"Hah?" Mario agak kebingungan."Siapa yang antar? Kapan? Apa ada yang mengabariku?""Hari ini kebetulan aku lewat kampus, siang tadi kamu bilang USB itu mau diberikan ke Nadine. Jadi, aku sekalian antar saja.""Begitu ya .... Kenapa nggak bilang dulu? Aku sampai capek carinya ...."Akan merepotkan jika menjelaskan terlebih dahulu. Jadi, lebih baik bertindak dulu.Namun, Stendy hanya berkata, "Aku juga tiba-tiba kepikiran. Aku lupa kasih tahu tadi.""Ya sudah, yang penting barangnya sudah diserahkan.""Mm."Setelah mengakhiri panggilan, Stendy memegang setir dan menyenandungkan lagu dengan senang.....Di ruang kerja, Arnold sedang menganalisis data eksperimen. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Dia terus terbayang akan pemandangan yang dilihatnya dari balkon pada dua jam lalu ....Stendy dan Nadine berjalan berdampingan dari ujung gang. Pria itu berbicara sambil menunduk, sementara Nadine mendengarkannya. Nadine awalnya mengernyit, lalu memutar bola mata dan akhirnya berlari pergi.Ad
Keduanya menuju ke ruangan di dalam.Nadine berbicara langsung ke intinya. "Bu, aku rasa ada yang salah dengan arah penelitianmu."Sebelum Freya sempat merespons, Nadine memberikan sebuah berkas dan melanjutkan, "Pada akhir pekan kemarin, kami bertiga meninjau kembali kemajuan penelitian saat ini.""Selain itu, kami juga memeriksa latar belakang penelitian, metode eksperimen, data spesifik, dan kesimpulan dari dua periode sebelumnya. Akhirnya, kami menemukan ...."Nadine mendongak menatap Freya dengan serius. "Eksperimen periode ketiga yang nggak punya perkembangan mungkin bukan karena masalah dalam eksperimen itu sendiri, melainkan seluruh topik penelitian sudah menyimpang sejak awal."Masalah ini sebenarnya ditemukan oleh ketiga orang, tapi Mikha dan Darius tidak berani bersuara. Makanya, hanya Nadine yang harus menjadi penjahatnya.Melihat Freya terdiam, Nadine tidak berniat untuk berhenti di situ. "Aku tahu sifatmu. Kalau sudah memulai, kamu akan terus melakukannya sampai selesai."
Semua yang sudah terjadi tidak dapat diubah lagi."Tapi, syukurlah, masih ada orang yang menyadari masalah ini."Apa mungkin orang lain benar-benar tidak menyadarinya? Nadine tidak percaya.Namun, karena sudah terlanjur, mereka tidak bisa mengubah arah hanya dengan kekuatan satu orang. Jadi, satu-satunya pilihan adalah melanjutkan kesalahan yang ada dan menempuh sampai akhir.Bagaimanapun, bagi sebagian besar mahasiswa pascasarjana, penelitian bukanlah tujuan utama, melainkan mendapatkan gelar untuk meningkatkan peluang mereka dalam mencari pekerjaan di masa depan. Dengan demikian, mereka akan lebih untung dan lebih unggul.Jadi, bagi mereka, tesis bukanlah pencapaian akademis, melainkan sebuah syarat kelulusan.Jika Freya tiba-tiba mengumumkan bahwa seluruh penelitian harus dibatalkan, hal ini tidak masalah bagi mahasiswa yang sudah lulus sebelumnya, tetapi bagaimana dengan para mahasiswa yang akan segera lulus?Mereka sudah mempersiapkan tesis mereka berdasarkan topik penelitian ini.
"Kita ajukan permohonan untuk laboratorium sendiri."Mikha dan Darius sama-sama tercengang mendengarnya. Sehebat itu?"Bu Freya nggak ... keberatan?""Kamu terlalu meremehkan jiwa besar sang profesor." Nadine tertawa ringan. "Saran ini sebenarnya diberikan Bu Freya."Tanpa basa-basi, hari itu juga Darius mengajukan permohonan melalui sistem administrasi. Halaman menunjukkan bahwa permohonan terkirim dan akan mendapat balasan dalam tiga hari.Namun, setelah tiga hari, jawabannya adalah ... pengajuan gagal dengan alasan laboratorium sudah penuh.Nadine merasa heran. "Kemarin waktu aku lewat laboratorium, pintu masih terkunci seperti biasa. Nggak ada tim yang pakai kok."Mikha menggigit keripik kentangnya sambil berpikir. "Jangan-jangan bagian administrasi sengaja menghalangi kita?"Darius diam, tidak berkata apa-apa.Setelah kuliah selesai, mereka langsung pergi ke bagian administrasi."Aku sudah lihat, laboratorium itu nggak digunakan. Kenapa hasil pengajuan menunjukkan sudah penuh?"St
Nadine langsung bertanya dengan terus terang, "Kak Eden, apa kamu yang pinjam laboratorium C122?""C122?" Eden termangu sejenak karena tidak memahami maksud Nadine.Nadine menjelaskan, "Aku pernah memeriksa topik penelitianmu. Sepertinya kamu nggak membutuhkan alat pengukur CPRT."Eden menunduk. Ekspresinya yang awalnya heran kini menjadi tenang kembali. Saat dia mendongak kembali, tatapannya terlihat datar. "Ya, aku yang pinjam."Nadine dan Darius bertatapan."Aku butuh, jadi aku pinjam. Apa ada masalah?"Nadine bertanya lagi, "Kenapa setiap kali aku lewat, aku nggak melihat laboratorium itu terpakai?""Memang nggak sering dipakai, kadang-kadang saja."Jawaban Eden ini membuat Mikha ingin sekali mengatakannya menyia-nyiakan sumber daya, tetapi dia tetap menahan diri.Karena ada yang menggunakannya, itu tidak bisa disebut menyia-nyiakan. Sumber daya universitas memang milik bersama. Siapa yang mendapatkannya dulu boleh memakainya. Eden tidak bisa disalahkan."Kalau begitu, berapa lama
Eden bertanya, "Kamu mengajukan permohonan penggunaan laboratorium atas namaku?""Ya, aku yang mengajukannya.""Laboratorium itu mau dikasih kepada siapa? Biar aku hubungi orang itu."Diana terkekeh-kekeh. "Bukan untuk siapa-siapa.""Jadi, dibiarkan kosong begitu saja?" Meskipun sudah memperkirakan, Eden tetap merasa agak kecewa."Ya, biarkan saja."Eden tahu dia tidak seharusnya bertanya lebih jauh. Namun, dia tiba-tiba terbayang akan sosok Nadine yang menanyainya tadi. "Kalau nggak dipakai, kenapa membuat pengajuan?"Diana mengangkat alisnya, seperti tidak menyangka Eden yang biasanya diam akan mengajukan pertanyaan seperti ini.Senyuman Diana semakin lebar. "Sekarang nggak terpakai, bukan berarti ke depannya juga nggak terpakai. Sumber daya akademik harus direbut. Aku nggak perlu ajari kamu soal ini, 'kan?""Apa ada sumber daya yang penting di laboratorium itu?"Diana menyahut, "Tentu saja ada, ada CPRT di sana."Eden mengingatkan, "Tim kita sudah punya satu.""Dua juga nggak masala
Eden menunduk sehingga ekspresinya tidak terlihat. Namun, kedua tangannya terkepal erat. Entah berapa lama kemudian, dia akhirnya melepaskan kepalan tangannya, seolah-olah kehilangan tenaga untuk melawan."Terima kasih, Bu.""Sudah seharusnya, soalnya kamu murid yang paling kubanggakan. Sudah seharusnya kamu mendapat perhatian lebih, 'kan?"Eden tidak merespons. Dia memang bukan orang yang pintar berbicara. Orang-orang selalu menganggapnya pendiam."Ya sudah, kamu kembali saja. Bantu aku perhatikan soal makalah. Nggak harus selesai dalam bulan ini kok. Kamu atur saja waktunya. Aku yakin kamu nggak akan mengecewakanku."Eden berbalik dan pergi. Diana kembali ke kursinya dan mengambil secangkir teh.Nella terkekeh-kekeh dan maju. "Memang Bibi yang paling hebat. Dia sampai tunduk padamu."....Karena tidak dapat meminjam laboratorium dan Eden juga tidak mau membatalkan permohonan, mereka memutuskan untuk mencari cara sendiri.Mikha yang sangat rakus justru marah sampai tidak punya nafsu m
Tiga puluh detik kemudian, suara notifikasi terdengar. Mikha kembali ke beranda ponselnya dan melihat. Ternyata itu adalah pemberitahuan bahwa uang sudah diterima.Di ujung sana, Mino bertanya, "Sudah terima belum?""Hm, sudah." Namun, jumlahnya bukan 2 miliar melainkan 3 miliar. Ayahnya memberinya tambahan 1 miliar!"Jangan pelit-pelit kalau beli makan. Kalau uangmu habis, minta saja dariku. Oke?""Oke, Ayah!"Setelah panggilan berakhir, Mikha menyimpan ponselnya. Begitu menoleh, dia melihat Darius dan Nadine sedang menatapnya.Mikha mengejapkan matanya dengan heran. "Aku sudah dapat uangnya. Kenapa kalian melihatku seperti itu?"Darius memicingkan matanya, lalu melipat lengannya di depan dada. "Mikha, kamu ini nggak jujur.""?""Rumahmu di desa?""Ya, sekitar desa kami ada mal dan perumahan mewah. Lingkungannya sangat bagus dan ramai!"Darius kehabisan kata-kata. Giiran Nadine yang bertanya, "Orang tuamu kehilangan pekerjaan dan cuma mengurus gedung?""Ya, sekitar 80 gedung di daerah
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala