Orang pertama yang menerima undangan adalah Mino.Karena harus dikirim lewat ekspedisi, Mikha sudah lebih dulu mengirimkan undangannya ke Provinsi Kanto dua hari sebelumnya.Saat menerima telepon dari kurir, Mino sempat bingung. Istrinya belanja online lagi? Namun, kenapa nomor yang dicantumkan malah miliknya? Jangan-jangan dia beli Hermes dan pilih bayar di tempat?"Dasar wanita ini!"Di ruang tamu, Laudya yang sedang menghangatkan tubuh langsung melirik tajam. Apa-apaan sih?Mino buru-buru turun ke bawah untuk mengambil paket, lalu berlari naik lagi. Begitu melihat nama pengirimnya ....'Yuhu! Ini dari anak perempuanku!' Ekspresinya seketika berubah sumringah."Siapa yang kirim paket?" tanya Laudya sambil mengayunkan stik moksa. Seketika, aroma herbal memenuhi ruang tamu.Tanpa pikir panjang, Mino langsung membuka paketnya. "Dari Mikha.""Hmm?" Laudya langsung mendekat. "Anak kita kirim apa? Kok bentuknya amplop? Jangan-jangan tagihan kartu kredit?"Tangan Mino yang sedang membuka pa
Mino menyerahkan undangan itu kepada istrinya. "Nih, baca sendiri."Dengan rasa penasaran, Laudya menerima undangan itu. Setelah membaca isinya, dia terdiam sejenak. "Jadi ... dia benar-benar membangun laboratorium?""Makanya, anak kita ini kurang hebat apa dibanding anak laki-laki? Kamu masih nggak puas? Dengar ya, mulai sekarang jangan pernah bilang yang aneh-aneh di depan Mikha ... bahkan di belakang pun nggak boleh, ngerti?"Laudya hanya cemberut."Aku lagi bicara, dengar nggak?""Iya, iya! Anak perempuan kesayanganmu! Nggak boleh dikomentar sama siapa pun!"Setelah itu, Mino mengangguk puas. "Bagus kalau kamu ngerti."Sore harinya, mereka berdua berkemas, lalu berangkat ke bandara. Saat melewati pintu masuk desa ...."Eh, Pak Mino! Mau pergi mancing lagi?""Bukan mancing. Kali ini ke Kota Juanin.""Wah, jauh amat? Ngapain?""Mau lihat anakku.""Memangnya kenapa?""Dia lagi bikin gebrakan besar!""Hah?"....Di hari yang sama, pihak universitas dan fakultas juga menerima undangan.
"Duduk." Konan tetap bersikeras."Pak Konan, kamu nggak ngerti apa yang kubilang? Aku sibuk sekali, nggak punya waktu untuk ....""Kusuruh kamu duduk, kamu tuli? Apa aku harus menyipitkan mata waktu bicara sama kamu supaya kamu nyaman?""Kamu pikir kamu ini siapa? Dihargai sedikit, kamu malah bertingkah seolah-olah bisa menguasai segalanya? Jangan lupa siapa yang dulu bantu kamu naik ke posisi ini? Siapa yang setiap tahun bantu mencarikan sumber daya untukmu?""Kalau bukan karena itu, kamu pikir dengan pencapaian kecilmu yang nggak seberapa itu, kamu bisa merebut dana dari tangan Freya? Memang ada beberapa anjing yang kalau terlalu kenyang, berani menyalak sama tuannya!"Diana langsung terdiam karena dimaki habis-habisan."Ka ... kamu ... kenapa ...." Konan belum pernah semarah ini padanya sebelumnya."Aku bilang sekali lagi, du-duk!!"Diana tidak berani lagi bersikap angkuh. Dia langsung menarik kursi dan duduk dengan patuh. "Kenapa cari aku?" Nada bicaranya juga jadi lebih hati-hati.
Malam telah tiba, cahaya bulan bersinar jernih dan angin dingin bertiup kencang. Nadine berjalan menuju pintu laboratorium, lalu menoleh ke belakang sejenak ...."Dragcloud, matikan lampu."Sebuah suara mekanis tiba-tiba terdengar di udara. "Nadine, silakan lakukan verifikasi akses."Nadine mendongak."Verifikasi berhasil, mematikan lampu."Tiga detik setelah suara itu menghilang, seluruh laboratorium langsung gelap gulita. Nadine berbalik dan pergi. Pintu otomatis tertutup di belakangnya dan terkunci rapat.Laboratorium pintar ....Sungguh luar biasa!Nadine mengeluarkan ponselnya dan bersiap memesan mobil, tetapi tiba-tiba melihat sebuah Porsche yang terparkir di tepi jalan. Pintu mobil terbuka dan Stendy keluar dari dalamnya. Nadine terkejut. "Kamu belum pulang?"Tadi sore, Stendy sempat datang untuk menanyakan perkembangan peralatan laboratorium yang baru tiba. Padahal hal itu bisa dibicarakan lewat telepon, tetapi dia tetap datang langsung dengan alasan, "Sekalian lihat laboratori
Nadine membuka pintu dan bersiap turun dari mobil. Tiba-tiba, sebuah suara menghentikannya ...."Aku masih punya satu pertanyaan."Dia menoleh. "Apa?"Stendy melambaikan undangan di tangannya. "Reagan dapat juga?"Nadine membalas, "Bisa nggak kita nggak bahas dia?""Yah, sudah kuduga. Aku cuma mau memastikan. Lalu Pak Arnold?"Nadine mengangguk. "Tentu saja, dia harus dapat undangan.""Apa peran dia dalam pembangunan laboratorium?""Dia memang nggak terlibat langsung dalam pembangunannya, tapi selama ini dia bantu kami menemukan laboratorium sementara, sehingga proyek penelitian kami nggak tertunda."Stendy terdiam sejenak.Nadine menutup pintu mobil. "Kalau nggak ada hal lain, aku masuk dulu.""Oke, sampai besok."Stendy baru menyalakan mobilnya setelah melihat Nadine naik ke lantai atas dan lampu kamarnya menyala.....Setelah mandi dan mengenakan piama berbulu tebal, Nadine berjalan ke depan pintu kamar Arnold. "Pak Arnold? Kamu di rumah?"Tidak ada jawaban.Sebelumnya, dia sudah me
Setelah memastikan bahwa Arnold benar-benar sadar dan tidak mengalami kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri, Nadine akhirnya kembali ke rumahnya. Dia merasa tubuhnya panas dan berkeringat.Tanpa berpikir panjang, dia melepas jaket bulunya. Entah karena tadi terlalu dekat dengan Arnold atau karena bahan pakaian ini terlalu mudah menyerap aroma, sekarang ada sedikit bau alkohol yang menempel di jaketnya.Pipi Nadine memerah. Sambil mengipasi wajahnya dengan tangan, dia menggumam pelan, "Kenapa panas sekali ...."Di bawah bulan yang sama, di rumah Keluarga Lugiman.Tuan dan Nyonya tua Keluarga Lugiman sedang bersiap untuk beristirahat ketika tiba-tiba Darius berbicara, "Kakek, Nenek, tunggu sebentar.""Ada apa, Darius?" tanya Yinari sambil menoleh ke arahnya.Ekspresi Darius tampak serius. "Ini untuk Nenek. Besok harus datang, ya!"Darius tidak memberikan undangan itu pada kakeknya karena dengan posisi yang dipegang kakeknya saat ini, dia tidak bisa terlalu sering muncul di hadapan pub
Setiap hari, selain menemani suaminya menagih uang sewa, Laudya menghabiskan waktunya mendalami rahasia perawatan diri. Tidak heran jika dia tetap muda, cantik, dan modis!Ucapan Mikha tadi benar-benar mengenai titik kelemahannya."Ayo, Ayah, Ibu! Aku kenalkan teman-temanku. Mereka ini bukan cuma teman sekelas, tapi juga rekan seperjuangan di medan perang!"Sejak Mino muncul, Nadine sudah diam-diam mengamati pria itu. Bagaimanapun, Mino adalah sponsor terbesar laboratorium mereka. Bahkan bisa dibilang, setengah dari bangunan laboratorium ini berdiri berkat dananya.Nadine menyapa dengan sopan, "Selamat pagi, Paman dan Bibi."Darius ikut menambahkan dengan senyum ramah, "Selamat pagi, Paman! Bibi kelihatan awet muda sekali ...."Nadine meliriknya sekilas dengan sudut matanya. Komentar itu ... terlalu berlebihan."Eh! Senang ketemu kalian!" Mino langsung menyambut mereka dengan penuh semangat, lalu menggenggam tangan Nadine dan Darius. "Nadine! Darius! Haha .... Sering sekali anakku meny
Yang tampak di depan mereka adalah sebuah gedung setinggi lima lantai. Bangunannya terlihat sangat baru, seperti baru saja selesai dibangun. Namun, saat memandang sekeliling, yang ada hanyalah tanah kosong dan area konstruksi.Diana menyipitkan mata dan mendengus sinis. "Laboratorium macam apa yang dibangun di tempat seperti ini? Hah .... Nadine pintar banget milih lokasi untuk menipu orang."Konan yang sedari awal sudah merasa tenang, kini bahkan lebih santai dari sebelumnya. Benar saja, ini hanyalah proyek kecil yang tidak ada nilainya. Mereka pikir ini cukup untuk menarik perhatian pihak universitas?Hah, betapa naifnya!Diana melipat tangan. "Ayo pergi, nggak ada yang perlu dilihat di sini. Cuma buang-buang waktu, datang jauh-jauh cuma untuk hal sepele begini."Tepat ketika mereka berbalik dan bersiap untuk masuk ke mobil ...."Eh? Konan?" Dari kejauhan, seorang pria tua tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya.Konan langsung menajamkan pandangannya, lalu membelalak terkejut
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala