"Kenapa menatapku seperti itu? Cepat, aku haus sekali!"Teddy pun bangkit dengan pasrah.Setelah minum segelas air dingin, pikiran Kelly menjadi lebih jernih. "Ada urusan apa mencariku? Maaf sudah membuatmu menunggu lama."Ketika Teddy pergi mengambil air, Kelly sudah mengenakan pakaian. Dia melihat jam dan ternyata sudah pukul 11 siang."Kamu bisa merasa malu juga? Kulihat kamu sangat menikmatinya!" Teddy seperti balon yang meletus. Sebelumnya dia masih bisa menahan diri, tetapi sekarang emosinya meledak begitu saja."Kamu bahkan masih bisa menyuruhku mengambilkan air untukmu. Kalau kamu sehebat ini, kenapa nggak langsung terbang ke langit saja jadi dewi?" Usai mengatakan itu, Teddy mengumpat dengan suara lirih.Kelly mengernyit. "Kamu makan bom ya pagi ini? Kenapa emosional sekali?""Kamu nggak mau jelasin tentang pria pagi tadi?""Apa yang perlu dijelasin? Waktu kamu tidur dengan wanita lain, memangnya perlu dijelasin?" Kelly tampak bingung.Teddy terdiam sesaat. "Bagaimanapun, aku
"Kalimat pertama.""Ini perintah Pak Teddy?""Yang lebih awal lagi.""Kamar 1901 check-out?""Dia sudah check-out?""Ya, baru sepuluh menit yang lalu.""Sial ...."Manajer itu tentu kebingungan.Teddy memerintahkan, "Suruh semua wanita itu pergi! Semakin dilihat semakin buat kesal!"Manajer tidak bisa berkata-kata. 'Bukannya kamu yang menyuruhku membawa mereka kemari?'Di sini, suasana sangat mendebarkan dan menegangkan. Sementara itu, di tempatnya Nadine, semuanya berjalan dengan teratur.Pukul 7 pagi, Nadine bangun dengan sendirinya. Dia menyiapkan sarapan, lalu pergi ke pasar untuk membeli sayuran.Pukul 9 pagi, setelah Nadine pulang dari pasar, dia mendengar suara Jeremy yang kaget. "Aku nggak nyangka kamu bukan cuma jago dalam riset, tapi juga hebat dalam merawat bunga dan berkebun!"Nadine yang melepaskan sepatu pun termangu sejenak. Setelah beberapa detik, suara familier terdengar dari balkon. "Pujianmu berlebihan, Paman."Itu adalah suara Arnold. Nadine meletakkan sayuran di da
Ingatan yang tiba-tiba muncul itu membuat Nadine terkejut. Orang yang keras kepala, memegang kerah baju orang, dan tidak melepaskannya itu ternyata adalah dirinya?Melihat tatapan pria yang mengejek, Nadine merasa sangat canggung, sampai mengentakkan kaki.Arnold bertanya, "Sudah ingat?""Maaf, aku ....""Apa pertanyaan seperti itu perlu ditanya? Siapa yang mau kepalanya dipukul? Aku bukan kentungan. Lagian, kamu juga bilang bisa jadi bodoh kalau dipukul."Perkataan itu langsung membuat setengah rasa canggung Nadine hilang. "Tapi, kamu juga pukul kepalaku ...," gumamnya pelan.Begitu mengingat kejadian tadi, seluruh ingatannya kembali jelas. Jelas-jelas Arnold yang mulai duluan.Arnold mengernyit. "Seperti yang kubilang, minum boleh, tapi jangan berlebihan.""Ya, ya."Nadine tidak berani membantah, hanya mengangguk patuh seperti anak ayam."Kalian lagi ngobrol tentang apa?" Jeremy kembali setelah mencuci tangan. Dia langsung minum sup pir itu.Arnold meneguk dengan santai. Sudut bibirn
Irene terdiam. Jeremy memang memuji orang lain, tetapi tidak lupa menyertakan diri sendiri.Pukul 1 siang, Arnold bersiap untuk pergi. Jeremy sedang duduk di balkon dan menggali tanah. Mendengar itu, dia langsung memanggil putrinya, "Nad, antar Paman Arnold!"Arnold hampir tergelincir, tubuhnya mendadak kaku. Nadine buru-buru berdiri dari sofa. "Ayah, jangan sembarangan manggil! Pak, aku antar kamu keluar.""Ya."Saat Nadine mengantar Arnold keluar, Jeremy mendengus. "Waktu itu sudah sepakat, kenapa sekarang jadi begini ...."....Tak terasa, Jeremy dan Irene sudah tinggal di Kota Juanin selama setengah bulan. Nadine merasa waktu yang tepat sudah tiba. Dia berencana mengatur pertemuan antara Irene dan Hugo."Ibu, sebenarnya ada satu tujuan lain kenapa aku minta kamu dan Ayah datang ke Kota Juanin.""Apa itu?"Nadine mengeluarkan amplop, lalu mendorongnya ke depan Irene. "Ini adalah kontrak yang kamu tanda tangani dengan Lauren. Dulu aku minta versi elektroniknya, sekarang aku cetak dan
"Di luar negeri?""Ya, kedua buku itu punya penjualan elektronik dan buku fisik yang sangat baik."Irene lagi-lagi terkejut. "Aku nggak tahu kalau kedua buku itu juga diterbitkan di luar negeri.""Aku sudah memperkirakan, pendapatan yang diperoleh dari The Killer dan Village School setidaknya ...." Nadine menjulurkan satu jarinya.Jeremy bertanya, "Satu miliar?""Ayah, lebih dari itu.""Sepuluh miliar?"Nadine menggeleng. "Seratus miliar. " Bahkan, itu adalah perkiraan konservatif.Jeremy tentu terkesiap."Ibu." Nadine duduk di samping Irene, perlahan-lahan menggenggam tangannya. "Kamu pasti sangat bingung sekarang, tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu. Dengan berakhirnya kontrak ini, hubungan sepuluh tahun yang terikat dengan Lauren juga selesai.""Yang paling penting sekarang adalah gimana cara mengembalikan waktu yang hilang. Aku tahu, dibandingkan dengan kerugian materi, yang paling kamu sesali adalah karyamu yang terkubur. Seorang penulis hanya punya beberapa dekade untuk menul
Selama ini, Irene bermimpi agar karya misterinya bisa diterbitkan kembali. Dia sudah berkali-kali berdiskusi dengan Lauren, tetapi selalu ada alasan untuk menundanya.Sekarang, seseorang tiba-tiba memberitahunya bahwa karyanya bisa diterbitkan. Yang lebih mengejutkan lagi ....Hugo berkata, "Kalau kamu setuju, kami akan segera mengajukan ISBN sekaligus menghubungi percetakan dan media untuk mempersiapkan semuanya. Setelah itu, akan ada proses penyusunan, pencetakan, promosi, dan peluncuran. Proses ini diperkirakan akan selesai dalam dua bulan.""Untuk biaya hak cipta dan pembagian pendapatan, kami sudah membuat rencana. Tapi, setelah mendengarnya, kamu boleh mengajukan pendapat dan kita bisa berdiskusi lebih lanjut."Hugo jelas sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik. Biaya royalti dan pembagian yang ditawarkan sangatlah wajar. Selain itu, dia bahkan sudah membawa kontraknya.Irene yang awalnya terkejut dan bingung pun mulai mendengarkan dengan serius, sampai akhirnya benar-bena
Nadine dan Jeremy duduk di luar kedai kopi, terpisah oleh jendela kaca besar. Meskipun tidak bisa mendengar percakapan di sana, mereka bisa melihat ekspresi Irene berubah dari bingung menjadi serius, lalu menjadi menyesal lagi. Tampaknya percakapan mereka tidak berjalan dengan lancar.Hugo sudah berdiri dan bersiap untuk pergi, tetapi tiba-tiba Irene mengangkat kepala dan berkata sesuatu. Kemudian, wajah Hugo langsung terlihat cerah.Setelah itu, Hugo duduk kembali dan mereka melanjutkan percakapan. Kali ini, Irene bicara lebih banyak. Ekspresinya yang awalnya agak kaku kini menjadi bersemangat.Saat percakapan berakhir, Hugo berdiri dan mengulurkan tangannya lagi. "Bu Irene, semoga kerja sama kita menyenangkan."Kali ini, Irene tidak ragu lagi. Dia berdiri dan membalas jabatan tangan itu. "Terima kasih. Sebenarnya kalau kamu memberi draf yang sudah diperiksa sejak awal, percakapan kita pasti akan lebih lancar."Namun, Hugo berkata, "Kata-kata adalah hal yang sangat suci. Mereka bisa b
Malam itu, saldo rekening bank Nadine tiba-tiba bertambah empat miliar. Dia menerima notifikasi perubahan saldo dan tertegun. Setelah itu, dia langsung membuka selimut, bangkit, dan berlari ke kamar sebelah ...."Bu, kenapa Ibu transfer uang ke aku?"Irene dan Jeremy saling berpandangan, seolah sudah menduga bahwa reaksinya akan seperti ini. "Aku dan ayahmu sudah diskusi. Kamu mengeluarkan banyak uang untuk beli vila. Dulu kami nggak mampu membantu, tapi sekarang kami bisa. Meskipun nggak banyak, setidaknya ini bisa sedikit meringankan bebanmu.""Aku nggak kekurangan uang!""Aku tahu," Irene menjawab lembut sambil tersenyum, "Aku juga bukan ngasih karena kamu kekurangan uang. Vila itu kami tinggali sama ayahmu. Sekarang kami punya kelebihan uang, wajar saja kalau kami bantu bayar.""Tapi kita ini keluarga, nggak perlu dibedain sejelas itu.""Aku setuju. Jadi, apakah kamu mau membedakan semuanya dengan kami sejelas itu?" balas Irene.Nadine terdiam karena dibalas dengan ucapannya sendir
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala