Damian duduk di kursi di samping tempat tidur Oliver, wajahnya penuh dengan ekspresi kesedihan yang mendalam.Sambil menggenggam erat tangan Oliver, dia memandang wajah adik tirinya yang terbaring koma."Maafkan aku, Oliver," gumamnya lirih, suaranya tergetar oleh rasa sesal yang mendalam.Tangisnya tidak tertahankan saat dia melanjutkan, "Aku menyesal... sungguh menyesal."Dia menatap wajah Oliver dengan tatapan penuh penyesalan."Sejak kecil, kita tidak pernah dekat, bahkan sering bertengkar," ucapnya, suaranya gemetar.Air matanya semakin deras saat dia melanjutkan, "Aku... aku tidak pernah mengerti betapa berharganya hubungan kita, Oliver."Sementara tangisannya semakin menyayat hati, Damian mencoba menjelaskan dengan penuh penyesalan."Aku egois, Oliver. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan melupakanmu. Padahal, kamu adalah adikku... adikku yang selalu ada untukku."Suasana ruangan dipenuhi oleh tangisannya yang hampir tercekat."Aku kehilangan begitu banyak waktu yang berharg
Damian duduk di tepi ranjang Oliver, memperhatikan Merry yang tertidur pulas di kursi sebelahnya. Dia tersenyum melihat wajah tenang Merry meskipun dalam situasi yang sulit seperti ini.Perlahan, Damian mendekati Merry dengan lembut, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Dia merasa terharu melihat kekuatan dan kesetiaan Merry yang tak pernah berhenti mendampingi Oliver."Tidurlah dengan tenang, sayang," bisik Damian sambil mengecup lembut dahi Merry.Merry merespon pelukan Damian dengan senyum lembut, meskipun dia masih tertidur.Damian kemudian menggendong Merry dengan hati-hati, mengangkatnya dari kursi dan membawanya ke sofa sudut ruangan. Dia menutupinya dengan selimut dengan penuh kelembutan, lalu duduk di sampingnya sambil memperhatikan mereka berdua.Sementara itu, Oliver secara tak sengaja terbangun dari tidurnya dan melihat adegan romantis di hadapannya. Hatinya terasa hancur saat menyaksikan Merry dan Damian bersama-sama dalam kebersamaan yang intim.Dia merasa seperti m
Setelah dua minggu berlalu, kondisi Oliver mulai membaik, meskipun ia masih harus bergantung pada kursi roda. Damian merasa bertanggung jawab untuk membantu saudaranya dan meminta izin kepada Merry untuk datang berkunjung.Damian menghampiri Merry dengan wajah penuh kerendahan hati. "Merry, apakah aku bisa datang dan membantu kalian berdua?"Merry menatap Damian dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Tapi aku merasa khawatir, Damian. Apa jika sesuatu terjadi padanya lagi?"Damian menggeleng dengan lembut. "Kita akan ada di sana untuknya, Merry. Bersama-sama, kita bisa mengatasi semua rintangan yang muncul."Namun, Merry masih ragu. "Aku tidak yakin, Damian. Aku tidak ingin mengambil risiko."Damian merasa putus asa. "Merry, kita harus bersatu untuk Oliver. Kita tidak bisa membiarkannya sendirian dalam perjuangannya ini."Mereka berdua terlibat dalam perdebatan panjang, masing-masing mencoba mempertahankan pandangannya. Namun, akhirnya, Damian mencoba menjelaskan lebih lanjut."Merr
Damian berdiri di depan jendela kaca yang menghadap ke ruang ICU, memandang dengan tatapan kosong. Di balik kaca itu, adiknya, Oliver, terbaring tak bergerak di ranjang rumah sakit, dipenuhi oleh berbagai alat medis yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar.Setiap detik terasa seperti berat baginya. Dia merasa begitu tak berdaya, begitu tidak mampu melindungi orang yang dicintainya.Pikirannya dipenuhi oleh rasa bersalah yang melilit hatinya."Maafkan aku, Oliver," gumamnya pelan, meskipun tahu bahwa kata-kata itu takkan pernah didengar oleh adiknya yang terlelap dalam keadaan koma.Damian terus menatap Oliver dengan mata penuh kekhawatiran dan penyesalan. Dia merasa seperti telah gagal dalam menjaga dan melindungi adiknya. Rasanya, dia tak tahu lagi harus berbuat apa.Merry datang menghampiri Damian, melihatnya berdiri di sana dengan ekspresi yang begitu terpuruk. "Damian, apa yang terjadi pada Oliver? Mengapa dia jatuh?" tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.Damian menoleh
Perjuangan Damian dan Merry untuk menjaga Oliver dan melindungi Merry sangat mengharukan. Meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit dan penuh tekanan, mereka tetap bersatu dan saling mendukung satu sama lain. Langkah Damian untuk mengambil tindakan hukum terhadap Eric menunjukkan tekadnya untuk membawa keadilan bagi saudaranya dan Merry."Oliver... Oh, Tuhan, kau bangun!" Merry terkejut."Ya, Merry. Aku... aku mencoba.""Kenapa, Oliver? Kenapa kau melakukan hal bodoh itu? Kau hampir membuat kami kehilanganmu.""Maafkan aku, Merry. Aku... aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.""Tapi kenapa, Oliver? Kenapa kau melakukan ini?""Ketika kecelakaan itu terjadi, semuanya berubah. Aku... aku merasa tidak berguna, Merry. Tidak berguna untuk siapapun.""Oh, Oliver... Kamu begitu penting bagi kami semua. Kamu adalah adik yang luar biasa bagi Damian, suami yang baik bagi saya....""...Tapi aku tidak pantas menjadi itu semua, Merry. Aku... aku merasa seperti beban bagi kalian semua.""Tidak,
Damian dan Merry duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan wajah cemas. Oliver terbaring lemas di ranjang pasien, napasnya yang terengah-engah menjadi satu-satunya suara di ruangan yang sunyi itu. Tiba-tiba, Oliver mendadak menjerit kesakitan, tubuhnya terkejang-kejang di ranjang.Damian langsung bangkit, matanya memancarkan kepanikan saat ia memanggil dokter dengan suara lantang."Dokter! Tolong, cepat!" Damian berteriak panik sambil memanggil bantuan.Beberapa perawat dan dokter segera berdatangan, mengerumuni Oliver yang tergeletak dengan wajah pucat di ranjang. Salah seorang dokter segera memeriksa keadaannya, sementara yang lain mengambil alat untuk melakukan pemeriksaan darurat."Dia menderita kejang! Segera bawa dia ke ruang gawat darurat!" perintah dokter dengan suara tegas.Para perawat dengan sigap membantu mengangkat Oliver dari ranjang dan membawanya menuju ruang gawat darurat. Damian dan Merry mengikutinya dengan langkah tergesa-gesa, hati mereka berdebar-debar tak men
Di ruang duka yang sunyi, Oliver dipindahkan dengan hati-hati dari ambulans ke sebuah peti mati kayu yang polos. Damian, yang masih terguncang oleh kematian tiba-tiba adiknya, berdiri di samping peti itu dengan tatapan kosong. Merry, yang masih penuh dengan kesedihan, duduk di kursi sebelahnya, menangis dengan histeris. "Dia seharusnya tidak mati, Damian," desah Merry di antara isakannya. "Ini tidak adil."Damian merangkul Merry erat, mencoba menenangkan kecemasannya sendiri sambil juga menghibur Merry. "Aku tahu, Merry. Tapi sekarang kita harus berusaha menerima kenyataan ini dan memberi Oliver perpisahan yang layak."Mata Damian tiba-tiba melirik peti mati di depannya dengan ekspresi yang menunjukkan rasa ketidakpuasan. Tanpa berkata apa pun, ia mulai mendekati peti itu, tangannya sudah meraih gagangnya.Sebelum ia bisa membuka peti mati, dokter dan perawat yang bertugas segera menyergapnya, menghalanginya dengan keras."Mohon maaf, Tuan Damian, tapi kami tidak dapat mengizink
Setelah Damian memberikan kabar yang mengejutkan, Merry merasa dunianya hancur.Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Bagaimungkin bisa ada kesalahan dalam identifikasi mayat? Tapi saat Damian menegaskan bahwa itu bukanlah Oliver, Merry merasa pusing oleh gelombang kebingungannya."Damian, kamu pasti salah," ucap Merry dengan suara gemetar. "Bagaimungkin ini bukan Oliver? Mungkin ada kesalahan."Damian menggelengkan kepala dengan keras. "Aku yakin, Merry. Aku melihatnya sendiri. Kita harus menghentikan prosesi pemakaman ini sebelum terlambat."Merry terdiam sejenak, matanya memancarkan kecemasan yang mendalam. Namun, di balik kecemasan itu, ada ketegasan dalam hatinya. "Aku tahu ini sulit dipercaya, Dami, tapi kita tidak bisa membuat keputusan gegabah. Oliver akan memiliki pemakaman yang layak, bahkan jika ini memang bukan dia di dalam peti mati itu."Damian merasa putus asa. Dia tidak bisa memahami bagaimana Merry bisa tetap begitu tenang dalam menghadapi situasi yang m
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan