Butiran hujan perlahan membasahi ibu kota, mengguyur semesta dengan gemuruh derasnya. Pohon-pohon basah, dedaunan yang bergoyang, bunga yang layu, tiang listrik yang berdiri kaku, hingga atap-atap gedung yang menjulang tinggi—semuanya berselimut dingin air hujan. Titik-titik bening itu terus berjatuhan, menghantam jendela kacanya, seolah mengetuk lembut, ingin menjadi saksi bisu kesedihan yang tak terucapkan.
Menghela napas berat, tangan lentiknya terayun perlahan, menutup jendela kamarnya yang mulai dipenuhi embun. Suara dentingan kaca yang tertutup terdengar lembut, seolah menandai akhir dari pertarungannya dengan malam. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mokki beds yang bersisian dengan tempat tidurnya. Setiap pijakan kakinya terasa berat, seakan membawa beban hati yang tak terlihat. Di sana, ia berhenti sejenak, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya, sementara pikirannya terus berputar dalam pusaran rasa yang tak pernah mampu ia ungkapkan. Seulas senyuman tipis terbit dari bibirnya, namun tak mampu menyembunyikan kepedihan yang tersirat di baliknya. Air matanya kembali berjatuhan, membasahi pipi yang telah lama bersahabat dengan kesedihan. Matanya nanar memandangi toddler kecil yang terlelap damai di atas mokki beds, wajah polosnya memancarkan kebahagiaan dari dunia mimpi yang indah. "Maafkan Bunda, sayang," ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh hujan di luar sana. Kata-kata itu keluar dengan berat, seperti membawa seluruh penyesalan yang tak pernah mampu ia ungkapkan sebelumnya. Tangannya terulur, membelai lembut rambut halus sang anak yang masih terlelap tanpa beban. Air matanya kian deras mengalir, bercampur dengan senyum getir yang menghiasi wajahnya. Di dalam hatinya, hanya ada doa tanpa henti, berharap kebahagiaan yang tak pernah mampu ia berikan akan tetap menjadi milik buah hatinya. Bunyi ketukan pintu kamar yang tiba-tiba menggema sontak membuat Airah tersentak dari lamunannya. “Boleh Ibu masuk?” suara lembut itu terdengar dari balik pintu, disertai kepala yang perlahan melongok masuk. Tatapan penuh kasih dari sang ibu bertemu dengan mata Airah yang masih sembab. Airah tersenyum tipis. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya menganggukkan kepala pelan, memberi izin. Sintia membalas dengan senyum lebar, langkahnya perlahan mendekati sang buah hati. Wajah cantiknya yang mulai dimakan usia tampak berbinar, pancaran kebahagiaan jelas terlihat saat pandangannya tertuju pada sang cucu yang masih terlelap damai. Ada kehangatan dan kebanggaan yang sulit disembunyikan, terpancar dari setiap gerak-geriknya, seolah kehadiran kecil itu menjadi cahaya dalam hidupnya. "Tidurlah, biar Ibu yang berjaga," katanya, suaranya penuh kelembutan, sembari menoleh dan tersenyum lembut ke arah Airah. Senyum itu seakan menenangkan, menghapus sedikit ketegangan yang ada. "Kamu juga butuh istirahat," lanjutnya dengan penuh perhatian, menyadari betapa lelahnya sang anak, meskipun tak pernah mengungkapkan keletihan itu secara terang-terangan padanya. Airah tak membalas apapun, pelan ia bergerak menuju tempat tidurnya. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Tak ada percakapan yang terdengar, hanya keheningan yang memenuhi ruangan. Suara denting jam yang berdetak perlahan dan gemuruh air hujan yang terus mengguyur di luar sana menjadi satu-satunya irama yang memecahkan sunyi antara anak dan ibu itu. "Airah," Sintia memanggil dengan suara pelan, namun ada keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. Pandangannya lurus menatap manik mata sang anak yang juga tengah menatapnya, seolah mencari jawaban dalam diam. "Adnan sudah memberi tahu ibu," lanjutnya, suara itu mengandung beban yang tak terucapkan. Sintia menunda kalimatnya, lalu pandangannya beralih pada sang cucu yang terlelap dengan tenang. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini, nak?" tanyanya lembut, namun nada suaranya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam, seperti seorang ibu yang ingin memastikan bahwa jalan yang dipilih anaknya adalah yang terbaik. Lagi-lagi, tak ada tanggapan dari Airah. Dengan perlahan, ia berbalik tidur, membelakangi Sintia, seolah ingin menutup rapat segala perasaan yang tak mampu ia ungkapkan. Matanya terfokus lurus pada air hujan yang jatuh deras dari balik jendela kamarnya, seakan mencari kedamaian di antara riak-riak air yang mengalir. Dalam dekapan hangat selimut, Airah meremas dadanya, berusaha menahan rasa sakit yang begitu menyiksa, yang seolah tak pernah berhenti menggerogoti setiap sudut hatinya. Ia mencoba meredakan beban itu, memejamkan mata, namun tak pernah berhasil. Setiap hari, berulang kali, ia menguatkan diri, meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melalui semua ini, tapi usaha itu selalu terasa sia-sia. Sakitnya begitu nyata, seperti jarum yang terus menusuk tanpa henti. Hingga akhirnya, rasa lelah dan sakit yang meluap itu membuatnya terlelap, tidur yang seolah menjadi pelarian terakhir, meskipun hatinya tetap terjaga, membekap dengan kesendirian yang dalam. Melihat keadaan tersebut, Sintia merasa hatinya teriris. Dengan hati-hati, ia bangkit dari duduknya dan melangkah perlahan menghampiri tempat tidur sang anak. Setiap langkahnya terasa berat, seperti membawa beban yang sama dengan yang dirasakan oleh Airah. Dengan penuh kelembutan, tangannya menyentuh ujung selimut yang membungkus tubuh Airah, memperbaikinya agar lebih nyaman. Perlahan, ia menatap wajah anaknya yang tertidur, wajah yang penuh dengan kesedihan yang tak terungkapkan. "Maafkan Ibu, nak," gumam Sintia pelan, suaranya hampir tak terdengar, seolah takut mengganggu tidur anaknya. Kata-kata itu keluar dengan penuh penyesalan, seakan mengalir bersama air mata yang tak dapat dibendung. Tanpa sadar, air mata Sintia menetes, jatuh membasahi pipi yang telah lama memendam kesedihan. Jam yang menempel di dinding berdetak pelan, suaranya yang teratur memecah keheningan malam yang pekat. Setiap detiknya terdengar jelas, menggema di dalam ruangan yang sepi. Jarum panjangnya perlahan mendekati angka dua, sementara jarum pendeknya telah berada di angka satu dan lima. Suara detak jam yang monoton itu seolah menjadi pengingat bahwa waktu tak pernah berhenti, terus berjalan tanpa peduli betapa lambat atau cepatnya malam berlalu, seakan mengabaikan segala perasaan dan kesedihan yang membebani setiap jiwa yang terperangkap dalam keheningan itu. Di tengah detak jam yang terus berdenting, di antara tiga makhluk yang tengah tertidur pulas dalam kamar tersebut, seorang di antara mereka tampak gelisah dalam tidurnya. Wajah yang semula tenang itu kini terlihat pucat pasi, seolah mimpi buruk itu telah menyusup ke dalam alam bawah sadarnya. Kelopak matanya bergerak-gerak gelisah, menandakan bahwa ia tengah terperangkap dalam kegelapan mimpi yang penuh ketakutan. Napasnya mulai terengah-engah, dan tubuhnya bergeming, seolah takut untuk bangun dari mimpi yang menyesakkan itu. “Bagas!” tubuh Airah refleks terbangun dari pembaringan, matanya terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal, seolah-olah ia baru saja berlari marathon tanpa henti. Jantungnya berdebar kencang, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami dalam mimpinya. "Astagfirullahaladzim," gumamnya pelan, mengucap doa yang sudah begitu sering ia lafalkan dalam hati. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menenangkan diri, namun perasaan cemas dan takut masih menyelimutinya, seolah mimpi buruk itu masih menghantui dalam keheningan malam yang dingin.Mohon maaf, untuk sementara novel ini dalam proses revisi.
Seulas senyuman lembut terbit dari bibirnya, menyapa dunia dengan kehangatan, saat matanya tertumbuk pada dua sosok yang ia sayangi, tengah tertidur pulas dalam damai. Dengan langkah pelan, hampir tak terdengar, Airah beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dengan penuh khusyuk, lalu beranjak untuk melaksanakan salat malam. Dalam kesunyian malam yang mencekam, di antara desah nafas yang lirih, ia menemukan ketenangan yang telah lama ia cari, seperti oase di tengah gurun pasir. Denting jam yang tak pernah berhenti berdetak, terus berputar dalam keheningan, hingga cahaya fajar perlahan merayap keluar dari ufuk timur, menandakan bahwa malam yang panjang akhirnya berakhir, dan hari baru siap menyapa. Sayup-sayup, suara adzan terdengar mengalun merdu, menyentuh relung hati dari benda pipih milik Airah, seperti panggilan lembut yang tak bisa diabaikan. Adzan itu membangunkan sesosok wanita tua yang terlelap dalam tidur panjangnya. "Sudah salat, Ra?" Suara lembut itu menghantam keheni
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala
Aku hanya bisa mengenang kisah kita bersama, disaat aku sudah tak bisa lagi menggapaimu. Bagas Gunawan Basri *** Kelopak mata itu perlahan terbuka. Mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aroma obat-obatan langsung tercium oleh indera penciumannya. "IBU! Mas Bagas sudah sadar." Terdengar suara nyaring. "Bagas! Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak." Pria itu diam masih mencerna."Airah, mana Bu?" tanyanya. "Wanita itu tidak ada, Bagas. Dia bahkan tidak mempedulikan bagaimana keadaanmu. Jadi, ibu mohon berhentilah mencarinya, ya?" Bagas tak menjawab. Dia merasa bahwa Airah baru saja datang menjenguknya dan berceloteh berbagai hal seperti biasanya. "Bagas, apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit, Nak?" tanya Nia khawatir saat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata sang putra. "Bisa ibu panggilkan Airah untukku?" Rindu tampak jelas di kedua bola mata Bagas. Mata Nia berkaca
Kita berpijak pada bumi yang sama, menatap langit yang sama, juga pada perasaan rindu yang sama. Tapi, mengapa kita tak dapat bersama-sama? ~Rintihan hati dua insan yang dilanda rindu~ *** Airah menghentikan bacaan Alqurannya saat mendengar ketukan pada pintunya. "Unda, boleh Asya masuk." Ia menyunggingkan sebuah senyuman saat mendengar suara teduh tersebut. "Boleh sayang masuklah!" Hafsyah berlari ke pangkuan Airah saat pintu itu dibuka oleh Sintia. "Yasudah, ibu ke bawah, ya?" Airah tersenyum, mengangguk. "Kok, belum tidur sih, Nak?" tanyanya, mengelus lembut pucuk kepala sang anak. Hafsyah menggeleng." Nggak bisa tidul unda." Kening Airah mengerut." Kenapa tidak bisa tidur, hm?" "Abi biasanya bacain Asya dongeng sebelum tidul." "Jadi, anak bunda yang satu ini mau dibacain dongeng, ya?" Hafsyah mengangguk cepat—ia tersenyum. "Biasanya Abi bacain dongeng apa untuk Hafsyah?" Hafsyah mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ma
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. Ali bin Abi Thalib *** "Gue kira Lu nggak bakalan datang," seloroh Fikri. Bagas tersenyum tipis tak menanggapi ocehan sang sahabat. "Lu yakin mau main?" tanya Dani. Pria itu tahu betul kalau sahabatnya itu belum pulih total. Bagas mengangguk seraya melepas jaket denim jeans black-nya. Mereka bermain hampir dua jam lebih. Peluh telah membasahi keempat pria itu. Tapi tak ada satu pun yang berniat untuk berhenti bermain. "Oper ke gue. Oper ke gue." Aziz berteriak menyuruh Dani mengoper bola ke arahnya. Dani pun mengoper bola tersebut ke arahnya. "Yessss," teriak Aziz saat berhasil memasukkan bola itu ke ring basket. Keempat pria tersebut terkapar letih di atas lantai sambil berselonjoran. "Kira-kira sudah berapa lama kita nggak main bareng, ya?" tanya Fikri. "Sekitar dua tahun," jawab Aziz cepat
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb
Allah SWT berfirman dalam (Surah Asy-Syu’arah : 78-82) yang artinya : Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni keselahanku pada hari kiamat.” *** Perlahan mata sayu itu terbuka. Lamat-lamat ia mengerjap guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah plafon berwarna putih. Airah merasakan denyut sakit di kepalanya, di sebelah bagian tangan kanannya terdapat selang infus yang terpasang. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Anya dan seorang dokter laki-laki setengah baya menghampirinya. Anya berhambur memeluk tubuh sang sahabat. “Alhamdulillah, Ra, kamu sudah sadar.” Ia merenggangkan pelukannya. “Apa kamu masih merasa pusing?” Airah mengangguk. ”Iya sedikit pusing.” Mata bening Ai
"Allah melimpahkan setiap ujian-Nya padamu karena Allah percaya bahwa kamu bisa dan mampu dalam melewatinya. " ~Nur Airah Nih~ *** Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Janjian, hari ini Airah dan Anya akan bertemu di Kafe tempat biasa mereka nongkrong. "Assalamu'alaikum, maaf, ya, Ra, aku telat." Airah memutar bola mata malas. Kebiasaan." Wa'alaikumussalam, aku dah nunggu satu jam lebih, loh." Anya menggeser kursi dan duduk di depannya."Iya, maaf banget. Tadi tiba-tiba ada urusan penting di Rumah Kasih Cinta. Maaf, ya. Ra," sesalnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. "Rumah kasih cinta?" Anya mengangguk." Rumah khusus buat pengidap penyakit kanker," sahutnya seraya melambaikan tangan ke pramusaji. Lagu Kupu-kupu Cinta--Sigma pun mengalun merdu. Menemani makan sore mereka. "Hm, An." Anya mendongak melihat wanita di depannya sambil memasukkan mie goreng ke mulutnya. "Boleh aku ikut dengan
"Masa lalu tak hanya memberikan kenangan, namun juga mengenalkanmu akan makna kehidupan." Anonim. *** Waktu berputar seiring dengan roda jam yang berdetak, tak terasa sudah empat tahun sembilan bulan wanita itu meninggalkan bangku perkuliahan. Lulus dengan nilai cumlaude. Ternyata menjadi seorang sarjana itu tidaklah mudah, seperti dugaan sebagian orang. Ada banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus mereka hadapi. Salah satunya, mencari pekerjaan. Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi sarjana akan lebih mudah atau memiliki pegangan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik nantinya. Misalnya, menjadi pegawai pemerintahan, mungkin. Mindset tersebut harus mereka ubah. Menjadi sarjana adalah proses kemandirian diri. Bagaimana mereka dituntut untuk lebih kuat mental lagi dalam menghadapi persaingan dunia kerja. Wanita itu pernah bekerja di salah satu minimarket. Hingga cibiran itu pun berdatangan satu per satu. "Sarjana kok, cuma kerja di minimarket. Sayang, Mbak title
Aku tidak bisa menjadi layaknya Fatimah Az-zahra yang mencintaimu dalam dalam diam, tapi izinkan aku menjadi layaknya Siti Hawa yang rela menunggumu hingga ajal ini menjemput. Nur Airah Nih *** "Apa Lu nggak tahu kalau dia sudah tidak di Indonesia lagi?" Air mata tak dapat ia bendung lagi. Hatinya terlalu sakit seakan ada ribuan anak panah yang menembus jantungnya. Jika saja Dani tak memberitahunya, mungkin saja dia tidak akan pernah tahu kalau pria tersebut sudah pergi. Benar-benar pergi meninggalkannya. Airah meremas kuat dadanya, perih. Cintanya kini telah pergi meninggalkan perasaan yang masih utuh untuknya. Meninggalkan ribuan kenangan yang masih ia simpan rapat dengan sempurna dalam sanubarinya. Kini, dia hanya bisa meratapi kepergian pria itu dalam doa yang sering dirinya langitkan. Berharap agar pria itu baik-baik saja di sana. Bunyi ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan. Gegas, dia menyeka air
Benci bukan berarti aku tidak peduli. Bagas Gunawan Basri *** Rahang dan tangannya sama-sama ikut mengeras, menatap tajam pria yang dengan lancangnya menghina wanitanya. Wanitanya? Jika saja pria itu tidak sadar bahwa hubungan mereka sudah berakhir, mungkin saja pria bernama Tomi itu sudah babak belur di tangannya. "Dani!" Pria yang dipanggil namanya tersebut menghela napas berat. Dia paham betul masalah pelik antara sang sahabat dengan mantan kekasihnya itu, yang sialnya masih dicintai oleh sahabatnya. "Gue nggak ngerti deh sama kalian. Kalau kalian masih sama-sama suka, kenapa tidak balikan saja," ucap Fikri seraya menyeruput secangkir kopi. "Itu sama aja Lu nyuruh gue masuk kandang singa. Secinta apa pun gue sama dia. Gue enggak mau jadi perusak rumah tangga orang. Gue masih punya harga diri." Tegas Bagas. Aziz dan Fikri mengangguk paham. "Tapi gue masih nggak ngerti, kenapa Airah tega nyelingkuhin Lu." Ba
"Ketika kepercayaan dirusak, kata maaf sudah tak ada artinya lagi." Anonim *** Suara petir menggelegar diiringi suara gemuruh hujan yang turun membasahi bumi Pertiwi. Suara adzan subuh pun telah terdengar mengalun merdu seantero jagat raya membangunkannya dari tidur lelap. Airah menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Tepat saat matahari menyingsing, dia telah siap dengan balutan gamis grey polos yang senada dengan warna jilbab lebarnya. Melangkah turun, menuju meja makan. Di sana kedua orang tuanya telah duduk manis di kursi masing-masing. Selepas sarapan, dia gegas pamit kepada kedua orang tuanya. Menuju kampus. Setibanya di tempat tujuan, wanita itu mengernyit heran saat melihat para mahasiswa yang menatapnya sedemikian rupa. Apa ada yang salah? Airah menelisik penampilannya sendiri. Tidak ada. "Pantas sekarang berjilbab. Cuma kedok belaka." "Cih, sok su
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan