Perempuan itu kembali duduk di pinggir ranjang. Netranya memandang sekelilingnya. Kamar yang indah. Hiasan ala kamar pengantin dengan bau harum bunga memenuhi seluruh ruangan.
Dengan susah payah, perempuan itu berusaha menggerakkan tubuhnya. Tangannya meraih sebuah gamis rumahan berwarna merah hati, lalu mengenakannya. Dia pun mengambil selembar jilbab untuk menutupi kepalanya.
Di saat bersamaan, suaminya memasuki kamar sekembalinya dari kamar mandi. Laki-laki itu terlihat lebih segar. Sisa-sisa air yang memercik saat dia mengibaskan rambutnya menimbulkan sensasi tersendiri.
Sebelum memulai langkahnya meninggalkan kamar tidur mereka, Naila masih sempat menatap wajah sang suami yang nampak berbinar. Tampak jelas aura kebahagiaan tersirat di sana. Tatapan yang hangat saat mereka bersitatap.
Perempuan muda itu akhirnya menutup pintu kamar dan melangkah keluar dengan langkah t
"Sekarang sih sudah tidak perjaka lagi sejak tadi malam." Laki-laki mengecup pipi Naila sekilas. "Jadi nggak adil dong. Abang nggak dapat perawannya Ade," ucap Naila malu-malu "Ade tidak boleh ngomong seperti itu. Bagi Abang, Ade itu tetaplah perawan selamanya." "Kita jangan mengikuti pendapat orang lain tentang sebuah virginitas. Keperawanan yang sesungguhnya ketika seorang wanita itu tidak tersentuh oleh laki-laki lain selain suaminya. Kalau yang menjadi ukuran hanya selaput dara, itu tidaklah adil, karena selaput dara itu bisa saja robek meskipun seorang wanita tidak berhubungan intim dengan laki-laki. Ada banyak hal yang menyebabkan robeknya selaput dara seperti kecelakaan tertentu, bukan sekedar lantaran berhubungan intim dengan laki-laki." "Kalaupun Adek pernah berhubungan intim dengan suami Ade yang terdahulu dan menghasilkan Nayra, itu kan wajar. Sudah seh
"Abang sudah pulang?" Perempuan itu merengkuh dan mencium tangannya dengan takzim."Adek kok ada disini, sejak kapan? Bukannya kemarin Adek ada di rumah ayah dan mama?" Ammad melepas sepatunya kemudian meneruskan langkahnya masuk ke dalam rumah."Adek sengaja menunggu kedatangan Abang," ucapnya tersenyum. "Kan tadi malam Abang yang kasih kabar kalau pesawat lagi transit di Jakarta?" Ammad menepuk jidatnya."Alhamdulillah, terima kasih ya." Ammad mendudukkan tubuhnya di sofa. Rosita menyusul duduk di hadapan laki-laki itu. Sejenak keduanya diam dan terpaku pada pemikirannya masing-masing. Rosita mengangkat wajahnya menatap sang suami yang terlihat begitu kusut."Abang masih kepikiran Naila?" tebaknya.Laki-laki itu mengangguk. "Maaf, De. Iya, Naila sudah menikah dengan Khairul, salah seorang teman Abang satu tim sewaktu masih proyek di Banjarbaru
"Wa alaikum salam." Ammad melambaikan tangannya ke hadapan kamera. "Apa kabar, anak ayah?""Nayra baru pulang sekolah, Ayah. Ayah di mana?""Ayah sudah sampai di rumah, Nak." Laki-laki itu mengamati penampilan putri angkatnya yang masih mengenakan jilbab putih. Benar, gadis kecil itu memang terlihat baru pulang sekolah."Bagaimana tadi di sekolahnya?" Senang?""Senang, Ayah, tapi ....""Tapi apa, Nak?" potong Ammad tak sabar."Lusa Nayra harus pindah sekolah," keluhnya. "Padahal teman-teman di sini baik-baik sama Nayra, jadi sedih harus meninggalkan mereka.""Nayra akan ikut papa dan mama pindah ke Pekanbaru, jadi Nayra harus pindah sekolah." Ammad berusaha memberi pengertian."Nayra tahu tapi Nayra tetap sedih. "Kenapa sih kami harus pindah? Dulu kan papa pernah kerj
Nayra melirik boneka kecil berbentuk beruang yang pernah dibelikan Ammad sekitar 2 tahun yang lalu. Itu pertama kali dia mendapatkan hadiah dari laki-laki dewasa yang entah kenapa dia merasakan sesuatu yang berbeda dari sekian banyak orang dewasa yang dekat dengan ibunya.Nayra masih ingat ketika dia jatuh sakit, Ammadlah yang lebih dulu datang menemuinya. Ammad yang mengurusnya semalaman, mengompresnya, memberi minum obat, menyuapinya makan, bahkan tidur di dekatnya. Ammad yang menggendongnya ke kamar mandi saat paginya mereka mau berwudhu untuk melaksanakan shalat subuh.Ammad lah yang melakukan semua itu, bukan Khairul yang sekarang sudah menjadi suami ibunya. Apakah dia salah jika kemudian menginginkan Ammad lah yang menjadi ayah sambungnya?"Nayra!" Suara sang ibunda membuyarkan lamunan NayraPerempuan itu tengah berdiri di muka pintu kamar. Dia tertegun men
Setelah melewati perjalanan panjang dan melelahkan dari Banjarbaru, transit di Jakarta sampai akhirnya ke Pekanbaru, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Perempuan muda itu termangu, begitupun juga dengan putri kecilnya, menatap sebuah rumah besar dengan halaman luas. "Ini rumah Abang?" tanya Naila. "Rumah ini adalah rumah orang tua Abang. Nanti saja kita ke rumah kita. Hari ini ada sedikit acara untuk menyambut kedatangan kita di rumah Mama," jelasnya. Naila melirik putrinya yang masih saja berdiri di sampingnya. Terlihat jelas gurat kecemasan di wajah mungil itu. "Jangan takut, Nak. Ada Papa dan Mama di sini," hibur Khairul menepuk pundak gadis mungil itu. "Yuk, mari kita masuk. Keluarga Papa sudah berkumpul di rumah." Ketiganya melangkah beriringan masuk ke halaman dan berakhir di muka teras. Khairul maju beberapa langkah dan akhirnya sampai di dep
Keduanya tampak saling bersitatap, berusaha menyelami kedalaman isi pikiran masing-masing. Naila mendesah dalam hati. Entah kenapa ia merasa takut bercampur cemas. Dia tidak pernah melihat suaminya seserius ini sebelumnya, selain saat meminangnya beberapa waktu yang lalu. "Apa yang ingin Abang sampaikan kepada Ade?" Perempuan berwajah manis itu mengecup punggung tangan suaminya sekilas "Ade tadi sudah berkenalan dengan Bang Doni, kan?" Darahnya tersirap. Perempuan itu menundukkan wajah, tak berani menatap sang suami. "Jangan takut, Ade. Abang hanya bertanya, Ade tadi sudah kenalan dengan Bang Doni? "Iya, Bang. Ada apa?" tanya Naila. "Abang harap Ade tidak usah terlalu dekat dengan Bang Doni." Laki-laki itu menghela napas. "Abang tidak mau kalau Bang Doni sampai mengganggu Ade." "Memangnya kenapa, Bang? Ada apa dengan Bang
Perempuan itu merendahkan tubuh, balas memeluk putrinya. Dia membiarkan basah di dadanya. Nayra menangis. Gadis kecil itu terisak dengan suaranya yang lirih. Naila mengangkat tubuh mungil itu lalu mendudukkannya di sisi pembaringan."Sekarang cerita sama Mama. Kenapa Nayra menangis?" Perempuan itu mengamati wajah putrinya yang sembab. Penampilan yang acak-acakan dengan jilbab yang tak terpasang dengan semestinya."Ada apa, Nak? Kenapa penampilanmu berantakan seperti ini?" selidik Naila."Bang Umar, Ma," isaknya. Nayra tak meneruskan kata-katanya. Gadis kecil itu memilih memegang tangan sang ibu. Tubuhnya bergetar hebat."Bang Umar?" Naila berusaha mengingat nama-nama anggota keluarga suaminya."Siapa dia, Bang?" Naila memandang sang suami yang masih berdiri di hadapannya."Apa yang dilakukan Umar kepadamu, Nak?" tanya Khairul lembut. Tanga
"Tentu saja boleh, Umar, tapi caranya itu yang Om tidak suka. Kalau memang kamu mau berteman dengan Nayra, kamu harus jaga sikap. Kalau mau berbicara, ya kamu jaga jarak." "Nggak asyik dong, Om. Masa kalau ngobrol harus jaga jarak? Kayak orang berantem saja!" "Umar lihat sendiri kok, Papa Umar kalau ketemu sama temen-temen ceweknya juga sering cium pipi kiri kanan. Makanya tadi Umar heran, pas Umar mau mencium pipi Naira, dia malah lari dan menangis." Laki-laki itu sontak menepuk jidatnya. "Aduh ... Bang Doni!" makinya dalam hati. Laki-laki itu mengepalkan tangannya. "Itu kan teman-temannya papa. Kalau anak perempuan om Khairul, jelas berbeda. Dia tidak seperti itu. Nayra tidak suka kalau ada anak laki-laki dekat dengannya, apalagi sampai berani cium pipi!" tegas Khairul. Secepatnya ia harus menemui abangnya untuk membicarakan masalah ini. Tingkah laku abangny
Berhadapan dengan situasi seperti ini, waktu terasa begitu lambat bagi Khairul. Detik demi detik sangat berharga baginya. Laki-laki itu terlihat tengah berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Pikirannya melayang mengingat sang istri di dalam sana yang tengah berjuang menjelang proses persalinan. Penantian ini terasa begitu mencekam. "Tidak apa-apa. Naila pasti kuat kok," tegur sang Mama melihat anak lelakinya tampak begitu gelisah. "Dia begitu kesakitan, Ma. Khairul tidak tega melihatnya." "Setiap wanita yang mau melahirkan memang begitu. Mana ada yang melahirkan tidak sakit, Rul?" Perempuan itu memberi isyarat putranya untuk mendekat. "Memangnya sakit sekali ya, Nek?" celutuk Nayra. Gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Dia sampai ke rumah sakit dan tidak sempat menemui sang ibunda, karena Naila sudah keburu
"Hadiah?" tanya Nayra. "Ini adalah hadiah untuk kalian." Naila mengambil kotak kecil berwarna merah dari dalam tasnya. "Sebuah kotak? ucap Khairul. "Ayo kita main tebak-tebakan, Nayra, apa isi kotak dari Mama?" "Paling-paling perhiasan. Biasanya gitu, kan?" Gadis kecil itu mengamati kotak berbentuk segi empat panjang di depannya. "Dulu Papa juga pernah memberikan Mama dan Nayra perhiasan kalung," ucap Nayra sembari meraba lehernya. Gadis itu sudah diizinkan oleh ibunya untuk memakai kalung pemberian Khairul tempo hari. "Daripada main tebak-tebakan, yuk dibuka saja!" Perempuan itu tersenyum penuh makna. Khairul mulai membukanya. Selapis kertas berwarna merah yang membungkus kotak itu kini telah robek oleh tangannya. "Tespek!" Tiba-tiba hatinya bergetar. Tangannya bergerak mengambil benda itu. "Garis dua, De?" Lak
Seminggu kemudian ...Matahari bersinar malu-malu kucing. Cahayanya menyapa rerumputan, menyapu embun yang membasahinya semalaman. Keceriaan dan kegembiraan menyambut hari minggu begitu terasa di hati mereka bertiga, Khairul, Naila dan Nayra.Mobil meluncur dengan tenang, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Khairul sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia ingin memberikan kesempatan kepada anak istrinya untuk menikmati keindahan kota kelahirannya.Baru kali ini dia bisa mengajak keduanya jalan-jalan. Setelah acara resepsi perkawinan dan resmi pindah ke rumah baru, dia langsung di sibukkan oleh pekerjaan. Pekerjaan yang sangat menyita waktu dan perhatiannya, setelah lebih dari sebulan dia tidak masuk kantor dan hanya memantau perusahaan dari orang-orangnya saja.Pertemuan, rapat, meeting dengan tim perusahaan serta klien penting menjadi agenda hari-harinya belakangan ini, bahkan di saat har
Malam ini terasa kurang bergairah. Meskipun Naila sudah berusaha untuk memasakkan makanan kesukaan Nayra, tetapi gadis kecil itu masih tampak murung dan tidak selera makan. Kondisi tidak menyenangkan yang sangat terasa bagi Khairul, mengingat dia belum tahu permasalahan yang sebenarnya. Laki-laki itu baru bisa pulang ke rumah menjelang magrib. Seharian ini dia mengunjungi beberapa tempat sekaligus untuk bertemu dengan klien penting. "Ada apa? Abang lihat rona wajah Nayra terlihat murung?" Keduanya baru saja bisa masuk ke kamar tidur, setelah sebelumnya harus menidurkan Nayra terlebih dahulu. Naila yang duduk di pinggir ranjang kemudian suaminya menyusul duduk di sampingnya. "Ada masalah baru lagi, Dek?" tanyanya. "Tidak apa-apa, Bang. Biasa, hanya urusan anak kecil." "Urusan anak kecil?" ulang laki-laki itu. Ade bertengkar dengan Nayra?"
"Putri ayah ngomongnya seperti itu?" Ammad meletakkan kembali tubuh mungil Fitri ke dalam box bayi kemudian segera meraih ponselnya, memposisikan lagi wajahnya menghadap ke kamera."Ayah nggak pernah membeda-bedakan di antara anak-anak ayah," bantahnya. Laki-laki itu serius menatap wajah Nayra melalui layar ponselnya."Ayah yang ngomongnya begitu! Kenapa Ayah bilang nggak janji? Nayra, kan kangen sama Ayah," keluh gadis cilik itu.Nayra mendudukkan tubuhnya di pembaringan, sementara ponselnya dia letakkan menyandar di guling karakter hello Kitty."Ayah pun kangen sama Nayra. Hanya saja bulan-bulan yang akan datang, Ayah sangat sibuk dengan perusahaan baru.""Kirain sibuk sama dede Fitri," gerutu Nayra.Ammad tercekat. Untuk sejenak dia terdiam. Hanya netranya menatap iba pada Nayra, gadis manja tak berayah yang sejak bertahun-tahun lalu lengket denganny
Bukan tanpa alasan Ammad memilih tempat tinggal di daerah pinggiran kota, bahkan cenderung lebih ke nuansa pedesaan. Bukan karena dia tidak memiliki uang lebih untuk membeli rumah di kota, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan suasana baru bagi Rosita dan anak-anak.Sebenarnya ayah mertuanya menawarkan sebuah rumah mewah untuk didiami oleh mereka, tapi dengan tegas dia menolak. Laki-laki itu sudah merasa cukup dengan sebuah perusahaan yang akan dikelola setelah mereka kembali menikah. Ammad tidak tidak mau ayah mertuanya terlalu banyak membantu, lagipula dia masih mampu membeli rumah tanpa bantuan siapapun, walaupun rumah itu tidak semewah rumah yang dimiliki oleh Khairul, rumah yang didedikasikan untuk Naila dan Nayra.Mengingat perempuan itu, membuatnya semakin sadar betapa skenario Allah itu begitu indah. Setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing. Istilah bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu itu tidaklah salah.
Bab 81"Abang akan membawamu ke suatu tempat," ujarnya ketika sang istri mengajaknya untuk pulang."Tenang aja, De. Di rumah kan ada abang-abangnya, nenek, kakek, bahkan kak Khadijah pun juga menginap di rumah. Apa yang mesti Ade takutkan? Lagipula Semua orang pasti paham kita tengah merayakan hari pernikahan kita atau barangkali malam pertama!" Laki-laki itu tertawa melihat wajah masam sang istri."Bang, kita ini sudah tua! Anak sudah banyak. Harus ingat waktu. Kalau anak muda yang nggak ada dipikirkan sih hayu aja. Semalaman juga Ade mau jalan sama Abang," ujar Rosita."Memangnya Ade nggak senang, malam ini Abang ajak makan malam berdua?""Bukannya nggak senang, Bang, cuma kepikiran Fitri aja," balas Rosita."Abang juga ingat waktu kok. Ini tidak akan lama. Kita akan pergi ke suatu tempat, karena Abang ingin menunjukkan sesuatu." Laki-laki itu mulai mempercepat la
Abang tidak menyesal, kan sudah menikah dengan Ade?" cicit Rosita..Pernikahan ini bahkan seperti keajaiban buatnya!"Tidak, De. Ini, kan sudah kita bicarakan sebelumnya, sejak jauh-jauh hari pula. Untuk apa Abang menyesal?""Ade takut Abang tidak bahagia menjalani pernikahan ini.""Abang bahagia, insya Allah. Melihat kalian bahagia, Abang pun turut bahagia," ujarnya.Laki-laki merendahkan suaranya. Dia ikut duduk di samping istrinya, mengelus punggungnya."Kok Abang ngomongnya seperti itu?" Rosita menatapnya dalam-dalam.Abang bahagia Rosita Abang bahagia percayalah senyumnya teramat manis"Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai ke titik ini. Inilah jalan hidup kita dan kita harus bahagia menjalaninya."❣️❣️❣️"Jangan lama-lama ya, Bang. Ade takut kalau Fitri haus." Wanita itu berkali-k
Betapa banyak hal yang sudah mereka lewati dan secara perlahan akan bertemu di persimpangan jalan. Bukan karena tidak saling cinta, tapi kehidupan akan terus berjalan meskipun kita berusaha untuk menahan. Waktu akan terus bergerak dan sedetik pun kita tak bisa untuk mencegah."Sekarang Abang ikhlas, Nai. Jalani hidup dan rumah tanggamu. Jangan sisakan luka dan biarkan cinta diantara kita hanya sebagai kenangan. Kenangan manis dan pahit sekaligus.""Tak perlu kita saling memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak ada kesalahan yang sempurna, pun tak ada kebenaran yang sempurna. Kebenaran sejati hanya milik Allah.""Kita hanya manusia biasa yang memiliki rasa dan keinginan. Seperti kamu yang sudah belajar untuk melupakanku dan mencintai suamimu, aku pun akan mencoba melakukan hal yang sama, melupakanmu dan mencintai istriku kembali, belajar melupakan kesalahan-kesalahan dan masa