Selesai berbicara, Jeremy langsung keluar tanpa menunggu lagi. Nadine sungguh kebingungan dibuat mereka. Sudahlah, asal mereka senang ....Di laboratorium, Arnold sedang memeriksa dua set data yang keluar minggu lalu. Dia menemukan adanya penyimpangan di kolom keempat dari set kedua. Dia hendak memanggil Wilfred, tetapi ponselnya tiba-tiba berbunyi.Arnold langsung menjawabnya. "Halo?""Pak Arnold, ini aku, Nadine."Arnold termangu sejenak. Pandangan yang awalnya terfokus pada layar komputer perlahan-lahan beralih. Suaranya otomatis menjadi lebih lembut. "Ada apa? Ada yang bisa dibantu?""Dua hari lalu, ayahku bilang ingin mengundangmu ke rumah untuk makan. Dia yang masak. Kalau kamu sibuk, nggak masalah, aku akan memberi tahu dia nanti ....""Aku nggak sibuk."Nadine terdiam beberapa detik. "Bukannya kamu sibuk di laboratorium?""Nggak terlalu.""Kalau begitu ....""Sampai jumpa nanti malam. Sampaikan rasa terima kasihku kepada Paman.""Oh, bukan masalah."Setelah menutup telepon, Nad
Makanan dihidangkan. Irene membuka anggur merah dan Nadine diizinkan untuk minum sedikit. Alhasil, dia minum dua gelas penuh!Jeremy sibuk mengobrol, sedangkan Irene fokus pada makanan, jadi tidak ada yang menyadari hal ini. Kecuali ....Arnold berkata, "Nadine, itu sudah gelas ketiga."Irene sontak terhenti saat hendak mengambil botol anggur.Jeremy dan Irene baru menyadari bahwa dia sudah minum sebanyak itu."Dasar anak ini! Aku bilang minum sedikit, tapi malah tambah terus!" Irene hampir tertawa saking kesalnya. Dia juga suka anggur merah, tetapi selalu minum dengan porsi yang wajar, tidak seperti anak perempuannya ini.Jeremy juga tampak tidak setuju, tetapi fokusnya ada pada ...."Wah! Arnold, kamu memang orang yang bekerja di bidang riset. Kamu teliti sekali! Pantas saja di usia muda begini, kamu sudah meraih pencapaian akademik yang luar biasa."Benar, Jeremy sudah mencari tahu sepenuhnya tentang prestasi Arnold di bidang fisika melalui berbagai saluran. Orang-orang sangat memuj
Arnold terdiam. Orang ini benar-benar tahu caranya berterima kasih."Gimana? Gimana rasanya?" tanya Jeremy dengan penuh antusias.Arnold menjawab dengan singkat, "Enak."Mata Jeremy berbinar, seolah-olah menemukan teman sehati. "Kalau suka, makan yang banyak! Coba juga daging sapi ini, dipadukan dengan saus rahasia buatanku ...."Sepanjang makan, Arnold hanya berkata, "Enak ... harum sekali ... cara masaknya unik ... belum pernah coba sebelumnya ...."Hal itu membuat Jeremy semakin bersemangat.Akhirnya, makan malam selesai. Ketika Arnold berdiri untuk pamit, dia merasa sangat lega. Namun, di detik berikutnya ...."Nadine, antar Paman Arnold sampai depan, ya," kata Jeremy.Arnold tersentak. Capek, deh ...."Oke!" Nadine bangkit dari tempat duduk.Mungkin efek anggur merah mulai terasa, kepalanya terasa agak pusing, bahkan reaksinya sedikit melambat. Namun, wajahnya tetap terlihat biasa saja. Tatapannya tetap jernih.Dia mengantar Arnold sampai ke pintu. Begitu mereka keluar, pintu di b
Nadine sama sekali tidak mengingat kejadian itu. Yang dia ingat hanyalah Jeremy memintanya mengantar Arnold keluar rumah, lalu dia pergi ....Setelah itu? Tidak ada lagi.Ketika membuka mata keesokan paginya, dia merasa segar dan nyaman. Sambil berbaring di tempat tidur, dia menggeliat santai tanpa merasa ada yang salah sedikit pun.Ibunya, Irene, masuk ke kamar sambil membawa segelas air hangat. "Sudah bangun?"Nadine duduk dan menerima gelas itu. Dia menyesap airnya, lalu mendengar suara Jeremy dari luar kamar. "Lihat saja, berani lagi kamu minum sebanyak itu! Mabuk sampai nggak tahu apa-apa, bahkan ngomel nggak karuan, kayak orang gila."Mabuk? Orang gila?Gerakan Nadine minum air terhenti tiba-tiba.Potongan-potongan ingatan samar muncul di kepalanya, seperti kilatan yang terlalu cepat untuk dia tangkap. Dengan sulit, dia menelan ludah dan bertanya dengan hati-hati, "Ayah, aku kemarin ... ngapain?"Jeremy mendengus. "Ngapain? Kamu nggak ingat?"Nadine menggeleng cepat. Jelas dia ti
