Glek ….Mikha menelan ludah dan menoleh ke arah Nadine di sebelahnya, seolah baru pertama kali mengenalnya. "Na ... Nadine, di fakultas kita nggak ada orang lain yang namanya sama denganmu, 'kan?"Darius menyeringai sambil mencibir, "Kamu bodoh atau gimana?"Mikha melotot, "Kamu ngerti apa sih? Ini namanya spekulasi berani dan verifikasi hati-hati! Kan takutnya salah senang saja ...."Nadine yang masih agak bingung akhirnya kembali sadar dan tersenyum tipis, "Sepertinya ... nggak ada, ya?""Ahhhh ... jadi benar itu kamu, 'kan?! Benar ya?! Astaga! Temanku adalah seorang legenda! Rekan satu timku adalah dewa akademis! Nadine, aku bahkan mau menyerahkan hidupku di masa depan padamu, serius, huhu ...."Darius menghela napas, "Lihat kelakuanmu, payah banget."Mikha mendengus, "Kalau kamu merasa hebat, ya sudah jangan gabung di tim kami."Darius terdiam sejenak, lalu langsung mengabaikannya. Dia menoleh ke arah Nadine, "Kapan kamu kirim artikel ke Science?"Mikha langsung memasang telinga le
Begitu ucapan itu dilontarkan, suasana di seisi ruangan itu langsung berubah. Hanya Nadine yang masih tersenyum. Dia menatap langsung ke arah Nella. "Apa maksudmu dengan 'curang'?"Nella mengangkat bahu dengan santai. "Banyak hal. Misalnya, membayar untuk melancarkan hubungan, menggunakan koneksi untuk mendapatkan jalan pintas, atau mungkin juga meminta orang lain menulisnya. Itu juga bukan hal yang mustahil, 'kan?"Nadine khawatir suaranya tidak cukup keras. Mikha berlari ke barisan depan dengan sigap dan penuh semangat untuk mengambil mikrofon, lalu berlari kembali sambil tersenyum lebar saat menyerahkannya."Hajar, Nadine! Bikin mereka malu! Aku suka banget lihat yang begini!"Nadine menerima mikrofon itu dan mengetesnya.Bagus, cukup besar dan jelas."Nella, ya? Pertama-tama, kamu terlalu memandang tinggi diriku. Aku nggak punya uang, apalagi koneksi untuk melancarkan hubungan dengan tim editorial Science, dan membuat sekelompok peneliti senior yang tinggal di sisi lain dunia membe
Bukankah itu sama saja dengan menggunakan koneksi Freya?Di saat itu, Diana merasa seperti ditampar. Bukan tamparan langsung, melainkan seperti ada sesuatu mendarat dengan keras di pipinya. Wajahnya terasa panas menyengat.….Setelah rapat selesai, semua orang keluar dari aula dengan berbaris.Kaeso dan kelompoknya melarikan diri terbirit-birit dengan badan membungkuk dan berusaha tetap berada di pinggir jalan. Alasan utamanya adalah karena mereka merasa malu.Apalagi, ini bukan hanya di lingkungan kecil, tetapi di hadapan para pimpinan dan seluruh mahasiswa serta dosen fakultas."Nadine, tadi kamu benar-benar keren banget!" Mikha menatap Nadine dengan mata penuh kekaguman.Darius mengangkat dagunya tanpa sadar. "Sekarang siapa yang masih berani meremehkan kelompok kita?""Betul! Lain kali kalau ketemu Kaeso dan Nella, aku akan berjalan melewati mereka dengan kepala mendongak hahaha ...." Mikha bahkan merasa sangat puas hanya dengan membayangkannya.Perasaan seperti ini lebih menyenang
Musim panas tahun ini terasa jauh lebih menyengat dari biasanya.Dari Senin sampai Jumat, di ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan semuanya dilengkapi dengan pendingin udara. Akhir pekan juga tidak kalah nyaman. AC di rumah yang dingin ditambah semangka dingin, benar-benar kenikmatan yang luar biasa.Berbaring di ruangan yang sejuk sambil makan semangka dan membaca jurnal, rasanya hidup ini damai dan jiwa terasa tenteram.Kelly berseru, "Hari ini kan Sabtu, Nadine. Nggak ada kelas. Kamu yakin nggak mau keluar jalan-jalan?"Nadine yang asyik bersantai, menjawab tanpa mengangkat kepala, "Kelly, ampun deh. Dengan suhu seperti ini ... aku benar-benar nggak bisa keluar rumah."Kelly tampak frustrasi. "Kamu nggak mau jalan-jalan, beli baju yang cantik buat diri sendiri?"Nadine menjawab santai, "Aku bisa belanja online."Kelly mencoba lagi, "Skincare? Kamu harus coba di konter dulu kan, biar tahu cocok atau nggak?"Nadine tetap tenang, "Nggak perlu coba, aku selalu pakai merk yang sama
"Sayang sekali.""Nggak masalah." Kelly tersenyum tipis. "Ponsel rusak bisa diganti, kartu SIM hilang bisa diganti juga. Lagian nomor teleponku nggak berubah, jadi mereka tetap bisa menghubungiku."Lagi pula, sering kali mereka yang menghubungi duluan. Kelly jarang sekali repot-repot menelepon balik. Bagi Kelly, kalau dia mau, dia bisa mendapatkan pacar baru kapan saja. Yang lama? Tidak perlu dipikirkan.Teddy kaget.Kelly langsung merebut kembali ponsel rusaknya. "Kalau berani sentuh barangku lagi, lihat saja! Percaya nggak, aku bakal patahin tanganmu!" Setelah berkata demikian, dia langsung melangkah keluar ruang tamu dengan langkah lebar.Kelly sudah menyuruh orang untuk mengantarkan mobilnya, jadi dia tidak butuh diantar siapa pun dan bisa langsung pergi sendiri.Namun, Teddy masih mengejarnya. "Bukan gitu ... menurutku nomor teleponmu itu kurang hoki. Terlalu banyak angka 8. Gimana kalau kita ganti? Aku bisa dapatkan nomor cantik untukmu! Yang semuanya angka 6, gimana?""Angka 8 n
Kelly jelas tidak mendengar peringatan Nadine. Dia menggunakan ponsel barunya untuk memotret meja bar di rumahnya dengan asal. Fokus gambarnya diletakkan pada sebuah gelas anggur merah yang tergantung terbalik, sementara latar belakangnya dibuat buram total.Kemudian, dia menambahkan keterangan.[ Musim panas yang membosankan, siang yang malas. ]Setelah mempostingnya di media sosial, dia melempar ponselnya ke sofa, lalu berjalan dengan kaki telanjang menuju kamar tidurnya. "Yah, tidur siang dulu," gumamnya.AC di kamar membuat suasana begitu nyaman. Tidak heran Nadine tidak ingin keluar rumah. Dia sendiri juga tidak ingin.....Sementara itu, Teddy hari ini sudah membuat janji untuk mencoba indoor surfing.Instruktur yang dia pilih ini adalah yang terbaik dan paling sulit untuk dipesan. Awalnya, Teddy tidak berencana keluar rumah hari ini. Namun, memikirkan betapa sulitnya mendapatkan jadwal dengan instruktur itu, akhirnya dia memutuskan untuk datang.Harus diakui, instruktur ini mema
Teddy menatap Kelly dengan tajam. "Kamu cuma begini ke aku, atau ke semua orang juga begini?""Tentu nggak semua orang. Misalnya, ibuku atau Nadine. Setiap kali aku ganti kode pintu, aku selalu kirim pesan ke mereka untuk ngasih tahu kode baru. Bahkan kalau mereka datang ke rumah, aku nggak akan ganti lagi. Kenapa nanya begitu?""Kalau begitu, kenapa waktu aku tahu kode pintu, kamu langsung ganti?"Kelly memasang ekspresi "Kamu bercanda, 'kan? Memangnya kamu siapa bagiku? Kenapa aku nggak ganti? Kita segitu dekatnya?"Teddy terdiam sejenak sebelum bertanya lagi dengan suara rendah, "Kalau pria lain tahu kode pintu rumahmu ....""Ya jelas langsung aku ganti," potong Kelly dengan nada seolah-olah itu hal yang paling jelas di dunia.Teddy tidak tahu harus merasa senang atau kesal. Senangnya, Kelly ternyata tidak sebodoh itu. Meski hidup bebas dan sering bermain-main, dia tetap punya kewaspadaan terhadap pria. Dia tahu harus menjaga diri.Namun kesalnya, Teddy juga menyadari bahwa dirinya
"Eh, tunggu dulu ... kenapa jadi dibatalkan? Semuanya masih bisa dibicarakan!"Kelly tertawa dingin. "Maksudmu tadi jelas. Kalau aku nggak setuju, kerja sama selesai, 'kan?""Aku nggak suka dipaksa dan aku lebih benci lagi kalau ada orang yang suka ngubah-ubah aturan. Kita sudah sepakat soal kesepakatan awal, lalu tiba-tiba kamu mau ubah seenaknya. Apa ini cuma main-main buatmu?""Aku ini orang yang selektif, Teddy. Kalau partner kerja nggak bisa diandalkan, lebih baik kita putus hubungan sekarang daripada saling buang waktu. Setuju?"Teddy langsung duduk tegak. "Aku nggak bisa diandalkan? Apa maksudmu?!"Kelly menatapnya datar dan langsung bertanya, "Jadi, kita masih mau bikin 'kesepakatan baru' atau nggak?""Ng ... nggak jadi deh." Teddy langsung bersandar dengan lesu.Harga diri? Apa itu? Berapa harganya?"Huh! Bagus kalau begitu."Teddy bergumam pelan, "Aku sudah telanjur datang, tapi belum makan apa-apa ....""Apa? Kamu ini pria dewasa, kenapa ngomong berbelit-belit? Coba ngomong
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala