. Kali ini sudah cukup kesabarannya, William terlalu ikut campur masalahnya. Sudah jelas bahkan William berciuman dengan wanita lain. Marsha tidak ikut campur dalam masalah pribadi William. Tapi ini hanya Marsha berdansa dengan Jacob, Wiliam sudah menghajar Jacob. Bukan hanya sekedar menghajar tapi hampir membunuh Jacob. Marsha berlari masuk ke dalam kamar, dia tidak memperdulikan teriakan William yang memanggilnya. Tidak hanya diam, William langsung mengejar Marsha ke dalam kamar. Rahangnya mengeras mengingat Marsha berdansa dengan pria lain. Bahkan mereka berpelukan."Marsha berhenti!" bentak William. Dia berhasil menarik kasar tangan Marsha. "Lepaskan aku William!" seru Marsha. Dia berusaha melepaskan cengkraman tangan William. Namun sia-sia, karena Wiliam semakin mencengkram kuat lengannya. "Apa maksudmu ke klub malam dengan pakaian seperti ini Marsha! Dan kenapa kau berani-beraninya berdansa dengan pria itu!" geram Wil
"Kau sungguh akan meninggalkannya? Tidak bermain di belakangku?" Marsha memincingkan matanya menatap penuh selidik."Tidak Marsha, aku tidak mungkin seperti itu. Aku bahkan tidak bisa melihatmu dengan pria lain. Aku tidak mungkin bermain di belakang mu," William mengelus lembut pipi Marsha."Lalu bagaimana dengan perjanjian yang telah kita buat?" tanya Marsha dengan suara parau."Lupakan perjanjian sialann itu!" William menangkup ke dua pipi Marsha, dia langsung menyambar bibir Marsha, mencium dan melumat dengan lembut bibir Marsha. William menekan bibir Marsha menuntun agar Marsha membalas ciumannya. Kemudian Marsha mulai membuka mulutnya, membalas dan mengikuti setiap pagutan William. Mereka saling mencecapi, lidah mereka saling berpagutan. Pertama kalinya Marsha berciuman sangat panjang dengan William. "Aku sangat menginginkan mu Marsha," bisik William di depan bibir Marsha. Tangannya meremas gundukan kembar di dada Marsha, hingga membuat Marsha melenguh. "T-Tapi William," ucap M
William menatap Marsha yang masih tertidur pulas dengan tubuh polos yang hanya terbalut oleh selimut. Dia merapihkan rambut Marsha yang menutupi wajah Marsha. Dia mengelus dengan lembut pipi Marsha. William masih tidak percaya ini terjadi, kecemburuannya melihat Marsha dengan pria lain membuatnya mengungkapkan perasaannya. Tapi dia tidak menyesal, karena menikahi gadis sepolos Marsha. Mungkin memang ini sudah menjadi takdirnya dengan Alice. Kini William hanya mencari cara berbicara dengan Alice.Perlahan Marsha mulai membuka matanya, menggeliat dan merasakan tubuhnya remuk. "Aaaww" jerit Marsha menahan perih, tubuhnya sangat sakit. Bahkan di bagian bawah dia merasakan perih. Bagaimana tidak? William meminta lagi tadi malam. Hingga membuat tubuh Marsha kini terasa sangat sakit. "Are you oke? Maaf aku jika tadi malam aku menyakitimu." William memeluk erat Marsha. Dia tidak tega melihat istri kecilnya kesakitan akibat ulahnya. Marsha menunduk, tidak berani menatap William. Sungguh Dem
Dengan penuh emosi, Alice turun dari mobilnya. Dia masuk ke dalam perusahaan William dan langsung menuju ruang kerja William. Alice tidak perduli dengan larangan William. Dia adalah kekasih William, sudah sangat jelas dia berhak atas William. Masalah media yang akan meliput mereka, dia tidak memperdulikannya. Sejak tadi malam, William tidak menjawab telepon darinya. Bahkan untuk pertama kalinya William tega membiarkan Alice pulang menggunakan taksi. Ratusan telepon Alice tadi malam di abaikan oleh William. "Selamat pagi Nona Alice," sapa Jessy sekretaris William saat melihat Alice datang."Di mana William? Apa dia di dalam?" tanya Alice dingin. "Maaf Nona, Tuan baru saja tiba di kantor. Dia sudah memiliki meeting dengan perusahaan dari Jepang," jawab Jessy. "Aku akan menunggunya di dalam!" ucap Alice ketus. "Nona saya tidak berani. Lebih baik Nona menunggu di ruang tunggu saja Nona," kata Jessy dengan sopan. "Sialan! Kau tidak tahu siapa aku? Hah? Kau pikir kau ini siapa! Kau ha
Mobil Marsha mulai memasuki Stefeno Company, setelah memarkikan mobil, Marsha langsung masuk ke dalam lobby perusahaan. Saat Marsha melangkah masuk ke dalam lobby, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Karin yang juga baru tiba di lobby. "Marsha, kau masuk ke kantor?" Karin mendekat ke arah Marsha, dia langsung menyentuh bahu Marsha dan menggoyangkan pelan. "Kau tidak apa-apa kan? Apa tadi malam William melukaimu?" Terlihat wajah cemas dan khawatir Karin. Bagaimana tidak? Tadi malam, William memawab paksa Marsha keluar dari klub malam."Aku tidak apa-apa, Karin," jawab Marsha dengan senyuman di wajahnya. Karin mendesah lega. "Lebih baik kita ke kafe sekarang, banyak yang ingin aku tanyakan padamu."Marsha mengangguk, kemudian Karin langsung menarik tangan Marsha meninggalkan lobby Stefano Company. Namun, saat Karin menarik tangan Marsha, pandangan Marsha teralih pada sosok pria yang baru saja turun dari mobil. "Karin, tunggu." Marsha menahan tangan Karin, hingga membuat Kari
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh kulit wajah Marsha. Perlahan, Marsha mulai membuka matanya. Dia mengerjap dan menggeliat. Ketika Marsha sudah membuka matanya, dia melihat ke samping namun William sudah tidak ada. Saat Marsha ingin beranjak dari ranjang, dia melihat note kecil di atas nakas. Marsha langsung mengambil note itu. *Aku berangkat lebih pagi, ada rekan bisnisku dari Hong kong datang ke Kanada. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Malam ini aku akan pulang terlambat - Your husband William.*"Dia itu bekerja sepagi ini, memangnya tidak mengantuk? Aku saja kelas pagi biasanya tidak bisa tahan mengantuk." Marsha mendengus. Dia beranjak dari tempat tidurnya, dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian, setelah Marsha selesai mandi, dan sudah mengganti pakaiannya. Dia mengambil tas, lalu berjalan meninggalkan kamar menuju ruang makan. "Selamat pagi nyonya." sapa pelayan menundukan kepala saat melihat Marsha melangkah masuk ke dalam ruang
William duduk di kursi kebesarannya, dia melihat Mr. Kim , rekan bisnisnya dari Hong Kong tengah membahas kerja sama mereka. Rencananya William akan membangun apartemen di Hong kong. Hong kong merupakan negara yang padat penduduk, property di Hong kong termasuk katagori salah satu termahal di dunia. Harga property di sana bahkan sama mahalnya dengan Amerika. "Mr. William, jadi pembangunan apartemen di Hong kong akan di mulai bulan depan. Semuanya sudah siap, mulai dari arsitek dan lainnya. Apa ada hal yang ingin anda tanyakan?" Kim bertanya seraya menatap William yang duduk du hadapannya. "Tidak, saya rasa semuanya sudah sangat baik. Jadi kita bisa memulai pembangunan apartemen di Hong kong," jawab William datar. "Baiklah, senang bekerja sama dengan anda Mr. William." Kim mengulurkan tanganya pada William, dan William menyambut jabatan tangan Mr. Kim. "Aku juga senang bekerja sama dengan anda Mr. Kim," balas William. "Sampai bertemu di meeting selanjutnya," tutup William. Dia bera
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k