Seulas senyuman lembut terbit dari bibirnya, menyapa dunia dengan kehangatan, saat matanya tertumbuk pada dua sosok yang ia sayangi, tengah tertidur pulas dalam damai. Dengan langkah pelan, hampir tak terdengar, Airah beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dengan penuh khusyuk, lalu beranjak untuk melaksanakan salat malam. Dalam kesunyian malam yang mencekam, di antara desah nafas yang lirih, ia menemukan ketenangan yang telah lama ia cari, seperti oase di tengah gurun pasir.
Denting jam yang tak pernah berhenti berdetak, terus berputar dalam keheningan, hingga cahaya fajar perlahan merayap keluar dari ufuk timur, menandakan bahwa malam yang panjang akhirnya berakhir, dan hari baru siap menyapa. Sayup-sayup, suara adzan terdengar mengalun merdu, menyentuh relung hati dari benda pipih milik Airah, seperti panggilan lembut yang tak bisa diabaikan. Adzan itu membangunkan sesosok wanita tua yang terlelap dalam tidur panjangnya. "Sudah salat, Ra?" Suara lembut itu menghantam keheningan subuh. Airah menoleh, tersenyum lembut. "Baru saja selesai, Bu.” Sintia mengangguk seraya beranjak keluar dari ruangan tersebut. Airah pun kembali melanjutkan bacaan Al-Qur'an-nya, namun, lagi-lagi terhenti tatkala mendengar tangis seorang anak. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergerak cepat, mendekati sumber suara. Begitu ia tiba, senyumannya merekah tanpa bisa ditahan, matanya bertemu dengan manik mata indah sang anak yang tengah menatapnya, seolah dunia seketika berhenti, hanya ada kedamaian dalam tatapan itu. “Assalamu’alaikum, anak Bunda,” ucapnya dengan suara lembut yang penuh kasih sayang seraya mengangkat tubuh mungil itu ke dalam gendongannya. Seiring dengan itu, tangis yang semula membahana dan mengisi ruang penuh kesedihan, seketika berubah menjadi tawa girang yang menghiasi setiap sudut hatinya. “Hm, bau acem.” Airah mengendu-endus tubuh sang anak sembari mengajaknya bercanda dengan celotehannya .”Mandi dulu, ya, sayang?” Setelah memandikan sang anak, Airah melangkah turun menuju lantai dasar, langkahnya terasa penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan. Di sana, matanya langsung menangkap sosok Sintia yang tengah duduk bersama seorang pria—wajahnya tampak serius, namun ada sesuatu yang berbeda, seperti ada sebuah cerita yang sedang mereka bagi di balik pertemuan itu. Pria tersebut sontak berbalik badan saat mendengar suara derap langkah yang familiar. Senyumnya seketika merekah. Perlahan, ia mendekati wanita yang tengah menggendong anaknya, langkahnya penuh kehati-hatian, namun ada kilatan rasa rindu yang tak terbendung di matanya. Setiap inci pergerakannya seolah menegaskan bahwa pertemuan ini telah lama dinantikannya. “Good morning, baby girl,” sapanya riang, suaranya penuh kehangatan. Dengan lembut, ia meraih Balqis dalam dekapan Airah. “Selamat pagi?” Manik mata Airah dan Adnan bertemu, keduanya tampak canggung, seakan waktu menghentikan pergerakan mereka sejenak. Ada rasa janggal yang menguar di udara, seperti pertemuan yang terasa seperti yang pertama, meski kenyataannya, mereka telah saling mengenal lebih lama dari itu. “Pagi, Mas,” balasnya dengan seulas senyuman tipis, senyum yang mencoba menyembunyikan kecanggungan di hatinya. “Duduklah! Ibu sudah memasakkan makanan kesukaanmu,” kata Sintia, suaranya terdengar hangat dan penuh perhatian, berusaha menghilangkan suasana canggung yang menggantung di antara mereka. Airah hanya membalas dengan senyuman tipis, menarik pelan salah satu bangku dan duduk nyaman di sana. Masakan yang terhidang di atas meja membuat cacing dalam perutnya bergemuruh, seakan memanggilnya untuk segera mencicipi. Masakan Indonesia—entah sudah berapa lama lidahnya tak merasakan cita rasa khas dari hidangan ini. Aroma yang menggoda membangkitkan kenangan, seperti membawa kembali masa-masa ketika ia masih bisa menikmati kehangatan kampung halaman dan rasa familiar yang selalu ia rindukan. "Bu! Yah!” Panggilan tersebut membuat tiga orang yang tengah menikmati sarapan mereka memusatkan perhatian ke sumber suara. Seketika suasana yang awalnya tenang berubah, mata mereka semua tertuju pada sosok yang duduk di salah satu kursi makan, seakan membawa sebuah pesan atau kejutan yang tak terduga. Adnan berdehem, memecahkan kecanggungan yang terjadi. "Jika diperbolehkan, saya meminta izin untuk membawa Airah dan Balqis jalan-jalan," ucapnya dengan suara yang tegas namun penuh rasa hormat, seakan berusaha menunjukkan niat baik di balik permintaan itu. Mata mereka bertiga saling bertemu, seolah menunggu jawaban yang akan menentukan langkah selanjutnya. "Tapi Mas, aku...." "Boleh," sela Salim—ayah Airah, suaranya tegas namun penuh perhatian. Ia menatap lembut ke arah sang anak yang kini juga tengah menatapnya dengan tatapan tak percaya. Di mata Salim, ada rasa sayang dan pengertian yang dalam, seperti ingin memberi ruang untuk sang anak. "Tapi, Yah….” "Kamu juga butuh udara, Nak. Sudah berapa lama kamu tidak keluar rumah?" tambah Salim dengan nada lembut. Semenjak operasi terakhir kali, Airah sudah tidak pernah menginjakkan kakinya keluar pekarangan rumah. Setiap hari ia mengurung dirinya di dalam kamar, menyendiri dengan tumpukan buku yang seolah menjadi pelarian dari dunia luar. "Tapi, aku dan Mas Adnan. Kami..." "Ayah percaya padanya," potong Salim lagi, suara penuh keyakinan yang membuat Airah terdiam. Wanita itu menghela napas pasrah, seolah berat melepaskan keraguan yang ada di hatinya. Mungkin, benar kata Ayahnya—ia memang butuh udara luar untuk menenangkan pikiran, menghirup ruang yang berbeda agar bisa melihat segala sesuatu dengan perspektif yang baru. Pukul sembilan pagi, Adnan membawa Airah dan sang anak mengunjungi salah satu taman bersejarah yang menawarkan pemandangan kota yang indah, lengkap dengan berbagai peninggalan bersejarahnya. Di tengah udara segar dan suasana yang tenang, mereka berjalan perlahan, menikmati setiap langkah yang terasa ringan setelah sekian lama terkurung dalam rutinitas yang penuh ketegangan. "Aku dengar kamu suka tentang sejarah," Adnan membuka suara, memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka. Kata-katanya mengalir begitu saja, seakan ingin menciptakan percakapan yang lebih ringan, membawa suasana kembali hangat setelah lama terbungkus dalam kecanggungan. Airah mengulas senyum tipis. "Itu sebabnya Mas membawaku kemari?" Tak sedikit pun ia menghentakkan langkah kakinya, matanya menikmati setiap pemandangan kota yang begitu indah, seolah setiap sudutnya mengundang kenangan baru yang belum sempat ia rasakan. Keindahan yang mengelilinginya membuatnya sejenak melupakan segala kekhawatiran yang pernah membebani pikirannya. "Airah!" Panggilan dari balik punggungnya berhasil menghentikan langkahnya. Ia menoleh, mendapati Adnan yang diam terpaku di tempat, wajahnya tampak serius. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Sambil mendorong stroller, Adnan berjalan mendekat ke arahnya. Berdiri beberapa langkah di depannya. Ia merogoh saku jaketnya kemudian mengeluarkan paperline amplop dan menyodorkan amplop tersebut ke Airah. “Ini apa, Mas?” tanya Airah, mengurutkan keningnya dengan sedikit kebingungan, saat menerima amplop tersebut. “Bukalah!” Matanya tak lepas dari wajah Airah, seakan ingin melihat reaksi pertama saat ia mengetahui isi amplop itu. “Mas ini….” Airah tak mampu menyembunyikan keterkejutannya saat membaca isi dari surat yang ia pegang. Jantungnya berdegup kencang, matanya terfokus pada kata-kata yang tertulis di atas kertas itu, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Adnan mengangguk, mengulas senyum tipis. “Seperti inginmu.”Mohon maaf novel ini masih dalam proses revisi
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala
Aku hanya bisa mengenang kisah kita bersama, disaat aku sudah tak bisa lagi menggapaimu. Bagas Gunawan Basri *** Kelopak mata itu perlahan terbuka. Mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aroma obat-obatan langsung tercium oleh indera penciumannya. "IBU! Mas Bagas sudah sadar." Terdengar suara nyaring. "Bagas! Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak." Pria itu diam masih mencerna."Airah, mana Bu?" tanyanya. "Wanita itu tidak ada, Bagas. Dia bahkan tidak mempedulikan bagaimana keadaanmu. Jadi, ibu mohon berhentilah mencarinya, ya?" Bagas tak menjawab. Dia merasa bahwa Airah baru saja datang menjenguknya dan berceloteh berbagai hal seperti biasanya. "Bagas, apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit, Nak?" tanya Nia khawatir saat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata sang putra. "Bisa ibu panggilkan Airah untukku?" Rindu tampak jelas di kedua bola mata Bagas. Mata Nia berkaca
Kita berpijak pada bumi yang sama, menatap langit yang sama, juga pada perasaan rindu yang sama. Tapi, mengapa kita tak dapat bersama-sama? ~Rintihan hati dua insan yang dilanda rindu~ *** Airah menghentikan bacaan Alqurannya saat mendengar ketukan pada pintunya. "Unda, boleh Asya masuk." Ia menyunggingkan sebuah senyuman saat mendengar suara teduh tersebut. "Boleh sayang masuklah!" Hafsyah berlari ke pangkuan Airah saat pintu itu dibuka oleh Sintia. "Yasudah, ibu ke bawah, ya?" Airah tersenyum, mengangguk. "Kok, belum tidur sih, Nak?" tanyanya, mengelus lembut pucuk kepala sang anak. Hafsyah menggeleng." Nggak bisa tidul unda." Kening Airah mengerut." Kenapa tidak bisa tidur, hm?" "Abi biasanya bacain Asya dongeng sebelum tidul." "Jadi, anak bunda yang satu ini mau dibacain dongeng, ya?" Hafsyah mengangguk cepat—ia tersenyum. "Biasanya Abi bacain dongeng apa untuk Hafsyah?" Hafsyah mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ma
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. Ali bin Abi Thalib *** "Gue kira Lu nggak bakalan datang," seloroh Fikri. Bagas tersenyum tipis tak menanggapi ocehan sang sahabat. "Lu yakin mau main?" tanya Dani. Pria itu tahu betul kalau sahabatnya itu belum pulih total. Bagas mengangguk seraya melepas jaket denim jeans black-nya. Mereka bermain hampir dua jam lebih. Peluh telah membasahi keempat pria itu. Tapi tak ada satu pun yang berniat untuk berhenti bermain. "Oper ke gue. Oper ke gue." Aziz berteriak menyuruh Dani mengoper bola ke arahnya. Dani pun mengoper bola tersebut ke arahnya. "Yessss," teriak Aziz saat berhasil memasukkan bola itu ke ring basket. Keempat pria tersebut terkapar letih di atas lantai sambil berselonjoran. "Kira-kira sudah berapa lama kita nggak main bareng, ya?" tanya Fikri. "Sekitar dua tahun," jawab Aziz cepat
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb
"Ketika kepercayaan dirusak, kata maaf sudah tak ada artinya lagi." Anonim *** Suara petir menggelegar diiringi suara gemuruh hujan yang turun membasahi bumi Pertiwi. Suara adzan subuh pun telah terdengar mengalun merdu seantero jagat raya membangunkannya dari tidur lelap. Airah menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Tepat saat matahari menyingsing, dia telah siap dengan balutan gamis grey polos yang senada dengan warna jilbab lebarnya. Melangkah turun, menuju meja makan. Di sana kedua orang tuanya telah duduk manis di kursi masing-masing. Selepas sarapan, dia gegas pamit kepada kedua orang tuanya. Menuju kampus. Setibanya di tempat tujuan, wanita itu mengernyit heran saat melihat para mahasiswa yang menatapnya sedemikian rupa. Apa ada yang salah? Airah menelisik penampilannya sendiri. Tidak ada. "Pantas sekarang berjilbab. Cuma kedok belaka." "Cih, sok su
Allah SWT berfirman dalam (Surah Asy-Syu’arah : 78-82) yang artinya : Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni keselahanku pada hari kiamat.” *** Perlahan mata sayu itu terbuka. Lamat-lamat ia mengerjap guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah plafon berwarna putih. Airah merasakan denyut sakit di kepalanya, di sebelah bagian tangan kanannya terdapat selang infus yang terpasang. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Anya dan seorang dokter laki-laki setengah baya menghampirinya. Anya berhambur memeluk tubuh sang sahabat. “Alhamdulillah, Ra, kamu sudah sadar.” Ia merenggangkan pelukannya. “Apa kamu masih merasa pusing?” Airah mengangguk. ”Iya sedikit pusing.” Mata bening Ai
"Allah melimpahkan setiap ujian-Nya padamu karena Allah percaya bahwa kamu bisa dan mampu dalam melewatinya. " ~Nur Airah Nih~ *** Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Janjian, hari ini Airah dan Anya akan bertemu di Kafe tempat biasa mereka nongkrong. "Assalamu'alaikum, maaf, ya, Ra, aku telat." Airah memutar bola mata malas. Kebiasaan." Wa'alaikumussalam, aku dah nunggu satu jam lebih, loh." Anya menggeser kursi dan duduk di depannya."Iya, maaf banget. Tadi tiba-tiba ada urusan penting di Rumah Kasih Cinta. Maaf, ya. Ra," sesalnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. "Rumah kasih cinta?" Anya mengangguk." Rumah khusus buat pengidap penyakit kanker," sahutnya seraya melambaikan tangan ke pramusaji. Lagu Kupu-kupu Cinta--Sigma pun mengalun merdu. Menemani makan sore mereka. "Hm, An." Anya mendongak melihat wanita di depannya sambil memasukkan mie goreng ke mulutnya. "Boleh aku ikut dengan
"Masa lalu tak hanya memberikan kenangan, namun juga mengenalkanmu akan makna kehidupan." Anonim. *** Waktu berputar seiring dengan roda jam yang berdetak, tak terasa sudah empat tahun sembilan bulan wanita itu meninggalkan bangku perkuliahan. Lulus dengan nilai cumlaude. Ternyata menjadi seorang sarjana itu tidaklah mudah, seperti dugaan sebagian orang. Ada banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus mereka hadapi. Salah satunya, mencari pekerjaan. Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi sarjana akan lebih mudah atau memiliki pegangan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik nantinya. Misalnya, menjadi pegawai pemerintahan, mungkin. Mindset tersebut harus mereka ubah. Menjadi sarjana adalah proses kemandirian diri. Bagaimana mereka dituntut untuk lebih kuat mental lagi dalam menghadapi persaingan dunia kerja. Wanita itu pernah bekerja di salah satu minimarket. Hingga cibiran itu pun berdatangan satu per satu. "Sarjana kok, cuma kerja di minimarket. Sayang, Mbak title
Aku tidak bisa menjadi layaknya Fatimah Az-zahra yang mencintaimu dalam dalam diam, tapi izinkan aku menjadi layaknya Siti Hawa yang rela menunggumu hingga ajal ini menjemput. Nur Airah Nih *** "Apa Lu nggak tahu kalau dia sudah tidak di Indonesia lagi?" Air mata tak dapat ia bendung lagi. Hatinya terlalu sakit seakan ada ribuan anak panah yang menembus jantungnya. Jika saja Dani tak memberitahunya, mungkin saja dia tidak akan pernah tahu kalau pria tersebut sudah pergi. Benar-benar pergi meninggalkannya. Airah meremas kuat dadanya, perih. Cintanya kini telah pergi meninggalkan perasaan yang masih utuh untuknya. Meninggalkan ribuan kenangan yang masih ia simpan rapat dengan sempurna dalam sanubarinya. Kini, dia hanya bisa meratapi kepergian pria itu dalam doa yang sering dirinya langitkan. Berharap agar pria itu baik-baik saja di sana. Bunyi ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan. Gegas, dia menyeka air
Benci bukan berarti aku tidak peduli. Bagas Gunawan Basri *** Rahang dan tangannya sama-sama ikut mengeras, menatap tajam pria yang dengan lancangnya menghina wanitanya. Wanitanya? Jika saja pria itu tidak sadar bahwa hubungan mereka sudah berakhir, mungkin saja pria bernama Tomi itu sudah babak belur di tangannya. "Dani!" Pria yang dipanggil namanya tersebut menghela napas berat. Dia paham betul masalah pelik antara sang sahabat dengan mantan kekasihnya itu, yang sialnya masih dicintai oleh sahabatnya. "Gue nggak ngerti deh sama kalian. Kalau kalian masih sama-sama suka, kenapa tidak balikan saja," ucap Fikri seraya menyeruput secangkir kopi. "Itu sama aja Lu nyuruh gue masuk kandang singa. Secinta apa pun gue sama dia. Gue enggak mau jadi perusak rumah tangga orang. Gue masih punya harga diri." Tegas Bagas. Aziz dan Fikri mengangguk paham. "Tapi gue masih nggak ngerti, kenapa Airah tega nyelingkuhin Lu." Ba
"Ketika kepercayaan dirusak, kata maaf sudah tak ada artinya lagi." Anonim *** Suara petir menggelegar diiringi suara gemuruh hujan yang turun membasahi bumi Pertiwi. Suara adzan subuh pun telah terdengar mengalun merdu seantero jagat raya membangunkannya dari tidur lelap. Airah menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Tepat saat matahari menyingsing, dia telah siap dengan balutan gamis grey polos yang senada dengan warna jilbab lebarnya. Melangkah turun, menuju meja makan. Di sana kedua orang tuanya telah duduk manis di kursi masing-masing. Selepas sarapan, dia gegas pamit kepada kedua orang tuanya. Menuju kampus. Setibanya di tempat tujuan, wanita itu mengernyit heran saat melihat para mahasiswa yang menatapnya sedemikian rupa. Apa ada yang salah? Airah menelisik penampilannya sendiri. Tidak ada. "Pantas sekarang berjilbab. Cuma kedok belaka." "Cih, sok su
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan