POV Bella"Saya terima nikahnya Salsa Bella Wiraguna binti Wiraguna dengan maskawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana saksi? Sah?" "Sah,""Alhamdulillah," ucap semua yang hadir termasuk Abi dan Kyai Khalil, tak nampak Aisyah di sana. Sepertinya ia masih merajuk. Tapi aku tak ambil pusing, akan aku pikirkan masalah Aisyah nanti setelah semua selesai.Dengan waktu singkat dan sekejap mata, Ijab kabul pun terjadi. Jika dulu, Papa sendiri lah yang menikahkan kami, berbeda dengan sekarang. Aku menikah dengan wali hakim. Ada rasa kesedihan saat teringat Papa saat menikahkan aku dengan Abi di Rumah Sakit waktu itu. Rasa bersalah karena sudah mengecewakan dan tidak melaksanakan amanah Papa."Bella akan bersungguh-sungguh kali ini, Pa," ucapku bertekad dalam hati. Hingga goncangan pelan di pundakku menyadarkanku. "Tanda tangan dulu, Bell," kata Abi. Aku pun segera membubuhkan tanda tanganku ditempat yang sudah mereka tunjukkan satu per satu.Setelahnya Kyai Khalil dan juga Pak RT yang entah
"Ya, udah kalian boleh keluar sekarang, makasih, udah bantuin sehingga acara berjalan lancar," kata Abi."Lancar dari Hongkong?" celetukku.Mereka terlihat melihat ke arahku bersamaan dan selanjutnya Abi mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas panjang."Kami permisi, Pak," pamit Meta. Meta dan Asri pun bergegas keluar dari kamarku.Setelah mereka pergi, Abi berjalan menuju kamar mandi dan kembali dengan sabun cair di tangannya."Sini," ucapanya setelah duduk di sebelahku, meraih tanganku dan mulai mengoleskan sabun cair di jari manisku yang masih terselip sebuah cincin nanggung di sana, nanggung karena tidak masuk pun tidak keluar."Sakit?" Aku menggeleng."Udah, nggak usah nangis, maaf nanti diganti, deh, sama yang lebih besar," katanya."Lagian ukuran nggak proporsional," celetuk Abi."Apa maksudmu?" "Kebaya kegedean, cincin kekecilan, berarti kan nggak proporsional antara jari dan badan," terangnya."Menghina ciptaan Tuhan itu dosa. Ini salahmu, Bi!" "Hemmm, iya, salahku, lagi
Aku tersentak kaget saat mendengar suara Abi dengan mata yang masih tertutup. "Pura-pura kamu, Bi!" tegurku.Perlahan Ia membuka mata lalu menatapku. "Terkadang diperlukan sedikit siasat saat menghadapi wanita yang gengsinya tingkat dewa," sindirnya."Helleh, modus.""Pengen punya anak, nggak, Bell? Kecil, lucu, gitu? Biar rame rumahnya? Nggak cuma ada aku, kamu dan Asri doang." Sepertinya Abi sudah mulai merayu."Kenapa jadi ngelantur!" ucapku.Tiba-tiba Ia mengubah posisinya di atasku dengan kedua tangan di sampingku, membuatku tak bisa bergerak. "Benar ... kamu berubah pikiran? Kamu yang mulai mengusikku, Bell ....""A ... ku hanya mencoba-coba tadi, Bi!" ucapku dengan suara yang mulai sedikit bergetar menahan getaran di dada yang semakin terasa hebat.Bukannya berpindah dia justru semakin mendekat, hingga bibir tipis itu menyentuh bibirku. Kututup mataku merasakan begitu lembutnya dia memperlakukanku. Beberapa saat ia melepaskannya mebuaku tersadar. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku
POV BELLASeperti ada yang mencekik leherku saat kudengar kata-kata Aisyah yang ingin dirinya menjadi istri kedua Abi. Ingatanku kembali pada dua tahun silam, aku pernah diposisi ini sebelumnya, akankah harus terulang lagi hal yang sama setelah aku menyerahkan segalanya pada Abi?Mataku pun memanas, tak kuat rasanya harus berada di tempat itu lebih lama. Kutinggalkan kamar tamu dengan keadaan kotor karena makanan yang kubawa untuk Aisyah sudah jatuh berantakan di sana. Ya, niat hati ingin menghibur dengan memberi perhatian yang lebih untuk anak seusianya, namun justru kenyataan pahit yang harus kudengar. Kututup pintu kasar dan berdiri di depan jendela, entah apa yang aku rasakan saat ini, sesak di dada semakin menyiksa. Airmata tak bisa ditahan dan terjun bebas tanpa jeda.Cekrek!Degh!Pintu dibuka dengan kasar, aku berbalik cepat melihat ke arah pintu. Airmataku semakin tumpah, saat kulihat Abi datang. Trauma merajai diriku. Seperti inilah posisiku dua tahu yang lalu. Saat Abi h
POV ABILuka yang aku torehkan nyatanya masih membekas di hati Bella, bahkan menimbulkan trauma yang teramat dalam bagi Bella. Andai aku bisa mengulang waktu aku tidak akan melakukan kebodohan itu. Kebodohan yang sama-sama menghadirkan luka untuk Bella maupun untuk diriku sendiri.Bella adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku hancur sehancur-hancurnya saat aku kehilangan, seperti debu yang tertiup oleh angin, tak terlihat dan bermakna, pun membuatku kuat seperti baja karena terus ditempa dengan sejuta harapan untuk menemukannya.Tak henti-hentinya rasa syukur aku panjatkan saat Bella mau percaya dan mau memberiku kesempatan lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bella berikan untukku. Bella akan menjadi satu-satunya. Insya Allah.Kutemui Papa setelah menenangkan Bella. "Pa," sapaku pada Papa yang sedang duduk di ruang tengah. Kuhampiri lalu kuraih dan kukecup punggung tangannya."Duduk, Pa, tumben sekali Papa mau mampir ke rumahku?""Kyai Khalil ada di sini k
POV BELLATegas, itu yang harusnya aku lakukan sejak dulu. Abi adalah milikku, sudah semestinya aku mempertahankannya sejak dulu karena aku sudah menerimanya sebagai suamiku yang diberikan oleh Papa sejak dulu bukan? Aku pun tak mau mengulangi kesalahan yang sama, membiarkan wanita lain mengambilnya dan masuk ke dalam rumah tangga kami. Memporak porandakan segala yang menjadi impian kami.Tak akan aku biarkan lagi Abi bertemu dengan Aisyah setelah dia pergi, itu lah keputusanku.Kuusap wajah laki-laki dengan keringat membasahi sekujur tubuh yang membuatnya semakin menggoda itu. Ya, setelah kepergian Asri kami kembali beradu peluh, memadu cinta."Kapan?" tanyaku saat Abi membaringkan tubuhnya di sebelahku."Apa?""Membuat daftar belanja sebanyak itu?" tanyaku penasaran."Tadi, habis sholat subuh.""Niat sekali.""Asri suka ngawur tu, kalau nggak diamankan!" jawabnya. "Bell, benar besok akan kembali ke Bandung?" tanya Abi menatapku."Bukan besok tapi nanti.""Nanti? Serius nanti?" "A
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, Abi memilih untuk tidur setelah melampiaskan hasratnya. Kulihat rumah masih lengang. Lalu di mana Asri? Mungkinkah dia belum kembali? Merasa khawatir aku pun mulai mencarinya ke seluruh sudut ruangan."Asri!" teriakku memanggil Asri, namun tak ada jawaban. Hingga kudengar suara mobil berhenti di depan. Aku bertanya pada diriku sendiri, siapa yang membukakan gerbang sedangkan Asri tidak di rumah dan Abi sendiri masih tidur. Aku pun segera memeriksanya dengan membuka pintu depan. Mencengangkan, Asri bersama dua orang laki-laki sedang sibuk menurunkan barang belanjaan yang begitu banyak."Asri? Apa ini, Sri?" tanyaku saat kulihat ada karung juga di sana."Beras, Mbak, satu kwintal.""Mau ada acara? Kutuan lo kalau kebanyakan gini.""Nggak ada, tulisannya emang gitu, mana merk beras yang ditulis nggak ada, pada kosong semua, akhirnya Asri cari agak jauhan. Capeknya Asri, Mbak," keluh Asri dengan wajah yang sudah sangat payah. Sungguh kasihan aku m
Pengakuan RakaKuikuti langkah Kak Raka, menjauh sedikit dari kegaduhan, ya, kebetulan waktu bertepatan dengan istirahat, walau hanya sekedar makan pizza dan soda tak mengapa setidaknya, itu akan mengganjal perut kami. "Duduk, Bell!" serunya, aku pun duduk dengan memberi jarak agak jauh. Jika biasanya terasa nyaman berbeda kali ini, rasa canggung lebih mendominasi."Apa yang hendak kamu bicarakan, Bell?" tanya Kak Raka beberapa saat kemudian."Ini tentang pekerjaan. Dulu Kakak bilang akan membantuku, memberiku rekomendasi agar lebih mudah masuk ke sini, terima kasih sebelumnya," ucapku malu."Tapi, apa Kakak juga yang membantu agar aku tidak dikeluarkan? setelah cuti begitu lama?" tanyaku to the poin."Maaf ya, Bell, waktu itu memang sudah aku rekomendasikan namun, mereka tidak berjanji. Malah aku kira Pak Abi yang membantumu, karena kamu pernah bekerja dengannya dulu. Kalau masalah kamu nggak masuk nggak dikeluarkan aku sama sekali nggak tau, Bell," jawabnya. Aku pun mulai curiga