"Setiap kali kami gagal menyembunyikannya, aku dan Ayah selalu mengevaluasi kesalahan dan mencari tempat persembunyian yang lebih rumit. Tapi, nggak peduli seberapa pintar kami menyembunyikannya, Ibu selalu berhasil menemukan uang itu ... seolah-olah ada kamera tersembunyi di sekujur tubuhnya."Nadine berbicara sambil tersenyum kecil, lalu menoleh ke Arnold yang sudah lama tidak bersuara. "Pak, kamu dengar ceritaku nggak?" Dia menoleh, tetapi tanpa sengaja beradu pandang dengan tatapan dalam lelaki itu.Nadine tertegun.Rambut panjangnya tergerai hingga menyentuh bahu. Ikat rambutnya yang kendur sejak makan malam tadi membuat helaiannya mudah tertiup angin. Angin malam menyapu ringan, membuat helaian rambut itu berkibar. Dalam momen itu, dia terlihat sangat memesona."Ya, aku lagi dengarin," jawab Arnold. Suaranya agak serak dan hampir tak terdengar."Ibumu pintar, punya mata yang jeli," tambahnya sambil tersenyum tipis.Nadine buru-buru memalingkan wajah. Tenggorokannya terasa kering.
Nadine berhenti sejenak di depan pintu."Kak Kamila, Kak Calvin, kenapa kalian melihatku begitu? Ada yang mau ditanyakan?"Kamila dan Calvin langsung bersemangat, seolah-olah sudah lama menunggu momen ini."Nadine, kami bisa minta bantuanmu nggak?""Bantuan apa?"Kamila menjelaskan, "Aku sekarang punya dua kelompok data yang sangat besar. Bukan cuma menghitung, bahkan menyusunnya saja sudah sulit. Kamu kan jago pemrograman. Bisa nggak bantu kami cari cara supaya lebih mudah?"Calvin menambahkan, "Kami nggak bisa buat program. Paling banter, kami cuma pakai metode kalkulasi tradisional. Tapi kali ini, datanya benar-benar terlalu banyak. Otak manusia nggak akan bisa menang melawan komputer. Jadi ... ehem, bisa nggak kamu bantu buatkan program sederhana untuk memproses data ini secara otomatis?"Setengah jam kemudian"Kak Kamila, coba lihat. Menurutmu, gimana alur perhitungan dan kecepatan prosesnya? Apa ada yang perlu disesuaikan lagi?"Nadine berdiri dan memberi ruang untuk Kamila yang
Guru itu langsung membangunkannya dan mulai bertanya. Eva sama sekali tidak memperhatikan materi, jadi tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan sang guru.Para siswa lain yang hadir pun mulai melirik ke arahnya dengan tatapan mengejek. Beberapa di antaranya bahkan mentertawakan kebodohannya. Eva terlihat semakin kesal dan tidak sabar.Dia memang suka barang-barang mewah seperti pakaian dan tas bermerek. Namun, kesukaannya hanya sebatas memilikinya, bukan mempelajari bagaimana cara memadukannya agar terlihat lebih baik. Jadi, semua pembahasan tentang kombinasi warna, jenis kulit, atau gaya berpakaian tidak masuk ke otaknya.Begitu kelas selesai, Eva langsung berjalan keluar lebih cepat daripada siapa pun.Keluar dari ruang kelas, dia melihat dirinya sudah berada di dalam pusat perbelanjaan. Dia teringat pernah menggunakan kartu tambahan milik Reagan untuk balas dendam menghabiskan uangnya. Yang mengejutkan, Reagan bahkan tidak bereaksi sama sekali. Mungkin dia bahkan tidak tahu bah
Eva memang ingin menyenangkan hati Rebecca, tetapi dia juga ingat bahwa dirinya sedang mengandung bayi keluarga itu. Jadi, siapa takut? Pikiran itu membuatnya tak bisa lagi menahan diri. Eva langsung balas membentak Rebecca."Aku cuma beli dua tas, kenapa? Nggak boleh? Aku cuma mau menyenangkan diriku sendiri! Apa itu salah? Kursus-kursus itu membosankan dan menjengkelkan. Kalau mau jujur, aku nggak mendengarkan satu kata pun! Bertahan sejauh ini saja sudah hebat bagiku!""Cuma beberapa tas saja, dan aku belum puas! Itu kartu tambahan dari anakmu. Kalau dia sendiri nggak protes, kenapa kamu yang repot memikirkannya?!"Rebecca begitu marah hingga darahnya naik. Dalam benaknya, dia langsung membandingkan Eva dengan Nadine.Saat Nadine masih bersama Reagan, dia hampir tidak pernah meminta tas atau pakaian bermerek. Bahkan jika membawa barang mewah, itu karena tuntutan acara atau permintaan Reagan sendiri. Nadine selalu berpakaian sederhana nan elegan, punya selera yang bagus, dan bisa mem
Rebecca sontak marah dan melemparkan handuk di dahinya. "Kamu kemari untuk menjengukku atau untuk membuatku marah? Kalau bukan karena dia hamil keturunan Keluarga Yudhistira, kamu kira aku akan peduli padanya?"Clarine mendengus. "Kalau begitu, kamu pantas mendapatkannya. Wanita seperti dia jelas punya niat jahat. Dia ingin menaikkan derajatnya dengan memanfaatkan anak di perutnya. Cuma kamu yang menganggapnya wanita polos."Sejak awal, Clarine tidak menyukai Eva. Sementara itu, Rebecca malah baru menyadarinya sekarang. Benar-benar lamban.Reagan mendengar kabar bahwa ibunya dirawat di rumah sakit. Dia langsung meninggalkan kantor dan pergi ke rumah sakit. Sebelum masuk, dia sudah mendengar suara perdebatan.Reagan mengernyit dan bertanya, "Apa yang sedang kalian ributkan?"Ketika melihat anaknya datang, Rebecca langsung duduk tegak dan berhenti mengeluh. Kemudian, dia mengadu, "Kamu datang tepat waktu! Pacarmu itu keterlaluan sekali! Aku berbaik hati menjemput dia pulang kuliah, dia m
Amarah Eva akhirnya meledak setelah menahan diri sejak tadi. "Kamu nggak bisa melihat semua yang sudah kulakukan selama ini? Aku cuma ingin kita kembali seperti dulu. Hubungan yang dekat tanpa jarak di antara kita. Tapi, hatimu seperti batu. Kamu nggak memberiku kesempatan sedikit pun ....""Kenapa? Kenapa begitu? Karena di hatimu masih ada Nadine, 'kan? Kamu nggak bisa melupakan dia sampai sekarang!"Reagan mengucapkan setiap patah katanya dengan perlahan, "Ya. Terus, apa masalahnya?" Dia bahkan tidak ingin berpura-pura lagi."Aku tahu aku nggak sebanding dengan Nadine, tapi cintaku padamu nggak kalah darinya ...." Eva menangis sesenggukan. Dia mencoba meraih tangan Reagan, tetapi ditepis dengan kejam."Kamu nggak pantas menyebut namanya." Urat di dahi Reagan sampai menonjol, seolah-olah dia sudah menahan amarahnya sampai batas maksimal. "Wanita sesuci dia jadi terdengar hina kalau kamu yang menyebut namanya.""Aku beri kamu satu kesempatan. Pergi minta maaf kepada ibuku atau keluar d
Stendy merentangkan kedua tangannya, lalu mengaku dengan santai, "Akhir-akhir ini aku lagi fokus mengembangkan diri, jadi memang nggak berani minum."Ejekan Reagan tidak berhasil membuat Stendy merasa kesal. Karena pukulannya tidak menghasilkan efek yang diharapkan, Reagan hanya bisa terdiam."Stendy, kamu ini nggak punya nyali. Kamu pria bukan sih?""Minum alkohol nggak ada hubungannya dengan nyali. Kalau soal aku pria atau bukan, yang nggak buta pasti bisa melihat dengan jelas."Reagan terkekeh-kekeh dingin. "Jadi, begini caramu mengejar Nadine? Begini juga waktu kamu ngajak dia ngobrol?""Tentu saja nggak." Stendy mengangkat jari telunjuknya dan menggoyangkannya. "Dia sangat paham soal prinsip hidup, jadi nggak ada yang perlu dijelasin.""Heh! Terus, apa yang kamu bicarakan dengannya?""Pengalaman, cerita lucu, pengetahuan profesional, puisi, lagu, atau filosofi hidup, bahkan ... kata-kata manis. Banyak deh, susah kalau mau sebutin semuanya."Reagan sontak terdiam.Stendy malah mena
"Jadi, sekalipun Nadine mencintaimu, dia akhirnya tetap akan memilih untuk pergi. Cuma masalah waktu saja." Stendy menyimpulkan.Enam tahun .... Stendy merasa waktu itu terlalu lama. Terlalu lama sampai dia mengira gadis yang dulunya bersinar terang itu telah berubah menjadi boneka yang terikat oleh cinta. Terlalu lama sampai dia sempat ragu, bahkan hampir menyerah.Untungnya, Nadine akhirnya mengambil langkah dan memilih untuk menjadi diri sendiri kembali.Stendy berkata, "Selama 6 tahun, dia memberimu banyak kesempatan. Kasih sayang yang terang-terangan seperti itu ...." Benar-benar membuat orang iri hingga hampir menggila!"Sayangnya, kamu tetap mengecewakannya. Makanya, dia pergi dengan tegas tanpa memberimu kesempatan lagi."Ini baru Nadine yang dikenalnya! Ketika jatuh cinta, dia akan mempertaruhkan segalanya yang dia punya. Begitu cinta itu hilang, dia pun bisa melepaskan diri dan melanjutkan hidupnya.Dulu, Teddy sering mengejek Nadine terlalu terobsesi dengan cinta dan gila. N
Kedua orang itu langsung menoleh ke arah Darius. Darius menggaruk kepalanya. "Kenapa kalian melihatku seperti ini ...." Rasanya agak canggung."Darius, sebenarnya keluargamu itu bergerak di bidang apa sih?" Mikha menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.Nadine ikut bertanya, "Aku ingat, terakhir kali kamu bilang orang tuamu ... adalah pegawai negeri?"Kelihatannya, pegawai negeri yang dimaksud bukan pegawai biasa. Nadine hanya menyebutkan secara singkat dan tidak bertanya lebih jauh.Mikha mungkin blak-blakan, tetapi dia juga tahu kapan harus berhenti. Ada yang bilang anak-anak dari keluarga pejabat tinggi biasanya sangat low profile. Jadi, masuk akal kalau Darius tidak pernah menyebutkannya sebelumnya.Darius akhirnya menghela napas lega. "Aku pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusnya.""Oke!" Mikha mengangkat tangan, "Demi laboratorium ...."Darius menyambung, "Demi nggak diusir lagi ...."Keduanya menoleh menatap Nadine.Nadine sempat terdiam, lalu spontan berseru, "M
"Ayahku punya properti, rumahnya tak terhitung jumlahnya! Dia yang selalu mengusir orang lain, nggak ada yang bisa mengusirnya!""Jadi, semuanya harus milik kita sendiri agar kita punya posisi kuat! Akademi meminjamkan kita ruangan bobrok, nggak ada CPRT, alat pemadam kebakaran pun nggak lengkap. Kita mati-matian menghasilkan penelitian, tapi akhirnya semua kredit jatuh ke akademi?""Memangnya di dunia ini ada hal sebaik itu? Aku sudah muak!"Mikha tidak pernah mengalami ketidakadilan seperti ini."Apa hebatnya sih? Cuma sebuah ruangan usang, alat-alatnya pun kita beli sendiri!"Amarah Mikha meledak-ledak. Dia benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Ketika dia melampiaskan kekesalan, air liurnya bahkan hampir menciprat ke mana-mana, membuat Darius dan Nadine melongo."Eh ... apa aku menakuti kalian?" Wajah Mikha yang bulat tampak malu untuk sesaat. Dia buru-buru menjelaskan, "Biasanya aku nggak seperti ini. Tapi kalau sudah marah, aku susah berhenti .... Ehem, ehem!"Dari
Nadine melihat ekspresi tak berdaya di wajah Arnold dan tak bisa menahan tawa."Ambil saja, Paman. Daging sapi bumbu buatan ayahku ini luar biasa enak, nggak semua orang bisa mencicipinya.""Kamu memanggilku apa?" Dia melangkah mendekat dan satu tangan bertumpu di dinding. "Hmm?"Nadine tak punya ruang untuk mundur lagi, hanya bisa menatapnya dengan wajah polos. "Aku cuma menyampaikan kata-kata ayahku, bukan aku yang mengatakannya.""Pak, lorong ini sempit. Kamu ... nggak mau mundur sedikit?"Arnold teringat bahwa dirinya masih sakit dan khawatir menularkannya pada Nadine. Dia menghela napas pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur ke samping.Nadine sekali lagi merasa kagum. Pria ini benar-benar mudah diajak bicara dan sangat gentleman.Arnold menerima daging sapi itu, sementara Nadine membawa sisanya kembali ke rumah. Dia lalu memotret dan mengirimkannya kepada Jeremy.Balasan segera masuk.[ Sudah kasih Arnold? ][ Sudah, sudah! Ayah, bukankah kamu terlalu baik padanya? ]Jerem
Nadine agak tertegun. "Untukku? Lalu, kamu ...."Arnold berkata, "Aku nggak kedinginan.""Terima kasih."Setibanya di ujung gang, Arnold meminta Nadine menunggu sebentar, lalu masuk ke minimarket di samping. Tak sampai satu menit, dia keluar dengan dua cangkir minuman di tangannya."Nah."Nadine menerimanya, lalu mencium aromanya dengan penasaran. "Apa ini?""Teh merah jahe."Nadine mengangkat alis. "Minimarket menjual ini?" Kenapa dia sama sekali tidak punya kesan tentang itu?"Menu musiman, baru saja tersedia.""Punyamu juga?"Arnold menggeleng. "Bukan, aku pesan teh gandum hitam."Nadine menggenggam cangkir kertas itu, telapak tangannya terasa hangat. Ditambah jaket yang masih menyelimutinya, seluruh tubuhnya seperti dipenuhi kehangatan. Bahkan, pipinya tampak agak merah.Setelah naik tangga, Nadine melepaskan jaket itu dan mengembalikannya kepada Arnold. "Terima kasih, selamat malam."Arnold tersenyum tipis. "Selamat malam."Keduanya pun masuk ke rumah masing-masing.Setelah mandi,
Arnold hari ini ada kelas. Saat jam istirahat, dia mendengar dua mahasiswa membicarakan bahwa ada laboratorium di Fakultas Ilmu Hayati yang diberikan surat perintah renovasi oleh dinas pemadam kebakaran.Awalnya dia tidak terlalu peduli, sampai tiba-tiba nama Nadine disebut dalam percakapan mereka. Begitu bertanya lebih lanjut, dia baru tahu bahwa laboratorium yang dimaksud adalah milik Nadine.Tanpa berpikir panjang, Arnold langsung menuju ke sana dan tiba tepat saat ketiga orang itu sedang berbicara."Pak." Nadine menyapanya, "Kenapa tiba-tiba ke sini? Silakan masuk."Mikha dan Darius juga segera menyapa.Arnold berkata, "Aku sudah tahu semuanya. Kalau renovasi pemadam kebakaran dilakukan sesuai prosedur, setidaknya akan memakan waktu 2 bulan. Untuk sementara, pakai saja laboratoriumku. Kalian bisa memindahkan semua peralatan ke sana, pasti muat."Kedengarannya memang solusi yang cukup baik .... Namun, Mikha dan Darius tidak langsung menyetujui. Mereka justru menatap Nadine untuk mem
"Siapa yang menyuruh kalian masuk? Laboratorium kami nggak menerima hewan berkaki dua. Kalau punya akal, cepat pergi sebelum kami bertindak.""Siapa yang kamu maki, hah?" Kaeso berang hingga wajahnya memerah.Darius menimpali dengan santai, "Siapa yang menanggapi, berarti dia yang kumaki. Lihat saja, langsung ada binatang yang merasa tersindir.""Kamu ...."Nella tersenyum sinis. "Apa yang kalian banggakan sih? Seluruh laboratorium nggak bermasalah, cuma laboratorium kalian yang harus direnovasi. Malu-maluin saja, tapi masih berani keras kepala!""Kudengar, perbaikan keamanan kebakaran bisa makan waktu berbulan-bulan. Kasihan, kalian jadi nggak bisa pakai laboratorium dalam waktu dekat. Apa hebatnya menerbitkan makalah di Science? Nyatanya tetap nggak dianggap penting oleh fakultas. Ngapain sok hebat?"Nadine tersenyum. "Sebenarnya aku malas bicara karena takut kamu nggak sanggup menerimanya. Tapi kalau dipikir lagi, bersikap baik pada binatang buas sama saja dengan menyiksa diri sendi
