"Apa yang sudah kamu lakukan ke Almera, Romeo?" tanya Papa Edward menatap Romeo dengan mata yang berkilat amarah.
Atmosfer di ruang tengah ini terasa begitu panas. Semua mata yang ada di sana menghunus tajam kepada Romeo. Papa Edward dan Ayah Grisham duduk bersebelahan dengan Romeo yang berada di sofa seberang. Sedangkan Mama Lala yang sedang merangkul Bunda Tina duduk di sofa sebelah kanan.
Setelah kemarahan Bunda Tina tadi, Ayah Grisham langsung menghubungi orang tua Romeo untuk membicarakan hal ini supaya lebih jelas. Sebagai orang tua, tentu saja dia tidak terima jika anaknya disakiti. Terlebih istrinya yang sedari tadi tidak berhenti menangis. Selama ini, Ayah Grisham berusaha menjaga keluarganya dari hal yang berpotensi menyakiti. Namun apa, sekarang, dalam satu hari dua bidadarinya disakiti oleh satu orang. Romeo, menantunya sendiri.
"Maaf. Kemarin Romeo tidak sadar," ungkap Romeo menatap Papanya dengan penuh sesal.
Kekehan kecil keluar dari mu
Pergi bukan berarti sudah tidak mencintai. Namun sadar bahwa dengan menetap semakin membuat sakit karena tidak dihargai :) Terima kasih sudah mampir ❤️
Sudah tiga hari Almera pergi dan selama itu pula semua keluarganya kelimpungan mencarinya. Namun, sampai sekarang mereka belum juga menemukan di mana keberadaan perempuan itu. Air mata terus mengalir dari mata mereka kala mengingat apa yang selama ini Almera alami. Sakit dan sesak. Mereka merasa bukan orang tua, mertua dan suami yang baik. Ya, suami. Sehari kepergian Almera, Romeo merasa bersalah sekaligus menyesal. Kali ini bukan hanya sedikit tetapi tidak dapat dijabarkan lagi. Hatinya terasa kosong, rumahnya pun sunyi. Tidak ada lagi yang berkelakuan konyol, tidak ada yang nekad memasak sesuatu hanya untuknya dan tidak ada senyum serta gerutuan kesal yang diberikan kepadanya. Citra? Romeo sudah tidak peduli dengan perempuan itu. Meskipun setiap hari datang ke rumah dan ke kantor, selalu berakhir dengan pengusiran. Tidak ada lagi rasa iba saat melihat penampilan Citra yang tidak terurus dan tidak ada pula rasa cinta y
"Kok nggak aktif sih?" tanya Amel pada dirinya sendiri. Berulang kali dia menelepon Almera, tetapi hasilnya sama. Tidak menyerah, Amel beralih kepada Widya. Mungkin saja kedua sahabatnya itu sedang bersama, mengingat apa yang dialami Almera dan seberapa dekat mereka berdua. Lagi dan lagi tidak aktif. Nomor Almera dan Widya sama-sama tidak dapat dihubungi. Gadis yang memakai kemeja kotak-kotak itu berpikir keras tentang kenapa kedua sahabatnya tidak dapat dihubungi. Detik selanjutnya, dia tersentak kala mengingat sesuatu. Kemudian bergegas menghentikan taksi yang kebetulan lewat. Duduk bersandar dengan gusar setelah menyebutkan alamat yang akan dia tuju. "Makasih, Pak," ucap Amel menyodorkan uang kepada sang supir. Tangannya bergerak membuka pintu lalu turun dan berlari kecil menuju rumah besar yang ada di depannya. "Almera!" teriak Amel seraya mengetuk pintu. Ya, rumah yang dia tuju adalah rumah Romeo
Tidak ada seorang pun yang menginginkan apalagi mengalami hal yang menyakitkan hingga membuatnya trauma. Semua ingin bahagia. Entah dengan cara yang apa pun, asal kebahagiaan itu didapat, mereka akan melakukannya. Sama halnya dengan Almera. Kejadian beberapa hari yang lalu adalah hal yang paling mengerikan di hidupnya. Tidak pernah terbayang sedikit pun, dia akan mengalami kejadian semengerikan ini. Rasa sakit itu, masih terasa sampai sekarang. Almera tidak ingin mengalami kejadian serupa. Karena hidupnya terasa tidak tenang sejak saat itu. Selalu diliputi rasa takut hingga tidak bisa memejamkan mata. "Al, lo yakin mau berangkat besok?" tanya Widya yang melihat Almera memasukkan beberapa setel baju ke dalam koper. Baju itu merupakan milik Almera yang memang sengaja ditinggal di rumah Widya untuk memudahkannya ketika menginap. Dan sekarang, bajunya berguna sebagai bekal untuk dirinya pergi ke negara tet
"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Nita, Mama Amel yang baru saja datang dari arah dapur menatap anaknya bingung. Amel yang hendak membuka pintu pun menoleh. Wajahnya tersirat akan kekhawatiran dan juga ketakutan, membuat Mama Nita bergegas menghampiri. "Ma, aku keluar dulu ya," pamit Amel langsung membuka pintu dan berjalan cepat menuju garasi tanpa menunggu jawaban dari Mamanya. "Hei, ini masih pagi. Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Mama Nita khawatir. Pasalnya, sekarang masih pukul setengah lima pagi dan anaknya itu tidak pernah keluar sebelum matahari terbit. Amel yang sudah sampai di garasi tentu saja tidak mendengar pertanyaan sang mama. Tanpa menunggu lama, mobil yang dikendarai Amel melaju meninggalkan rumah. Dalam perjalanan, hatinya tidak berhenti untuk berdo'a semoga semuanya baik-baik saja. Jantungnya berdegup kencang dengan dilingkupi rasa takut dan khawatir. Sejak semalam, Amel sama sekali tidak bisa untuk tenang. Lebih tepatnya seja
Di sepanjang koridor menuju kelas, Amel tidak berhenti untuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Masa bodoh dengan tatapan mahasiswa lain yang menatapnya aneh. Amel hanya ingin mencari keberadaan kedua sahabatnya, siapa tahu mereka ada di sini. Semenjak mendapat pesan dan mengetahui bahwa Almera juga tidak ada di rumah orang tuanya, Amel langsung menancap gas menuju rumah Widya. Hanya itu harapan terakhirnya. Namun, yang dia dapat membuat hatinya semakin takut. Rumah Widya tampak kosong seperti tidak berpenghuni. Kedua sahabatnya yang selalu ada untuknya pergi entah ke mana. Bahu Amel melemas saat pintu kelasnya sudah terlihat. Kembali menyemangati dirinya sendiri bahwa kedua sahabatnya berada di sana, duduk manis di bangkunya seraya berbincang. "Mel, sini gabung sama gue aja daripada sendirian," celetuk salah satu perempuan yang sedang berkumpul dengan keempat temannya di depan kelas. Amel yang hendak memasuki kelas mendadak menghentikan langkahn
"Cari menantu kesayangan saya sampai dapat! Kalian tidak boleh kembali sebelum mendapat informasi, paham?" Papa Edward menatap tajam keempat bodyguardnya yang berbaris rapi. Para pria yang memakai seragam hitam di tubuh tegapnya itu mengangguk kompak. Wajahnya sama-sama datar dan tegas. Ditambah dengan rambut yang tersisir rapi. "Paham, Tuan!" seru mereka. Tangan Papa Edward melambai, sebagai isyarat untuk mereka segera pergi dari ruangannya. Setelah semuanya pergi, pria paruh baya itu menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan. Kepalanya terasa seperti akan pecah. Sudah berhari-hari dia, Romeo dan juga orang tua Almera mencari keberadaan Almera. Namun hasilnya nihil. Awalnya Papa Edward hanya santai, menganggap bahwa menantunya itu tidak akan pergi jauh hingga tidak perlu memakai bodyguard. Namun ternyata salah, Almera tidak ditemukan di mana pun. "Pa," panggil Mama Lala membuka pintu ruang kerja suaminya. Tatapannya tertuju pada Papa
Sesampainya di depan kamar Almera, mereka langsung membuka pintu tanpa basa-basi lagi. Langkah kaki keduanya mendadak pelan saat akan mendekati ranjang. Hati Widya terasa sesak saat melihat sahabatnya yang lagi dan lagi menangis histeris seraya menjambak lalu memeluk tubuhnya sendiri ketakutan. Sebelum mendekati Almera, Widya menoleh ke samping. Menatap wanita paruh baya yang dibalas anggukan mantap. Meyakinkan dirinya untuk segera merengkuh sahabatnya. Perlahan Widya mendudukkan diri di tepi ranjang lalu memeluk Almera erat. Sedangkan Almera yang mendapat pelukan seperti itu bukannya merasa tenang, justru semakin memberontak. Tangisnya bercampur dengan teriakan. Takut, itu yang dia rasakan sekarang. Pelukan ini membuat bayangan tentang malam itu kembali hadir. "Al, tenang," ucap Widya dengan suara bergetar menahan tangis. Almera tidak mendengar. Telinganya seakan tuli. Tangannya masih berusaha melepas lilitan tangan Widya yang memeluknya erat
"Namanya juga panik, khawatir. Jadi ya pikiran saya kacau. Mana ingat kalau saya ini seorang bos," balas Romeo membela diri dengan sedikit sombong. Kemudian berjalan cepat menuju mobilnya berada. Rizky yang tadinya terbengong karena tidak menyangka dengan respon Romeo pun menatap laki-laki yang berjalan cepat itu heran. Begitu juga dengan Amel dan Farrel yang buru-buru mengikuti langkah Romeo. "Woi, lo mau ke mana?" tanya Rizky sedikit berteriak. "Ke kantor. Mau ngelacak keberadaan Almera," jawab Romeo tanpa menoleh. Di tempatnya, Rizky menepuk keningnya kesal. Dengan setengah berlari, dia menghampiri sahabatnya yang hendak membuka pintu mobil. "Aduh, Bos. Sekarang udah jaman modern. Tanpa lo ke sana juga udah bisa nyuruh mereka. Apa gunanya hp kalau lo masih harus repot-repot ke sana. Yang ada buang-buang waktu." "Iya juga sih. Eh tapi, Om, hpnya Almera mati kalau mau dilacak," timpal Amel memberi tahu. Rizky terdiam dengan alis yang