Elena duduk tegang di meja sudut sebuah kafe pinggir kota yang sepi, tatapannya tak berkedip saat dia menunggu kedatangan seseorang. Dia merapikan rambut cokelatnya yang terurai dengan cemas, matanya sesekali melirik ke pintu masuk, mencari tanda-tanda kedatangan orang yang ditunggunya.Beberapa begundal berpakaian hitam yang duduk di meja sebelahnya memperhatikan Elena dengan curiga. Mereka bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara dan menjadi penasaran dengan apa yang sedang terjadi."Elena, kau terlihat gugup sekali," kata salah satu begundal itu dengan suara berbisik, mencoba meredakan ketegangan.Elena menoleh padanya dengan ekspresi cemas. "Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," jawabnya dengan suara yang bergetar."Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu," kata begundal yang lain dengan nada yang menghibur. "Jangan khawatir, Elena. Kami akan siap menghadapi apa pun yang terjadi."Namun, kekhawatiran Elena tidak dapat dibendung. Di
Malam itu, kafe pinggir kota yang biasanya ramai dengan keramaian dan tawa-tawa, tiba-tiba menjadi saksi dari adegan yang gelap dan menegangkan.Lampu-lampu sorot berkedip-kedip, menyala dengan cahaya merah dan biru yang menciptakan atmosfer yang mencekam.Tiba-tiba, sekelompok petugas polisi bersenjata lengkap muncul di depan pintu kafe, menghentikan kegiatan biasa para pengunjung.Mereka berbaris dengan rapi, siap untuk bertindak sesuai perintah yang telah diterima.Tuan Sameer, Elena, Eric, dan kawan-kawan berandal mereka terdiam, terkejut melihat kedatangan petugas polisi. Ekspresi bingung dan tegang terpancar jelas di wajah mereka."Sekarang apa yang terjadi?" Eric menatap Elena dengan tatapan cemas.Elena menjawab dengan suara gemetar, "Aku tidak yakin. Ini pasti ada yang salah."Tuan Sameer, yang biasanya tegar dan percaya diri, sekarang tampak ragu. Ia memegang erat tongkatnya, siap untuk menghadapi situasi apapun.Petugas polisi, dipimpin oleh seorang inspektur yang serius, d
Sebuah pagi yang cerah menyambut kedatangan Sebastian, pengacara yang telah beberapa kali menemui Damian di balik jeruji penjara. Kali ini, tujuannya tidak hanya untuk menyapa, tetapi untuk membawa kabar yang mungkin akan mengubah nasib pria itu.Sebastian duduk di ruang tunggu penjara, menunggu petugas sipir membawa Damian ke ruang pertemuan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, pintu berat ruang pertemuan terbuka, dan Damian muncul di balik jeruji besi, wajahnya terlihat letih namun penuh harap."Dami!" Sebastian bangkit dari kursinya dengan senyum ramah. "Bagaimana kabarmu hari ini?"Damian mendekati meja, duduk di hadapan pengacaranya dengan ekspresi tegang. "Aku sudah siap untuk apa pun yang akan kau katakan, Sebastian. Apakah ada kabar baik?"Sebastian menyadari kegelisahan di wajah Damian, sehingga ia langsung masuk ke dalam pokok pembicaraan. "Damian, saya punya kabar bagus. Kami menemukan bukti baru yang mungkin akan membuktikan bahwa kamu tidak bersalah
Di tempat berbeda, di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk, Oliver dan Merry sibuk menyiapkan tempat tinggal baru mereka. Mereka telah memutuskan untuk pindah ke apartemen baru demi keamanan mereka, setelah insiden yang menimpa Dave, putra Merry, yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Meskipun Merry masih terluka oleh kehilangan yang mendalam, Oliver berusaha untuk menjadi sumber kekuatan dan dukungan baginya."Merry, aku tahu ini sulit bagimu," ucap Oliver dengan lembut, mencoba menenangkan Merry yang terlihat murung. "Tapi kita harus berusaha untuk melanjutkan hidup. Dave pasti ingin kita bahagia, meskipun dia sudah pergi."Merry menatap Oliver dengan mata yang masih dipenuhi dengan kesedihan. "Aku tahu, Oliver. Tapi rasanya begitu sulit untuk melepaskan semua kenangan tentang Dave."Oliver mendekati Merry dan memeluknya erat-erat. "Kita akan melewati ini bersama-sama, Merry. Aku janji akan selalu ada untukmu, setiap langkah dalam perjalanan ini."Mereka berdua kemudian kembali
Setelah tiba di rumah sakit, Oliver segera dilarikan ke unit gawat darurat oleh tim medis yang siap sedia menangani kasusnya.Merry dan Damian menunggu dengan cemas di ruang tunggu, hati mereka berdegup kencang menunggu kabar tentang kondisi Oliver.Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius.Merry dan Damian segera mendekatinya dengan tatapan penuh kekhawatiran."Dokter, bagaimana kondisi suamiku?" tanya Merry dengan suara gemetar, matanya mencari tahu kabar tentang Oliver.Dokter itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan lembut, "Maafkan saya, tapi kondisi suamimu sangat serius. Oliver mengalami cedera kepala yang cukup parah akibat kecelakaan tadi malam. Dia telah jatuh dalam keadaan koma."Merry terdiam, matanya memancarkan rasa ketakutan dan keputusasaan."Koma? Oh Tuhan...."Damian menatap dokter dengan pandangan kosong, tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Apakah... apakah dia akan baik-baik saja?"Dok
Damian duduk di kursi di samping tempat tidur Oliver, wajahnya penuh dengan ekspresi kesedihan yang mendalam.Sambil menggenggam erat tangan Oliver, dia memandang wajah adik tirinya yang terbaring koma."Maafkan aku, Oliver," gumamnya lirih, suaranya tergetar oleh rasa sesal yang mendalam.Tangisnya tidak tertahankan saat dia melanjutkan, "Aku menyesal... sungguh menyesal."Dia menatap wajah Oliver dengan tatapan penuh penyesalan."Sejak kecil, kita tidak pernah dekat, bahkan sering bertengkar," ucapnya, suaranya gemetar.Air matanya semakin deras saat dia melanjutkan, "Aku... aku tidak pernah mengerti betapa berharganya hubungan kita, Oliver."Sementara tangisannya semakin menyayat hati, Damian mencoba menjelaskan dengan penuh penyesalan."Aku egois, Oliver. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan melupakanmu. Padahal, kamu adalah adikku... adikku yang selalu ada untukku."Suasana ruangan dipenuhi oleh tangisannya yang hampir tercekat."Aku kehilangan begitu banyak waktu yang berharg
Damian duduk di tepi ranjang Oliver, memperhatikan Merry yang tertidur pulas di kursi sebelahnya. Dia tersenyum melihat wajah tenang Merry meskipun dalam situasi yang sulit seperti ini.Perlahan, Damian mendekati Merry dengan lembut, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Dia merasa terharu melihat kekuatan dan kesetiaan Merry yang tak pernah berhenti mendampingi Oliver."Tidurlah dengan tenang, sayang," bisik Damian sambil mengecup lembut dahi Merry.Merry merespon pelukan Damian dengan senyum lembut, meskipun dia masih tertidur.Damian kemudian menggendong Merry dengan hati-hati, mengangkatnya dari kursi dan membawanya ke sofa sudut ruangan. Dia menutupinya dengan selimut dengan penuh kelembutan, lalu duduk di sampingnya sambil memperhatikan mereka berdua.Sementara itu, Oliver secara tak sengaja terbangun dari tidurnya dan melihat adegan romantis di hadapannya. Hatinya terasa hancur saat menyaksikan Merry dan Damian bersama-sama dalam kebersamaan yang intim.Dia merasa seperti m
Setelah dua minggu berlalu, kondisi Oliver mulai membaik, meskipun ia masih harus bergantung pada kursi roda. Damian merasa bertanggung jawab untuk membantu saudaranya dan meminta izin kepada Merry untuk datang berkunjung.Damian menghampiri Merry dengan wajah penuh kerendahan hati. "Merry, apakah aku bisa datang dan membantu kalian berdua?"Merry menatap Damian dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Tapi aku merasa khawatir, Damian. Apa jika sesuatu terjadi padanya lagi?"Damian menggeleng dengan lembut. "Kita akan ada di sana untuknya, Merry. Bersama-sama, kita bisa mengatasi semua rintangan yang muncul."Namun, Merry masih ragu. "Aku tidak yakin, Damian. Aku tidak ingin mengambil risiko."Damian merasa putus asa. "Merry, kita harus bersatu untuk Oliver. Kita tidak bisa membiarkannya sendirian dalam perjuangannya ini."Mereka berdua terlibat dalam perdebatan panjang, masing-masing mencoba mempertahankan pandangannya. Namun, akhirnya, Damian mencoba menjelaskan lebih lanjut."Merr
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan