"Kok nggak aktif sih?" tanya Amel pada dirinya sendiri. Berulang kali dia menelepon Almera, tetapi hasilnya sama. Tidak menyerah, Amel beralih kepada Widya. Mungkin saja kedua sahabatnya itu sedang bersama, mengingat apa yang dialami Almera dan seberapa dekat mereka berdua.
Lagi dan lagi tidak aktif. Nomor Almera dan Widya sama-sama tidak dapat dihubungi. Gadis yang memakai kemeja kotak-kotak itu berpikir keras tentang kenapa kedua sahabatnya tidak dapat dihubungi.
Detik selanjutnya, dia tersentak kala mengingat sesuatu. Kemudian bergegas menghentikan taksi yang kebetulan lewat. Duduk bersandar dengan gusar setelah menyebutkan alamat yang akan dia tuju.
"Makasih, Pak," ucap Amel menyodorkan uang kepada sang supir. Tangannya bergerak membuka pintu lalu turun dan berlari kecil menuju rumah besar yang ada di depannya.
"Almera!" teriak Amel seraya mengetuk pintu. Ya, rumah yang dia tuju adalah rumah Romeo
Jangan terlalu menekan diri dalam memikirkan sebuah masalah. Pikirkan sewajarnya saja:) Terima kasih sudah mampir ❤️
Tidak ada seorang pun yang menginginkan apalagi mengalami hal yang menyakitkan hingga membuatnya trauma. Semua ingin bahagia. Entah dengan cara yang apa pun, asal kebahagiaan itu didapat, mereka akan melakukannya. Sama halnya dengan Almera. Kejadian beberapa hari yang lalu adalah hal yang paling mengerikan di hidupnya. Tidak pernah terbayang sedikit pun, dia akan mengalami kejadian semengerikan ini. Rasa sakit itu, masih terasa sampai sekarang. Almera tidak ingin mengalami kejadian serupa. Karena hidupnya terasa tidak tenang sejak saat itu. Selalu diliputi rasa takut hingga tidak bisa memejamkan mata. "Al, lo yakin mau berangkat besok?" tanya Widya yang melihat Almera memasukkan beberapa setel baju ke dalam koper. Baju itu merupakan milik Almera yang memang sengaja ditinggal di rumah Widya untuk memudahkannya ketika menginap. Dan sekarang, bajunya berguna sebagai bekal untuk dirinya pergi ke negara tet
"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Nita, Mama Amel yang baru saja datang dari arah dapur menatap anaknya bingung. Amel yang hendak membuka pintu pun menoleh. Wajahnya tersirat akan kekhawatiran dan juga ketakutan, membuat Mama Nita bergegas menghampiri. "Ma, aku keluar dulu ya," pamit Amel langsung membuka pintu dan berjalan cepat menuju garasi tanpa menunggu jawaban dari Mamanya. "Hei, ini masih pagi. Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Mama Nita khawatir. Pasalnya, sekarang masih pukul setengah lima pagi dan anaknya itu tidak pernah keluar sebelum matahari terbit. Amel yang sudah sampai di garasi tentu saja tidak mendengar pertanyaan sang mama. Tanpa menunggu lama, mobil yang dikendarai Amel melaju meninggalkan rumah. Dalam perjalanan, hatinya tidak berhenti untuk berdo'a semoga semuanya baik-baik saja. Jantungnya berdegup kencang dengan dilingkupi rasa takut dan khawatir. Sejak semalam, Amel sama sekali tidak bisa untuk tenang. Lebih tepatnya seja
Di sepanjang koridor menuju kelas, Amel tidak berhenti untuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Masa bodoh dengan tatapan mahasiswa lain yang menatapnya aneh. Amel hanya ingin mencari keberadaan kedua sahabatnya, siapa tahu mereka ada di sini. Semenjak mendapat pesan dan mengetahui bahwa Almera juga tidak ada di rumah orang tuanya, Amel langsung menancap gas menuju rumah Widya. Hanya itu harapan terakhirnya. Namun, yang dia dapat membuat hatinya semakin takut. Rumah Widya tampak kosong seperti tidak berpenghuni. Kedua sahabatnya yang selalu ada untuknya pergi entah ke mana. Bahu Amel melemas saat pintu kelasnya sudah terlihat. Kembali menyemangati dirinya sendiri bahwa kedua sahabatnya berada di sana, duduk manis di bangkunya seraya berbincang. "Mel, sini gabung sama gue aja daripada sendirian," celetuk salah satu perempuan yang sedang berkumpul dengan keempat temannya di depan kelas. Amel yang hendak memasuki kelas mendadak menghentikan langkahn
"Cari menantu kesayangan saya sampai dapat! Kalian tidak boleh kembali sebelum mendapat informasi, paham?" Papa Edward menatap tajam keempat bodyguardnya yang berbaris rapi. Para pria yang memakai seragam hitam di tubuh tegapnya itu mengangguk kompak. Wajahnya sama-sama datar dan tegas. Ditambah dengan rambut yang tersisir rapi. "Paham, Tuan!" seru mereka. Tangan Papa Edward melambai, sebagai isyarat untuk mereka segera pergi dari ruangannya. Setelah semuanya pergi, pria paruh baya itu menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan. Kepalanya terasa seperti akan pecah. Sudah berhari-hari dia, Romeo dan juga orang tua Almera mencari keberadaan Almera. Namun hasilnya nihil. Awalnya Papa Edward hanya santai, menganggap bahwa menantunya itu tidak akan pergi jauh hingga tidak perlu memakai bodyguard. Namun ternyata salah, Almera tidak ditemukan di mana pun. "Pa," panggil Mama Lala membuka pintu ruang kerja suaminya. Tatapannya tertuju pada Papa
Sesampainya di depan kamar Almera, mereka langsung membuka pintu tanpa basa-basi lagi. Langkah kaki keduanya mendadak pelan saat akan mendekati ranjang. Hati Widya terasa sesak saat melihat sahabatnya yang lagi dan lagi menangis histeris seraya menjambak lalu memeluk tubuhnya sendiri ketakutan. Sebelum mendekati Almera, Widya menoleh ke samping. Menatap wanita paruh baya yang dibalas anggukan mantap. Meyakinkan dirinya untuk segera merengkuh sahabatnya. Perlahan Widya mendudukkan diri di tepi ranjang lalu memeluk Almera erat. Sedangkan Almera yang mendapat pelukan seperti itu bukannya merasa tenang, justru semakin memberontak. Tangisnya bercampur dengan teriakan. Takut, itu yang dia rasakan sekarang. Pelukan ini membuat bayangan tentang malam itu kembali hadir. "Al, tenang," ucap Widya dengan suara bergetar menahan tangis. Almera tidak mendengar. Telinganya seakan tuli. Tangannya masih berusaha melepas lilitan tangan Widya yang memeluknya erat
"Namanya juga panik, khawatir. Jadi ya pikiran saya kacau. Mana ingat kalau saya ini seorang bos," balas Romeo membela diri dengan sedikit sombong. Kemudian berjalan cepat menuju mobilnya berada. Rizky yang tadinya terbengong karena tidak menyangka dengan respon Romeo pun menatap laki-laki yang berjalan cepat itu heran. Begitu juga dengan Amel dan Farrel yang buru-buru mengikuti langkah Romeo. "Woi, lo mau ke mana?" tanya Rizky sedikit berteriak. "Ke kantor. Mau ngelacak keberadaan Almera," jawab Romeo tanpa menoleh. Di tempatnya, Rizky menepuk keningnya kesal. Dengan setengah berlari, dia menghampiri sahabatnya yang hendak membuka pintu mobil. "Aduh, Bos. Sekarang udah jaman modern. Tanpa lo ke sana juga udah bisa nyuruh mereka. Apa gunanya hp kalau lo masih harus repot-repot ke sana. Yang ada buang-buang waktu." "Iya juga sih. Eh tapi, Om, hpnya Almera mati kalau mau dilacak," timpal Amel memberi tahu. Rizky terdiam dengan alis yang
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer