Mereka sudah beberapa kali bekerja sama sebelumnya, jadi semuanya berjalan lancar. Arnold bertugas mencuci sayuran dan membantu pekerjaan kecil lainnya sembari mengikuti instruksi Nadine dengan patuh.Sementara itu, Nadine fokus memotong bahan-bahan dan memasaknya.Tak butuh waktu lama, dua hidangan daging, dua sayuran, dan semangkuk sup sudah terhidang di meja makan. Mereka duduk berhadapan. Arnold mengambilkan sepiring nasi dan menyerahkannya kepada Nadine terlebih dahulu.Nadine menerimanya dengan senyum. "Terima kasih." Suasana kembali tenang dan normal, seolah-olah insiden canggung sebelumnya tidak pernah terjadi.Setelah selesai makan, Arnold masuk ke dapur untuk membantu membersihkan seperti biasanya. Nadine mengambil piring yang dia serahkan, mengelapnya hingga kering dengan handuk, lalu menyusun satu per satu.Keduanya bekerja sama dengan sinkron, rapi, dan tanpa kendala. Namun, saat mereka mengurus sampah ....Ketika Nadine dan Arnold membungkuk secara bersamaan untuk mengika
"Ya," jawab Arnold singkat.Nadine tersenyum kecil. "Jadi, malam ini masih jogging?"Arnold menjawab, "Masih. Mau ikut?""Tentu!"Mereka berdua kembali ke apartemen masing-masing untuk berganti pakaian olahraga. Setelah siap, mereka bertemu lagi di depan pintu, lalu turun bersama dan mulai jogging.Matahari sudah tenggelam dan langit mulai gelap. Malam perlahan menyelimuti, menggantikan sisa-sisa cahaya senja. Ketika mereka menyelesaikan putaran pertama, bulan mulai bersinar terang dan bintang-bintang kecil mulai bermunculan di langit.Namun, di putaran ketiga, Nadine mulai menyerah."Pak Arnold ... kamu lari saja, aku istirahat sebentar," ujarnya dengan napas terengah-engah.Arnold berhenti bersamanya. "Kamu baik-baik saja?"Nadine yang seluruh tubuhnya basah oleh keringat dan pipinya memerah, menjawab, "Bukan karena capek, sih, tapi ... rasanya panas sekali."Rambutnya sudah basah kuyup dan keringat mengalir di sepanjang wajahnya hingga menyerap ke dalam kaus olahraganya. Arnold berp
Arnold tersenyum tipis. "Belum.""Oh ... paham-paham! Lagi PDKT, ya?"Arnold tidak menanggapi. Beberapa pria itu menganggap keheningannya sebagai jawaban."Kalian sudah kenal berapa lama?"Arnold berpikir sejenak. "Lebih dari setahun.""Wah, lama juga! Sudah setahun lebih, tapi belum berhasil? Ini nggak benar, Kak. Tinggi, ganteng, tapi begini? Sayang banget!"Arnold hanya menghela napas pelan dan memilih untuk diam."Dengar nih, kukasih tips jitu. Hampir semua wanita nggak bakal tahan kalau pakai cara ini ...."Arnold tampak acuh. Namun, begitu pria itu mulai bicara serius, Arnold tanpa sadar mendengarkan dengan lebih saksama.Dalam perjalanan pulang, Nadine terus berbicara. Semangatnya masih tinggi setelah melihat permainan Arnold. "Pak Arnold, tadi waktu kamu slam dunk itu keren sekali! Gayamu waktu ...." Dia berbicara sambil menirukan gerakan Arnold, seolah-olah menghidupkan kembali momen di lapangan.Arnold berjalan di sampingnya, sesekali menanggapi dengan singkat. Namun, senyum
"Begitulah caranya! Kalau kamu bisa bikin dia merasa bahwa kamu itu pria yang bisa diandalkan, dia pasti akan merasa aman untuk membuka hatinya dan akhirnya jatuh ke pelukanmu!""Sudah paham, 'kan?"Arnold merasa masuk akal. Hanya saja, ada satu bagian yang tidak disetujuinya. Pura-pura tersandung dan menciumnya, lalu memeluknya dengan erat untuk memperdalam ciuman ....Pertama, itu terlalu berbahaya. Kedua, itu bukan tindakan seorang pria sejati. Itu bukan cinta. Sebaliknya, itu bentuk dari ketidakhormatan terhadap wanita.Namun, dirinya yang berada dalam mimpi, malah melakukan hal yang "tidak menghormati" wanita. Bahkan, dia bertanya tanpa sadar, "Nadine ... enak nggak?"Arnold terbangun karena kaget. Dia langsung terduduk di tempat tidur sambil memeluk kepalanya dengan frustrasi bagaikan seorang anak yang melakukan kesalahan.Entah berapa lama kemudian, suasana hatinya baru kembali tenang. Dia pun turun dari tempat tidur dan berjalan ke depan lemari untuk mengambil sebuah celana dal
Karena saat ini Nadine sudah naik kereta cepat menuju Kota Linong, Vera akan merayakan ulang tahunnya yang ke-80, jadi tiga bersaudara Keluarga Wicaksono memutuskan untuk mengadakan pesta besar untuknya. Tentu saja, Nadine sebagai generasi muda juga diminta untuk pulang.Tanggal acara sudah ditentukan jauh-jauh hari dan akan berlangsung selama tiga hari. Karena bukan di hari libur, jadi dia harus mengambil cuti.Freya masih berada di luar negeri untuk menghadiri konferensi akademik. Kali ini perjalanannya akan cukup lama. Karena perbedaan waktu, Nadine tidak meneleponnya, melainkan mengirim email izin cuti lebih awal.Untungnya, Freya mudah diajak bicara. Bukan hanya memberikan izin, tetapi juga meminta Nadine menyampaikan beberapa pesan ucapan selamat.Pukul 2 siang, kereta cepat tiba di stasiun. Irene datang menjemputnya dengan mobil."Di mana Ayah?" tanya Nadine langsung setelah naik mobil. Dia menoleh ke kiri dan kanan, tetapi tidak melihat ayahnya dan merasa agak aneh.Irene punya
"Aku sih nggak takut malu. Tapi, yang aku khawatirkan itu kalau para kerabat nanti nanya, kok tinggal di apartemen sebagus ini, tapi mesin cuci saja nggak punya? Aku nggak mungkin jawab nggak punya uang, 'kan? Orang tuaku sudah bantu beli rumah, nggak ada sisa lagi. Mertua juga nggak bantu apa-apa ....""Setelah mereka pergi pulang nanti, mereka pasti bakal kasih tahu semua orang. Aku sama Herman sih nggak masalah, soalnya setahun sekali juga jarang balik kampung. Tapi, aku takutnya malah Ibu yang malu.""Tapi kalau Ibu merasa nggak masalah, aku bakal menyambut kerabat-kerabat di rumahku dengan senang hati. Soalnya aku memang suka suasana ramai!"Chyntia tersenyum ramah sambil menyelesaikan ucapannya, menunggu Vera untuk memberikan keputusan. Namun, di dalam hati, dia sudah memaki habis-habisan.'Yang benar saja. Aku sendiri belum menikmati rumah baruku, masa iya aku izinin kerabat-kerabat dari desa tinggal di sana? Hanya orang bodoh yang bakal setuju!'Tatapan Vera agak berubah. "Kare
Chyntia tersenyum lebar dan melanjutkan, "Jeremy dan Irene tinggal di vila besar. Kerabat-kerabat dari kampung bisa tinggal di rumah mereka! Rumahnya luas, bertingkat, mewah, dan canggih. Bahkan kalau cuma tidur di lantai pun nggak bakal terasa nggak nyaman!""Jangankan belasan orang, puluhan orang juga bisa ditampung! Apalagi vila Red Pearl mereka dekat banget sama hotel tempat pesta diadakan. Tinggal jalan kaki saja, jadi nggak perlu repot-repot antar jemput!"Semakin Chyntia bicara, semakin dia merasa rencananya masuk akal. Dia mengangguk dengan yakin hingga lupa bahwa rumahnya sendiri juga berada di kompleks yang sama, bahkan sama-sama memenuhi kriteria itu.Jeremy akhirnya menemukan kesempatan untuk berbicara. Beberapa kali dia ingin menyela, tetapi selalu tidak kebagian giliran."Sebenarnya, aku juga berpikir begitu. Kalau rumah Kak Herman dan Kak Chyntia nggak bisa, aku sudah berdiskusi dengan Irene. Kami bisa menampung para kerabat di rumah kami."Lagian, cuma tiga hari. Vera s
Hanya si bungsu, Jeremy, yang sedikit kurang beruntung. Katanya lulusan universitas ternama, tetapi ujung-ujungnya jadi guru. Pofesi ini memang terdengar bagus, tetapi penghasilannya kecil!Wanita tua itu berkali-kali berpikir dalam hati, 'Ternyata anak Vera nggak semuanya hebat! Kukira semuanya sangat beruntung.'Namun, kenyataannya ... ternyata Jeremy juga bisa sukses! Vera benar-benar wanita yang sangat beruntung ....Semakin dipikirkan, wanita tua itu semakin merasa iri dan terus menyuruh cucunya makan lebih banyak. Sudah sampai di sini, tentu harus puas-puasin!Selain delapan orang dari keluarga wanita tua ini, ada satu keluarga lagi yang Jeremy panggil bibi. Mereka juga membawa seluruh anggota keluarga kemari.Saat wanita itu masuk ke rumah, reaksinya hampir sama seperti wanita tua itu. Sambil melihat-lihat, dia tak henti-hentinya terkagum. "Jeremy, kamu sudah sukses besar ya?""Sekarang jadi guru bisa dapat penghasilan sebesar ini?" Dia menurunkan suaranya, bertanya dengan nada
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala