Reagan baru menyadari bahwa Eva jauh lebih licik daripada yang dia bayangkan. Dulu, dia menganggap gadis itu polos dan baik hati, lugu dan ceria. Namun, kenyataannya? Reagan merasa seperti orang bodoh yang ditipu, dijebak, bahkan sampai kehilangan ... Nadine karena dia.Jika bukan karena Eva, mana mungkin hubungannya dengan Nadine bisa berantakan seperti ini? Memikirkan hal itu, rasa muaknya semakin mendalam. Dia bahkan tidak ingin menginjakkan kaki di tempat yang sama dengan Eva!Sudah beberapa hari dia memilih untuk tidur di kantor. Eva tidak berani meneleponnya langsung, tetapi dia terus memanfaatkan Rebecca untuk mendesak Reagan pulang.Agar bisa menghindari perdebatan dengan ibunya, Reagan terpaksa pulang ke vila. Namun, itu hanya sebatas formalitas!....Ketika tiba di vila, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Begitu dia membuka pintu, Eva sudah berdiri di sana dan berusaha meraih jaket yang dia kenakan. Reagan buru-buru menghindar, lalu berjalan melewatinya dan langsung
Nadine terbangun oleh suara ketukan pintu. Dia langsung duduk tegak, memastikan bahwa memang ada seseorang yang sedang mengetuk pintu rumahnya."Siapa itu?" tanyanya dengan nada waspada dari balik pintu.Malam ini Arnold sedang lembur di laboratorium. Jika ada orang jahat yang datang ke rumahnya, tidak ada seorang pun yang bisa membantu Nadine saat ini.Ketukan pintu berhenti sejenak, tetapi orang di luar tidak menjawab. Melihat tidak ada respons, suara ketukan kembali terdengar dan kali ini lebih tegas lagi."Kalau kamu nggak bicara, aku nggak akan membukakan pintu.""Nadine ...." Suara Reagan terdengar dari luar, diiringi dengan senyum getir. Dia masih keras kepala seperti dulu."Ada apa?" tanya Nadine dengan nada dingin dan langsung mengerutkan kening saat mengenali suaranya."Biarkan aku masuk. Kita perlu bicara. Aku janji nggak akan melakukan apa pun. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa membiarkan pintunya terbuka sedikit saja ....""Nggak ada yang perlu kita bicarakan," potong Na
Jelas-jelas Reagan yang lebih dulu melepaskannya. Sekarang, ketika Nadine sudah menerima kenyataan dan hampir melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu, Reagan justru kembali dan mencoba menariknya kembali? Bukankah ini sangat lucu?"Reagan, tolong jangan ganggu aku lagi. Jangan paksa aku untuk membencimu." Ketegasan dan keputusan Nadine merobohkan semua kepercayaan diri dan keberanian Reagan."Nadine ... jangan begini, ya?"Namun, Nadine hanya memandangnya dengan tatapan tenang."Aku sudah selesaikan semua halangan di antara kita. Ibuku juga sudah setuju. Asalkan kamu mau, kita bisa langsung pergi ke kantor catatan sipil untuk daftarin pernikahan!" lanjut Reagan.Nadine membalas, "Aku nggak mau."Semua ucapan Reagan tidak lebih dari tipu daya untuk menghibur diri."Nadine ...," panggilnya lagi."Aku sibuk, aku harus pergi." Setelah berkata demikian, Nadine melewatinya dan berjalan menjauh dengan langkah mantap. Reagan tertegun dan berdiri mematung di tempat.Di sekitarnya, orang-o
Di laboratorium ....Kamila berkata, "Calvin, kamu jago hitung, 'kan? Tolong bantu aku hitung data ini. Aku butuh mendesak!"Calvin juga sedang sibuk. "Kamu hitung pakai komputer saja, aku lagi sibuk ....""Jangan, punyaku ini lebih penting. Coba kamu lihat dulu. Cepat kok, cuma butuh beberapa menit!"Calvin menunjuk Nadine yang berada di meja eksperimen di seberang. "Tanya dia saja, dia bisa."Sejak kejadian koreksi data sebelumnya, kemampuan Nadine sudah diakui oleh banyak orang di lab. Namun, Olive masih merasa itu hanya keberuntungan semata."Kenapa Kak Kamila? Butuh bantuan?" tanya Nadine berinisiatif.Kamila segera mengiakan. "Iya, butuh bantuan. Coba bantu aku lihat ini ...."Dua menit kemudian, Nadine berkata, "Sudah selesai. Hasilnya sudah kukirimkan ke server internal.""Hah? Cepat sekali?!" seru Kamila.Calvin yang sedang sibuk pun menghentikan pekerjaannya dan langsung meminta data itu dari Kamila, "Coba kulihat datanya ...."Kamila memutar bola matanya. "Waktu kusuruh hitu
Kamila bertanya, "Menurutmu siapa yang bakal menang?"Calvin menjawab, "Untuk sementara ini kelihatannya Wilfred lebih unggul."Kamila tidak berkomentar, jelas sekali dia juga setuju terhadap pendapat Calvin. Saat memasuki menit kelima, Nadine sudah menyelesaikan soal keempat dan baru hendak mulai mengerjakan soal kelima.Sementara itu, Wilfred kesulitan menyelesaikan soal keempat selama beberapa detik, sehingga dia mulai ketinggalan sedikit. Saat ini, Nadine sedang memimpin pertandingan, tetapi perbedaan waktu mereka tidak jauh.Saat memasuki menit keenam, kedua orang itu sama-sama kesulitan mengerjakan soal terakhir.....Pada menit keenam lima puluh detik, Nadine menuliskan jawaban terakhirnya, selesai.Dengan keringat tipis di dahinya, Wilfred juga akhirnya berkata, "Selesai!"Namun sayangnya, dia masih lebih lambat sepuluh detik dibandingkan Nadine. Dia menarik napas lega, mengusap keringatnya, lalu tersenyum percaya diri, "Nggak masalah. Selain kecepatan, yang terpenting adalah a
Arnold baru menyelesaikan pelajarannya. Tangannya masih memegang materi pelajaran.Kamila berucap, "Tadi Wilfred dan Nadine lomba berhitung. Yang kalah harus traktir. Makanya, kami lagi mikir mau makan apa."Arnold melirik semua orang. Dia melihat Nadine tersenyum bahagia, seolah-olah dirinya benar-benar telah menyatu dengan lingkungan di sini.Arnold tersenyum tipis. "Oke. Kalau begitu, kita pulang lebih awal hari ini. Wilfred yang traktir.""Eh?" Kamila tampak heran. "Aku belum bilang siapa yang kalah. Kenapa kamu sudah suruh Wilfred traktir?"Arnold bertanya balik, "Memangnya aku salah? Bukan Wilfred yang kalah?""Eee ... nggak sih, kamu benar," timpal Kamila.Wilfred tidak bisa berkata-kata."Olive, kamu ikut nggak?" tanya Kamila."Nggak."....Pada akhirnya, mereka mencari kedai di pinggir jalan. Meskipun Kamila sibuk memberi usul tadi, dia tetap mempertimbangkan keuangan Wilfred.Wilfred bukan berasal dari keluarga berada. Orang tuanya hanya petani. Mereka menghabiskan tabungan m
Awalnya tidak begitu merah, tetapi kemudian merahnya menjalar sampai ke telinga. Nadine mengamati perubahan ini dalam waktu kurang dari 10 detik. Dia sungguh terkejut.Arnold berkata, "Mungkin kepanasan."Nadine segera menurunkan jendela mobil di sampingnya. "Sudah mendingan belum?""Ya."....Setelah mengantar Nadine pulang, Arnold teringat pada hasil penelitiannya yang belum beres. Dia lantas kembali ke laboratorium.Nadine berbaring di sofa. Setelah bersenang-senang tadi, dia merasa sangat lelah. Ketika memejamkan mata, adegan di dalam mobil tadi tiba-tiba muncul di benaknya.Nadine teringat pada tangan Arnold yang menyentuh kepalanya. Sentuhannya yang lembut membuat Nadine merasa terlindungi dan termotivasi.Apa mungkin ini hanya ilusinya? Arnold memang menyemangatinya, tetapi hanya sebatas itu.Nadine perlahan-lahan membuka matanya dan memandang langit-langit. Penyewa sebelumnya tidak merawat rumah ini dengan baik sehingga terlihat kotor.Meskipun Nadine sudah menempel wallpaper u
Nadine buru-buru mengalihkan topik pembicaraan, "Aku lapar. Kamu sudah buat reservasi di restoran, 'kan? Kita pergi makan yuk!"Ada restoran hotpot yang terkenal di sekitar sini. Setiap akhir pekan, restoran itu sangat ramai. Makanya, Kelly memesan dua hari sebelumnya supaya dapat tempat.Di sekitar restoran hotpot ada rumah jaga. Daging sapi yang dipakai restoran langsung diangkut dari rumah jagal itu. Makanya, dagingnya sangat segar.Nadine sangat menyukai hotpot mereka. Apalagi, bahan dasar kuahnya terbuat dari iga sapi. Hanya kuahnya saja sudah sangat wangi.Kelly duduk, lalu menunjuk menu, "Ini, ini, ini juga. Semuanya dua porsi."Berat badan Kelly menurun karena terus bekerja lembur belakangan ini. Dia akhirnya bisa jalan-jalan dan merilekskan diri sehingga harus makan banyak. Kalaupun berat badannya naik nanti, dia tinggal pergi gym.Nadine melihat meja yang dipenuhi daging dan sayuran. Dia menelan ludah dan bertanya, "Apa kita bisa menghabiskan semuanya?"Nadine tidak ingin men
Jeremy berucap, "Ngapain kamu tanya-tanya? Lagian, Nadine pasti nggak tahu urusan pribadi dia. Untuk apa tanya Nadine? Nanti tanya langsung ke Arnold saja."Irene malah mengangguk setuju. "Ya, nanti kalau ada kesempatan, aku tanya langsung ke dia.""Kamu ini ... malah anggap serius omonganku." Jeremy cukup terkejut.Irene memutar bola matanya. "Nad, ada gula batu nggak?""Ada, aku ambilkan." Nadine segera berdiri dan berjalan ke dapur.Melihat putrinya pergi, Irene baru berbicara pada Jeremy, "Nadine tinggal sendirian dan Arnold tetangganya. Mereka tetangga dan punya hubungan baik. Masa aku nggak boleh tanya?""Benar juga, istriku selalu berpikir dengan menyeluruh. Hehe ...."Irene memelotot. "Jangan mendekat. Nanti Nadine lihat gimana?""Ehem!" Jeremy langsung duduk tegak. "Ya sudah."Kamar sudah beres, bahkan Nadine mengganti ranjang baru untuk orang tuanya. Seprai dan selimut juga baru. Setelah dicuci bersih dan dikeringkan, semuanya baru dipasang."Kalian tidur siang saja dulu. Nan
Jeremy segera mengangguk. "Ya, ya, nanti kita ngobrol lagi."Arnold mengangguk ringan, lalu pergi. Setelah masuk, Nadine langsung meletakkan koper. Irene dan Jeremy mulai mengamati tempat tinggal putri mereka.Dua kamar tidur, satu ruang tamu. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.Meskipun tata letak dan kondisi bangunan terlihat agak tua, dekorasi interiornya cukup bagus. Sofa, lemari, dan peralatan rumah tangga semuanya baru.Beberapa kerusakan yang tidak bisa diperbaiki ditutupi dengan pernak-pernik. Ada yang ditutupi, ada yang disembunyikan sehingga terlihat cukup rapi. Sekilas, ini tampak seperti apartemen kecil yang elegan dan hangat.Awalnya, ketika mereka melihat lorong tangga yang kotor dan berantakan, mereka sudah tidak menaruh harapan terhadap tempat tinggal putri mereka.Namun, setelah masuk, mereka baru menyadari bahwa pemikiran mereka sudah salah. Irene justru sangat puas.Bukan hanya karena Nadine berhasil mendekorasi rumah ini dengan begitu indah, tetapi juga k
