Calvin bertanya dengan nada serius, "Aku merasa belakangan ini suasana hatimu nggak terlalu baik. Ada apa sebenarnya?"Dengan ekspresi datar, Arnold menjawab, "Perasaanmu salah."Setelah itu, dia langsung berjalan menuju ruang istirahat. Dia membawa satu tas pakaian ganti dan menyimpannya di lemari.Ketika membuka pintu ruang dalam, pandangannya langsung tertuju pada tempat tidur lipat yang pernah digunakan Nadine masih terlipat rapi di sudut ruangan.Bayangan kejadian waktu itu muncul di benaknya. Saat dia masuk untuk mengganti pakaian dan tanpa sengaja melihat Nadine sedang tidur siang di sana, perasaan yang muncul begitu kuat. Detak jantungnya meningkat dan napasnya terasa sesak.Seperti dalam mimpi ....Arnold buru-buru menggelengkan kepala dan menarik dirinya kembali ke realitas. Perasaan jengkel dan malu menyergap dirinya secara bersamaan. Dia tidak suka dirinya yang seperti ini, terasa sulit untuk dihadapi.Dari luar, suara Calvin memecah lamunannya. "Arnold, aku pesan camilan m
Menyadari tatapan Darius, Stendy mengalihkan pandangannya ke arah pria itu dengan tenang dan memicingkan matanya. "Silakan duduk," ucapnya."Terima kasih," jawab Darius singkat.Mikha dan Darius duduk di sebelah Nadine.Stendy segera memanggil pelayan. "Tolong siapkan dua set piring dan sendok garpu tambahan, lalu tambahkan dua hidangan lagi dari dapur.""Baik, apakah ada permintaan khusus untuk hidangan tambahan?"Stendy menoleh ke arah Mikha dan Darius.Mikha berkata cepat, "Harus ada daging."Darius menambahkan, "Jangan ada seafood.""Baik, segera kami siapkan."Pelayan meninggalkan ruangan dan menutup pintu dengan rapat. Kini, di dalam ruangan hanya tersisa mereka berempat. Stendy tersenyum menatap Nadine. "Nggak mau perkenalkan teman-temanmu, Nad?"Nada bicaranya santai, tetapi panggilannya membuat Mikha mengerjap bingung. Sementara itu, Darius tampak terkejut, tetapi dia mencoba menyembunyikan ekspresinya.Wajah Nadine tetap tenang. "Ini teman-teman satu kelasku, Darius dan Mikha
Nadine berkata, "Kebiasaan itu bisa diubah."Stendy tersenyum tipis. "Untuk orang lain mungkin bisa. Tapi untukmu? Aku nggak ingin mengubahnya."Nadine terdiam.Setelah keluar dari restoran, Nadine, Mikha, dan Darius berjalan ke arah yang sama. Mikha mengeluarkan ponselnya, bersiap memesan taksi online.Namun, sebelum dia selesai, sebuah Mercedes hitam berhenti di depan mereka. Jendela mobil itu diturunkan dan memperlihatkan Stendy di kursi pengemudi. "Naiklah, biar aku antar kalian pulang."Mikha menoleh ke Nadine untuk meminta persetujuannya.Stendy tersenyum sambil berkata, "Di sini sulit dapat taksi. Kalau kalian nggak ikut aku, mungkin butuh dua jam lebih untuk sampai rumah."Darius tidak berkomentar, jelas dia sudah mengetahui hal itu. Mikha melirik layar ponselnya. Ternyata antrean mencapai 216 orang. Jika dihitung waktunya, dua jam bahkan masih termasuk optimis.Nadine akhirnya berkata, "Naiklah. Terima kasih, Pak Stendy, sudah repot-repot."Stendy tersenyum lebih lebar. "Nggak
Tinju Reagan memelesat dan menyambar tulang pipi Stendy. Ketika Reagan mengangkat tinjunya lagi dan bersiap-siap untuk melancarkan pukulan kedua, Stendy langsung mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Dengan satu gerakan, Reagan hampir terjatuh.Stendy segera mundur untuk menjaga jarak."Sial!" Dia menyentuh tulang pipinya yang terasa nyeri."Reagan, apa-apaan kamu?!""Aku memang ingin memukulmu!"Stendy mencemooh melihat Reagan yang menggertakkan gigi dengan ekspresi penuh amarah, lalu melirik arah dia datang. Dalam sekejap, dia mengerti alasan di balik kemarahan itu.Senyumnya semakin lebar dan penuh kesombongan. "Jadi, kamu melihat semuanya?"Reagan kembali mengangkat tinjunya dan matanya memerah penuh kemarahan."Apa? Kamu nggak bisa terima? Ke depannya, kejadian seperti ini akan terjadi berkali-kali, bahkan mungkin lebih intens dari ini. Apa rencanamu? Memukulku setiap kali kita bertemu?""Tapi, nggak ada gunanya. Memukulku nggak akan menghentikan apa yang terjadi, 'kan?"Napas R
Namun, ketika kedua pria itu menoleh .... Ternyata Nadine sama sekali tidak ada di sana.Teddy mengangkat bahu santai. "Kalau aku nggak bilang begitu, kalian nggak akan berhenti, 'kan?"Reagan dan Stendy terdiam."Hei, kita ini sudah dewasa. Bisa nggak kalian berhenti menyelesaikan masalah dengan cara kekanak-kanakan begini?"Stendy menjawab dengan datar, "Dia yang marah duluan, dia juga yang mulai memukul."Reagan langsung membalas dengan nada tinggi, "Itu karena dia pantas dipukul!""Sudahlah, kalian berdua tenang saja. Kalau benar Nadine sampai datang, kalian sama-sama nggak untung," ucap Philip sambil menghela napas.Wajah Stendy menjadi kaku, sementara Reagan tetap diam dan bibirnya terkatup rapat. Setelah berpikir sejenak, Philip berkata, "Ayo, kita ke rumah sakit saja dulu untuk ngurus luka kalian."Reagan langsung menolak. "Nggak usah." Dia melirik tajam ke arah Stendy. "Aku tetap pada pendirianku: kamu nggak akan pernah bisa mendapatkannya, jadi lebih baik menyerah saja."Sten
Arnold segera mengetik balasan. Namun setelah berpikir ulang, dia merasa kurang tepat jika hanya membalas lewat pesan. Dia akhirnya memutuskan, lebih baik langsung kembali ke rumah untuk bertemu Nadine. Hari ini hari Minggu, kemungkinan besar dia ada di rumah."Calvin, aku pergi dulu. Tiga set data lagi hampir selesai, tolong awasi sebentar."Setelah berkata demikian, Arnold langsung bersiap pergi."Tunggu, tunggu! Aku baru saja bilang aku juga mau pulang ke rumah hari ini! Hei ... kenapa kamu langsung pergi? Aku sudah setuju belum?""Kemarin aku suruh kamu pulang istirahat, kamu nggak mau, sekarang malah rebutan pulang sama aku? Arnold, kamu ini benar-benar bermasalah!"....Namun, ketika Arnold tiba di apartemennya dan mengetuk pintu rumah Nadine, tidak ada respons sama sekali."Nadine? Kamu di rumah?"Sepi. Tidak ada suara apa pun.Arnold menghela napas, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Dia duduk, mengambil ponsel, dan mengetik pesan.[ Maaf, beberapa hari ini aku di laboratorium,
Meskipun Mikha tidak mengenal Arnold atau mengetahui hubungannya dengan Nadine, itu sama sekali tidak menghalangi dorongannya untuk mengeluarkan semua keluhannya.Setelah makan siang, mereka kembali ke laboratorium. Mikha berdiri dengan tangan berkacak di pinggang sambil mengeluh, "Luas sih memang luas, tapi susah banget buat bersihinnya. Huaaa ...."Tiba-tiba ...."Permisi, ini laboratorium C116, bukan?"Dua petugas kebersihan muncul di depan pintu dengan membawa peralatan pembersih."Hah? Iya, ini C116. Ada yang bisa kami bantu?""Kalau begitu, benar. Mari kita mulai."Salah satu dari mereka langsung berseru, sementara yang lain mulai bergerak membersihkan ruangan dengan gesit. Mikha mengedipkan matanya bingung. "Tunggu ... apa kalian nggak salah tempat?""Nggak, kok. Ini memang C116. Bagian administrasi yang minta kami untuk membersihkan."Bagian administrasi? Mikha dan Nadine serentak menoleh ke arah Darius. Kamu yang panggil mereka?Darius segera menggeleng. "Aku? Mana mungkin. Ak
Stendy akhirnya menunjukkan sedikit senyuman. "Pak Konan memang nggak pernah mengecewakan. Itulah kenapa dari sekian banyak pimpinan dan direktur di fakultas ini, aku cuma mau bekerja sama dengan Anda.""Anda terlalu memuji, Pak Stendy. Aku jadi malu."Stendy berdiri dan bersiap-siap untuk pergi.Konan mengantar Stendy hingga ke pintu dengan sigap. Begitu pria itu benar-benar menghilang dari pandangannya, senyuman di wajah Konan langsung lenyap.Setelah kembali ke kantornya, Konan segera mengeluarkan ponsel dan menelepon bagian administrasi fakultas. "Tolong periksa pemakaian dua laboratorium tempat CPRT disimpan belakangan ini."Orang di ujung telepon terdengar bingung. "Salah satu CPRT digunakan oleh tim Bu Diana, sementara yang satunya baru-baru ini disetujui untuk tim Eden.""Eden? Bukankah dia bagian dari tim Diana juga?""Benar. Saya juga sempat heran, mereka sudah memakai satu alat, kenapa masih perlu alat kedua? Padahal, beberapa mahasiswa dari tim Bu Freya juga sempat mengajuk
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala