"Ayah!"
Laki-laki itu setengah berlari menghampiri sang putri kecil yang juga setengah berlari menghampirinya. Dia tidak perduli dengan gaun cantiknya. Gaun yang panjangnya menyentuh lantai itu seperti tumpukan kain yang di seret-seret lantaran sepasang kakinya yang terus bergerak.
Mereka bertemu tepat di tengah-tengah aula, di iringi dengan pandangan ratusan pasang mata.
Ammad mencondongkan badan berusaha mensejajarkan diri. Tangannya bergerak menepuk pundak Nayra.
"Nayra cantik sekali hari ini," pujinya.
"Terima kasih, Ayah. Ini berkat tante Dila," celoteh Nayra.
"Tante Dila? Siapa dia?"
"Tante Dila yang tadi mendandani Nayra," ujarnya polos.
"Oh ...." Laki-laki itu segera mengerti.
Ammad meraih tubuh gadis mungil itu, mendudukkan ke dalam gendongannya. Sikapnya di iringi oleh sepasang mata tajam dari sesesok tubuh
"Mama bicara apa sih? Kok sampai ngomong begitu. Memangnya Khairul sejahat itu, sehingga Mama menuduh Khairul merebut kekasih orang lain?" sentaknya. Wajahnya mendadak bersilih rona memerah. "Mama bukan menuduh, Khairul, tetapi naluri seorang ibu mengatakan bahwa istrimu itu memiliki hubungan yang dekat dengan laki-laki yang siang tadi hadir di pesta pernikahan kalian," bantah ibunya. Perempuan itu masih teringat jelas interaksi antara menantunya dengan laki-laki yang di panggil oleh cucu sambungnya dengan sebutan ayah itu. "Bang Ammad memang dekat dengan Naila, tapi mereka cuma teman," ralat Khairul. "Kebetulan dia memang pandai mengambil hati anak kecil, makanya mereka akrab." "Mereka saling mencintai, Nak." Perkataan ibunya menambah nyeri di hati laki-laki itu. laki-laki muda itu mendoakan wajah memandang ibunya. Sorot matanya terlihat sayu.
Ammad berusaha untuk tetap fokus mengendarai mobilnya. Dia tahu, tubuhnya sangat lelah. Bukan cuma sekedar tubuhnya, tapi juga hatinya menyaksikan seorang wanita yang dicintainya bersanding menjadi ratu dalam sehari bersama dengan sahabatnya sendiri.Bukan perkara mudah untuk melupakan Naila bahkan sampai saat ini hati dan cintanya masih tetap untuk Naila sama seperti dulu tahun yang lalu saat ia baru pertama kali mengenal wanita itu dan menawarkan pernikahan siri kepadanya.Ya Tuhan .... Betapa ia menyesali kebodohannya sendiri yang telah menawarkan pernikahan siri kepada Naila, sementara dia sudah memiliki komitmen untuk tidak membiarkan wanita yang dia cintai di raih dengan cara yang tidak terhormat!Duh betapa malu rasanya!Cukuplah itu sebagai pelajaran buatnya agar tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang.Laki-laki itu melirik ke samping kirinya. Tampak putra
"Nak, pertanyaan macam apa itu?" Ammad terperangah. Matanya melotot tak percaya dengan pertanyaan sang anak yang begitu menusuk tajam ke ulu hati. "Yasir hanya tanya, Pa. Hanya ingin tahu sejauh apa hubungan Papa dengan tante Naila," balasnya. "Papa hanya berteman, Nak. Memang dekat, tapi sejauh itu tidak ada hubungan apapun yang spesial dengan tante Naila. Hanya saja putrinya si Nayra itu memang akrab dengan Papa." Ammad berusaha membantah. "Benarkah?" Yasir tersenyum miring. "Papa terlihat patah hati kemarin. Berkali-kali Yasir memergoki Papa menatap tante Naila dengan pandangan sendu!" Wah, ternyata mata putranya begitu awas melihat tingkah lakunya kemarin. "Papa tidak memiliki hubungan apapun dengan tante Naila, kecuali hanya sekedar berteman dan menganggap Nayra seperti anak sendiri," ulangnya menjelaskan.
Pelukan itu terasa begitu hangat bagi Yasir, seorang remaja berumur 16 tahun yang tentunya bukanlah seorang anak kecil. Namun, pelukan sang ibunda adalah hal yang begitu dirindukan, terlebih lagi mereka sudah berbulan-bulan tidak bertemu sejak Rosita hamil, tinggal di apartemen kemudian melahirkan dan akhirnya pindah kembali ke rumah keluarganya. Yasir tidak tahu apa yang mesti diucapkan, apalagi dilakukan, setelah bertemu kembali dengan ibunya. Perasaannya bercampur menjadi satu, laksana kecamuk badai yang serasa ingin dia lepaskan secepat mungkin. Tak berapa lama, Yasir melepaskan pelukannya. Langkah-langkah tegaknya segera menuju kamar tidur ibunya, tempat di mana adik kecilnya berada. Selama ini Yasir hanya menerima kiriman foto dari ayahnya. Dia tak pernah melihat adik kecilnya secara langsung, seorang adik perempuan yang kelahirannya tak pernah dikehendaki oleh semua orang, termasuk juga Yasir sendiri.