Semakin Rebecca memikirkannya, semakin dia merasa marah. Kemarahan itu membuatnya semakin ingin keluar rumah."Pak Haryo!" Rebecca memanggil sopirnya. "Siapkan mobil. Dua puluh menit lagi aku mau keluar.""Baik, Bu."Rebecca naik ke atas untuk berganti pakaian dan merias wajahnya. Setelah selesai, dia turun dan melangkah ke mobil yang sudah menunggu di depan."Jalan!"Seperti yang sudah diduga, saat mobil mulai mendekati gerbang, terlihat Lupita dan putranya duduk di dekat pintu besi, masing-masing di satu sisi, seperti dua penjaga neraka."Bu, dua orang itu masih duduk di sana. Kalau mereka tiba-tiba mengadang mobil, gimana?" tanya Haryo cemas.Kekhawatiran Haryo bukan tanpa alasan. Beberapa hari yang lalu, saat dia mengendarai mobil keluar untuk melakukan servis, kedua orang itu sempat mengadangnya. Setelah mereka memastikan tidak ada siapa pun di dalam mobil, barulah mereka membiarkan dia lewat.Haryo merasa terganggu. Lupita dan Rocky jelas adalah tipe orang yang tak peduli malu at
"Bu, Herwin baru saja kasih tahu lokasi kantor si bajingan itu!"Herwin adalah seorang preman yang meskipun tidak punya pekerjaan tetap, dia cukup piawai dalam berbagai masalah ilegal. Rocky awalnya hanya mencoba keberuntungan, tapi ternyata dia bena-benar mendapat informasi itu."Bagus sekali! Kita pusing cari tempat buat nemuin dia, sekarang malah dapat info segini jelasnya. Ayo, Nak, kita datangi dia sekarang!"Lupita tampak sangat bersemangat, matanya berbinar-binar penuh antusiasme.Selama ini, meskipun mereka berhasil membuat Rebecca stres dan tidak berani keluar rumah, aksi mereka di gerbang keluarga Rebecca tidak memberikan hasil signifikan selain mengganggu. Tapi sekarang, mereka punya target baru.Setengah jam kemudian"Ini kantor Reagan, ya? Gedung setinggi ini, pasti dia kaya banget!"Rocky mendongak dan memandang gedung pencakar langit di hadapan mereka dengan kagum. Matanya dipenuhi rasa iri dan keserakahan."Iya, iya! Kakakmu benar-benar dapat ikan besar kali ini. Lihat
Melihat situasi itu, Rocky langsung merasa percaya diri. "Kamu cuma pekerja, ngurusin apa sih? Cepat panggil Reagan ke sini! Kami ada urusan penting!"Asisten yang melihat dua orang itu mulai bertingkah semaunya, mengerutkan kening semakin dalam. Dia baru saja hendak menelepon keamanan, tetapi pada saat itu Reagan keluar dari ruang rapat."Pak Reagan ...." Asisten itu akhirnya menghela napas lega.Reagan baru saja selesai dari pertemuan bisnis. Dari kejauhan, dia sudah melihat dua orang yang berpakaian seperti petugas kebersihan dan asistennya yang terlihat kesal di depan pintu kantornya.Mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut "petugas kebersihan" itu, ditambah dengan kejadian yang diceritakan Rebecca beberapa hari lalu, Reagan langsung tahu siapa mereka."Kamu teruskan saja pekerjaanmu," kata Reagan sambil melambaikan tangan kepada asistennya. Dia lalu membuka pintu kantornya. Tanpa banyak bicara, Lupita dan Rocky langsung masuk dengan langkah besar, seolah tempat itu milik
Reagan lahir di keluarga yang berkecukupan, tetapi pencapaiannya sekarang diraih dengan kerja kerasnya sendiri selangkah demi selangkah. Orang-orang seperti Lupita dan Rocky sudah sering dia temui.Mereka selalu berbicara dengan alasan "keadilan", padahal intinya hanya ingin menuntut uang sebanyak mungkin saat negosiasi.Benar saja ....Lupita memutar bola matanya dengan licik. "Karena kamu terus terang begini, aku juga nggak akan basa-basi. Kerusakan yang kamu timbulkan pada anakku sudah terjadi, jadi ganti rugi itu sudah sepantasnya. Kami nggak akan minta banyak, cukup segini ...."Dia mengangkat satu jari.Reagan mengangkat alis.Lupita menegaskan, "Seratus miliar, kurang satu rupiah pun nggak bisa!""Heh ...." Reagan akhirnya tertawa. Namun, tawanya itu bukan karena marah atau kesal, melainkan benar-benar karena dia merasa ini sangat lucu.Bahkan Rocky yang biasanya tidak terlalu pintar, terbelalak kaget melihat ibunya meminta angka sebesar itu. Bukankah mereka mereka sepakat han
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala