"Saya mengerti kekhawatiran Bapak, Ibu," ucap Dokter Andi dengan suara tenang. "Setelah melakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, saya bisa mengatakan bahwa kondisi anak Bapak Ibu baik-baik saja. Untungnya, lukanya tidak terlalu dalam. Untuk itu, tidak ada yang perlu Bapak dan Ibu khawatirkan," jelas dokter yang mengenakan jas putih panjang itu, diiringi dengan senyuman lembut yang seakan menghapus kecemasan yang sempat menggantung.
Mendengar penjelasan tersebut, barulah ketiganya bisa bernapas lega, seolah beban yang mengganjal di dada mereka sedikit terangkat. Namun, meski rasa cemas itu mereda, masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar di mata masing-masing, sebagai pertanda bahwa mereka belum sepenuhnya bisa mengusir bayang-bayang ketakutan yang sempat menghantui. "Terima kasih banyak, Dok," ucap Nia dengan suara yang bergetar, matanya yang lelah tampak berkaca-kaca, seolah menahan emosi yang tak terungkapkan. "Bisa saya lihat anak saya, Dok?" tanyanya penuh harap, tatapannya penuh kekhawatiran meski ada sedikit rasa lega yang mulai muncul di wajahnya. Dokter Andi mengangguk pelan, senyum tipis terlihat di wajahnya. "Silakan, kalau begitu saya pamit diri," ujarnya dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Bapak Ibu bisa panggil saya." Setelah itu, ia memberikan tanda sopan sebelum berjalan meninggalkan mereka, memberikan ruang bagi keluarga itu untuk bertemu dengan anak mereka. Ketiganya pun segera memasuki ruangan, langkah mereka tergesa namun penuh hati-hati. Mereka menghampiri sosok Bagas yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Nia, Senjaya, dan anak perempuan mereka berdiri di samping ranjang, menatap sosok lemah itu dengan penuh kasih, hati mereka dipenuhi campuran rasa lega dan kekhawatiran. "Bagas!" seru Nia dengan suara lembut, elusan tangannya mengusap perlahan rambut legam sang anak. Bulir bening air matanya kembali jatuh, membasahi kedua pelupuk matanya, seakan tak mampu menahan emosi yang tumpah begitu saja. Cinta dan kekhawatiran terjalin dalam setiap tetes air mata yang mengalir, mencerminkan betapa dalamnya rasa sayang yang dimilikinya untuk anaknya. Senjaya berjalan perlahan mendekati istrinya, wajahnya penuh empati. Dengan lembut, ia mengelus lengan atas Nia, berusaha memberi kekuatan. "Sabar, Ma," ucapnya pelan, mencoba menenangkan istrinya yang masih terisak dalam kepedihan. Suara lembut itu seakan menjadi penopang di tengah kecemasan yang begitu besar, menyiratkan bahwa ia akan tetap ada di sampingnya. "Ada apa dengan anak kita, Pak?" tanya Nia dengan suara terbata. Ia menggeleng pelan, merasa bingung dan terkejut. "Aku sangat mengenal Bagas. Dia tidak akan melakukan hal seperti ini, bahkan jika mendapat masalah besar sekalipun," lanjut Nia, suara penuh keyakinan meskipun kepanikan masih jelas terlihat di wajahnya. Hatinya penuh keraguan, tak percaya bahwa anaknya bisa melakukan hal tersebut. Senjaya tak menjawab, bibirnya terkatup rapat, seolah kata-kata tak mampu keluar. Ia pun tahu bahwa pertanyaan istrinya itu tidak mudah untuk dijawab, dan mungkin tak ada jawaban yang bisa benar-benar melegakan hati mereka. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, hanya suara detak jantung yang terdengar, menggambarkan betapa keduanya terperangkap dalam ketidakpastian yang tak terungkapkan. Nia membalikkan badannya, menatap suaminya dengan sorot mata tajam yang penuh kecemasan. "Apa ini ada sangkut pautnya dengan Airah, Pak?" tanyanya dengan suara yang lebih tegas, seakan mencari kebenaran dalam tatapan mata Senjaya. Ia membidik mata suaminya dengan penuh harapan akan penjelasan, "Aku dengar mereka—" suara Nia tercekat, seolah kata-kata itu menahan beban yang berat, belum siap untuk diungkapkan. "Ma!" tukas Senjaya cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran. "Tidak baik suudzon. Kita tunggu saja hingga Bagas siuman." Senjaya mencoba meredakan kegelisahan istrinya, berusaha menenangkan dengan kata-kata yang bijak meskipun hatinya sendiri penuh keraguan. Ia tahu bahwa saat ini yang mereka butuhkan adalah kesabaran dan keyakinan, meskipun bayang-bayang pertanyaan terus menghantui pikiran mereka. "Jika benar perempuan itu yang menyakiti Bagas hingga membuatnya seperti ini..." Nia menggeleng lemah, suaranya hampir tidak terdengar, namun penuh dengan kepedihan. "Ibu tidak akan pernah memaafkannya." Kata-kata itu keluar dengan ketegasan yang terlontar begitu saja, meskipun ada rasa takut dan keraguan di baliknya. Nia membalikkan badannya, matanya kini terfokus pada sosok Bagas di atas ranjang rumah sakit. Tatapannya sendu, penuh kecemasan, namun tak sekalipun matanya berpaling dari anaknya, seolah berharap anaknya akan membuka mata dan kembali tersenyum seperti sebelumnya. Waktu pun seakan berhenti di ruangan itu. Detik jam dinding terdengar begitu jelas, setiap dentingnya menambah cemas di hati ketiganya. Tampak bibir pucat itu bergerak perlahan, bergumam memanggil nama seseorang, meski suaranya hampir tak terdengar. Wanita yang tidur dengan kepala bersandar pada lengan itu terbangun, terkejut mendengar gerakan tersebut. "Mas!" seru Inaya, mengguncang pelan tubuh sang kakak. "Airah!" Bagas terus bergumam, memanggil nama yang sama berulang kali. Suara itu terdengar lemah, namun penuh dengan rasa rindu dan keresahan. Dalam mimpinya, Bagas melihat wanita yang ia rindukan itu tengah tersenyum, menatap ke arahnya dengan penuh kelembutan. Senyum itu, yang selalu berhasil membuat hatinya tenang, kini hadir kembali dalam bayangannya, seakan menjadi sumber kedamaian di tengah kekacauan yang ia alami. "Airah!" Bagas memanggil dengan suara lembut, kelopak matanya yang masih tertutup perlahan mengeluarkan air mata. Tetesan itu jatuh, menandakan betapa dalam kerinduan yang ia rasakan terhadap sosok yang selalu hadir dalam pikirannya. "Airah!" Lagi-lagi nama itu meluncur dari bibir Bagas, penuh harapan dan kerinduan. Namun, kelopak matanya masih saja tertutup rapat, seolah terperangkap dalam dunia mimpinya yang tak bisa ia tinggalkan. "Pak! Bu!" Panggil Naya, berulang kali, suaranya terdengar panik dan penuh kecemasan. Ia berusaha membangunkan orang tuanya dengan suara nyaringnya. Mendengar nama mereka dipanggil berulang kali, kedua orang tua tersebut sontak terbangun dari pembaringan mereka. Mereka tercekat, terkejut oleh suara yang penuh kecemasan itu, dan segera berlari menuju sumber suara. Kecemasan yang sebelumnya terhimpun dalam hati mereka kini semakin memuncak. "Bagas! Nak, ini Ibu," suara Nia terdengar lembut, namun penuh dengan kecemasan. Ia mengelus perlahan lengan atas Bagas, mencoba memberi kenyamanan meskipun anaknya masih terbaring tak sadarkan diri. Air matanya kembali menetes, membasahi pipinya dengan deras. "Bagas!" Panggil Senjaya. "Bagas bangun, Nak!" "Panggil dokter, Pak," titah Nia dengan suara tertekan, tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sang anak. Bayangan ketakutan yang mendalam menyelimuti hatinya, membuat setiap detik terasa begitu berat. Matanya yang berkaca-kaca terus terpaku pada Bagas, berharap keajaiban datang. "Airah!" Teriakan itu keluar dengan penuh kekuatan, dan mata tajam Bagas akhirnya terbuka lebar. Seketika, sang Ayah yang hendak menekan tombol untuk memanggil bantuan berhenti sejenak, terkejut mendengar suara anaknya.Mohon maaf novel ini sedang dalam proses revisi 🙏🙏