Mendengar kata-kata zina, membuat Rosita naik darah. Giginya gemeretak. Tubuh yang gemetar seketika membuatnya kembali terduduk di pinggir ranjang. "Terus maunya Abang apa? Kalau Abang masih merasa berat dan tiada rela untuk menyematkan binti Muhammad Yahya Siregar di belakang nama Fitri, Ade juga nggak maksa. Toh pada kenyataannya, dia memang bukan anak abang kan?" Suaranya lirih menahan pedih hati yang tiada terhingga. Tubuhnya seakan lemas tanpa tanpa tenaga. Kata-kata Ammad mengiris hati, menyayat-nyayat hingga tak tersisa bentuk. "Sejak awal Ade tidak pernah memaksa Abang untuk mengakui anak ini. Abang tidak perlu repot-repot bertanggungjawab atas sesuatu hal yang tidak pernah Abang lakukan. Ade juga bahkan memberikan kesempatan kepada Abang untuk menjemput Naila, menikahi Naila sebelum akhirnya sahabat Abang yang menikahinya!" "Ade hanya ingin agar Abang melakukan sesuatu hal tanpa paksaan, melakukan apapun yang membuat
Ammad tersentak kaget, meski sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai dirinya. Laki-laki itu menggelengkan kepala."Tidak usah, Ayah, biarkan Ammad membangun usaha sendiri saja.""Membangun usaha gimana?" tanya mertuanya. "Selama ini yang ayah tahu, kamu selalu ikut perusahaan orang. Sudah saatnya kamu mengelola usaha sendiri!""Tidak, Yah. Ammad tidak enak kalau harus menerima kebaikan Ayah.""Bukannya seperti itu, Nak. Ayah hanya tidak ingin rumah tangga kalian mengalami hal yang serupa di kemudian hari.""Apa maksud Ayah?" tanya Ammad."Bukan Ayah mengecilkan dirimu, tapi Ayah rasa Rosita harus mendapatkan haknya. Rosita berhak atas satu perusahaan dan yang mengelola itu kamu. Biarkan Rosita nanti mengurus anak-anak saja dan kamu yang kerja. Kamu harus mendidik Rosita agar dia bisa mengelola keuangan rumah tangga dengan baik.""Amm
Khairul menyingkirkan kain penutup mata itu dari wajah istrinya. Perlahan Naila membuka mata."Subhanallah!" teriak wanita itu. Dia seperti tak percaya dengan pemandangan di hadapannya.Sebuah rumah besar bergaya minimalis terpampang di hadapannya. Rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas, tetapi kira-kira cukup untuk menampung tiga buah mobil. Halamannya dihiasi dengan bunga-bunga serta pepohonan kecil. Sungguh pemandangan yang sangat asri. Seumur hidup dia belum pernah melihat rumah sebagus ini."Surprise ...! Selamat datang di rumah baru kita." Khairul mengecup kening wanita itu dengan penuh cinta di hadapan putri sambungnya."Besar sekali rumah ini, Bang. Ya ampun ... rasanya seperti mimpi saja.""Apakah memang benar rumah ini untuk kita tinggali bersama? Ini rumah Abang, kan?" Berondongan pertanyaan meluncur dari mulut Naila. Wanita itu benar-benar diliputi oleh kegem
Khairul mulai mengecup kening itu, menciumi pipi, melumat bagian paling sensitif di wajah Naila. Wanita itu mendesah, saat benda kenyal nan basah itu mulai bergerilya di bibirnya, menerobos masuk dan mengajak lidahnya untuk menari.Sebuah tarian yang begitu indah mengawali hari-hari mereka di rumah ini, di kamar tidur mereka. Betapa Naila merasakan kebahagiaan dan membayangkan anak-anak yang berlarian kecil di rumah, meramaikan suasana rumah sebesar ini.Khairul masih terus mangeksplore wajahnya. Dia tak membiarkan seinci pun lewat dari jamahan bibirnya. Dia menyapu wajah Naila dengan begitu lembut, turun hingga ke leher, mengecup, memberikan gigitan-gigitan kecil hingga leher mulus itu terlihat berwarna kemerahan.Naila mengerang tatkala sang suami mulai membuka kancing-kancing bajunya, mengeluarkan aset pribadi miliknya dari tempatnya. Dia meraup dengan sedikit kasar, meremas dan menimbulkan sensasi aneh di tubuh.
Berhadapan dengan situasi seperti ini, waktu terasa begitu lambat bagi Khairul. Detik demi detik sangat berharga baginya. Laki-laki itu terlihat tengah berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Pikirannya melayang mengingat sang istri di dalam sana yang tengah berjuang menjelang proses persalinan. Penantian ini terasa begitu mencekam. "Tidak apa-apa. Naila pasti kuat kok," tegur sang Mama melihat anak lelakinya tampak begitu gelisah. "Dia begitu kesakitan, Ma. Khairul tidak tega melihatnya." "Setiap wanita yang mau melahirkan memang begitu. Mana ada yang melahirkan tidak sakit, Rul?" Perempuan itu memberi isyarat putranya untuk mendekat. "Memangnya sakit sekali ya, Nek?" celutuk Nayra. Gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Dia sampai ke rumah sakit dan tidak sempat menemui sang ibunda, karena Naila sudah keburu
"Hadiah?" tanya Nayra. "Ini adalah hadiah untuk kalian." Naila mengambil kotak kecil berwarna merah dari dalam tasnya. "Sebuah kotak? ucap Khairul. "Ayo kita main tebak-tebakan, Nayra, apa isi kotak dari Mama?" "Paling-paling perhiasan. Biasanya gitu, kan?" Gadis kecil itu mengamati kotak berbentuk segi empat panjang di depannya. "Dulu Papa juga pernah memberikan Mama dan Nayra perhiasan kalung," ucap Nayra sembari meraba lehernya. Gadis itu sudah diizinkan oleh ibunya untuk memakai kalung pemberian Khairul tempo hari. "Daripada main tebak-tebakan, yuk dibuka saja!" Perempuan itu tersenyum penuh makna. Khairul mulai membukanya. Selapis kertas berwarna merah yang membungkus kotak itu kini telah robek oleh tangannya. "Tespek!" Tiba-tiba hatinya bergetar. Tangannya bergerak mengambil benda itu. "Garis dua, De?" Lak
Seminggu kemudian ...Matahari bersinar malu-malu kucing. Cahayanya menyapa rerumputan, menyapu embun yang membasahinya semalaman. Keceriaan dan kegembiraan menyambut hari minggu begitu terasa di hati mereka bertiga, Khairul, Naila dan Nayra.Mobil meluncur dengan tenang, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Khairul sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia ingin memberikan kesempatan kepada anak istrinya untuk menikmati keindahan kota kelahirannya.Baru kali ini dia bisa mengajak keduanya jalan-jalan. Setelah acara resepsi perkawinan dan resmi pindah ke rumah baru, dia langsung di sibukkan oleh pekerjaan. Pekerjaan yang sangat menyita waktu dan perhatiannya, setelah lebih dari sebulan dia tidak masuk kantor dan hanya memantau perusahaan dari orang-orangnya saja.Pertemuan, rapat, meeting dengan tim perusahaan serta klien penting menjadi agenda hari-harinya belakangan ini, bahkan di saat har
Malam ini terasa kurang bergairah. Meskipun Naila sudah berusaha untuk memasakkan makanan kesukaan Nayra, tetapi gadis kecil itu masih tampak murung dan tidak selera makan. Kondisi tidak menyenangkan yang sangat terasa bagi Khairul, mengingat dia belum tahu permasalahan yang sebenarnya. Laki-laki itu baru bisa pulang ke rumah menjelang magrib. Seharian ini dia mengunjungi beberapa tempat sekaligus untuk bertemu dengan klien penting. "Ada apa? Abang lihat rona wajah Nayra terlihat murung?" Keduanya baru saja bisa masuk ke kamar tidur, setelah sebelumnya harus menidurkan Nayra terlebih dahulu. Naila yang duduk di pinggir ranjang kemudian suaminya menyusul duduk di sampingnya. "Ada masalah baru lagi, Dek?" tanyanya. "Tidak apa-apa, Bang. Biasa, hanya urusan anak kecil." "Urusan anak kecil?" ulang laki-laki itu. Ade bertengkar dengan Nayra?"
