"Percuma juga Aisyah berusaha memantaskan diri untuk Kak Abi, dengan cadar ini aku kira pandangannya padaku akan berubah seperti seorang pria pada wanita, tapi nyatanya aku salah. Dia tetap menganggapku seperti anak kecil," ucapnya beranjak dari tempat duduk."Loh, mau kemana?""Mau masuk, Kak.""Eh, tunggu, Syah, kamu harus pake cadarnya, sekali berubah itu harus konsisten, dong," kataku, mengajaknya duduk kembali. Tidak bisa membiarkan Abi melihat wajah Aisyah sekarang."Sri, coba kamu ambil cadar Aisyah, tanya aja sama Kyai Khalil," perintahnya."Iya, Mbak." Asri pun pergi."Aku cuma bawa satu cadar, kan aku cuma semalam di Jakarta."Asri pun berhenti melangkah sedangkan Aisyah melenggang masuk. Kami mengikutinya masuk, aku harap apa yang aku takutkan tidak terjadi.Begitu kami masuk, kami melihat Abi masih berbincang dengan Kyai sama sekali tidak terkejut saat melihat wajah Aisyah, Bahkan biasa saja. Berbeda saat dia melihatku untuk pertama kali setelah sekian lama berpisah, apa a
POV ABIBukan tanpa sebab aku memutuskan untuk menikah dulu baru mempertemukan Bella dengan keluargaku. Banyak pertimbangan saat aku memutuskannya. Papa, mungkin akan ikut bahagia dan mendukung aku, karena akhirnya aku bisa bersama dengan Bella, orang yang sangat aku cintai dan harapkan selama ini. Namun, Mama dan Adip? Seribu satu cara akan menggagalkannya. Tidak, aku tidak mau ambil resiko. Aku akan memperkenalkan Bella, setelah Ijab Kabul terlaksana."Apa kamu akan mengulangi seperti yang pertama? Nggak memperkenalkan aku pada mereka?" tanya Bella tak terima."Ye ... siapa bilang, orang Papa tau, kok kalau Salsa Bella itu istri pertamaku.""O, ya? Masak?""He'eh, kamunya aja ngambek ... terus gimana mau ngajak ketemuan? Dideketin aja sudah marah, seperti singa yang meraung-raung. Sampe bingung aku, tuh," jelasku.Hening."Bi, mau atau tidak mau tetap saja hati wanita itu tidak akan rela kalau pasangannya mendua. Nggak cuma wanita, kamu sendiri kalau lihat aku sama Kak Raka gimana?
"Mama," sapaku, kuraih tangan lalu kukecup punggung tangannya."Siapa yang mau nikah?" ulangnya."Nikah? Nggak ada, Ma," jawabku."Jangan bohong, Mama dengar sendiri kamu cari cincin pernikahan. Kamu tidak mungkin ke sini sendiri kalau tidak penting," terkanya. Aku mulai memutar otak, tak mungkin aku mengatakan bahwa aku yang menikah, dengan Bella pula."Abi merintis usaha baru di Bandung, Ma. Penerbitan, dan ada projek baru tentang pernikahan. Mama kan tau, Abi suka totalitas kalau kerja. Jadi Abi sendiri yang mencari bahan dan riset," Kuharap alasan yang aku berikan kali ini, bisa membuat Mama percaya."Mama mau cari apa?" tanyaku balik, mengubah topik pembicaraan.Ia tak menjawab."Ini, Mas cincinnya silahkan dipilih," kata pelayan yang tadi melayaniku."Iya, saya ambil yang paling bagus saja, ya," putusku memberikan kartu kredit pada pelayan. Aku tak mau berlama-lama di sini. Karena Mama akan terus menginterogasi."Ukurannya, Pak?" "Yang paling kecil aja," jawabku cepet, Bella ya
POV Bella"Saya terima nikahnya Salsa Bella Wiraguna binti Wiraguna dengan maskawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana saksi? Sah?" "Sah,""Alhamdulillah," ucap semua yang hadir termasuk Abi dan Kyai Khalil, tak nampak Aisyah di sana. Sepertinya ia masih merajuk. Tapi aku tak ambil pusing, akan aku pikirkan masalah Aisyah nanti setelah semua selesai.Dengan waktu singkat dan sekejap mata, Ijab kabul pun terjadi. Jika dulu, Papa sendiri lah yang menikahkan kami, berbeda dengan sekarang. Aku menikah dengan wali hakim. Ada rasa kesedihan saat teringat Papa saat menikahkan aku dengan Abi di Rumah Sakit waktu itu. Rasa bersalah karena sudah mengecewakan dan tidak melaksanakan amanah Papa."Bella akan bersungguh-sungguh kali ini, Pa," ucapku bertekad dalam hati. Hingga goncangan pelan di pundakku menyadarkanku. "Tanda tangan dulu, Bell," kata Abi. Aku pun segera membubuhkan tanda tanganku ditempat yang sudah mereka tunjukkan satu per satu.Setelahnya Kyai Khalil dan juga Pak RT yang entah
"Ya, udah kalian boleh keluar sekarang, makasih, udah bantuin sehingga acara berjalan lancar," kata Abi."Lancar dari Hongkong?" celetukku.Mereka terlihat melihat ke arahku bersamaan dan selanjutnya Abi mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas panjang."Kami permisi, Pak," pamit Meta. Meta dan Asri pun bergegas keluar dari kamarku.Setelah mereka pergi, Abi berjalan menuju kamar mandi dan kembali dengan sabun cair di tangannya."Sini," ucapanya setelah duduk di sebelahku, meraih tanganku dan mulai mengoleskan sabun cair di jari manisku yang masih terselip sebuah cincin nanggung di sana, nanggung karena tidak masuk pun tidak keluar."Sakit?" Aku menggeleng."Udah, nggak usah nangis, maaf nanti diganti, deh, sama yang lebih besar," katanya."Lagian ukuran nggak proporsional," celetuk Abi."Apa maksudmu?" "Kebaya kegedean, cincin kekecilan, berarti kan nggak proporsional antara jari dan badan," terangnya."Menghina ciptaan Tuhan itu dosa. Ini salahmu, Bi!" "Hemmm, iya, salahku, lagi
Aku tersentak kaget saat mendengar suara Abi dengan mata yang masih tertutup. "Pura-pura kamu, Bi!" tegurku.Perlahan Ia membuka mata lalu menatapku. "Terkadang diperlukan sedikit siasat saat menghadapi wanita yang gengsinya tingkat dewa," sindirnya."Helleh, modus.""Pengen punya anak, nggak, Bell? Kecil, lucu, gitu? Biar rame rumahnya? Nggak cuma ada aku, kamu dan Asri doang." Sepertinya Abi sudah mulai merayu."Kenapa jadi ngelantur!" ucapku.Tiba-tiba Ia mengubah posisinya di atasku dengan kedua tangan di sampingku, membuatku tak bisa bergerak. "Benar ... kamu berubah pikiran? Kamu yang mulai mengusikku, Bell ....""A ... ku hanya mencoba-coba tadi, Bi!" ucapku dengan suara yang mulai sedikit bergetar menahan getaran di dada yang semakin terasa hebat.Bukannya berpindah dia justru semakin mendekat, hingga bibir tipis itu menyentuh bibirku. Kututup mataku merasakan begitu lembutnya dia memperlakukanku. Beberapa saat ia melepaskannya mebuaku tersadar. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku
POV BELLASeperti ada yang mencekik leherku saat kudengar kata-kata Aisyah yang ingin dirinya menjadi istri kedua Abi. Ingatanku kembali pada dua tahun silam, aku pernah diposisi ini sebelumnya, akankah harus terulang lagi hal yang sama setelah aku menyerahkan segalanya pada Abi?Mataku pun memanas, tak kuat rasanya harus berada di tempat itu lebih lama. Kutinggalkan kamar tamu dengan keadaan kotor karena makanan yang kubawa untuk Aisyah sudah jatuh berantakan di sana. Ya, niat hati ingin menghibur dengan memberi perhatian yang lebih untuk anak seusianya, namun justru kenyataan pahit yang harus kudengar. Kututup pintu kasar dan berdiri di depan jendela, entah apa yang aku rasakan saat ini, sesak di dada semakin menyiksa. Airmata tak bisa ditahan dan terjun bebas tanpa jeda.Cekrek!Degh!Pintu dibuka dengan kasar, aku berbalik cepat melihat ke arah pintu. Airmataku semakin tumpah, saat kulihat Abi datang. Trauma merajai diriku. Seperti inilah posisiku dua tahu yang lalu. Saat Abi h
POV ABILuka yang aku torehkan nyatanya masih membekas di hati Bella, bahkan menimbulkan trauma yang teramat dalam bagi Bella. Andai aku bisa mengulang waktu aku tidak akan melakukan kebodohan itu. Kebodohan yang sama-sama menghadirkan luka untuk Bella maupun untuk diriku sendiri.Bella adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku hancur sehancur-hancurnya saat aku kehilangan, seperti debu yang tertiup oleh angin, tak terlihat dan bermakna, pun membuatku kuat seperti baja karena terus ditempa dengan sejuta harapan untuk menemukannya.Tak henti-hentinya rasa syukur aku panjatkan saat Bella mau percaya dan mau memberiku kesempatan lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bella berikan untukku. Bella akan menjadi satu-satunya. Insya Allah.Kutemui Papa setelah menenangkan Bella. "Pa," sapaku pada Papa yang sedang duduk di ruang tengah. Kuhampiri lalu kuraih dan kukecup punggung tangannya."Duduk, Pa, tumben sekali Papa mau mampir ke rumahku?""Kyai Khalil ada di sini k