"Alhamdulillah," ucap Nia dengan suara penuh syukur, ia bergegas merengkuh Bagas ke dalam pelukan hangatnya. Dengan lembut, tangannya yang penuh kasih sayang mengelus punggung sang anak. "Bu!" Bagas membalas pelukan Nia. Pelukan hangat seorang ibu membawanya ke dalam kehangatan dan rasa aman, seolah semua masalah dan kelelahan yang ia rasakan sebelumnya menguap begitu saja. Meski Bagas tak bisa memungkiri, rasa sakit yang ia rasakan kini bukan lagi pada pergelangan tangannya, melainkan pada hatinya. Dada Bagas terasa sesak, seolah ada beban berat yang terus menindihnya, membuat setiap tarikan pasokan oksigen pun enggan masuk ke paru-parunya. Airah, nama wanita itu, terus menghantui pikirannya. Wajahnya, senyumnya, tawanya—semuanya masih begitu jelas terpatri dalam ingatannya, seperti bayangan yang tak bisa ia lepaskan. "Maafkan Bagas, Bu, " katanya dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia semakin erat memeluk tubuh sang ibu kala sakit itu lagi-lagi menyeran
Butiran hujan perlahan membasahi ibu kota, mengguyur semesta dengan gemuruh derasnya. Pohon-pohon basah, dedaunan yang bergoyang, bunga yang layu, tiang listrik yang berdiri kaku, hingga atap-atap gedung yang menjulang tinggi—semuanya berselimut dingin air hujan. Titik-titik bening itu terus berjatuhan, menghantam jendela kacanya, seolah mengetuk lembut, ingin menjadi saksi bisu kesedihan yang tak terucapkan. Menghela napas berat, tangan lentiknya terayun perlahan, menutup jendela kamarnya yang mulai dipenuhi embun. Suara dentingan kaca yang tertutup terdengar lembut, seolah menandai akhir dari pertarungannya dengan malam. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mokki beds yang bersisian dengan tempat tidurnya. Setiap pijakan kakinya terasa berat, seakan membawa beban hati yang tak terlihat. Di sana, ia berhenti sejenak, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya, sementara pikirannya terus berputar dalam pusaran rasa yang tak pernah mampu ia ungkapkan. Seulas senyuman tipis te
Seulas senyuman lembut terbit dari bibirnya, menyapa dunia dengan kehangatan, saat matanya tertumbuk pada dua sosok yang ia sayangi, tengah tertidur pulas dalam damai. Dengan langkah pelan, hampir tak terdengar, Airah beranjak menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dengan penuh khusyuk, lalu beranjak untuk melaksanakan salat malam. Dalam kesunyian malam yang mencekam, di antara desah nafas yang lirih, ia menemukan ketenangan yang telah lama ia cari, seperti oase di tengah gurun pasir. Denting jam yang tak pernah berhenti berdetak, terus berputar dalam keheningan, hingga cahaya fajar perlahan merayap keluar dari ufuk timur, menandakan bahwa malam yang panjang akhirnya berakhir, dan hari baru siap menyapa. Sayup-sayup, suara adzan terdengar mengalun merdu, menyentuh relung hati dari benda pipih milik Airah, seperti panggilan lembut yang tak bisa diabaikan. Adzan itu membangunkan sesosok wanita tua yang terlelap dalam tidur panjangnya. "Sudah salat, Ra?" Suara lembut itu menghantam keheni
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala
Aku hanya bisa mengenang kisah kita bersama, disaat aku sudah tak bisa lagi menggapaimu. Bagas Gunawan Basri *** Kelopak mata itu perlahan terbuka. Mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aroma obat-obatan langsung tercium oleh indera penciumannya. "IBU! Mas Bagas sudah sadar." Terdengar suara nyaring. "Bagas! Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak." Pria itu diam masih mencerna."Airah, mana Bu?" tanyanya. "Wanita itu tidak ada, Bagas. Dia bahkan tidak mempedulikan bagaimana keadaanmu. Jadi, ibu mohon berhentilah mencarinya, ya?" Bagas tak menjawab. Dia merasa bahwa Airah baru saja datang menjenguknya dan berceloteh berbagai hal seperti biasanya. "Bagas, apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit, Nak?" tanya Nia khawatir saat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata sang putra. "Bisa ibu panggilkan Airah untukku?" Rindu tampak jelas di kedua bola mata Bagas. Mata Nia berkaca
Kita berpijak pada bumi yang sama, menatap langit yang sama, juga pada perasaan rindu yang sama. Tapi, mengapa kita tak dapat bersama-sama? ~Rintihan hati dua insan yang dilanda rindu~ *** Airah menghentikan bacaan Alqurannya saat mendengar ketukan pada pintunya. "Unda, boleh Asya masuk." Ia menyunggingkan sebuah senyuman saat mendengar suara teduh tersebut. "Boleh sayang masuklah!" Hafsyah berlari ke pangkuan Airah saat pintu itu dibuka oleh Sintia. "Yasudah, ibu ke bawah, ya?" Airah tersenyum, mengangguk. "Kok, belum tidur sih, Nak?" tanyanya, mengelus lembut pucuk kepala sang anak. Hafsyah menggeleng." Nggak bisa tidul unda." Kening Airah mengerut." Kenapa tidak bisa tidur, hm?" "Abi biasanya bacain Asya dongeng sebelum tidul." "Jadi, anak bunda yang satu ini mau dibacain dongeng, ya?" Hafsyah mengangguk cepat—ia tersenyum. "Biasanya Abi bacain dongeng apa untuk Hafsyah?" Hafsyah mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ma
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. Ali bin Abi Thalib *** "Gue kira Lu nggak bakalan datang," seloroh Fikri. Bagas tersenyum tipis tak menanggapi ocehan sang sahabat. "Lu yakin mau main?" tanya Dani. Pria itu tahu betul kalau sahabatnya itu belum pulih total. Bagas mengangguk seraya melepas jaket denim jeans black-nya. Mereka bermain hampir dua jam lebih. Peluh telah membasahi keempat pria itu. Tapi tak ada satu pun yang berniat untuk berhenti bermain. "Oper ke gue. Oper ke gue." Aziz berteriak menyuruh Dani mengoper bola ke arahnya. Dani pun mengoper bola tersebut ke arahnya. "Yessss," teriak Aziz saat berhasil memasukkan bola itu ke ring basket. Keempat pria tersebut terkapar letih di atas lantai sambil berselonjoran. "Kira-kira sudah berapa lama kita nggak main bareng, ya?" tanya Fikri. "Sekitar dua tahun," jawab Aziz cepat
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan
Allah SWT berfirman dalam (Surah Asy-Syu’arah : 78-82) yang artinya : Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni keselahanku pada hari kiamat.” *** Perlahan mata sayu itu terbuka. Lamat-lamat ia mengerjap guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah plafon berwarna putih. Airah merasakan denyut sakit di kepalanya, di sebelah bagian tangan kanannya terdapat selang infus yang terpasang. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Anya dan seorang dokter laki-laki setengah baya menghampirinya. Anya berhambur memeluk tubuh sang sahabat. “Alhamdulillah, Ra, kamu sudah sadar.” Ia merenggangkan pelukannya. “Apa kamu masih merasa pusing?” Airah mengangguk. ”Iya sedikit pusing.” Mata bening Ai
"Allah melimpahkan setiap ujian-Nya padamu karena Allah percaya bahwa kamu bisa dan mampu dalam melewatinya. " ~Nur Airah Nih~ *** Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Janjian, hari ini Airah dan Anya akan bertemu di Kafe tempat biasa mereka nongkrong. "Assalamu'alaikum, maaf, ya, Ra, aku telat." Airah memutar bola mata malas. Kebiasaan." Wa'alaikumussalam, aku dah nunggu satu jam lebih, loh." Anya menggeser kursi dan duduk di depannya."Iya, maaf banget. Tadi tiba-tiba ada urusan penting di Rumah Kasih Cinta. Maaf, ya. Ra," sesalnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. "Rumah kasih cinta?" Anya mengangguk." Rumah khusus buat pengidap penyakit kanker," sahutnya seraya melambaikan tangan ke pramusaji. Lagu Kupu-kupu Cinta--Sigma pun mengalun merdu. Menemani makan sore mereka. "Hm, An." Anya mendongak melihat wanita di depannya sambil memasukkan mie goreng ke mulutnya. "Boleh aku ikut dengan
"Masa lalu tak hanya memberikan kenangan, namun juga mengenalkanmu akan makna kehidupan." Anonim. *** Waktu berputar seiring dengan roda jam yang berdetak, tak terasa sudah empat tahun sembilan bulan wanita itu meninggalkan bangku perkuliahan. Lulus dengan nilai cumlaude. Ternyata menjadi seorang sarjana itu tidaklah mudah, seperti dugaan sebagian orang. Ada banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus mereka hadapi. Salah satunya, mencari pekerjaan. Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi sarjana akan lebih mudah atau memiliki pegangan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik nantinya. Misalnya, menjadi pegawai pemerintahan, mungkin. Mindset tersebut harus mereka ubah. Menjadi sarjana adalah proses kemandirian diri. Bagaimana mereka dituntut untuk lebih kuat mental lagi dalam menghadapi persaingan dunia kerja. Wanita itu pernah bekerja di salah satu minimarket. Hingga cibiran itu pun berdatangan satu per satu. "Sarjana kok, cuma kerja di minimarket. Sayang, Mbak title
Aku tidak bisa menjadi layaknya Fatimah Az-zahra yang mencintaimu dalam dalam diam, tapi izinkan aku menjadi layaknya Siti Hawa yang rela menunggumu hingga ajal ini menjemput. Nur Airah Nih *** "Apa Lu nggak tahu kalau dia sudah tidak di Indonesia lagi?" Air mata tak dapat ia bendung lagi. Hatinya terlalu sakit seakan ada ribuan anak panah yang menembus jantungnya. Jika saja Dani tak memberitahunya, mungkin saja dia tidak akan pernah tahu kalau pria tersebut sudah pergi. Benar-benar pergi meninggalkannya. Airah meremas kuat dadanya, perih. Cintanya kini telah pergi meninggalkan perasaan yang masih utuh untuknya. Meninggalkan ribuan kenangan yang masih ia simpan rapat dengan sempurna dalam sanubarinya. Kini, dia hanya bisa meratapi kepergian pria itu dalam doa yang sering dirinya langitkan. Berharap agar pria itu baik-baik saja di sana. Bunyi ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan. Gegas, dia menyeka air
Benci bukan berarti aku tidak peduli. Bagas Gunawan Basri *** Rahang dan tangannya sama-sama ikut mengeras, menatap tajam pria yang dengan lancangnya menghina wanitanya. Wanitanya? Jika saja pria itu tidak sadar bahwa hubungan mereka sudah berakhir, mungkin saja pria bernama Tomi itu sudah babak belur di tangannya. "Dani!" Pria yang dipanggil namanya tersebut menghela napas berat. Dia paham betul masalah pelik antara sang sahabat dengan mantan kekasihnya itu, yang sialnya masih dicintai oleh sahabatnya. "Gue nggak ngerti deh sama kalian. Kalau kalian masih sama-sama suka, kenapa tidak balikan saja," ucap Fikri seraya menyeruput secangkir kopi. "Itu sama aja Lu nyuruh gue masuk kandang singa. Secinta apa pun gue sama dia. Gue enggak mau jadi perusak rumah tangga orang. Gue masih punya harga diri." Tegas Bagas. Aziz dan Fikri mengangguk paham. "Tapi gue masih nggak ngerti, kenapa Airah tega nyelingkuhin Lu." Ba
"Ketika kepercayaan dirusak, kata maaf sudah tak ada artinya lagi." Anonim *** Suara petir menggelegar diiringi suara gemuruh hujan yang turun membasahi bumi Pertiwi. Suara adzan subuh pun telah terdengar mengalun merdu seantero jagat raya membangunkannya dari tidur lelap. Airah menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Tepat saat matahari menyingsing, dia telah siap dengan balutan gamis grey polos yang senada dengan warna jilbab lebarnya. Melangkah turun, menuju meja makan. Di sana kedua orang tuanya telah duduk manis di kursi masing-masing. Selepas sarapan, dia gegas pamit kepada kedua orang tuanya. Menuju kampus. Setibanya di tempat tujuan, wanita itu mengernyit heran saat melihat para mahasiswa yang menatapnya sedemikian rupa. Apa ada yang salah? Airah menelisik penampilannya sendiri. Tidak ada. "Pantas sekarang berjilbab. Cuma kedok belaka." "Cih, sok su
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan