Dekorasi ruangan ini begitu indah. Pelaminan berwarna krem dengan sentuhan bunga-bunga, perpaduan warna putih dan ungu yang ditebar di sana-sini. Terasa sekali sentuhan adat Melayu melalui ornamen dan hiasan di beberapa sudut ruang. Semua memberikan kesan megah, indah dan berkelas.
Semua bagaikan mimpi buat Naila. Menikah dan mengadakan resepsi yang begitu mewah. Bahkan untuk bermimpi pun rasanya dia kurang pantas. Dia cuma seorang janda miskin beranak satu yang tak memiliki kelebihan apa-apa.
Ini kali pertama dia menghadiri pesta semewah ini, bahkan dialah yang menjadi pengantin, pusat perhatian semua orang! Sungguh tak bisa di bayangkan betapa berbunga hatinya. Pernikahan pertama dengan Rasyid dulu dilaksanakan secara sederhana, hanya akad biasa, tidak ada resepsi. Tak ada kemewahan apapun, mengingat suaminya juga berasal dari keluarga miskin seperti dirinya.
Saat memutuskan untuk mener
"Ayah!"Laki-laki itu setengah berlari menghampiri sang putri kecil yang juga setengah berlari menghampirinya. Dia tidak perduli dengan gaun cantiknya. Gaun yang panjangnya menyentuh lantai itu seperti tumpukan kain yang di seret-seret lantaran sepasang kakinya yang terus bergerak.Mereka bertemu tepat di tengah-tengah aula, di iringi dengan pandangan ratusan pasang mata.Ammad mencondongkan badan berusaha mensejajarkan diri. Tangannya bergerak menepuk pundak Nayra."Nayra cantik sekali hari ini," pujinya."Terima kasih, Ayah. Ini berkat tante Dila," celoteh Nayra."Tante Dila? Siapa dia?""Tante Dila yang tadi mendandani Nayra," ujarnya polos."Oh ...." Laki-laki itu segera mengerti.Ammad meraih tubuh gadis mungil itu, mendudukkan ke dalam gendongannya. Sikapnya di iringi oleh sepasang mata tajam dari sesesok tubuh
"Mama bicara apa sih? Kok sampai ngomong begitu. Memangnya Khairul sejahat itu, sehingga Mama menuduh Khairul merebut kekasih orang lain?" sentaknya. Wajahnya mendadak bersilih rona memerah. "Mama bukan menuduh, Khairul, tetapi naluri seorang ibu mengatakan bahwa istrimu itu memiliki hubungan yang dekat dengan laki-laki yang siang tadi hadir di pesta pernikahan kalian," bantah ibunya. Perempuan itu masih teringat jelas interaksi antara menantunya dengan laki-laki yang di panggil oleh cucu sambungnya dengan sebutan ayah itu. "Bang Ammad memang dekat dengan Naila, tapi mereka cuma teman," ralat Khairul. "Kebetulan dia memang pandai mengambil hati anak kecil, makanya mereka akrab." "Mereka saling mencintai, Nak." Perkataan ibunya menambah nyeri di hati laki-laki itu. laki-laki muda itu mendoakan wajah memandang ibunya. Sorot matanya terlihat sayu.
Ammad berusaha untuk tetap fokus mengendarai mobilnya. Dia tahu, tubuhnya sangat lelah. Bukan cuma sekedar tubuhnya, tapi juga hatinya menyaksikan seorang wanita yang dicintainya bersanding menjadi ratu dalam sehari bersama dengan sahabatnya sendiri.Bukan perkara mudah untuk melupakan Naila bahkan sampai saat ini hati dan cintanya masih tetap untuk Naila sama seperti dulu tahun yang lalu saat ia baru pertama kali mengenal wanita itu dan menawarkan pernikahan siri kepadanya.Ya Tuhan .... Betapa ia menyesali kebodohannya sendiri yang telah menawarkan pernikahan siri kepada Naila, sementara dia sudah memiliki komitmen untuk tidak membiarkan wanita yang dia cintai di raih dengan cara yang tidak terhormat!Duh betapa malu rasanya!Cukuplah itu sebagai pelajaran buatnya agar tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang.Laki-laki itu melirik ke samping kirinya. Tampak putra
"Nak, pertanyaan macam apa itu?" Ammad terperangah. Matanya melotot tak percaya dengan pertanyaan sang anak yang begitu menusuk tajam ke ulu hati. "Yasir hanya tanya, Pa. Hanya ingin tahu sejauh apa hubungan Papa dengan tante Naila," balasnya. "Papa hanya berteman, Nak. Memang dekat, tapi sejauh itu tidak ada hubungan apapun yang spesial dengan tante Naila. Hanya saja putrinya si Nayra itu memang akrab dengan Papa." Ammad berusaha membantah. "Benarkah?" Yasir tersenyum miring. "Papa terlihat patah hati kemarin. Berkali-kali Yasir memergoki Papa menatap tante Naila dengan pandangan sendu!" Wah, ternyata mata putranya begitu awas melihat tingkah lakunya kemarin. "Papa tidak memiliki hubungan apapun dengan tante Naila, kecuali hanya sekedar berteman dan menganggap Nayra seperti anak sendiri," ulangnya menjelaskan.
Pelukan itu terasa begitu hangat bagi Yasir, seorang remaja berumur 16 tahun yang tentunya bukanlah seorang anak kecil. Namun, pelukan sang ibunda adalah hal yang begitu dirindukan, terlebih lagi mereka sudah berbulan-bulan tidak bertemu sejak Rosita hamil, tinggal di apartemen kemudian melahirkan dan akhirnya pindah kembali ke rumah keluarganya. Yasir tidak tahu apa yang mesti diucapkan, apalagi dilakukan, setelah bertemu kembali dengan ibunya. Perasaannya bercampur menjadi satu, laksana kecamuk badai yang serasa ingin dia lepaskan secepat mungkin. Tak berapa lama, Yasir melepaskan pelukannya. Langkah-langkah tegaknya segera menuju kamar tidur ibunya, tempat di mana adik kecilnya berada. Selama ini Yasir hanya menerima kiriman foto dari ayahnya. Dia tak pernah melihat adik kecilnya secara langsung, seorang adik perempuan yang kelahirannya tak pernah dikehendaki oleh semua orang, termasuk juga Yasir sendiri.
Mendengar kata-kata zina, membuat Rosita naik darah. Giginya gemeretak. Tubuh yang gemetar seketika membuatnya kembali terduduk di pinggir ranjang. "Terus maunya Abang apa? Kalau Abang masih merasa berat dan tiada rela untuk menyematkan binti Muhammad Yahya Siregar di belakang nama Fitri, Ade juga nggak maksa. Toh pada kenyataannya, dia memang bukan anak abang kan?" Suaranya lirih menahan pedih hati yang tiada terhingga. Tubuhnya seakan lemas tanpa tanpa tenaga. Kata-kata Ammad mengiris hati, menyayat-nyayat hingga tak tersisa bentuk. "Sejak awal Ade tidak pernah memaksa Abang untuk mengakui anak ini. Abang tidak perlu repot-repot bertanggungjawab atas sesuatu hal yang tidak pernah Abang lakukan. Ade juga bahkan memberikan kesempatan kepada Abang untuk menjemput Naila, menikahi Naila sebelum akhirnya sahabat Abang yang menikahinya!" "Ade hanya ingin agar Abang melakukan sesuatu hal tanpa paksaan, melakukan apapun yang membuat
Ammad tersentak kaget, meski sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai dirinya. Laki-laki itu menggelengkan kepala."Tidak usah, Ayah, biarkan Ammad membangun usaha sendiri saja.""Membangun usaha gimana?" tanya mertuanya. "Selama ini yang ayah tahu, kamu selalu ikut perusahaan orang. Sudah saatnya kamu mengelola usaha sendiri!""Tidak, Yah. Ammad tidak enak kalau harus menerima kebaikan Ayah.""Bukannya seperti itu, Nak. Ayah hanya tidak ingin rumah tangga kalian mengalami hal yang serupa di kemudian hari.""Apa maksud Ayah?" tanya Ammad."Bukan Ayah mengecilkan dirimu, tapi Ayah rasa Rosita harus mendapatkan haknya. Rosita berhak atas satu perusahaan dan yang mengelola itu kamu. Biarkan Rosita nanti mengurus anak-anak saja dan kamu yang kerja. Kamu harus mendidik Rosita agar dia bisa mengelola keuangan rumah tangga dengan baik.""Amm
Khairul menyingkirkan kain penutup mata itu dari wajah istrinya. Perlahan Naila membuka mata."Subhanallah!" teriak wanita itu. Dia seperti tak percaya dengan pemandangan di hadapannya.Sebuah rumah besar bergaya minimalis terpampang di hadapannya. Rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas, tetapi kira-kira cukup untuk menampung tiga buah mobil. Halamannya dihiasi dengan bunga-bunga serta pepohonan kecil. Sungguh pemandangan yang sangat asri. Seumur hidup dia belum pernah melihat rumah sebagus ini."Surprise ...! Selamat datang di rumah baru kita." Khairul mengecup kening wanita itu dengan penuh cinta di hadapan putri sambungnya."Besar sekali rumah ini, Bang. Ya ampun ... rasanya seperti mimpi saja.""Apakah memang benar rumah ini untuk kita tinggali bersama? Ini rumah Abang, kan?" Berondongan pertanyaan meluncur dari mulut Naila. Wanita itu benar-benar diliputi oleh kegem