Lidah Kamila sampai sedikit kelu dan kesulitan berbicara. Beberapa orang lainnya juga sama terkejutnya."P-Pak ...." Wilfred memandang ke arah Arnold dan Nadine dengan tatapan penuh selidik, seakan menemukan sebuah rahasia besar yang mengejutkan. Sudut bibir Olive sedikit menegang, pandangannya menjadi dingin dan tajam."Arnold, apa ini maksudnya?" Calvin akhirnya sadar dari keterkejutannya dan langsung bertanya.Arnold menjawab santai, "Membantu. Nggak kelihatan?""Kamu bantu sampai masuk ke rumah Nadine? Luar biasa juga kamu ...," ujar Calvin setengah bercanda.Arnold hanya menjawab singkat, "Tetangga dekat lebih baik daripada saudara jauh. Jauh lebih berguna daripada kamu yang cuma datang buat makan.""Tetangga dekat? Maksudnya?"Nadine pun menjelaskan, "Pak Arnold tinggal di sebelah. Rumah kami berhadapan. Kebetulan tadi sore pas aku keluar dari laboratorium dan mau belanja, aku ketemu Pak Arnold. Dia kebetulan bawa mobil, jadi mengantarku ke supermarket.""Oh, jadi begitu ya." Kam
Arnold menyesuaikan kacamatanya dengan ekspresinya yang tetap datar. Detik berikutnya, Stendy menyeberangi jalan dan berjalan mendekati Nadine. "Aku tadinya mau ke atas mencarimu, tapi ternyata ketemu di sini.""Ada masalah?""Ada," jawabnya sambil mengangguk, ekspresinya tampak serius. "Kita bisa bicara di tempat lain yang lebih nyaman?"Nadine menoleh ke arah Arnold, sementara Stendy ikut memandang ke arahnya. "Ah, kebetulan sekali, Pak Arnold. Kita ketemu lagi," ujar Stendy.Arnold menjawab santai, "Bukan kebetulan. Kalau kamu datang menemui Nadine, akan sangat mudah bertemu denganku."Stendy terdiam sejenak, matanya menyipit. Arnold membalas tatapannya dengan tenang, tanpa merasa gentar atau menghindar."Setengah jam cukup?" Nadine melirik jam di pergelangan tangannya."Cukup.""Ayo kita ke kedai teh susu di seberang."Di sekitar sana, hanya kedai teh susu dan restoran yang paling banyak. Karena belum masuk jam pulang kelas malam, suasananya masih cukup sepi dan tenang.Nadine dudu
Stendy tentu saja bisa melihat perasaan Arnold terhadap Nadine. Mungkin tidak terlihat jelas, tetapi Arnold sudah pasti menyimpan sedikit perasaan terhadap Nadine. Asalkan ada perasaan sedikit saja, Stendy tidak mungkin melewatkannya.Stendy tiba-tiba berhenti melangkah. Nadine yang berjalan setengah langkah di belakangnya, nyaris menabraknya jika dia tidak berhasil menahan diri."Maaf," ujar Stendy sambil menoleh ke bawah dan menatap Nadine. "Aku lupa sesuatu."Nadine mengernyit. "Hah?"Detik berikutnya, sebuah gelas teh susu hangat sudah berada di genggamannya. Hangatnya gelas itu menembus telapak tangannya dan membuat Nadine tertegun."Pegang baik-baik. Kalau tumpah, aku nggak mau tanggung jawab."Nadine memandang teh susu itu dengan heran. "Kapan kamu beli ini?"Sepanjang mereka duduk berhadapan, dia sama sekali tidak melihat Stendy memesan apa pun.Stendy menyunggingkan senyum kecil. "Rahasia.""Oh." Nadine mengangguk, lalu berkata sambil bercanda, "Sepertinya kamu sudah sering pa
"Kalau belum cukup, aku masih punya satu informasi lagi. Satu jam yang lalu, kami duduk berdua di kedai teh susu dekat apartemennya sambil mengobrol. Semua ini fakta, silakan dicek kalau nggak percaya ...."Philip melirik ke arah Reagan yang wajahnya tampak muram. Apa masih sempat jika dia mematikan speaker sekarang?Namun, Stendy malah memperburuk situasi, "Sudah dengar jelas belum? Perlu aku ulangi lagi? Biar beberapa orang bisa merekamnya, jadi bisa dibawa pulang dan dipelajari dengan saksama."Philip terdiam. Tolong, itu benar-benar tidak perlu!"Hm ... Sten, kamu sibuk ya? Aku di sini juga ada urusan lain, jadi kututup dulu teleponnya ya." Tanpa menunggu jawabannya, Philip buru-buru memutus panggilan. Stendy tertawa kecil, lalu menekan pedal gas dan mobilnya melesat."Kak Reagan ...." Philip berkata dengan hati-hati, "Jangan dengarkan omongannya. Siapa tahu cuma bualan ...."Reagan tidak menjawab. Ekspresinya datar ketika dia berbalik masuk ke dalam ruang VIP. Philip bergegas meng
Reagan menatap Eva dari atas ke bawah, lalu mencibir sinis, "Bukannya katanya perutmu sakit? Dari yang kulihat, kamu baik-baik saja."Tatapan tajam Reagan membuat Eva merasa trik murahan yang dia rencanakan sudah terbaca. "Kalau kamu nggak ada di rumah, aku bahkan nggak punya teman bicara. Aku kesepian ...."Reagan memotong dengan tak acuh, "Kesepian? Pergi baca buku atau kerjakan soal. Kamu kan masih mahasiswa? Nggak ada kelas? Bukannya mau persiapan ujian pascasarjana? Kamu kelihatan santai, tapi Bi Julia lagi sibuk di dapur. Kenapa kamu nggak bantu dia?"Eva terbata-bata, tak tahu harus menjawab apa.Mata Reagan semakin dingin. Trik seperti ini? Sudah terlalu sering dia lihat. Murahan dan tidak kreatif Dia berbalik hendak pergi, tapi tubuh Eva tiba-tiba memeluknya dari belakang dan tangannya melingkari pinggang Reagan dengan erat.Tubuh lembut Eva menempel ke punggungnya, suaranya terdengar lembut dan memelas, "Kak Reagan, jangan pergi. Aku sudah lama nggak ketemu kamu. Aku benar-be
Reagan menendang mangkuk yang terjatuh itu hingga pecah berkeping-keping di lantai. Eva merinding ketakutan."Sudah kubilang, jangan pura-pura di depanku! Kamu punya waktu tiga detik untuk naik ke kamarmu dan menjauh dari pandanganku!"Reagan menunjuk ke arah lantai atas, matanya dipenuhi amarah yang meluap-luap. Eva tak berani membantah. Dengan tubuh gemetar, dia buru-buru naik ke lantai atas.....Makan malam itu, Nadine merasa hubungan antara dirinya dan teman-teman laboratorium semakin akrab. Sebagian besar, tentu saja berkat keahlian memasaknya.Sekarang setiap siang, Nadine sengaja memasak lebih banyak sehingga teman-temannya bisa ikut mencicipi. Sebagai balasan, Kamila dan yang lainnya sering membantunya menjawab pertanyaan sulit tentang metode eksperimen.Namun perubahan yang paling mencolok datang dari Calvin.Sejak Nadine mempelajari teknik hitung cepat yang diajarkan Calvin dengan cepat dan sempurna, penilaian Calvin terhadapnya berubah total. Dia sering mengajak Nadine mend
Nadine jelas baru bangun tidur. Dia mengenakan piama bergambar beruang kecil. Matanya masih tampak agak merah. Dia menguap perlahan dan reaksinya sedikit lebih lambat dari biasanya."Apa aku membangunkanmu?" tanya Arnold. Rumah tua itu memiliki isolasi suara yang buruk, bahkan langkah kaki di lorong sering terdengar meski pintu tertutup. Arnold berpikir mungkin dirinya yang membuat Nadine terbangun.Nadine mengusap matanya dan menggeleng pelan. "Nggak, aku memang mau bangun sekarang. Sudah jam setengah tujuh."Hari ini dia berencana menemani Natasha berbelanja, jadi dia harus bangun lebih awal untuk membaca jurnal dan mencari referensi. Melihat Nadine yang masih tampak mengantuk, suara Arnold menjadi lebih lembut. "Masih pagi. Kamu bisa tidur lagi kalau mau."Belum selesai bicara, dia malah mendapati Nadine menatapnya dengan penuh perhatian. Arnold tertegun. "Kenapa menatapku begitu?"Nadine bertanya langsung, "Pak Arnold, apa kamu lagi flu?"Arnold terkekeh, "Ketahuan ya?""Suaramu ag
Meskipun kartu yang digunakan adalah kartu tambahan milik Reagan, setidaknya kali ini Eva lebih royal dibanding sebelumnya yang hanya memberikan syal.Keduanya berjalan masuk ke sebuah butik pakaian mewah. Sang pramuniaga yang berpengalaman langsung mengenali Rebecca sebagai pelanggan penting dari penampilannya.Dengan senyum profesional, dia segera menyambut, "Nyonya, ada yang bisa saya bantu? Ini koleksi terbaru kami, elegan dan mewah, sangat cocok dengan aura Anda."Hari ini, Rebecca mengenakan mantel hitam klasik dari Gucci dengan kalung mutiara di lehernya, menonjolkan kesan berkelas dan anggun."Baik, tolong ambilkan dua potong ini. Aku mau coba."Eva yang tadi rela menggigit bibir sambil membayar beberapa tas mahal untuk Rebecca, terlihat tenang dari penampilannya. Namun, hatinya terasa seperti ditusuk jarum. Ratusan juta! Dia tidak pernah menghamburkan uang sebanyak ini seumur hidupnya.Meskipun dia memegang kartu tambahan Reagan, Eva selalu berhati-hati agar tidak terkesan mat
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa
Keesokan paginya, Nadine keluar untuk jogging pagi. Setelah punya lebih banyak waktu luang, dia kembali pada kebiasaan lari pagi. Setiap kali selesai lari dan mandi, dia merasa segar dan bertenaga sepanjang hari."Pagi, Pak Arnold.""Pagi."Arnold baru saja selesai berlari dan bersiap pulang. Namun, melihat Nadine, dia berbalik arah. "Ayo, kutemani kamu lari sebentar.""Nggak mengganggu jadwalmu di laboratorium?""Proyek baru sekarang ditangani sama Calvin, jadi aku nggak terlalu sibuk belakangan ini.""Wah, Pak Calvin pasti punya banyak keluhan," canda Nadine."Keluhan nggak akan berguna, tetap saja dia harus bekerja," jawab Arnold dengan wajah serius. Kalau Calvin mendengar itu, dia mungkin akan langsung frustasi.Keduanya berlari mengelilingi taman dua putaran. Ketika Nadine mulai terlihat kelelahan, Arnold menyadari hal itu."Atur napas, perhatikan ritme. Ikuti aku ... tarik, hembus, tarik, hembus ...."Nadine mengikuti instruksinya dan merasa lebih baik. "Wah, jadi lebih ringan!"
"Astaga!" Kelly langsung menepis tangan Teddy dari pundaknya, berdiri tegak, sambil diam-diam bersyukur karena sudah membuang puntung rokok lebih awal.Nadine butuh usaha besar untuk menutup mulutnya yang ternganga. "Ehm .... Kel, kamu lupa tasmu tadi."Dia sebenarnya cuma mau mengembalikan tas, tapi malah menyaksikan apa ini? Kelly terlihat bersandar mesra dengan seorang pria? Punggung pria itu ... kenapa rasanya tidak asing?Saat keduanya berbalik, teka-teki itu terjawab.Itu Teddy?!Jadi ... ini yang disebut Kelly sebagai "mitra kerja samanya"?Kelly berjalan mendekat dan mengambil tas dari tangan Nadine. "Makasih ya, Nadine! Malam-malam begini masih repot-repot ngantarin tasku. Cepat naik ke atas, sudah malam, bahaya di luar. Aku tunggu di sini sampai kamu di balkon, ya. Kalau sudah sampai, lambaikan tangan biar aku yakin.""Oke."Nadine berbalik dan pulang ke apartemennya. Dia tahu betul siapa Kelly. Meskipun temannya terlihat santai dan tanpa beban, dia selalu punya rencana matan
"Kalau nggak mau nunggu, ya pergi saja. Siapa juga yang mau ketemu kamu?" Kelly mendengus sambil memutar bola matanya. "Lihat sikapmu itu. Kamu yang butuh bantuan, 'kan?"Teddy menarik napas dalam-dalam, menahan diri. Wanita ini bisa bela diri. Kalau dia sampai membuat wanita ini marah, yang rugi adalah dirinya sendiri."Jangan marah dong," Teddy langsung mengganti wajahnya dengan senyuman, "Aku sudah bilang ini kasus darurat. Kamu santai begini, gimana aku nggak curiga?""Ada apa, langsung bilang." Kelly melirik ke dalam mobilnya. "Eh, itu ... ada rokok nggak?""Buat apa?""Kasih aku satu."Teddy terdiam. Dengan pasrah, dia kembali ke mobil, mengambil rokok dan korek api, lalu menyerahkannya. Namun, Kelly tidak langsung menerima. Dia menyilangkan tangan di depan dada dan menatapnya dengan senyum mengejek."Oke," Teddy mengangguk dan memasang ekspresi sabar. "Aku ini bukan cari pacar, aku malah cari majikan." Dia lalu menyalakan rokok untuk Kelly.Ini pertama kalinya Teddy menyalakan r
"Di mana kamu? Kenapa selama beberapa hari ini teleponku nggak kamu angkat?! Apa sekarang kamu bahkan nggak peduli lagi sama ibumu?"Tiga pertanyaan berturut-turut. Nada bicaranya semakin tajam di setiap kalimat.Reagan menjawab dengan tenang, "Aku lagi dinas. Sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon.""Kamu sekarang juga harus pulang! Sekarang! Kalau kamu nggak pulang, jangan pernah anggap aku sebagai ibumu lagi!"Mendengar nada bicara ibunya yang tidak seperti biasanya, Reagan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa banyak bertanya, dia menutup telepon dan langsung menuju rumah lama keluarganya.Begitu sampai di depan pintu, dia mendengar suara pecahan vas bunga. Reagan berhenti sejenak, lalu masuk ke dalam rumah. "Ibu, aku sudah pulang."Mendengar suaranya, Rebecca muncul dari dalam. Tanpa menunggu, dia langsung memarahi Reagan habis-habisan."Orang macam apa yang kamu pilih?! Kalau Eva itu memang murahan, aku masih bisa terima, tapi keluarganya juga seperti preman pasar! Terutama i
Keributan di luar begitu besar sehingga menarik perhatian para nyonya yang sedang berkumpul di ruang pertemuan.Ketika mereka melihat keluar, pemandangan yang mereka lihat membuat mata mereka membelalak. Rebecca dengan rambut berantakan, sedang ditarik-tarik oleh seorang wanita yang terus memakinya tanpa henti.Luar biasa! Skandal sebesar apa ini? Para nyonya saling menatap dan bertukar pandangan penuh arti. Melihat banyak orang mulai berkumpul, Lupita semakin bersemangat."Semua orang, lihat baik-baik! Ini dia wanita itu! Anaknya mempermainkan perasaan putriku, membuat putriku hamil, tapi nggak mau bertanggung jawab!""Putriku adalah gadis baik-baik, masa depannya hancur begitu saja! Bukannya meminta maaf, dia malah menghindar dan nggak mau menemui kami? Memangnya keluarga kami ini nggak punya harga diri?!"Lupita sambil berbicara mulai menggulung lengan bajunya, bersiap untuk aksi lebih lanjut."Ayo, semua rekam ini! Sebarkan videonya ke internet, biar seluruh masyarakat tahu seperti
"Kenapa satpam belum datang juga?! Cepat tahan mereka ...."Di tengah kekacauan itu, Lupita berhenti berpura-pura sopan dan berteriak lantang, suaranya menggema di lobi. "Rebecca mana?! Siapa yang namanya Rebecca?! Aku mau bicara sama Rebecca! Suruh dia keluar sekarang juga!"Dua hari sebelumnya, Lupita dan putranya, Rocky, tiba di Kota Juanin. Begitu sampai, mereka langsung pergi menjenguk Eva yang masih dirawat di rumah sakit, lalu ....Mereka tinggal di kamar pasien itu.Lupita berkata, "Kenapa harus tinggal di hotel? Hotel kan mahal! Menurutku kamar rumah sakit ini sudah cukup bagus, luas, terang, dan yang paling penting, gratis!""Tapi cuma ada satu tempat tidur. Kamu dan Rocky ....""Kenapa? Kami ibu dan anak, apa yang perlu dipermasalahkan?"Rocky yang baru saja selesai makan siang, ikut menimpali sambil membersihkan giginya, "Iya, betul! Aku dan Ibu juga sering tidur bareng di rumah. Hemat listrik, cukup pakai satu AC."Tidak peduli seberapa keras Eva mencoba membujuk mereka, h
Teddy tersenyum percaya diri. "Koneksiku jauh lebih luas daripada si Jim ... apalah tadi namanya."Kelly menatapnya selama beberapa detik dengan ekspresi aneh, sebelum berkata, "Kamu yakin mau kerja sama denganku?""Tentu saja. Kenapa? Pandanganmu itu meremehkan aku, ya?"Kelly memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi.Keluarga Teddy jelas tidak perlu diragukan. Salah satu dari delapan keluarga besar di Kota Juanin, mereka berada beberapa level di atas Keluarga Tanoto.Dan Teddy sendiri, meski playboy dan punya banyak skandal, dia terlihat cukup stabil secara emosional. Bahkan tadi dia tidak membalas ketika ditampar, menunjukkan bahwa dia bisa bersikap tenang dan sedikit gentleman.Meski gaya hidupnya liar, itu tidak masalah bagi Kelly. Lagi pula, dia juga hidup dengan cara yang sama! Bagus. Mereka tidak akan saling mengatur.Kalaupun bertemu di kelab malam, mereka mungkin malah bisa bersenang-senang bersama.Yang terpenting, Teddy adalah tipe pria yang bisa dengan
Wanita itu selesai berbicara, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme yang mantap. Teddy hanya tertawa kecil, sama sekali tidak memedulikan kutukan wanita itu.Pahitnya cinta?Huh! Omong kosong!Belum lama wanita itu pergi, seorang gadis muda keluar dari bar. Dia mengenakan rok pendek, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan putih, rambut ikalnya terurai indah, dengan riasan wajah yang sempurna."Pak Teddy ...."Gadis itu mendekat dengan percaya diri, mengira pria itu tidak akan menolak. Namun, di luar dugaannya, Teddy justru menghindar dengan cepat. Dia mengulurkan tangannya dan malah merangkul pinggang Kelly serta menariknya ke dalam pelukannya.Kelly yang tadinya sedang asyik menonton drama, langsung terkejut. Teddy menatap gadis itu dengan santai. "Maaf ya, kamu telat datang."Gadis itu menggigit bibirnya, melirik Kelly dengan kesal, lalu pergi dengan berat hati."Pakai aku sebagai tameng?" Kelly melipat tangan di depan dada