Arnold segera menebak identitas mereka berdasarkan usia dan penampilan mereka. Sambil tersenyum, dia mendekat dan menyapa, "Selamat pagi, Paman, Bibi. Namaku Arnold, tetangga Nadine."Nadine segera bereaksi dan segera memperkenalkan mereka, "Ayah, Ibu, ini Profesor Arnold yang meminjamkan laboratorium kepadaku."Jeremy terkejut. "Ternyata profesor yang masih sangat muda, hebat sekali."Irene juga terkejut. Namun, dia segera bereaksi dan tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu kepada putri kami selama ini.""Sama-sama. Panggil saja namaku langsung," ucap Arnold."Eee ...." Jeremy menyadari sesuatu yang dipegang oleh Arnold. Itu adalah sebuah benda dengan sampul kertas cokelat, seperti buku, tetapi bukan buku.Arnold menjelaskan, "Ini adalah buku catatan kalender yang kupinjam dari Profesor Santo di Departemen Fisika Universitas Quar."Khawatir Jeremy tidak mengerti, Arnold menjelaskan lebih lanjut, "Buku catatan kalender adalah tradisi di Departemen Fisika Universitas Quar. Setiap pro
"Bukannya kamu lagi sibuk dengan makalahmu? Kalau kami datang, apa kamu nggak merasa terganggu?""Nggak, makalahku sudah selesai dan sudah dikumpulkan. Sekarang lagi nggak ada kerjaan.""Tapi, sekarang lagi musim panas, peringatan suhu tinggi di seluruh negeri. Apa nggak bahaya kalau keluar untuk liburan sekarang?"Irene sudah tidak tahan mendengar percakapan itu. Dia langsung menyela, "Jangan dengarkan omongan ayahmu. Di wajahnya jelas-jelas tertulis dia ingin sekali pergi."Jeremy berdeham. "Aku 'kan nggak bilang nggak mau pergi."Nadine tertawa. "Ya sudah, sekarang aku pesan tiket kereta cepat untuk kalian."Setelah menutup telepon, Nadine langsung buka aplikasi tiket dan pesan dua tiket bisnis.....Jeremy dan Irene terkejut saat menerima informasi tiket yang dikirimkan putrinya. Ternyata tiketnya untuk besok! Mereka langsung mulai berkemas."Anak ini ada-ada saja. Cuma beberapa jam perjalanan, tapi sampai pesan tiket bisnis. Ini namanya buang-buang uang ...." Jeremy mengomel sambi
Karen yang begitu galak tidak mungkin menerima kerugian seperti itu. Hari itu juga, dia langsung pergi ke kantor agen properti itu, menuntut agar agen muda itu keluar.Namun, penanggung jawab memberitahukan bahwa agen itu sudah mengundurkan diri tiga hari yang lalu.Karena tidak punya cara lain, Karen datang ke kantor dan membuat keributan setiap hari, bahkan mengajak kerabat dan teman-temannya membawa spanduk di luar. Dengar-dengar, kejadian ini sangat heboh.Manajer tidak bisa berbuat apa-apa, jadi akhirnya memberi tahu Karen alamat tempat tinggal Devin. Karen mengikuti petunjuk itu dan datang ke rumahnya.Namun, Devin sama sekali tidak merasa bersalah dan berkata dengan percaya diri, "Ngapain kamu ribut? Lagian, rumahmu sudah kubeli. Uangnya sudah kubayar dan sekarang namaku yang tertera di sertifikat kepemilikan. Ribut juga nggak ada gunanya."Karen duduk di depan pintu rumahnya dan menangis kencang, menggunakan semua trik yang dia kuasai.Devin juga orang yang keras kepala. Ketika
Nadine lantas mengangkat ujung terusannya dan lebih berhati-hati kali ini.Orang-orang tidak menganggap serius insiden kecil tadi. Perhatian mereka lebih terfokus pada Nadine terluka atau tidak.Calvin langsung mengulurkan tangannya. "Nadine, kupinjamkan tanganku. Ada ototnya lho! Aku jamin kamu nggak akan jatuh."Hanya Olive yang memandang pinggang Nadine, seolah-olah ingin menembusnya dengan tatapannya.Saat makan, Wilfred memperhatikan bahwa Olive hanya makan sedikit. Dia khawatir Olive merasa tidak enak badan, jadi bertanya, "Kenapa hari ini makan sedikit sekali? Maagmu kambuh lagi?"Olive sering melewatkan waktu makan dan Wilfred sudah terbiasa mengingatkannya."Makanan hari ini nggak pedas atau berminyak kok. Bagus untuk pencernaan. Nah, ini makanan favoritmu ....""Bisa diam nggak sih?" Olive mendorong tangan Wilfred. "Aku cuma nggak mau makan saja. Kenapa kamu cerewet sekali? Apa aku nggak boleh memutuskan sendiri mau makan atau nggak?"Tangan Wilfred yang sedang mengambil maka
"Duduklah. Jangan terlalu sungkan, aku nggak terbiasa," ucap Arnold.Nadine pun tertawa dan akhirnya duduk.Arnold berkata, "Aku suka masakanmu, traktiranmu ini adalah ucapan terima kasih terbaik."Setelah itu, Arnold mengangkat mangkuk sup dan membenturkannya dengan ringan ke mangkuk Nadine.Kemudian, Arnold mengambil sepotong sayap ayam yang digoreng hingga keemasan. Kulitnya renyah dengan tepi yang sedikit terbakar dan bagian dalamnya yang berair. Perpaduan ini begitu seimbang dan rasanya sangat kaya."Di luar sana, belum tentu ada sayap ayam seenak ini."Nadine tertawa karena merasa lucu. "Kalau begitu, kamu habiskan saja semua sayap ayamnya."Arnold mengangkat alis dan senyumannya semakin lebar. "Bukan masalah."Makan siang selesai. Sekarang sudah pukul 2 siang. Mereka sama-sama membereskan dapur dan keluar.Arnold akan pergi ke laboratorium, sementara Nadine pergi ke perpustakaan. Karena sejalan, mereka pun berangkat bersama.Sesampainya di persimpangan jalan, Arnold berbelok ke
Nadine tertawa sambil bercanda, "Jangan, jangan. Masa tamu disuruh kerja?""Tamu bilang dia sangat senang bisa membantu."Berkat bantuan Arnold, pekerjaan menjadi lebih cepat selesai.Setelah semua beres, Nadine mengangkat ikan kakap dari air jahe daun bawang, lalu meletakkannya di piring dan mengeringkannya dengan tisu dapur. Kemudian, dia mengoleskan minyak goreng di permukaannya untuk mengunci kesegaran.Pekerjaan Arnold sudah beres Dia hanya bisa berdiri di samping dan menonton. "Perlu bantuan?""Bisa tolong ambilkan kukusan di atas sana?""Oke."Arnold bertubuh tinggi, jadi bisa meraihnya dengan mudah. Hanya saja, kukusan digantung agak tinggi tepat di atas kepala Nadine. Artinya, jika Arnold ingin mengambilnya, dia harus berdiri di belakang Nadine.Begitu Arnold menjulurkan tangan, dia merasa dirinya seperti memeluk Nadine. Untungnya, prosesnya sangat cepat sehingga tidak ada rasa canggung meskipun jarak mereka sangat dekat."Kemarikan kukusannya." Nadine mengulurkan tangannya.A
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa