Laura menatap lukisannya. Sebuah lukisan yang beberapa bulan lalu sengaja dia buat. Lukisan yang menggambarkan sebuah kebahagiaan keluarga. Laura tersenyum, melihat lukisannya. Dulu Laura selalu memikirkan lukisan ini menggambarkan dirinya bersama dengan Raymond dan anaknya. Terlihat dilukisan itu Laura dan Raymond tengah merasakan kebahahagiaan. Meski Laura tidak pernah tahu, apa mungkin dirinya akan bersatu dengan Raymond? Laura selalu memiliki harapan, dirinya bisa bersatu dengan Raymond. "Lukisanmu sangat indah," Suara bariton memuji lukisan Laura. Hingga membuat Laura yang tengah melamun terkejut mendengar suara itu. Laura membalikan tubuhnya ke sumber suara itu. Seketika tubuh Laura mematung saat menatap Raymond yang kini melangkah mendekat ke arahnya. "R-Raymond?" Dengan cepat Laura beranjak dari tempat duduknya, dia langsung menarik tangan Raymond masuk ke dalam. Laura melihat keluar dan segera mengunci pintu. Laura bernapas lega, melihat tidak pengawal di depan studio luki
Mobil Marsha mulai memasuki halaman parkir mansion milik Karin. Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam mansion milik sahabatnya itu. Saat Marsha melangkah masuk, dia sudah di sambut oleh Karin yang berdiri di ambang pintu. Karin tersenyum, ketika melihat Marsha datang."Kau diantar sopir?" tanya Karin saat Marsha sudah berada di hadapannya. Marsha mengangguk. "Ya, aku diantar sopir." "Yasudah, kita masuk ke dalam saja. Nanti pelayanku akan membawakan barang-barangmu." Karin memeluk lengan Marsha, membawa sahabatnya itu masuk ke dalam kamar. "Sebenarnya ada apa Marsha? Tidak biasanya kau menginap di tempatku. Sejak kau menikah, kau bahkan tidak pernah menginap di tempatku," ujar Karin yang kini tengah duduk di sofa kamarnya. "Kandunganku lemah, terlalu banyak hal yang membebani pikiranku. Jika aku masih di rumah, aku akan terus memikirkan masalah yang ada. Dan aku tidak ingin membahayakan anakku," jawab Marsha. "Kau masih bertengkar dengan William?" tanya Karin men
"Marsha?" Suara seorang perempuan memanggil nama Marsha, hingga membuat Marsha dan Karin menghentikan langkah mereka. Marsha dan Karin membalikan tubuhn mereka, menatap sosok perempuan yang kini melangkah mendekat ke arah mereka. Kening Marsha berkerut dalam, ketika melihat wanita itu. "Amanda?" "Hi Marsha, kau di sini?" sapa Amanda dengan senyuman di wajahnya. "Ya, aku sedang di rumah temanku," jawab Marsha. Amanda mengangguk. "Kau tidak bersama dengan Laura?" "Tidak, aku hanya sendiri," balas Marsha. "Oh ya, Amanda perkenalan ini Karin sahabatku," ucap Marsha yang memperkenalkan Karin. "Karin, ini Amanda. Teman Laura yang waktu itu mengundangku ke pesta ulang tahunnya," sambung Marsha. Amanda tersenyum. "Senang berkenalan denganmu Karin." "Aku juga senang berkenalan denganmu Amanda," balas Karin. Pandangan Amanda kini kembali menatap Marsha yang berdiri di hadapannya. "Marsha, apa kau memiliki waktu sebentar? Kebetulan kita bertemu, ada hal yang ingin aku katakan padamu."
William menyandarkan punggungnya di kursi sembari menyesap wine di tangannya. William memejamkan mata singkat, pikirannya kini terus memikirkan istrinya. Meski William sudah meminta Albert untuk mengawasi Marsha, tapi tetap saja William tidak pernah bisa tenang. William menghidupkan rokok, kemudian dia menghisap kuat rokoknya dan menghembuskan ke udara."Jadi ini yang dilakukan seorang William Geovan, ketika sedang memiliki masalah?" Suara bariton menerobos masuk ke dalam ruang kerja William, hingga membuat William mengalihkan pandangannya, menatap sosok pria yang melangkah menghampirinya. William membuang napas kasar, ketika melihat Frans kini duduk di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini? Aku sedang tidak ingin diganggu." "CK! Kau ini memang sialan! Kau tidak pernah menyambut sepupumu datang." Frans mengambil botol wine di hadapannya, lalu menuangkan ke gelas sloki kosong. "Apa yang membuatmu merokok? Aku sangat mengenalmu, kau tidak pernah merokok selama ini. Terakhir aku me
Sinar matahari pagi menembus jendela. Suara kicauan burung saling bersahutan. Dua wanita yang tengah tertidur pulas dibalik selimut, begitu enggan membuka mata mereka. Dering alarm pagi itu membuat Karin mengumpat dan langsung mematikan alarmnya. Sedangkan Marsha kini mulai membuka matanya, ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Marsha menguap dan menggeliat dan menatap ke samping Karin masih tertidur pulas."Karin, apa kau tidak ingin bangun? Sejak tadi malam kau tidur pulas sekali." Suara serak khas baru bangun tidur Marsha menyapa sahabatnya itu. Dengan terpaksa Karin membuka matanya. "Aku masih mengantuk, twadi malam kau pulang jam berapa?" "Jam delapan," jawab Marsha. "Kau sudah tertidur pulas. Jadi aku tidak membangunkanmu." "Maaf, aku sangat mengantuk," balas Karin. Kemudian Karin bangun dari tempat tidurnya, dia mengambil ponsel dan menelepon pelayan untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. "Aku ingin mandi dulu," kata Marsha. Karin mengangguk. Marsha beranjak dari tem
Perlahan Marsha mulai membuka matanya, dia menatap sebuah ruangan putih. Marsha memijat pelipisnya. Marsha mengedarkan pandangannya, keseluruh ruangan. Kening Marsha berkerut dalam melihat ruangan yang sudah tertata dengan bunga mawar dan bunga lily. Marsha beranjak dari ranjang. Dia kembali mengingat alasan dirinya bisa ada di sini. Seketika, saat Marsha berusaha mengingat alasan dirinya ada di sini, wajah Marsha langsung menegang. Ingatan Marsha ketika ada orang yang membekapnya hingga membuat dia tidak sadarkan diri. "Siapa yang membawa aku ke sini," gumam Marsha.Marsha mengatur napasnya, sebisa mungkin Marsha bersikap tenang. Meski terlihat jelas kepanikan dan rasa takut di wajah Marsha. Kemudian, Marsha memberanikan diri melangkah menuju pintu, dia langsung membuka pintu kamar itu. Namun, saat Marsha membuka pintu kamar. Marsha sedikit terkejut karena pintu tidak terkunci. Tanpa menunggu lama, Marsha berjalan keluar. Seketika langkah Marsha terhenti saat melihat sosok pria yan
"Frans, kenapa kau lama sekali! Aku sudah mengatakan padamu, Marsha hilang dan kau terlihat santai! Bagaimana jika terjadi sesuatu pada sahabatku? Astaga aku pasti dibunuh William!" seru Karin kesal ketika melihat Frans yang baru saja tiba di rumahnya. Padahal sudah sejak tadi, dia menghubungi kekasihnya itu untuk datang. Dan sekarang, Karin menatap wajah Frans yang terlihat begitu santai dan tidak cemas atau pun panik. Frans tidak menjawab, dia mendekat dan langsung mengecup kening Karin. "Jangan marah-marah sayang. Nanti kau akan terlihat lebih tua." Karin mendelik, dia menatap tajam Frans. "Kenapa kau terlihat santai? Aku sudah mengatakan padamu, Marsha hilang! Kenapa kau tidak khawatir?" "Marsha baik-baik saja sayang." Frans memeluk pinggang Karin, memberikan kecupan bertubi-tubi di pipi Karin. "Jangan mencemaskan Marsha. Jika terjadi sesuatu pada Marsha, Wiliam tidak mungkin diam saja." Karin mendorong keras dada Frans. "Kau ini bagaimana! Willliam belum tahu jika Marsha hil
William dan Marsha duduk di sofa sambil menonton film. Mereka masih berada di rumah baru yang William beli. Khusus hari ini, William meminta Albert untuk mengurus pekerjaannya. "William, aku rasa aku harus bertemu Karin. Dia pasti mencemaskanku," kata Marsha sembari menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya.William mengeratkan pelukannya. Dia mengecup pucak kepala Marsha. "Tidak perlu, Albert sudah mengurusnya. Termasuk mengambil barang-barangmu."Marsha mendesah pelan. "Hari ini kau menculikku, untuk yang pertama dan terakhir! Jangan lagi menculikku!" "Maaf sayang." William tersenyum, dia membawa tangannya mengusap lembut perut istrinya. "Jika aku tidak melakukan ini, belum tentu kau mau ikut denganku.""Kau ini! Bahkan kau belum mengajakku!" cebik Marsha kesal. "Ini termasuk cara cepat sayang," balas William. "Lagi pula, aku menculik istriku sendiri. Jadi tidak masalah.""Kalau Albert bukan assistant lamamu, sudah pasti aku memecatnya!" tukas Marsha.Sejak awal ketika Mars
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d