"Putri ayah ngomongnya seperti itu?" Ammad meletakkan kembali tubuh mungil Fitri ke dalam box bayi kemudian segera meraih ponselnya, memposisikan lagi wajahnya menghadap ke kamera."Ayah nggak pernah membeda-bedakan di antara anak-anak ayah," bantahnya. Laki-laki itu serius menatap wajah Nayra melalui layar ponselnya."Ayah yang ngomongnya begitu! Kenapa Ayah bilang nggak janji? Nayra, kan kangen sama Ayah," keluh gadis cilik itu.Nayra mendudukkan tubuhnya di pembaringan, sementara ponselnya dia letakkan menyandar di guling karakter hello Kitty."Ayah pun kangen sama Nayra. Hanya saja bulan-bulan yang akan datang, Ayah sangat sibuk dengan perusahaan baru.""Kirain sibuk sama dede Fitri," gerutu Nayra.Ammad tercekat. Untuk sejenak dia terdiam. Hanya netranya menatap iba pada Nayra, gadis manja tak berayah yang sejak bertahun-tahun lalu lengket denganny
Bukan tanpa alasan Ammad memilih tempat tinggal di daerah pinggiran kota, bahkan cenderung lebih ke nuansa pedesaan. Bukan karena dia tidak memiliki uang lebih untuk membeli rumah di kota, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan suasana baru bagi Rosita dan anak-anak.Sebenarnya ayah mertuanya menawarkan sebuah rumah mewah untuk didiami oleh mereka, tapi dengan tegas dia menolak. Laki-laki itu sudah merasa cukup dengan sebuah perusahaan yang akan dikelola setelah mereka kembali menikah. Ammad tidak tidak mau ayah mertuanya terlalu banyak membantu, lagipula dia masih mampu membeli rumah tanpa bantuan siapapun, walaupun rumah itu tidak semewah rumah yang dimiliki oleh Khairul, rumah yang didedikasikan untuk Naila dan Nayra.Mengingat perempuan itu, membuatnya semakin sadar betapa skenario Allah itu begitu indah. Setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing. Istilah bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu itu tidaklah salah.
Bab 81"Abang akan membawamu ke suatu tempat," ujarnya ketika sang istri mengajaknya untuk pulang."Tenang aja, De. Di rumah kan ada abang-abangnya, nenek, kakek, bahkan kak Khadijah pun juga menginap di rumah. Apa yang mesti Ade takutkan? Lagipula Semua orang pasti paham kita tengah merayakan hari pernikahan kita atau barangkali malam pertama!" Laki-laki itu tertawa melihat wajah masam sang istri."Bang, kita ini sudah tua! Anak sudah banyak. Harus ingat waktu. Kalau anak muda yang nggak ada dipikirkan sih hayu aja. Semalaman juga Ade mau jalan sama Abang," ujar Rosita."Memangnya Ade nggak senang, malam ini Abang ajak makan malam berdua?""Bukannya nggak senang, Bang, cuma kepikiran Fitri aja," balas Rosita."Abang juga ingat waktu kok. Ini tidak akan lama. Kita akan pergi ke suatu tempat, karena Abang ingin menunjukkan sesuatu." Laki-laki itu mulai mempercepat la
Abang tidak menyesal, kan sudah menikah dengan Ade?" cicit Rosita..Pernikahan ini bahkan seperti keajaiban buatnya!"Tidak, De. Ini, kan sudah kita bicarakan sebelumnya, sejak jauh-jauh hari pula. Untuk apa Abang menyesal?""Ade takut Abang tidak bahagia menjalani pernikahan ini.""Abang bahagia, insya Allah. Melihat kalian bahagia, Abang pun turut bahagia," ujarnya.Laki-laki merendahkan suaranya. Dia ikut duduk di samping istrinya, mengelus punggungnya."Kok Abang ngomongnya seperti itu?" Rosita menatapnya dalam-dalam.Abang bahagia Rosita Abang bahagia percayalah senyumnya teramat manis"Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai ke titik ini. Inilah jalan hidup kita dan kita harus bahagia menjalaninya."❣️❣️❣️"Jangan lama-lama ya, Bang. Ade takut kalau Fitri haus." Wanita itu berkali-k
Betapa banyak hal yang sudah mereka lewati dan secara perlahan akan bertemu di persimpangan jalan. Bukan karena tidak saling cinta, tapi kehidupan akan terus berjalan meskipun kita berusaha untuk menahan. Waktu akan terus bergerak dan sedetik pun kita tak bisa untuk mencegah."Sekarang Abang ikhlas, Nai. Jalani hidup dan rumah tanggamu. Jangan sisakan luka dan biarkan cinta diantara kita hanya sebagai kenangan. Kenangan manis dan pahit sekaligus.""Tak perlu kita saling memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak ada kesalahan yang sempurna, pun tak ada kebenaran yang sempurna. Kebenaran sejati hanya milik Allah.""Kita hanya manusia biasa yang memiliki rasa dan keinginan. Seperti kamu yang sudah belajar untuk melupakanku dan mencintai suamimu, aku pun akan mencoba melakukan hal yang sama, melupakanmu dan mencintai istriku kembali, belajar melupakan kesalahan-kesalahan dan masa