POV BELLASeperti ada yang mencekik leherku saat kudengar kata-kata Aisyah yang ingin dirinya menjadi istri kedua Abi. Ingatanku kembali pada dua tahun silam, aku pernah diposisi ini sebelumnya, akankah harus terulang lagi hal yang sama setelah aku menyerahkan segalanya pada Abi?Mataku pun memanas, tak kuat rasanya harus berada di tempat itu lebih lama. Kutinggalkan kamar tamu dengan keadaan kotor karena makanan yang kubawa untuk Aisyah sudah jatuh berantakan di sana. Ya, niat hati ingin menghibur dengan memberi perhatian yang lebih untuk anak seusianya, namun justru kenyataan pahit yang harus kudengar. Kututup pintu kasar dan berdiri di depan jendela, entah apa yang aku rasakan saat ini, sesak di dada semakin menyiksa. Airmata tak bisa ditahan dan terjun bebas tanpa jeda.Cekrek!Degh!Pintu dibuka dengan kasar, aku berbalik cepat melihat ke arah pintu. Airmataku semakin tumpah, saat kulihat Abi datang. Trauma merajai diriku. Seperti inilah posisiku dua tahu yang lalu. Saat Abi h
POV ABILuka yang aku torehkan nyatanya masih membekas di hati Bella, bahkan menimbulkan trauma yang teramat dalam bagi Bella. Andai aku bisa mengulang waktu aku tidak akan melakukan kebodohan itu. Kebodohan yang sama-sama menghadirkan luka untuk Bella maupun untuk diriku sendiri.Bella adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku hancur sehancur-hancurnya saat aku kehilangan, seperti debu yang tertiup oleh angin, tak terlihat dan bermakna, pun membuatku kuat seperti baja karena terus ditempa dengan sejuta harapan untuk menemukannya.Tak henti-hentinya rasa syukur aku panjatkan saat Bella mau percaya dan mau memberiku kesempatan lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bella berikan untukku. Bella akan menjadi satu-satunya. Insya Allah.Kutemui Papa setelah menenangkan Bella. "Pa," sapaku pada Papa yang sedang duduk di ruang tengah. Kuhampiri lalu kuraih dan kukecup punggung tangannya."Duduk, Pa, tumben sekali Papa mau mampir ke rumahku?""Kyai Khalil ada di sini k
POV BELLATegas, itu yang harusnya aku lakukan sejak dulu. Abi adalah milikku, sudah semestinya aku mempertahankannya sejak dulu karena aku sudah menerimanya sebagai suamiku yang diberikan oleh Papa sejak dulu bukan? Aku pun tak mau mengulangi kesalahan yang sama, membiarkan wanita lain mengambilnya dan masuk ke dalam rumah tangga kami. Memporak porandakan segala yang menjadi impian kami.Tak akan aku biarkan lagi Abi bertemu dengan Aisyah setelah dia pergi, itu lah keputusanku.Kuusap wajah laki-laki dengan keringat membasahi sekujur tubuh yang membuatnya semakin menggoda itu. Ya, setelah kepergian Asri kami kembali beradu peluh, memadu cinta."Kapan?" tanyaku saat Abi membaringkan tubuhnya di sebelahku."Apa?""Membuat daftar belanja sebanyak itu?" tanyaku penasaran."Tadi, habis sholat subuh.""Niat sekali.""Asri suka ngawur tu, kalau nggak diamankan!" jawabnya. "Bell, benar besok akan kembali ke Bandung?" tanya Abi menatapku."Bukan besok tapi nanti.""Nanti? Serius nanti?" "A
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, Abi memilih untuk tidur setelah melampiaskan hasratnya. Kulihat rumah masih lengang. Lalu di mana Asri? Mungkinkah dia belum kembali? Merasa khawatir aku pun mulai mencarinya ke seluruh sudut ruangan."Asri!" teriakku memanggil Asri, namun tak ada jawaban. Hingga kudengar suara mobil berhenti di depan. Aku bertanya pada diriku sendiri, siapa yang membukakan gerbang sedangkan Asri tidak di rumah dan Abi sendiri masih tidur. Aku pun segera memeriksanya dengan membuka pintu depan. Mencengangkan, Asri bersama dua orang laki-laki sedang sibuk menurunkan barang belanjaan yang begitu banyak."Asri? Apa ini, Sri?" tanyaku saat kulihat ada karung juga di sana."Beras, Mbak, satu kwintal.""Mau ada acara? Kutuan lo kalau kebanyakan gini.""Nggak ada, tulisannya emang gitu, mana merk beras yang ditulis nggak ada, pada kosong semua, akhirnya Asri cari agak jauhan. Capeknya Asri, Mbak," keluh Asri dengan wajah yang sudah sangat payah. Sungguh kasihan aku m
Pengakuan RakaKuikuti langkah Kak Raka, menjauh sedikit dari kegaduhan, ya, kebetulan waktu bertepatan dengan istirahat, walau hanya sekedar makan pizza dan soda tak mengapa setidaknya, itu akan mengganjal perut kami. "Duduk, Bell!" serunya, aku pun duduk dengan memberi jarak agak jauh. Jika biasanya terasa nyaman berbeda kali ini, rasa canggung lebih mendominasi."Apa yang hendak kamu bicarakan, Bell?" tanya Kak Raka beberapa saat kemudian."Ini tentang pekerjaan. Dulu Kakak bilang akan membantuku, memberiku rekomendasi agar lebih mudah masuk ke sini, terima kasih sebelumnya," ucapku malu."Tapi, apa Kakak juga yang membantu agar aku tidak dikeluarkan? setelah cuti begitu lama?" tanyaku to the poin."Maaf ya, Bell, waktu itu memang sudah aku rekomendasikan namun, mereka tidak berjanji. Malah aku kira Pak Abi yang membantumu, karena kamu pernah bekerja dengannya dulu. Kalau masalah kamu nggak masuk nggak dikeluarkan aku sama sekali nggak tau, Bell," jawabnya. Aku pun mulai curiga
POV RAKAAda rasa yang hilang saat Bella selalu berusaha menjauh dan menghindar dariku beberapa hari terakhir. Aku tak tahu pasti apa yang menjadikannya berubah. Dari sana aku mulai mencari tahu, Bella sangat istimewa menurutku, dia selalu ada saat aku dalam situasi sulit. Karena itulah aku merasa sangat kehilangan saat dia menjauh.Rasa bersalah menyeruak saat aku tahu bahwa, Bella menyimpan rasa padaku bertahun-tahun. Ya, aku mengetahui hal tersebut dari Raya yang aku paksa untuk bicara dan akhirnya dia bersedia bicara. Meski terlambat setidaknya aku tahu. Bella, putri dari Wiraguna memang sempurna, cantik, anggun, dan juga sangat ramah. Tak ada keberanian bagiku untuk bersanding dengan Bella. Menjadi anak dari seorang Anwar yang sudah tidak aku akui sebagai bapakku itu bukanlah pilihanku. Masalah yang terjadi diantara keluarga kami membuatku tahu diri dan takut akan bayang-bayang kebenciannya terhadapku bisa saja menciptakan jarak diantara kami. Bagiku, menjalin persahabatan akan l
POV BELLAKenyataan mengejutkan kudengar begitu tiba-tiba. Kak Raka, ternyata adalah anak dari Om Anwar, teman sekaligus musuh Papa. Masih sangat jelas dalam ingatanku, kala mereka menyebut nama Anwar Fatoni saat menyekap dan membuangku ke hutan malam itu. Malam, gelap, dan mencekam, membuatku merasakan traumanya hingga sebesar ini.Beruntung tidak ada binatang buas yang memangsaku malam itu. Aku bisa selamat karena seorang pencari kayu menemukanku keesokan harinya. Mereka menemukanku dalam keadaan tidak sadarkan diri, ya, aku hampir mati ketakutan malam itu.Mereka membawaku ke klinik dan menghubungi nomor telepon Papa yang selalu Papa selipkan di saku bajuku, sebelum aku berangkat sekolah. Ya, anak SD dilarang membawa ponsel, sehingga Papa menyelipkan nomor di saku, agar aku bisa menggunakannya saat dibutuhkan atau keadaan darurat. Papa adalah sosok terbaik bagiku dan sosok itu kutemukan lagi dalam diri Abimana, suami pilihan Papa.Om Anwar lolos dari tuduhan dengan alasan aku han
Suami? Oh tidak, kali ini aku tidak akan melibatkan Abi, kalau Abi terlibat berarti tuduhan mereka benar dong? Ya, aku akan berusaha semampuku sendiri. Aku harus menunjukkan pada semua bahwa aku tidak seperti yang mereka pikirkan, bahwa aku mampu."Baiklah, kamu pelajari semua dan gunakan waktu satu bulan ini dengan sebaik-baiknya!" kata Mbak Mei penuh penekanan."Siap, percayakan semua padaku," ucapku penuh percaya diri.Semua berkas sudah disiapkan, kali ini yang diinginkan oleh redaksi adalah tema keluarga, arti sebuah keluarga. Kucari dari berbagai sumber dan kupelajari dengan sangat hati-hati."Eh, Raka nggak masuk, ya?" tanya Mbak Mei pada Mbak Selly, begitu seriusnya aku memikirkan edisi bulan depan membuatku tak sadar Kak Raka tidak ada di meja."Ijin ke Surabaya, nganter ceweknya, sakit katanya," jelas Mbak Mei. Aku tersenyum kecut, tapi tak mengapa, setidaknya dia mendengar saranku untuk setia pada satu wanita."O, oke. Eh, Sell, kok Pak Abi nggak kelihatan, ya? Kira-kira b
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta