Nadine sama sekali tidak mengingat kejadian itu. Yang dia ingat hanyalah Jeremy memintanya mengantar Arnold keluar rumah, lalu dia pergi ....Setelah itu? Tidak ada lagi.Ketika membuka mata keesokan paginya, dia merasa segar dan nyaman. Sambil berbaring di tempat tidur, dia menggeliat santai tanpa merasa ada yang salah sedikit pun.Ibunya, Irene, masuk ke kamar sambil membawa segelas air hangat. "Sudah bangun?"Nadine duduk dan menerima gelas itu. Dia menyesap airnya, lalu mendengar suara Jeremy dari luar kamar. "Lihat saja, berani lagi kamu minum sebanyak itu! Mabuk sampai nggak tahu apa-apa, bahkan ngomel nggak karuan, kayak orang gila."Mabuk? Orang gila?Gerakan Nadine minum air terhenti tiba-tiba.Potongan-potongan ingatan samar muncul di kepalanya, seperti kilatan yang terlalu cepat untuk dia tangkap. Dengan sulit, dia menelan ludah dan bertanya dengan hati-hati, "Ayah, aku kemarin ... ngapain?"Jeremy mendengus. "Ngapain? Kamu nggak ingat?"Nadine menggeleng cepat. Jelas dia ti
Semakin Rebecca memikirkannya, semakin dia merasa marah. Kemarahan itu membuatnya semakin ingin keluar rumah."Pak Haryo!" Rebecca memanggil sopirnya. "Siapkan mobil. Dua puluh menit lagi aku mau keluar.""Baik, Bu."Rebecca naik ke atas untuk berganti pakaian dan merias wajahnya. Setelah selesai, dia turun dan melangkah ke mobil yang sudah menunggu di depan."Jalan!"Seperti yang sudah diduga, saat mobil mulai mendekati gerbang, terlihat Lupita dan putranya duduk di dekat pintu besi, masing-masing di satu sisi, seperti dua penjaga neraka."Bu, dua orang itu masih duduk di sana. Kalau mereka tiba-tiba mengadang mobil, gimana?" tanya Haryo cemas.Kekhawatiran Haryo bukan tanpa alasan. Beberapa hari yang lalu, saat dia mengendarai mobil keluar untuk melakukan servis, kedua orang itu sempat mengadangnya. Setelah mereka memastikan tidak ada siapa pun di dalam mobil, barulah mereka membiarkan dia lewat.Haryo merasa terganggu. Lupita dan Rocky jelas adalah tipe orang yang tak peduli malu at
"Bu, Herwin baru saja kasih tahu lokasi kantor si bajingan itu!"Herwin adalah seorang preman yang meskipun tidak punya pekerjaan tetap, dia cukup piawai dalam berbagai masalah ilegal. Rocky awalnya hanya mencoba keberuntungan, tapi ternyata dia bena-benar mendapat informasi itu."Bagus sekali! Kita pusing cari tempat buat nemuin dia, sekarang malah dapat info segini jelasnya. Ayo, Nak, kita datangi dia sekarang!"Lupita tampak sangat bersemangat, matanya berbinar-binar penuh antusiasme.Selama ini, meskipun mereka berhasil membuat Rebecca stres dan tidak berani keluar rumah, aksi mereka di gerbang keluarga Rebecca tidak memberikan hasil signifikan selain mengganggu. Tapi sekarang, mereka punya target baru.Setengah jam kemudian"Ini kantor Reagan, ya? Gedung setinggi ini, pasti dia kaya banget!"Rocky mendongak dan memandang gedung pencakar langit di hadapan mereka dengan kagum. Matanya dipenuhi rasa iri dan keserakahan."Iya, iya! Kakakmu benar-benar dapat ikan besar kali ini. Lihat
Melihat situasi itu, Rocky langsung merasa percaya diri. "Kamu cuma pekerja, ngurusin apa sih? Cepat panggil Reagan ke sini! Kami ada urusan penting!"Asisten yang melihat dua orang itu mulai bertingkah semaunya, mengerutkan kening semakin dalam. Dia baru saja hendak menelepon keamanan, tetapi pada saat itu Reagan keluar dari ruang rapat."Pak Reagan ...." Asisten itu akhirnya menghela napas lega.Reagan baru saja selesai dari pertemuan bisnis. Dari kejauhan, dia sudah melihat dua orang yang berpakaian seperti petugas kebersihan dan asistennya yang terlihat kesal di depan pintu kantornya.Mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut "petugas kebersihan" itu, ditambah dengan kejadian yang diceritakan Rebecca beberapa hari lalu, Reagan langsung tahu siapa mereka."Kamu teruskan saja pekerjaanmu," kata Reagan sambil melambaikan tangan kepada asistennya. Dia lalu membuka pintu kantornya. Tanpa banyak bicara, Lupita dan Rocky langsung masuk dengan langkah besar, seolah tempat itu milik
Reagan lahir di keluarga yang berkecukupan, tetapi pencapaiannya sekarang diraih dengan kerja kerasnya sendiri selangkah demi selangkah. Orang-orang seperti Lupita dan Rocky sudah sering dia temui.Mereka selalu berbicara dengan alasan "keadilan", padahal intinya hanya ingin menuntut uang sebanyak mungkin saat negosiasi.Benar saja ....Lupita memutar bola matanya dengan licik. "Karena kamu terus terang begini, aku juga nggak akan basa-basi. Kerusakan yang kamu timbulkan pada anakku sudah terjadi, jadi ganti rugi itu sudah sepantasnya. Kami nggak akan minta banyak, cukup segini ...."Dia mengangkat satu jari.Reagan mengangkat alis.Lupita menegaskan, "Seratus miliar, kurang satu rupiah pun nggak bisa!""Heh ...." Reagan akhirnya tertawa. Namun, tawanya itu bukan karena marah atau kesal, melainkan benar-benar karena dia merasa ini sangat lucu.Bahkan Rocky yang biasanya tidak terlalu pintar, terbelalak kaget melihat ibunya meminta angka sebesar itu. Bukankah mereka mereka sepakat han
"Kamu tahu apa?!" Lupita mendengus dingin. "Zaman sekarang ini uang satu miliar bisa untuk apa? Beli mobil mewah saja nggak cukup! Kamu cuma mau segitu?""Tapi, kalau kita minta terlalu banyak, dia juga nggak bakalan mau kasih! Lebih baik kita ambil satu miliar untuk santai ....""Dasar bodoh! Cuma segitu ambisimu? Lihat gedung ini dan rumah si Rebecca itu. Selain itu, lihat jam tangan Reagan tadi, semuanya lebih dari satu miliar!""Lagian, mereka punya banyak uang. Memangnya kenapa kalau kita minta sedikit? Kalaupun nggak dapat 100 miliar nanti, setidaknya pasti ada 10 miliar, 'kan?"Hati Rocky mulai goyah. Perbedaan satu miliar dan sepuluh miliar itu tidak sedikit."Tapi, sekarang dia nggak mau pedulikan kita lagi. Sepuluh ribu saja nggak dapat, apalagi 100 miliar ...." Rocky mulai putus asa.Namun, Lupita malah merasa yakin. "Kamu tahu nggak apa yang paling dipedulikan sama orang kaya?""Apa?""Harga diri! Semakin kaya seseorang, semakin mereka mengutamakan harga diri. Bagaimanapun,
Detik berikutnya, Rocku menerima panggilan dari tim legal perusahaan Reagan. Mereka mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan semua bukti dan akan menggunakannya untuk diteruskan ke jalur hukum.Terakhir, mereka memperingatkan Lupita dan Rocky untuk jangan berulah lagi atau mereka tidak akan segan-segan mengambil tindakan.Rocky terkejut mendengarnya. Sementara itu, Lupita malah tidak acuh, "Apa yang kamu takutkan? Pengacara cuma tahu nakut-nakutin saja! Dasar pengecut! Kita terus posting saja! Kalau mereka hapus videonya, kita unggah lagi!"Ekspektasi memang tidak sesuai dengan realita. Kenyataannya adalah ....Bukan hanya tidak mendapatkan kompensasi, Rocky malah menghabiskan 10 juta untuk membeli traffic.Lupita membentaknya, "Terus posting!""Ibu, aku nggak punya uang lagi ...."Lupita terdiam."Kalau nggak, Ibu kasih aku uang sedikit?""Hm ... setelah kupikir-pikir, cara ini sepertinya kurang efektif. Kita sudah habisin uang, tapi mereka malah langsung hapus videonya. Bukankah ini
Usai bicara, Reagan pun pergi begitu saja.Rebecca yang baru saja dimarahi suaminya dan disalahkan anaknya, kesal setengah mati. "Apa maksud kalian berdua? Semua kesalahan dilemparkan sama aku?! Demi siapa aku melakukan hal ini? Kalian sama sekali nggak ngerti niat baikku!""Pergi sana ...! Semuanya pergi saja ... nggak usah pulang lagi selamanya ....""Suamiku marahin aku, anakku nggak berbakti, cucuku juga sudah nggak ada. Aku ini salah apa di kehidupan sebelumnya sampai harus menghadapi semua ini?!"Rebecca melampiaskan emosinya, lalu jatuh terduduk di sofa dengan wajah penuh kelelahan. Hanya saja, seberapa frustrasinya pun, masalah ini tetap harus diselesaikan. Rebecca menarik napas dalam-dalam dan memerintahkan kepala pelayan untuk mencari kontak Lupita.Tak lama kemudian, dia mendapatkan sebuah nomor telepon. Rebecca menahan emosinya, lalu menekan nomor tersebut ...."Halo? Siapa ini?" Suara Lupita terdengar kesal, pikirannya sedang kusut karena video yang sudah disebarnya ke man
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala
Nadine menoleh. Stendy menatapnya dengan bingung."Pak Stendy, sepertinya aku merepotkanmu lagi."Stendy sempat tertegun, lalu tersenyum tipis, "Aku suka direpotkan olehmu."Nadine menunduk, "Tapi rasa sukamu itu ... sepertinya aku nggak punya apa pun untuk membalasnya selain dengan ucapan terima kasih. Apakah itu sepadan?"Sebuah kalimat dengan makna ganda.Stendy tidak menyangka Nadine akan berterus terang seperti ini. Dia diam sejenak, lalu tetap tersenyum, "Sejak awal, sikapmu sudah sangat jelas. Tapi, sikapku juga sama jelasnya. Menolak adalah hakmu, tapi bertahan adalah pilihanku. Aku selalu percaya ...."Nadine mengangkat wajah.Stendy menatap matanya, lalu berkata dengan pelan, "Ketulusan akan menembus hati sekeras apa pun. Kalau sekarang belum tembus, berarti waktunya belum tiba.""Kalau waktunya memang nggak pernah datang?" tanyanya."Aku akan terus menunggu.""Itu akan membuatmu kecewa," ujarnya."Aku siap kalah, jadi aku nggak takut," jawabnya.Nadine membungkuk masuk ke da
Pria gemuk itu juga akhirnya berhenti berpura-pura, "Kami ini sudah sangat sopan sama kamu! Kalau di kampung kami, wanita keras kepala seperti kamu sudah dihajar sampai babak belur! Kalau kamu nurut dan kasih satu miliar, kami langsung pergi!"Si kakek menghela napas, lalu mulai berperan pura-pura bijak, "Nona, kenapa harus begini? Kalau kamu tadi nurut dari awal, dua anakku juga nggak bakal marah. Cuma karena uang segitu, kamu rela mempertaruhkan keselamatanmu?""Kami cuma cari uang. Kamu saja nyetir Mercy. Uang satu miliar cuma recehan bagi kamu. Tenang saja, kami orangnya bisa dipercaya. Selama kamu mau bayar, kami langsung pergi dan nggak akan ganggu kamu lagi!"Nadine tak menyangka mereka seberani ini. Sudah tidak memakai kedok sama sekali. Apa bedanya dengan perampokan?Meski belum pernah mengalami situasi seperti ini, dia tetap tahu prinsip mengorbankan harta demi keselamatan. Akan tetapi ... satu miliar? Mustahil.Dengan wajah dingin, dia menjawab, "Aku cuma punya 60 juta. Mau