"Nak, pertanyaan macam apa itu?" Ammad terperangah. Matanya melotot tak percaya dengan pertanyaan sang anak yang begitu menusuk tajam ke ulu hati.
"Yasir hanya tanya, Pa. Hanya ingin tahu sejauh apa hubungan Papa dengan tante Naila," balasnya.
"Papa hanya berteman, Nak. Memang dekat, tapi sejauh itu tidak ada hubungan apapun yang spesial dengan tante Naila. Hanya saja putrinya si Nayra itu memang akrab dengan Papa." Ammad berusaha membantah.
"Benarkah?" Yasir tersenyum miring.
"Papa terlihat patah hati kemarin. Berkali-kali Yasir memergoki Papa menatap tante Naila dengan pandangan sendu!"
Wah, ternyata mata putranya begitu awas melihat tingkah lakunya kemarin.
"Papa tidak memiliki hubungan apapun dengan tante Naila, kecuali hanya sekedar berteman dan menganggap Nayra seperti anak sendiri," ulangnya menjelaskan.
Pelukan itu terasa begitu hangat bagi Yasir, seorang remaja berumur 16 tahun yang tentunya bukanlah seorang anak kecil. Namun, pelukan sang ibunda adalah hal yang begitu dirindukan, terlebih lagi mereka sudah berbulan-bulan tidak bertemu sejak Rosita hamil, tinggal di apartemen kemudian melahirkan dan akhirnya pindah kembali ke rumah keluarganya. Yasir tidak tahu apa yang mesti diucapkan, apalagi dilakukan, setelah bertemu kembali dengan ibunya. Perasaannya bercampur menjadi satu, laksana kecamuk badai yang serasa ingin dia lepaskan secepat mungkin. Tak berapa lama, Yasir melepaskan pelukannya. Langkah-langkah tegaknya segera menuju kamar tidur ibunya, tempat di mana adik kecilnya berada. Selama ini Yasir hanya menerima kiriman foto dari ayahnya. Dia tak pernah melihat adik kecilnya secara langsung, seorang adik perempuan yang kelahirannya tak pernah dikehendaki oleh semua orang, termasuk juga Yasir sendiri.
Mendengar kata-kata zina, membuat Rosita naik darah. Giginya gemeretak. Tubuh yang gemetar seketika membuatnya kembali terduduk di pinggir ranjang. "Terus maunya Abang apa? Kalau Abang masih merasa berat dan tiada rela untuk menyematkan binti Muhammad Yahya Siregar di belakang nama Fitri, Ade juga nggak maksa. Toh pada kenyataannya, dia memang bukan anak abang kan?" Suaranya lirih menahan pedih hati yang tiada terhingga. Tubuhnya seakan lemas tanpa tanpa tenaga. Kata-kata Ammad mengiris hati, menyayat-nyayat hingga tak tersisa bentuk. "Sejak awal Ade tidak pernah memaksa Abang untuk mengakui anak ini. Abang tidak perlu repot-repot bertanggungjawab atas sesuatu hal yang tidak pernah Abang lakukan. Ade juga bahkan memberikan kesempatan kepada Abang untuk menjemput Naila, menikahi Naila sebelum akhirnya sahabat Abang yang menikahinya!" "Ade hanya ingin agar Abang melakukan sesuatu hal tanpa paksaan, melakukan apapun yang membuat
Ammad tersentak kaget, meski sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai dirinya. Laki-laki itu menggelengkan kepala."Tidak usah, Ayah, biarkan Ammad membangun usaha sendiri saja.""Membangun usaha gimana?" tanya mertuanya. "Selama ini yang ayah tahu, kamu selalu ikut perusahaan orang. Sudah saatnya kamu mengelola usaha sendiri!""Tidak, Yah. Ammad tidak enak kalau harus menerima kebaikan Ayah.""Bukannya seperti itu, Nak. Ayah hanya tidak ingin rumah tangga kalian mengalami hal yang serupa di kemudian hari.""Apa maksud Ayah?" tanya Ammad."Bukan Ayah mengecilkan dirimu, tapi Ayah rasa Rosita harus mendapatkan haknya. Rosita berhak atas satu perusahaan dan yang mengelola itu kamu. Biarkan Rosita nanti mengurus anak-anak saja dan kamu yang kerja. Kamu harus mendidik Rosita agar dia bisa mengelola keuangan rumah tangga dengan baik.""Amm
Khairul menyingkirkan kain penutup mata itu dari wajah istrinya. Perlahan Naila membuka mata."Subhanallah!" teriak wanita itu. Dia seperti tak percaya dengan pemandangan di hadapannya.Sebuah rumah besar bergaya minimalis terpampang di hadapannya. Rumah dengan halaman yang tidak terlalu luas, tetapi kira-kira cukup untuk menampung tiga buah mobil. Halamannya dihiasi dengan bunga-bunga serta pepohonan kecil. Sungguh pemandangan yang sangat asri. Seumur hidup dia belum pernah melihat rumah sebagus ini."Surprise ...! Selamat datang di rumah baru kita." Khairul mengecup kening wanita itu dengan penuh cinta di hadapan putri sambungnya."Besar sekali rumah ini, Bang. Ya ampun ... rasanya seperti mimpi saja.""Apakah memang benar rumah ini untuk kita tinggali bersama? Ini rumah Abang, kan?" Berondongan pertanyaan meluncur dari mulut Naila. Wanita itu benar-benar diliputi oleh kegem
Khairul mulai mengecup kening itu, menciumi pipi, melumat bagian paling sensitif di wajah Naila. Wanita itu mendesah, saat benda kenyal nan basah itu mulai bergerilya di bibirnya, menerobos masuk dan mengajak lidahnya untuk menari.Sebuah tarian yang begitu indah mengawali hari-hari mereka di rumah ini, di kamar tidur mereka. Betapa Naila merasakan kebahagiaan dan membayangkan anak-anak yang berlarian kecil di rumah, meramaikan suasana rumah sebesar ini.Khairul masih terus mangeksplore wajahnya. Dia tak membiarkan seinci pun lewat dari jamahan bibirnya. Dia menyapu wajah Naila dengan begitu lembut, turun hingga ke leher, mengecup, memberikan gigitan-gigitan kecil hingga leher mulus itu terlihat berwarna kemerahan.Naila mengerang tatkala sang suami mulai membuka kancing-kancing bajunya, mengeluarkan aset pribadi miliknya dari tempatnya. Dia meraup dengan sedikit kasar, meremas dan menimbulkan sensasi aneh di tubuh.
Nayra mulai mengarahkan kamera ponsel ke beberapa sudut yang menarik di kamar itu. Gadis cilik itu mengarahkan kameranya ke tempat tidur, meja belajar, rak di dinding, boneka-boneka yang memang sengaja Khairul persiapkan untuk menyambut kehadiran putri sambungnya. Gadis kecil itu tertawa riang mengamati layar ponsel. Tampak sesosok laki-laki dewasa yang juga tengah tertawa. Mereka tertawa begitu bebas, nyaris tanpa batas, meskipun percakapan itu hanya menggunakan sebuah aplikasi. Terbatas saling mengamati layar ponsel masing-masing. Tetap saja interaksi di antara keduanya sangst intim. Rasanya sulit untuk terbantahkan, mereka memang begitu dekat. Ammad dan Nayra, mereka tak bisa terpisahkan, meski tak setetes pun darah atau secuil daging Ammad mengalir di tubuh Nayra. Bukankah untuk saling menyayangi tak mesti harus berasal dari darah dan daging yang sama? Keduanya seperti ingin membuktikan m
"Nayra beneran suka dengan kamarnya?" Khairul mengulangi pertanyaan yang sama ketika mereka baru selesai video call dengan Ammad. "Suka sekali, terima kasih, Papa!" "Sama-sama, Sayang," "Papa, dari mana tahu kalau Nayra suka hello Kitty?" tanyanya. Nayra kembali mengamati wallpaper kamarnya yang juga bertema hello Kitty. "Itu kata Mama, Sayang. Katanya kamu suka hello Kitty, di samping tokoh Upin dan Ipin." Khairul mencubit hidung gadis cilik itu. "Mama yang cerita begitu?"Gadis cilik itu menatap laki-laki dewasa yang memangkunya dengan mata berbinar. "Iya, Sayang. Makanya Papa bilang kepada desainer interior, kalau putri kecil papa menyukai kamar bertema hello Kitty." Nayra memutar tubuhnya, memeluk laki-laki dewasa itu. Matanya berkaca-kaca. Sungguh ia tak menyangka ayah sambungnya
Betapa banyak hal yang sudah mereka lewati dan secara perlahan akan bertemu di persimpangan jalan. Bukan karena tidak saling cinta, tapi kehidupan akan terus berjalan meskipun kita berusaha untuk menahan. Waktu akan terus bergerak dan sedetik pun kita tak bisa untuk mencegah."Sekarang Abang ikhlas, Nai. Jalani hidup dan rumah tanggamu. Jangan sisakan luka dan biarkan cinta diantara kita hanya sebagai kenangan. Kenangan manis dan pahit sekaligus.""Tak perlu kita saling memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak ada kesalahan yang sempurna, pun tak ada kebenaran yang sempurna. Kebenaran sejati hanya milik Allah.""Kita hanya manusia biasa yang memiliki rasa dan keinginan. Seperti kamu yang sudah belajar untuk melupakanku dan mencintai suamimu, aku pun akan mencoba melakukan hal yang sama, melupakanmu dan mencintai istriku kembali, belajar melupakan kesalahan-kesalahan dan masa