"Waktu ibumu terbuang sia-sia selama ini."Hati Nadine mencelos mendengarnya. Hugo ingin bertemu dengan Irene, tetapi Nadine mengatakan ibunya sedang berada di kota lain. Lagi pula, kontrak Irene dengan Lauren belum berakhir. Nadine tidak ingin merusak mood ibunya.Setelah mendengar tentang kontrak, Hugo langsung meminta salinan elektroniknya dari Nadine. "Nggak usah terburu-buru. Aku akan pelajari kontrak ibumu. Kalau ada apa-apa, aku hubungi kamu. Aku pasti akan tanda tangan kontrak dengan ibumu!"Kalimat terakhir membuat Nadine agak ragu. Bukankah Hugo tidak menandatangani kontrak dengan penulis dan hanya melihat hasil karya?Nadine merasa mungkin Hugo salah bicara atau mungkin dia yang salah dengar. Jadi, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.Saat melihat putrinya begitu serius, Jeremy segera menghentikan pekerjaannya. "Ada apa, Nad? Apa ibumu ada masalah dengan editor itu?""Ada sedikit masalah, bukan masalah besar. Aku sudah mencari cara untuk mengatasinya. Jangan kas
Pukul setengah delapan, Nadine sudah sampai. Orang lain belum datang, tiba-tiba terdengar suara dari ruang istirahat. Diiringi suara langkah kaki, Arnold keluar dari dalam. Mata mereka bertemu, keduanya tertegun.Arnold teringat pelariannya yang tergesa-gesa kemarin, merasa sedikit canggung. Nadine mengingat dirinya yang pura-pura tidur dan tanpa sengaja melihat kejadian itu .... Dia pun merasa tak nyaman."Selamat pagi." Pria itu lebih dulu membuka suara.Nadine mengangguk sedikit, "Pagi."Setelah itu, dia langsung melesat ke meja kerjanya dan mulai sibuk bekerja, sampai-sampai lupa menaruh makan siang yang dibawanya ke dalam kulkas.Arnold berkata, "Kebetulan aku mau ke pantri, aku bantu taruh."Nadine menjawab, "Terima kasih."Saat waktu makan siang, Nadine meninggalkan laboratorium. Baru saja keluar dari gedung, dia melihat Stendy berdiri tidak jauh dengan kedua tangan dimasukkan ke saku.Pria itu mengenakan kemeja dengan gaya santai, kerahnya sedikit terbuka, dipadukan dengan cela
Nadine dan Stendy duduk di samping meja batu dan berbincang tentang sesuatu. Keduanya duduk sangat dekat. Wajah Nadine terlihat serius, sementara Stendy mendengarkan dengan saksama dan sesekali mengangguk.Arnold tidak melewatkan senyum tipis yang muncul di sudut bibir Stendy. Bahkan dari jarak sejauh ini, dia bisa merasakan aura godaan yang memancar. Tatapan Arnold tiba-tiba menjadi lebih dalam.Detik berikutnya, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Calvin."Halo, Arnold, ada apa?""Kamu mau minum bubble tea?""Hah?" Calvin menurunkan ponselnya, memeriksa layar untuk memastikan itu benar-benar Arnold yang menelepon. "Apa maksudnya? Kok tiba-tiba ngomong soal bubble tea?""Mau atau nggak? Aku yang traktir. Kamu bisa tanyakan ke yang lain juga."Calvin langsung berseru dengan suaranya yang keras, "Pak Arnold traktir bubble tea! Siapa yang nggak mau, angkat tangan! Bagus, nggak ada. Jadi kita semua mau.""Baik. Aku akan pergi beli.""Eh ... kenapa nggak pesan saja lewat aplikasi? Kan le
Sambil berkata demikian, Nadine menyerahkan kertas dan pena. "Kalau begitu, aku pamit dulu."Stendy hanya bisa tersenyum, "Baik. Sampai jumpa.""Hmm, ayo Pak Arnold. Kedai bubble tea itu kebetulan ada di dekat tempat tinggal kita, cukup menyeberang jalan saja sudah sampai."Terakhir kali dia dan Stendy membahas sesuatu, mereka juga pergi ke tempat itu....."Bubble tea sudah sampai!"Calvin, Kamila, dan Wilfred langsung muncul setelah mendengar kabar itu."Terima kasih, Pak Arnold. Terima kasih juga, Nadine! Membuat dua orang sibuk seperti kalian jadi kurir benar-benar keterlaluan!"Calvin menusukkan sedotan dan mengisapnya dalam-dalam, "Ah, nikmat sekali ...."Kamila mengerutkan dahi, "Seperti itu berlebihan banget nggak, sih?"Wilfred mengambil bubble tea miliknya dan milik Olive, lalu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada Arnold dan Nadine. Setelah itu, dia membawanya ke Olive dengan antusias."Olive, ini punyamu.""Oh."Mendengar bahwa Nadine pergi bersama Arnold untuk m
"Olive?" Wilfred memanggilnya sekali lagi."Ada apa?""Tadi kamu telepon agen properti, mau cari rumah ya?"Hati Olive gelisah, takut Wilfred bertanya lebih jauh. Dengan nada ketus, dia menjawab, "Tanya banyak banget sih?! Apa urusannya sama kamu?!"Wilfred merasa sedikit terluka, tapi tidak menunjukkan perasaannya. "Aku 'kan pacarmu, tentu aku peduli.""Aku ini cari pacar, bukan cari bapak.""Kalau kamu merasa aku terlalu cerewet, ya ... aku akan lebih sedikit bicara mulai sekarang." Wilfred berkata hati-hati, takut membuat Olive semakin marah.Melihat Wilfred tidak bertanya lagi soal sewa rumah, Olive diam-diam menghela napas lega. Sikapnya pun mulai melunak. "Berikan padaku." Dia mengulurkan tangan."Apa?""Bubble tea di tanganmu itu, bukannya untukku?""Oh, iya! Hampir lupa ...." Wilfred tersenyum cerah.....Setelah berkutat di laboratorium selama seminggu penuh, akhirnya dua set data berhasil didapatkan. Pekerjaan mereka kini tidak terlalu mendesak lagi. Pada hari Sabtu, Nadine m
Mengingat kejadian mabuk waktu itu, Kelly merasa agak canggung dan mengusap hidungnya. "Semuanya gara-gara ibuku. Dia memaksaku datang ke semacam pesta anak muda, yang sebenarnya cuma pesta kencan buta."Para pria dan wanita muda seperti barang dagangan, dipamerkan di depan semua orang untuk dipilih.Ibu Kelly sebenarnya sangat baik, hanya saja terlalu khawatir.Dia terus bicara soal pasangan yang statusnya tidak setara pasti tidak akan bahagia. Dia bilang, pengalaman hidup membuktikan bahwa cinta pada akhirnya tetap bergantung pada fondasi ekonomi, bla bla bla ....Kelly sangat kesal.Setelah pulang, dia membuat kesepakatan dengan ibunya. Dia setuju soal pasangan yang sepadan, tapi dia sendiri yang harus memilih. Sebagai gantinya, ibu Kelly tidak boleh lagi mengatur pesta kencan buta atau pertemuan serupa tanpa seizinnya.Nadine bertanya, "Milih sendiri?""Iya, selama keluarganya nggak terlalu buruk, ibuku pasti bisa menerimanya. Jadi gampang, aku pilih dari lingkungan kita saja!""Ka
Ketiganya keluar dari restoran."Kak, kamu ini terlalu populer. Sekelompok orang tua itu mengerubutimu seperti fans yang mengejar bias-nya.""Bias?""Oh, maksudku idola."Arnold tertawa kecil. "Hanya karena kepentingan saja, mana ada hubungannya dengan idola?"Kelly mengendus sedikit, "Kamu minum alkohol? Apa kamu nyetir tadi?""Minum sedikit. Tapi nggak nyetir.""Pas banget. Naik mobilku saja, aku antar kamu dan Nadine pulang."Mobil Kelly berhenti di mulut gang karena tidak bisa masuk. Nadine dan Arnold pun turun di sana, lalu berjalan berdampingan ke dalam gang.Langit malam cerah dengan sedikit bintang, angin malam terasa hangat dan tenang. Gang yang sunyi hanya sesekali terdengar suara kucing yang mengeong. Arnold menginjak kantong sampah, lalu karena efek alkohol, tubuhnya sedikit goyah."Kamu baik-baik saja?""Maaf, aku minum terlalu banyak malam ini."Khawatir bau alkohol di tubuhnya akan mengganggu Nadine, Arnold dengan sengaja menjaga jarak darinya. Ucapan "maaf" itu terdenga
Untuk pertama kalinya, Nadine merasakan kekaguman yang mendalam. Dia belum tahu bahwa emosi kompleks ini disebut ... kekaguman terhadap kekuatan.....Sementara itu, setelah mengantar Arnold dan Nadine pulang, Kelly berbalik arah dan mengemudi menuju bar. Perjalanannya mulus, sampai dia tiba di depan bar dan bersiap untuk parkir ....Bam!Sebuah Maserati melesat dari samping dan menabrak bagian belakang mobilnya.Kelly langsung marah. Dia membuka pintu dengan keras, turun, dan berjalan ke arah mobil tersebut."Hei! Kamu tahu cara nyetir nggak?! Gas nggak bisa kamu lepas, ya?! Di jalan begini kamu ngebut? Ngebut oke, tapi nggak lihat jalan? Mobilku setengah badan belum masuk parkiran, kamu nggak lihat atau gimana?! Sampai bisa tabrak kayak gini?!"Pintu pengemudi Maserati terbuka, seorang pria keluar dengan senyum santai. "Hah, aku kira siapa. Cuma masalah kecil, jangan marah-marah gitu."Teddy mendekati Kelly dengan wajah penuh senyum tak berdosa."Oh, ternyata kamu, Pak Teddy ...." Ke
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Nadine melihat ekspresi tak berdaya di wajah Arnold dan tak bisa menahan tawa."Ambil saja, Paman. Daging sapi bumbu buatan ayahku ini luar biasa enak, nggak semua orang bisa mencicipinya.""Kamu memanggilku apa?" Dia melangkah mendekat dan satu tangan bertumpu di dinding. "Hmm?"Nadine tak punya ruang untuk mundur lagi, hanya bisa menatapnya dengan wajah polos. "Aku cuma menyampaikan kata-kata ayahku, bukan aku yang mengatakannya.""Pak, lorong ini sempit. Kamu ... nggak mau mundur sedikit?"Arnold teringat bahwa dirinya masih sakit dan khawatir menularkannya pada Nadine. Dia menghela napas pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur ke samping.Nadine sekali lagi merasa kagum. Pria ini benar-benar mudah diajak bicara dan sangat gentleman.Arnold menerima daging sapi itu, sementara Nadine membawa sisanya kembali ke rumah. Dia lalu memotret dan mengirimkannya kepada Jeremy.Balasan segera masuk.[ Sudah kasih Arnold? ][ Sudah, sudah! Ayah, bukankah kamu terlalu baik padanya? ]Jerem
Nadine agak tertegun. "Untukku? Lalu, kamu ...."Arnold berkata, "Aku nggak kedinginan.""Terima kasih."Setibanya di ujung gang, Arnold meminta Nadine menunggu sebentar, lalu masuk ke minimarket di samping. Tak sampai satu menit, dia keluar dengan dua cangkir minuman di tangannya."Nah."Nadine menerimanya, lalu mencium aromanya dengan penasaran. "Apa ini?""Teh merah jahe."Nadine mengangkat alis. "Minimarket menjual ini?" Kenapa dia sama sekali tidak punya kesan tentang itu?"Menu musiman, baru saja tersedia.""Punyamu juga?"Arnold menggeleng. "Bukan, aku pesan teh gandum hitam."Nadine menggenggam cangkir kertas itu, telapak tangannya terasa hangat. Ditambah jaket yang masih menyelimutinya, seluruh tubuhnya seperti dipenuhi kehangatan. Bahkan, pipinya tampak agak merah.Setelah naik tangga, Nadine melepaskan jaket itu dan mengembalikannya kepada Arnold. "Terima kasih, selamat malam."Arnold tersenyum tipis. "Selamat malam."Keduanya pun masuk ke rumah masing-masing.Setelah mandi,
Arnold hari ini ada kelas. Saat jam istirahat, dia mendengar dua mahasiswa membicarakan bahwa ada laboratorium di Fakultas Ilmu Hayati yang diberikan surat perintah renovasi oleh dinas pemadam kebakaran.Awalnya dia tidak terlalu peduli, sampai tiba-tiba nama Nadine disebut dalam percakapan mereka. Begitu bertanya lebih lanjut, dia baru tahu bahwa laboratorium yang dimaksud adalah milik Nadine.Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menuju ke sana dan tiba tepat saat ketiga orang itu sedang berbicara."Pak." Nadine menyapanya, "Kenapa tiba-tiba ke sini? Silakan masuk."Mikha dan Darius juga segera menyapa.Arnold berkata, "Aku sudah tahu semuanya. Kalau renovasi pemadam kebakaran dilakukan sesuai prosedur, setidaknya akan memakan waktu 2 bulan. Untuk sementara, pakai saja laboratoriumku. Kalian bisa memindahkan semua peralatan ke sana, pasti muat."Kedengarannya memang solusi yang cukup baik .... Namun, Mikha dan Darius tidak langsung menyetujui. Mereka justru menatap Nadine untuk mem
"Siapa yang menyuruh kalian masuk? Laboratorium kami nggak menerima hewan berkaki dua. Kalau punya akal, cepat pergi sebelum kami bertindak.""Siapa yang kamu maki, hah?" Kaeso berang hingga wajahnya memerah.Darius menimpali dengan santai, "Siapa yang menanggapi, berarti dia yang kumaki. Lihat saja, langsung ada binatang yang merasa tersindir.""Kamu ...."Nella tersenyum sinis. "Apa yang kalian banggakan sih? Seluruh laboratorium nggak bermasalah, cuma laboratorium kalian yang harus direnovasi. Malu-maluin saja, tapi masih berani keras kepala!""Kudengar, perbaikan keamanan kebakaran bisa makan waktu berbulan-bulan. Kasihan, kalian jadi nggak bisa pakai laboratorium dalam waktu dekat. Apa hebatnya menerbitkan makalah di Science? Nyatanya tetap nggak dianggap penting oleh fakultas. Ngapain sok hebat?"Nadine tersenyum. "Sebenarnya aku malas bicara karena takut kamu nggak sanggup menerimanya. Tapi kalau dipikir lagi, bersikap baik pada binatang buas sama saja dengan menyiksa diri sendi
Diana menyilangkan tangan sambil menatap dari atas. "Laporan apa?""Jangan pura-pura bodoh! Inspeksi pemadam kebakaran di laboratorium lain nggak ada masalah, tapi cuma laboratorium Nadine yang diberi surat perintah perbaikan. Kamu berani bilang ini nggak ada hubungannya denganmu?"Diana tersenyum tipis. "Aku sibuk. Setiap hari harus mengurus laporan dan menulis jurnal, mana ada waktu untuk ribut dengan anak-anak kecil? Tapi ... kalau ada orang lain yang nggak suka dengan mereka, itu di luar kendaliku."Bagaimanapun, dia punya banyak mahasiswa. Kalau ada satu atau dua yang tidak suka dengan kelompok Nadine, itu hal yang wajar, 'kan?"Sekarang kamu semakin berani ya? Berani bertindak tanpa memberitahuku dulu. Kamu ini masih menganggapku sebagai atasanmu atau nggak?"Diana mengerutkan kening. "Kamu memanggilku cuma untuk ini? Sekarang kamu mau membela mahasiswa Freya? Heh, ini bukan gayamu."Konan tertawa dingin. "Kamu pikir trik murahanmu itu sangat cerdas? Dasar bodoh!""Inspeksi pemad
"Saat itu kami ada di laboratorium, bukannya nggak ada orang. Mesin itu cuma nggak digunakan sementara, jadi secara otomatis masuk ke mode siaga. Kami juga akan menggunakannya lagi nanti. Siapa yang akan kurang kerjaan memutus dayanya?" jelas Mikha dengan kesal.Nadine sudah memiliki dugaan di benaknya, tetapi masih perlu memastikannya. "Ayo, kita ke laboratorium seberang."Mikha bingung. "Kenapa kita melihat mereka? Itu 'kan laboratorium dari jurusan lain, nggak ada hubungannya dengan kita ...."Darius juga merasa ada sesuatu yang aneh dan segera mengikuti Nadine. "Kalau disuruh pergi ya pergi, kenapa banyak tanya?"Mikha termangu sesaat. 'Wah, nyalinya semakin besar saja ya!'Ketiganya tiba di laboratorium seberang. Benar saja, sudut ruangan dilengkapi dengan satu set lengkap peralatan pemadam kebakaran."Ini ...." Mikha melongo. "Padahal bulan lalu belum ada!"Mereka memeriksa beberapa laboratorium lain. Hasilnya sama, semua yang sebelumnya tidak memiliki peralatan kini sudah lengka
"Ada apa?" tanya Nadine.Keduanya langsung mendongak, seperti anak kecil yang akhirnya melihat orang tua mereka setelah mendapatkan perlakuan tidak adil.Mikha langsung berlari ke arahnya, matanya sudah memerah bahkan sebelum sempat bicara. Darius menyusul di belakang, ekspresinya jelas tegang dan tangannya juga terkepal erat.Nadine langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tetap tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian duduk di luar dan nggak masuk?""Kak Nadine ...." Mikha berusaha menahan air matanya. Meskipun matanya sudah berkaca-kaca, dia tetap bersikeras untuk tidak membiarkannya jatuh. "Kami nggak bisa masuk lagi!""Apa maksudnya nggak bisa masuk lagi?" Nadine terkejut."Kemarin, tim inspeksi kampus dan pemadam kebakaran distrik tiba-tiba datang ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ...."Pemeriksaan kebakaran adalah prosedur rutin, jadi mereka berdua tidak berpikir terlalu banyak dan langsung membukakan pintu serta bekerja sama dengan baik.Siapa sangka,