Diana menyilangkan tangan sambil menatap dari atas. "Laporan apa?""Jangan pura-pura bodoh! Inspeksi pemadam kebakaran di laboratorium lain nggak ada masalah, tapi cuma laboratorium Nadine yang diberi surat perintah perbaikan. Kamu berani bilang ini nggak ada hubungannya denganmu?"Diana tersenyum tipis. "Aku sibuk. Setiap hari harus mengurus laporan dan menulis jurnal, mana ada waktu untuk ribut dengan anak-anak kecil? Tapi ... kalau ada orang lain yang nggak suka dengan mereka, itu di luar kendaliku."Bagaimanapun, dia punya banyak mahasiswa. Kalau ada satu atau dua yang tidak suka dengan kelompok Nadine, itu hal yang wajar, 'kan?"Sekarang kamu semakin berani ya? Berani bertindak tanpa memberitahuku dulu. Kamu ini masih menganggapku sebagai atasanmu atau nggak?"Diana mengerutkan kening. "Kamu memanggilku cuma untuk ini? Sekarang kamu mau membela mahasiswa Freya? Heh, ini bukan gayamu."Konan tertawa dingin. "Kamu pikir trik murahanmu itu sangat cerdas? Dasar bodoh!""Inspeksi pemad
"Saat itu kami ada di laboratorium, bukannya nggak ada orang. Mesin itu cuma nggak digunakan sementara, jadi secara otomatis masuk ke mode siaga. Kami juga akan menggunakannya lagi nanti. Siapa yang akan kurang kerjaan memutus dayanya?" jelas Mikha dengan kesal.Nadine sudah memiliki dugaan di benaknya, tetapi masih perlu memastikannya. "Ayo, kita ke laboratorium seberang."Mikha bingung. "Kenapa kita melihat mereka? Itu 'kan laboratorium dari jurusan lain, nggak ada hubungannya dengan kita ...."Darius juga merasa ada sesuatu yang aneh dan segera mengikuti Nadine. "Kalau disuruh pergi ya pergi, kenapa banyak tanya?"Mikha termangu sesaat. 'Wah, nyalinya semakin besar saja ya!'Ketiganya tiba di laboratorium seberang. Benar saja, sudut ruangan dilengkapi dengan satu set lengkap peralatan pemadam kebakaran."Ini ...." Mikha melongo. "Padahal bulan lalu belum ada!"Mereka memeriksa beberapa laboratorium lain. Hasilnya sama, semua yang sebelumnya tidak memiliki peralatan kini sudah lengka
"Ada apa?" tanya Nadine.Keduanya langsung mendongak, seperti anak kecil yang akhirnya melihat orang tua mereka setelah mendapatkan perlakuan tidak adil.Mikha langsung berlari ke arahnya, matanya sudah memerah bahkan sebelum sempat bicara. Darius menyusul di belakang, ekspresinya jelas tegang dan tangannya juga terkepal erat.Nadine langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia tetap tenang. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian duduk di luar dan nggak masuk?""Kak Nadine ...." Mikha berusaha menahan air matanya. Meskipun matanya sudah berkaca-kaca, dia tetap bersikeras untuk tidak membiarkannya jatuh. "Kami nggak bisa masuk lagi!""Apa maksudnya nggak bisa masuk lagi?" Nadine terkejut."Kemarin, tim inspeksi kampus dan pemadam kebakaran distrik tiba-tiba datang ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ...."Pemeriksaan kebakaran adalah prosedur rutin, jadi mereka berdua tidak berpikir terlalu banyak dan langsung membukakan pintu serta bekerja sama dengan baik.Siapa sangka,